Monday, October 03, 2005

Mogok BBM

Sejak pengumuman kenaikan BBM tgl 1 Oktober kemarin, sampai hari ini (2/10) taksi (baca: angkutan kota) melakukan aksi mogok. Seperti biasa pada saat mereka mogok begini yang dituntut adalah kenaikan tarif angkutan. Peristiwa mogok memogok ini sudah berulang kali terjadi. Sampai kita semua mahfum bahwa bila taksi mogok, artinya tarif angkutan akan naik.

 

Mengapa mereka melakukan aksi mogok? Apakah salah jika mereka mogok? Kalau kita melihat kondisi dan ditinjau dari sudut pandang mereka, mereka tidak sepenuhnya salah. Kalau mereka tidak melakukan aksi mogok, masalah kenaikan tarif itu akan lambat diputuskan. Kalau mereka diam, bisa-bisa malah diabaikan. Jadi mereka melakukan tindakan yang terbukti akan cepat mendapat perhatian, yakni mogok.

 

Mereka menuntut organda cepat mengambil keputusan tentang kenaikan tarif. Tuntutan mereka masuk akal. Kenaikan BBM membuat semua harga cepat menyesuaikan diri, kalau tidak bisa dibilang seketika. Tetapi mereka, para supir taksi harus menunggu. Padahal kebutuhan mereka yang lain tidak bisa menunggu. Jadi seharusnya pihak-pihak  yang berwenang menentukan kenaikan tarif angkutan kota bisa mengantisipasi secepatnya. Sebelum tarif resmi muncul sudah ada desas desus persentase kenaikan BBM. Jadi sebenarnya bisa saja dibuat beberapa asumsi kenaikan tarif angkutan sesuai asumsi kenaikan BBM. Sehingga ketika persentase kenaikan BBM diketahui, para supir ini sudah punya gambaran asumsi kenaikan tarif mana yang akan mereka gunakan. Jika kejadiannya seperti itu, tentu mereka tenang dan tidak perlu mogok.

 

Nah, masalah mogok ini tidak hanya monopoli supir taksi. Mahasiswa yang melakukan demo untuk menolak kenaikan BBM juga menjalankan aksi mogok. Bukan mogok kerja, tapi mogok makan. Mogok makan ini berbahaya, tapi untuk tujuan ‘suci’ mereka bersedia melakukannya. Berita tentang demo mahasiswa yang mogok makan tidak hanya akhir-akhir ini saja terdengar. Bahkan untuk kejadian internal di kampusnya sendiri mahasiswa senang melakukan mogok. Contohnya aksi mogok makan di Kampus Unmul tahun 2003 lalu yang memprotes kebijakan rektor yang mengeluarkan mahasiswa yang melakukan pengrusakan mushola.

 

Baiklah sekarang kita tahu yang melakukan mogok itu supir, lantas mahasiswa. Sudah semuanya? Oh, belum. Masih ada karyawan Garuda mengancam melakukan mogok kerja menuntut kenaikan gaji. Karyawan Kalimanis melakukan mogok makan menuntut upah yang belum dibayar. Pernah juga para ketua RT mengancam mogok kerja di Tarakan menuntut agar Lurahnya tidak dipindah. Ada lagi yang lebih ‘antik’, seorang anggota dewan melakukan mogok makan sebagai bentuk protes kenaikan BBM Maret 2005 yang lalu.

 

Ternyata kegiatan mogok bukan monopoli orang tertentu, pihak tertentu. Sekarang siapa saja bisa melakukan aksi mogok. Mogok yang semula adalah kata untuk menerangkan keadaan suatu alat atau sistem yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, telah menjelma menjadi suatu istilah yang berkonotasi ‘ancaman’. Tadinya kata ‘mogok’ digunakan untuk menerangkan sesuatu tetapi sekarang naik kelas menjadi predikat atau ‘melakukan’ sesuatu.

 

Hal yang menarik disini adalah mogok telah menjadi suatu cara efektif untuk memaksa pihak lain melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang melakukan pemogokan. Dikatakan efektif karena pihak yang dituntut biasanya bertindak cepat menanggapi aksi ini untuk menghindari dampak negatif  yang lebih besar. Seperti yang kita tahu, aksi mogok umumnya menimbulkan gangguan pada pihak lain. Seperti kasus mogok yang dilakukan supir taksi, yang terganggu adalah pengguna jasa angkutan tersebut. Atau aksi mogok oleh karyawan Garuda, yang terganggu adalah calon penumpang penerbangan Garuda, yang nota bene tidak tahu masalahnya dan sudah membeli tiket. Untuk menghindari gangguan yang lebih besar lagi, pihak yang dituntut kemudian bekerja cepat untuk menyelesaikan masalah yang dituntut.

 

Tetapi kemudian, apakah kita hanya bisa bekerja dan bergerak cepat bila sudah ada aksi mogok? Seharusnya tidak. Seyogyanya tidak. Kesan yang didapat dari peristiwa mogok ini adalah kita tidak peduli. Kita tidak peduli pada suatu masalah sampai masalah itu menimbulkan gangguan langsung pada diri kita.

 

Bagaimanapun dalam setiap aksi mogok selalu ada minimal dua pihak. Yang melakukan tuntutan dan yang dituntut. Terkadang masih ada pihak ketiga yakni korban. Kalau sampai terjadi aksi mogok berarti salah satu pihak merasa diabaikan haknya, atau tidak diperhatikan kebutuhannya. Sayangnya jika menggunakan jalur normal tuntutan ini lebih sering tidak didengarkan. Bisa jadi karena memang sudah ada begitu banyak atau bisa juga karena tidak diperdulikan. Atau bisa jadi tuntutannya didengarkan dan ditindaklanjuti, tapi eksekusinya lambat sekali.

 

Itulah yang terjadi di negara kita. Kalau ingin suara kita didengar segera, lakukanlah aksi mogok. Meskipun mogok kerja atau mogok apapun bukan monopoli kita orang Indonesia saja. Hanya saja di negara kita ini berita mogok itu lebih sering terdengar.

 

Entah kita harus bangga atau malah malu dengan ‘prestasi’ ini. Hanya jika dipikirkan lebih jauh mungkin seharusnya kita malu dengan kebiasaan mogok ini. Kesannya, untuk bisa melakukan sesuatu atau bila ingin perubahan, harus ada ‘korban’ terlebih dahulu. Gambaran yang muncul adalah bahwa para pemimpin kita atau mereka yang berwenang membuat kebijakan tidak mampu berpikir panjang dan bijaksana untuk mengayomi semua kepentingan.

 

Merenungkan kembali peristiwa mogok ini, mari kita mengambil pesannya. Bagaimana agar tidak perlu ada pemogokan lagi dalam hal apapun terutama yang berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Jangan kita berusaha keras memperjuangkan hak kita tapi akibatnya kemudian merampas hak orang lain. Jadi stop mogok dan mari tingkatkan kemampuan diri untuk berpikir cepat dan menyeluruh kemudian mengaplikasikannya dengan tepat, cekatan dan bijaksana.

 

Thursday, September 29, 2005

Altruisme vs Egoisme

Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang kepentingan umum dan pribadi, hampir dapat dipastikan akan menjumpai ungkapan klise semacam, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Ungkapan itu telah diterima sebagai kebenaran umum selama beberapa dekade. Bahkan sampai sekarang. Hal itu masih dianggap sebagai hal yang ideal.

Kenyataannya seiring dengan kemajuan teknologi informasi (baca: internet), sekarang ini kita dengan mudah dapat memperoleh informasi apapun dari belahan bumi manapun yang kita inginkan. Bersamaan dengan itu kita juga menerima hal-hal baru yang ikut serta berupa nilai-nilai, yang sifatnya kebalikan dari apa yang telah kita yakini sejak awal. Secara umum di dalam setiap buku atau film yang dihasilkan oleh barat, tampak bahwa mereka lebih egois dibanding masyarakat timur pada umumnya. Hal ini berarti kebalikan dari premis awal yang kita pahami sebelumnya -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.

Dalam situasi dunia yang serasa semakin mengecil karena kemudahan dalam mendapat informasi, dan kesadaran yang timbul bahwa sebagai warga dunia kita saling bergantung, nilai-nilai yang umum berlaku di suatu kawasan juga ikut mengalami penyebaran. Keadaan ini kemudian menimbulkan clash. Di satu sisi, ajaran lama untuk mendahulukan kepentingan umum masih melekat di alam bawah sadar, di sisi lain kita cenderung menunjukkan bahwa kita lebih mendahulukan kepentingan pribadi.

Mari kita tengok ke belakang, kalimat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi bahkan tercantum dalam UUD 45, dasar negara kita. Jadi secara resmi sikap itulah yang mempunyai nilai baik dan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi lihat saja, apakah keadaan seperti itu yang terjadi saat ini? Mungkin jawabannya adalah Ya, tetapi hanya terjadi pada masyarakat kecil saja. Mereka inilah yang masih ingat untuk bersikap mendahulukan kepentingan umum. Misalnya untuk alasan pembangunan sering kali masyarakat harus rela mengorbankan hak miliknya -dengan dalih mendahulukan kepentingan umum tadi, diambil negara, tanpa atau hanya dengan penggantian yang sekedarnya.

Dibandingkan dengan mereka, bagaimanakah perilaku para elite negara ini. Kelihatannya jauh, bahkan sangat jauh dari sikap itu. Para elite kita umumnya lebih mendahulukan agenda-agenda yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau golongan mereka daripada kepentingan rakyat banyak (yang seharusnya mereka wakili, fasilitasi dan lindungi)

Apakah lantas hal itu terjadi karena kita salah pilih orang? Sepertinya tidak. Ini adalah masalah nilai-nilai yang saat ini sudah berlaku umum. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa seandainya kita yang menjadi elite negara (eksekutif/legislatif/yudikatif), maka kita akan punya kecenderungan yang sama.

Akan saya coba jelaskan. Saat kita membaca buku -pengarang luar, saat kita menonton film -lebih banyak film luar, atau kita membuka atau mencari tahu segala macam informasi di internet -disediakan oleh orang luar, secara tidak langsung pola pikir, nilai-nilai, terutama yang tersirat di buku atau film atau informasi-informasi tersebut ikut meresap dalam benak kita. Dan setiap kali saya katakan luar apa boleh buat itu berasosiasi dengan barat (baca: Amerika Utara dan Eropa). Jadi sikap mereka yang rasional dan praktis yang tercermin dalam buku-buku dan film itu terserap oleh kita. Kadang-kadang hal itu terselubung dalam satu istilah modern. Jika kita dapat berpikir rasional dan praktis itu menjadi ukuran bahwa kita sudah modern.

Padahal, suka atau tidak, pada saat kita menerapkan pola pikir rasional dan praktis, kita cenderung akan egois. Sifat egois -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, lahir dari sikap rasional dan praktis. Padahal kembali lagi, sikap rasional dan praktis itulah yang modern. Sehingga terjadi kontradiksi di sini. Melihat susunan piramida masyarakat, tentulah para elite yang berada di atas. Mereka yang punya kemampuan lebih banyak untuk mengakses informasi semacam itu, mereka pula yang kemudian terlebih dahulu mampu untuk berpikir rasional dan praktis, dan kemudian menjadi egois. Tidak heran kan kalau tindakan mereka banyak yang menjadi egois? Sekali lagi saya katakan, bahwa seandainya kita yang menjadi elite, kitapun mungkin akan begitu.

Sebenarnya hal itu tidak selalu berarti buruk. Dalam ukuran yang tepat kita memang harus egois. Ada pepatah yang berbunyi, sebelum bisa menyelamatkan orang lain, selamatkan dirimu sendiri. Persis begitu keadaannya. Bila ditabrakkan dengan nilai-nilai kita, kedengaran tidak menyenangkan bukan? Wah memikirkan diri sendiri. Tapi kalau kita telaah lebih lanjut memang harus begitu yang terjadi. Contohnya apabila kita semua hampir tenggelam di laut karena kapal yang kita tumpangi karam, kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu baru kita bisa menolong orang lain. Apakah ini egois? Tidak. Rasional, ya. Tapi kesan yang ditangkap bila diukur dengan nilai-nilai kita? Ya, itu egois.

Inilah yang ingin saya kemukakan. Benturan antara modernitas plus pemikiran rasional dan praktisnya di satu sisi dengan nilai-nilai lama kita untuk selalu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Saya tidak bermaksud melakukan pembenaran atas apa yang sering kita lihat -tingkah polah eksekutif kita yang sering dituding hanya mementingkan golongannya atau mencari keuntungan pribadi, tetapi hanya mengajak untuk melihat hal ini dari kaca mata yang lain.

Mungkin kita harus mendefinisikan ulang tentang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi ini atau istilah kerennya altruisme. Dalam konteks apa sifat altruisme ini dikembangkan. Dalam konteks apa pula mau tidak mau kita harus egois. Ini bertabrakan, tidak ketemu. Itulah sebabnya kita juga bingung. Maunya bersikap altruis, tapi kalau dinalar baik-baik tindakan kita akan jadi egois. Apa yang harus kita lakukan?

Lets wait and think. Tunggu dan berpikirlah. Supaya dapat melihat situasi yang yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat berpikir lebih jernih. Sehingga kita dapat memilih tindakan yang tepat untuk dilakukan. Jangan terjebak dengan permainan kata altruis atau egois. Ini tidak mudah. Tapi kita betul-betul tidak dapat mematok ukuran suatu sikap sebagai sikap yang paling tepat. Semua akan tepat pada situasi yang tepat.

Kita semua sedang menggeliat mencari sikap yang paling tepat untuk menggabung dua kepentingan ini, menjaga kepentingan umum tetap dipenuhi tapi juga tidak mengabaikan kepentingan pribadi.

Karena bila hanya salah satu sikap yang kita ambil, akan ada ruang yang kosong dalam diri kita yang minta diisi. Seperti halnya segala sesuatu terdiri atas 2 sisi, begitupun sifat manusia. Ada altruis, ada egois. Tidak perlu menonjolkan salah satu sampai yang lain tenggelam. Cukup seimbangkan. Begitu seimbang, keduanya akan lenyap. Tidak ada altruis yang berlebihan, tidak ada egois yang menyakitkan. Kapan hal itu datang? Saat kita lebih tenang. Dan ketenangan itu harus diusahakan, karena alaminya kita sulit untuk tenang.

Bagaimanapun, bila kita melihat gejala yang sekarang ini tumbuh, di barat sendiri mereka mulai belajar mengembangkan sifat altruis dan mereka belajar dari timur. Sementara kita yang di timur, selalu bercermin ke barat sebagai tolok ukur keberhasilan. Menarik sekali bukan? Bahkan dunia kita pun sedang mencari keseimbangan. Mari gunakan kesadaran ini untuk menyeimbangkan diri kita sendiri, dulu. Sehingga pada gilirannya kita dapat membantu menyeimbangkan dunia.(*)

Monday, September 26, 2005

Bisakah Kita Berpikir

Membaca buku ‘Bisakah Orang Asia Berpikir’ karya Kishore Mahbubani membuat saya begitu terhenyak dengan isinya. Pertama karena saya punya ketertarikan yang besar dengan temanya. Kedua saya sendiri kemudian melakukan penilaian atas kebenaran tulisannya itu dihubungkan dengan keadaan kita di Indonesia. Keadaan orang Indonesia sebagai bagian dari Asia.

Bisakah orang Indonesia berpikir? Bisakah kita berpikir? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, bisa juga mungkin. Persis seperti yang dikatakan oleh Mahbubani dalam bukunya. Seperti halnya dia, saya juga akan menguraikan kenapa ada tiga macam jawaban seperti itu.

Pertama jawaban ya. Tentu saja orang Indonesia bisa berpikir. Melihat kembali sejarah kelahiran bangsa Indonesia, dengan posisi geografis kaya sekaligus ‘sulit’ semacam ini, memerlukan suatu kerangka berpikir awal yang koheren, holistik dan bervisi maju ke depan. Kenyataan bahwa para pendiri Indonesia pada jamannya mampu meletakkan dasar yang kuat bagi negara ini. Rumusan ideologi dan filosofi yang menaungi seluruh kebudayaan di kepulauan nusantara merupakan bukti konkrit bahwa orang Indonesia bisa berpikir.

Jika menengok sejarah yang lebih maju, terjadinya revolusi tahun 1965 tidak menurunkan kemampuan berpikir masyarakat kita. Pertumbuhan pembangunan setelah masa revolusi sampai akhir tahun 90-an menunjukan pencapaian yang sangat baik untuk sebuah negara yang baru 5 dekade merdeka.

Era reformasi yang terjadi pada dekade ke-6 setelah kemerdekaan bangsa kita membawa begitu banyak perubahan, baik dalam pemerintahan maupun dalam berkehidupan kebangsaan. Setelah terjadi reformasi, para penganut paham demokrasi murni menyebut bahwa pemerintahan sebelumnya adalah pemerintahan yang otoriter. Pemerintah baru lalu berusaha untuk menerapkan sistem demokrasi yang lebih baik. Pada masa ini kita kembali mengalami masa-masa sulit dalam usaha mencari format yang pas untuk diterapkan. Kita sedang melakukan trial and error dalam penerapan demokrasi. Situasi yang agak chaos ini timbul dari kegagapan dalam memahami arti demokrasi secara utuh. Adanya usaha trial and error ini menunjukkan bahwa orang Indonesia masih berpikir, tetap berpikir. Jadi dalam konteks kenegaraan dan kehidupan kebangsaan proses berpikir ini masih berlangsung.

Kedua jawaban tidak. Tidak bisa berpikir jika melihat satu persatu perjalanan yang dilalui oleh bangsa ini sampai mencapai titik puncaknya pada reformasi yang pecah tahun 1998 yang lalu. Sebagian pihak menyalahkan kondisi sistem pemerintahan sebelumnya yang otoriter sebagai penyebab terbelenggunya kebebasan pers sehingga masyarakat tidak belajar dan berpikir kreatif dan rasional. Segala sesuatu sudah dibuatkan aturan main dan koridornya oleh pemerintah sehingga masyarakat tinggal menjalankannya saja tanpa perlu memikirkannya lagi. Mungkin itu satu-satunya alasan kenapa orang Indonesia tidak berpikir di masa itu.
Tetapi bagaimana dengan masa setelah reformasi. Kembali ternyata tidak bisa berpikir karena tiba-tiba semua orang dihadapkan pada sekian banyak pilihan yang menyebabkan kebingungan. Membuang nilai lama dan mengambil yang baru membutuhkan suatu usaha keras yang ternyata tidak mudah.

Contoh paling mudah mungkin pers. Dulu berita suatu kerusuhan di suatu tempat di Indonesia, katakanlah Timor Timur, tidak pernah terekspos secara nasional dan tidak mengakibatkan kebingungan pada sebagian besar masyarakat yang lain. Sekarang dengan kemajuan teknologi komunikasi dan kebebasan pers untuk mengurai fakta, setiap rumah di pelosok desa seluruh Indonesia bisa melihat ketegangan yang terjadi di Poso atau Aceh misalnya. Fakta yang disampaikan adalah kejadian nyata yang sedang terjadi, tetapi fakta yang sama juga turut menyebarkan kegelisahan pada bagian masyarakat yang lain. Sayangnya kondisi ini kurang disadari dengan alasan transparansi dan kebebasan tadi. Kita lupa berpikir secara menyeluruh pada akibatnya pada kondisi negara ini, apakah masyarakat kita sudah mampu menyerap berita semacam itu dan menyikapi secara bijaksana dan tepat.

Contoh lain yang lucu adalah tingkah polah eksekutif kita. Entah sudah berapa kali kita menonton dagelan di layar kaca perseteruan antara golongan, partai atau fraksi di lembaga tinggi negara (baca: Dewan Perwakilan Rakyat). Hal itu sekali lagi secara nyata hanya menunjukkan bahwa orang Indonesia tidak bisa berpikir. Meskipun masalahnya memang tidak terlalu sederhana, karena mungkin sekali ketidakmampuan berpikir ini dipicu oleh hal-hal yang ‘extra ordinary’. Misalnya sikap yang lahir karena adanya tekanan pihak luar. Tekanan yang timbul karena ikatan hutang yang luar biasa besarnya, mengakibatkan pemerintah kita sulit untuk menghindari intervensi asing. Sayangnya sampai saat ini kita belum memiliki pemimpin yang berani melakukan perubahan dan berkata TIDAK pada intervensi asing (apapun resikonya). Menggunakan logika sederhana, orang tidak bisa memaksa kita, kalau kita memang tidak mau. Artinya kalau dikatakan tidak bisa berpikir, sebenarnya hal ini perlu ditelaah lebih seksama apa penyebab ketidakmampuannya. Lagi pula yang dimaksud berpikir dalam hal ini adalah berpikir untuk kepentingan umum, secara menyeluruh, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan saja.

Ketiga, jawaban mungkin. Dan ini jugalah jawaban yang secara pribadi saya berikan. Adalah mungkin orang Indonesia itu berpikir. Saya katakan demikian karena yang saya lihat saat ini, meskipun kita menggunakan segala sesuatu yang kita serap dari barat --teknologi, ide demokrasi atau ide yang sedang hangat –HAM, hiburan dan sebagainya, kita tetap menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kemakmuran kita, yang pada gilirannya kemakmuran yang dicapai itu akan kita gunakan kembali untuk mempelajari nilai-nilai kita sendiri.

Lalu dimana letak kemungkinan berpikirnya? Yaitu pada kemampuan untuk belajar dari kejadian yang kita alami secara langsung di negara ini, kemampuan untuk memilih dan memilah teknologi yang cocok, demokrasi yang cocok, seni hiburan yang cocok dengan kondisi bangsa kita sendiri. Karena budaya dan nilai-nilai kita berbeda. Peradaban kita berbeda, dan kita sudah memiliki peradaban sebelumnya. Hanya saja peradaban itu tenggelam, sehingga dalam hitungan abad kita kehilangan identitas diri. Meski demikian, upaya-upaya untuk kembali pada nilai-nilai budaya yang tenggelam itu mulai tumbuh seiring dengan adanya peningkatan kemampuan secara ekonomi.

Memang sulit untuk memberi contoh yang lebih konkrit karena saat ini kita sedang dalam proses pencarian. Kita sedang dalam proses berpikir, dalam proses memilih dan memilah. Ambil yang baik, singkirkan yang buruk. Lalu kombinasikan dengan yang sudah kita miliki, itulah yang akan menjelma menjadi identitas Indonesia baru. It takes time. Dan mahal biayanya!
Dan karena kita bicara bangsa, tentu hal ini tidak akan terjadi dalam hitungan tahun saja, tetapi mungkin dalam hitungan dekade atau bahkan abad, tergantung dari seberapa bagus kita mendayagunakan pikiran kita. Seberapa baik pemahaman kita akan nilai-nilai kita sendiri dan seberapa kuat daya lentur kita atas proses globalisasi dunia yang menyebabkan dunia mengecil seperti saat ini.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari jawaban konkrit terhadap pertanyaan di atas, tetapi lebih sebagai sebuah refleksi diri. Kalau kita mau jujur, carut marut keadaan negara yang saat ini sedang terjadi diantaranya karena kita tidak bisa berpikir. Tidak bisa berpikir jauh ke depan demi kepentingan dan kemakmuran bangsa. Karena itu tulisan Kishore Mahbubani begitu meresap dalam pikiran saya dan membuat saya menulis ini.

Sebagai penutup, ada hal yang menarik yang ingin saya sampaikan. Setelah saya membicarakan tulisan ini dengan seorang teman, dia hanya berkata bahwa menurutnya saat ini orang Indonesia yang bisa berpikir itu justru mereka yang memiliki stempel rakyat biasa dan seniman atau sastrawan. Mereka itulah yang punya pikiran waras, karena mereka bisa tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri tetapi lebih jauh, bangsa ini. Hanya saja mereka tidak punya cukup sarana dan kekuatan untuk melakukan perubahan. Ungkapan yang sangat menarik, mungkin kelak akan ada ahli yang membahas hal ini.

Tetapi demikianlah, tidak ada kesimpulan yang dapat digarisbawahi, hanya sikap optimis yang dapat saya sampaikan bahwa mungkin kita bisa berpikir, apabila kita tetap dapat menghargai diri kita sebagai bangsa yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya dan kita dapat menggali kembali nilai-nilai kebangsaan yang telah kita miliki sejak dulu sebagai bangsa yang beradab.
Jadi kalau ada orang bertanya, “Can Indonesians think?”, maka kita akan dapat menjawab dengan lantang, “Yes we can. We do can!”.

Saturday, September 24, 2005

Dracaena si Cantik Pembersih Udara

Siapa yang tak kenal dengan tanaman hias yang satu ini? Kalau hanya mendengar namanya, mungkin memang tak banyak orang yang tahu. Tapi begitu melihat rupanya, hampir dapat dipastikan kita akan mengenalinya.
Dracaena termasuk indoor plant dan dapat digunakan pada hampir semua model interior. Baik rumah maupun kantor. Kemudahan dalam hal menanam dan perawatan membuat dracaena menjadi pilihan untuk menghias ruangan.
Kebanyakan dracaena dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang terang dengan sinar matahari cukup, tapi beberapa jenis juga dapat tumbuh dengan baik dalam cahaya yang sedikit. Jika dracaena ini sebelumnya ditanam di ruangan yang minim cahaya, kemudian dipindahkan ke ruangan yang berlimpah cahaya, maka daun yang baru akan tumbuh lebih tebal, lebih kuat dan pertumbuhannya pun akan lebih cepat.
Ada bermacam-macam jenis dracaena. Dracaena Marginata, Dracaena Fragrans Massangeana, Dracaena Reflexa, Dracaena Rikki, Dracaena Janet Craig dan Dracaena Warneckii.
Mungkin yang sangat populer adalah Dracaena Fragrans Massangeana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Corn Plant karena bentuk daunnya yang mirip dengan Sweet Corn. Daunnya berwarna hijau cerah dengan strip kuning di tengahnya. Dapat tumbuh hingga 1 -1,5 m, atau juga dapat juga dibuat menjadi semak kecil dengan cara memotong ujung-ujungnya.
Dracaena Janet Craig dan Warneckii masuk dalam kelompok Green Dracaena (Dracaena Deremensis) kurang dikenal dibanding fragrans. Warneckii adalah yang paling sedikit memerlukan sinar matahari dan memiliki garis putih pada daunnya dengan bentuk daun sempit dan lancip. Sedangkan Janet Craig daunnya berwarna hijau gelap, tingginya sekitar 60 cm . Jenis lain dalam kelompok ini adalah Compacta yang sesuai namanya adalah versi yang lebih kecil, lebih compact dengan tinggi hanya 30 cm.
Dracaena Marginata biasa disebut Dragon Tree yang dapat tumbuh hingga 4 m atau lebih, memiliki daun yang runcing dengan strip merah keunguan sepanjang daunnya. Jika tidak ingin dragon tree ini tumbuh terlalu tinggi kita dapat memotong ujungnya agar bercabang, atau dapat juga kita membentuk tumbuhnya dengan bentuk yang kita inginkan, melengkung misalnya.
Dracaena Reflexa atau lebih dikenal dengan Pleomele, dapat tumbuh menjadi semak kecil atau tumbuh tinggi sekali sesuai tempat habitat aslinya di daerah subtropik hingga 10 m. Daunnya runcing, pendek dan tipis.
Dracaena Rikki termasuk jenis baru yang digunakan untuk interior. Daunnya hijau dengan garis putih di sepanjang tengah daun. Sulit sekali mencari tanaman yang daunnya colorful dan warnanya tetap bagus meskipun ditempatkan indoor dibawah pencahayaan yang minim. Tetapi justru itulah salah satu kualitas utama yang dimiliki Rikki.
Ada satu lagi jenis dracaena yang mungkin paling sering dan paling umum dijadikan dekorasi rumah yakni Dracaena Sanderana. Kita lebih mengenalnya sebagai Lucky Bamboo, dan sesuai namanya dipercaya membawa keberuntungan. Selain dapat ditanam di tanah, Lucky Bamboo dapat hidup di air seperti halnya bunga potong untuk jangka waktu yang lama bahkan sampai bertahun-tahun. Kombinasi kemudahan penanaman -cukup dimasukan bejana berisi air, dan makna keberuntungan menjadikannya primadona untuk ditanam di setiap rumah.
Selain cantik dracaena juga berfungsi untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Dracaena termasuk tanaman yang digunakan oleh NASA Clean Air Study dan telah menunjukkan kemampuannya untuk membersihkan udara. Dalam hal ini ia menyerap formaldehyde, benzene dan karbon monoksida dari udara.
Riset yang dilakukan NASA Clean Air Study secara konsisten telah menunjukkan bahwa tanaman hidup, hijau atau berbunga dapat membuang beberapa zat kimia dari udara di dalam ruangan. Jadi kita dapat menggunakan tanaman di rumah dan kantor untuk meningkatkan kualitas udara, menjadikannya tempat yang lebih nyaman untuk tinggal dan bekerja, dimana kita dapat merasa lebih baik, menghasilkan prestasi yang lebih baik dan menikmati hidup lebih baik lagi.
Untuk diketahui, formaldehyde banyak terdapat dalam bahan-bahan pembersih ruangan, ataupun paper towels, facial tissues, grocery bags, asap rokok, bahan-bahan yang mengandung minyak tanah dan gas alam. Formaldehyde menyebabkan iritasi pada mukus membran mata, hidung dan tenggorokan. Benzene telah lama diketahui dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan mata. Benzene banyak terdapat pada bensin, tinta, cat, karet dan plastik, juga sebagai zat tambahan dalam industri deterjen, bahan peledak, dan farmasi.
Melihat manfaat dan fungsi ganda dari dracaena ini, tidak salah kiranya kalau dracaena menjadi tanaman yang sangat direkomendasikan untuk ditanam dalam ruangan. Pertama untuk dekorasi agar ruang bertambah cantik, kedua hidup kita akan lebih sehat dengan udara bersih yang dihasilkannya.
Jadi selamat menanam dracaena dan menjadi ceria dan bahagia karena energi positif yang dibawa oleh si cantik ini ke rumah Anda.

Thursday, September 22, 2005

Kalsel Sebuah Catatan

Tanggal 17/09 yang lalu saya melakukan perjalanan singkat selama 3 hari ke Banjarmasin. Ini kunjungan saya yang kedua. Saya menempuh perjalanan darat, seperti halnya yang saya lakukan 5 tahun yang lalu dalam kunjungan pertama saya. Pada waktu itu saya mencatat beberapa hal dari apa yang saya sebut tradisi dan ‘model’ Kalimantan Selatan. Sekarang setelah 5 tahun berlalu, apa yang catat waktu itu ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti.

Apa gerangan yang menjadi catatan saya waktu itu? Pertama kondisi jalan dan yang kedua banyaknya sumbangan pembangunan mesjid yang saya jumpai sepanjang perjalanan.

Catatan pertama tentang kondisi jalan. Dulu saya mencatat bahwa mulai masuk daerah perbatasan Kaltim-Kalsel jalan mulai menyempit, dengan lebar 4 m. Kerusakan jalan pada waktu itu yang terasa hanya di daerah Rantau. Kini mulai masuk Kabupaten Tabalong, jalan tidak hanya mulai sempit tetapi ditambah lagi dengan kerusakan jalan. Kondisi jalan berlubang setiap 50 -100 m, menyebabkan waktu yang digunakan untuk menempuh jarak yang sama lebih panjang. Kerusakan jalan itu terus berlangsung dengan derajat kerusakan masing-masing dan baru habis menjelang masuk wilayah Kabupaten Banjar, Martapura. Kondisi itu masih ditambah dengan polusi debu. Sungguh menjadikan perjalanan menjadi tidak nyaman.

Belakangan saya tahu bahwa yang memberi andil rusaknya kondisi jalan itu terutama dari banyaknya tambang batu bara di Kalsel saat ini. Tambang kecil dan terbuka kelihatannya, kalau melihat polusi udara yang dihasilkan. Memang, kebetulan pada hari keberangkatan itu saya bertemu dengan konvoi truk –ternyata truk batubara, dengan muatan total 10-15 ton. Sungguh tidak sepadan dengan lebarnya badan jalan juga beban yang dapat dipikul jalan. Lagi pula truk semacam itu bukan teman perjalanan yang menyenangkan. Karena jalan yang sempit, badan truk sudah menutupi pandangan ke depan, sehingga cukup sulit bagi pengemudi yang tidak lihai untuk menyalipnya. Ini penyebab lamanya waktu tempuh yang kedua.

Berbicara tentang tambang batu bara –yang rupanya marak sekitar 3 tahun terakhir ini karena mudahnya mendapat ijin usaha pertambangan, sungguh disayangkan karena dari penglihatan saya sepintas, para pengusaha tambang batu bara itu tidak sempat memikirkan mengenai comdev –community development. Amdal dan kewajiban untuk konservasi lingkungan sesudahnya apakah sudah dipikirkan dengan seksama? Kelihatannya tidak. Karena dari informasi sepintas yang saya dengar, masyarakat sekitar merasa sangat dirugikan dengan adanya pertambangan ini. Memang ada usaha-usaha untuk kompensasi atas ketidaknyamanan semacam ini dari perusahaan tambang, seperti bantuan air bersih dan ‘uang debu’ –begitulah yang saya dengar, yang menurut saya tidak sepadan dengan kerusakan pada komunitas dan ekosistem yang ditimbulkannya.

Saya menguraikan permasalahan di atas berdasarkan apa yang saya alami dan lihat. Semoga pihak terkait dengan adanya tulisan ini dapat lebih memberi perhatian pada masalah ini dan dapat menindaklanjuti dengan cara semestinya.

Catatan yang kedua adalah tentang sumbangan pembangunan mesjid yang banyak ditemui sepanjang perjalanan. Sesungguhnya saya tidak yakin apakah tradisi meminta sumbangan pada pengendara mobil dan atau motor di jalan hanya ‘milik’ orang Kalsel saja. Karena sesungguhnya saya mulai melihat hal yang sama di Kaltim. Tidak sebanyak yang saya temui di sini. Tapi budaya semacam ini memang bisa menular. Yang menjadi perhatian adalah mengapa? Mengapa harus meminta sumbangan di jalan raya.

Bagi saya hal itu sangat mengganggu dan berbahaya. Terlepas dari keyakinan bahwa menyumbang itu perbuatan yang baik. Hal itu tetap mengganggu pengendara yang melintas jalan. Bayangkan saja, jalan 4 m dibelah dua dengan diberi bangku, kayu, sebagai pembatas sepanjang lebih kurang 10-15 m, dimana mereka berdiri persis di tengahnya untuk menunggu sumbangan itu. Saya telah menemui hal semacam ini 5 tahun yang lalu. Dan sekarang masih ada. Sehingga saya menyimpulkan itu telah menjadi tradisi. Saya berusaha memahami alasannya. Mungkin sulit mengumpulkan dana dari kalangan sendiri, atau juga sulit mendapat bantuan dari pemerintah jadi diputuskanlah untuk meminta sumbangan dari luar. Berpegang pada konsep menyumbang, apalagi menyumbang untuk pembangunan mesjid adalah pahala, maka cara-cara minta sumbangan di jalanan pun dilakoni.

Saya tidak mencela mereka yang meyakini hal itu. Tapi sepenuhnya hanya melihat dari ‘mata orang lain’. Terus terang saja saya pernah juga mendengar nada miring dengan kebiasaan sumbang-menyumbang ini. Seperti komentar, kenapa tidak menunda dulu pembangunannya kalau memang belum mampu, tunggu sampai dana terkumpul cukup, jadi tidak mengganggu orang lain. Ada komentar yang bunyinya lebih miring lagi. Saya tidak akan tulis. Tapi pesannyalah yang ingin saya sampaikan. Kenapa harus sampai meminta sumbangan di jalanan?

Saya mencoba menjawab ini. Ini opini. Saya pikir ini kembali ke masalah konsep tadi. Konsep bahwa menyumbang apalagi untuk pembangunan mesjid –rumah ibadah, adalah perbuatan yang menghasilkan pahala. Itu dari sudut pandang agama. Tetapi akibatnya itu menjadi budaya pada saat diterjemahkan dalam perilaku. Seperti contoh di atas. Budaya untuk sedikit-sedikit minta sumbangan. Ada perlu dana sedikit, tanpa memikirkan cara-cara yang lain lagi, langsung diputuskan untuk minta sumbangan. Sehingga tidak kreatif jadinya, dan tidak konstruktif.

Karena merupakan budaya, seiring dengan berlalunya waktu, selama pola pikirnya tidak berubah, akan tertanam kuat dan menjadi nilai-nilai. Community value. Sehingga hal itu menjadi biasa dan benar. Sangat disayangkan bila nilai-nilai ini menurun pada generasi yang lebih muda. Seperti yang saya tulis sebelumnya. Ke-tidak kreatifan-nya akan menurun, menjadi destruktif dan secara massa akan menjadi kemalasan umum. Saya tidak bisa menyebut istilah yang lebih tepat. Tetapi hal itu membuat masyarakat menjadi malas untuk berpikir dan menjadi kreatif. Dan kalau hal itulah yang menjadi nilai-nilai, tentu dapat berimbas pada hal yang lain, bukan?

Secara umum itulah yang senyatanya saya lihat. Tidak kreatif dalam segala hal. Mungkin apa yang saya tulis ini bunyinya pesimis. Tapi tidak, saya hanya menaruh perhatian saja. Tentu hal ini kembali pada masyarakat sendiri apakah memang ingin mempertahankan nilai-niali ini atau tidak.

Bagaimanapun seperti halnya banyak propinsi lain di Indonesia, Kalimantan Selatan menyimpan potensi yang besar untuk maju. Kekayaan alamnya yang sudah terbukti menarik banyak invenstor untuk mengambilnya, sungai-sungainya dan tradisi dan budaya yang hanya dimiliki oleh masyarakat yang hidup dan kehidupannya senapas dengan aliran sungai tentu merupakan aset yang luar biasa. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat bersama-sama dengan para pemimpin daerah mengarahkan pembangunan –manusia dan lingkungannya ke arah yang kondusif bagi kemajuan orang Kalsel sendiri.

Wednesday, September 14, 2005

Maknai Cinta

Cinta. Do you know what love is? Itu kata sebuah lagu. Sebenarnya siapa sih yang tahu persis apa arti cinta. Saya pernah membaca, bahwa ada perbedaan tingkatan antara nafsu, cinta dan kasih. Nafsu menuntut pemuasan, pemenuhan, dia menuntut. Cinta akan memberi, tetapi dia masih meminta imbal balik atas pemberiannya itu sebesar cinta yang diberikan atau lebih besar lagi. Sedangkan kasih hanya memberi, memberi, dan memberi…. Jadi cinta adalah nafsu yang telah berkembang, dan kasih adalah puncak dari cinta.

Bagaimana kita memaknai cinta? Dalam kehidupan sehari-hari cinta yang umum dikenal adalah cinta nafsu, atau paling tinggi cinta saja. Untuk waktu yang lama, pikiran dan perilaku orang tertanam dengan apa yang namanya ‘take and give’ – memberi dan menerima. Ya cinta itu tadi.
Dengan pola seperti itu gampang sekali memang untuk jatuh pada nafsu saja, tanpa cinta. Karena kita cenderung meminta (baca: menerima) hak saja dan melupakan kewajiban. Jadi kita meminta saja dan lupa memberi. Atau kita meminta atas nama cinta. Adalah tidak umum dengan konsep kasih, yang hanya memberi. Dalam bahasa kasarnya mungkin dibilang ‘tidak ada untungnya’.

Ketika berbicara tentang cinta, memang seharusnya tidak lagi berbicara masalah untung rugi. Tapi begitulah masalah orang dewasa. Grownups loves figures. Orang dewasa suka angka. Begitulah yang saya baca dari buku The Little Prince karangan Antoine de Saint Exupery. Dan ternyata memang begitulah adanya. Segala sesuatu dikalkulasi agar mempunyai makna. Sehingga dengan kebiasaan semacam itu sulit sekali untuk mengembangkan cinta menjadi kasih. Secara kalkulasi, memberi tidak ada untungnya kan?

Sayangnya kita lupa bahwa cinta bukan matematika.Yang akan berlipat dengan sebuah perhitungan atau meningkat secara kelipatan tertentu, secara matematis. Bukan juga suku bunga, yang jika ditanam ditempat-tempat tertentu akan memberi pengembalian yang tinggi. Tidak. Cinta tidak seperti itu. Tanamlah cinta dimana saja, tanpa kau menghitungnya, maka dia akan memberi keuntungan berlipat ganda, dengan suku bunga tak terkira.

Tentu saja besarnya keuntungan tidak dapat diukur dengan angka. Hanya dengan rasa. Dengan kondisi kita saat ini yang sulit ‘merasa’ sulit pula untuk ‘mengukur’ cinta. Itulah, lagi-lagi karena kebiasaan orang dewasa yang suka angka tadi. Rasa bukan angka ukurannya, hingga sulit diterima. Mungkin kita harus merubah paradigma kita tentang ukuran. Paradigma kita tentang apa saja, karena cinta meliputi segala sesuatu.

Bicara tentang cinta dan kesukaan orang dewasa pada angka. Saya teringat tulisan saya kemarin kepada seorang teman yang berbunyi, “Saya mencintai alam semesta, tapi saya tidak tahu menyampaikannya dalam bahasa manusia”. Saya menuliskannya. Tapi lama setelah itu saya termenung memaknainya. Saya tentu saja percaya pada apa yang saya tulis. Tapi apa gerangan yang saya tulis itu, apa maksudnya? Tulisan itu adalah pikiran pertama saya tentang apa yang saya rasakan. Saya perlu waktu lama untuk memberi alasan logis kenapa saya menulis seperti itu. Yah, saya sudah cukup lama menjadi orang dewasa untuk mempunyai kebiasaan buruk seperti itu.

Sekarang saya tahu kenapa. Saya mencintai alam semesta. Artinya saya mencintai seluruh isi dalam alam ini, hidup atau mati. Mungkin akan lebih mudah bicara yang hidup. Saya menyukai binatang, saya punya binatang piaraan. Saya mencintainya. Tanpa kata. Tanpa ukuran. Dan saya menerima kembali cinta dari mereka, lagi dan lagi, dan lagi. Saya menyukai tanaman. Banyak tanaman di halaman rumah saya. Yang liar ataupun yang sengaja ditanam. Saya mencintai mereka, tanpa kata, tanpa ukuran. Dan mereka membalas cinta saya dengan memberi, memberi dan memberi.

Saya mencintai manusia di sekeliling saya. Tanpa kata, tanpa ukuran. Dan mereka tidak tahu! Pada manusia saya harus menyampaikan dengan kata-kata bahwa saya mencintai mereka. Itupun belum tentu mereka percaya. Mungkin mereka bingung. Kok mencintai saya. Bukankah seharusnya mencintai pasangan saja, atau mencintai anak saja, atau mencintai orang tua saja. Itupun cintanya masih dibeda-bedakan. Cinta pada pasangan lain, cinta pada anak lain, cinta pada orang tua lain.

Manusia memang aneh. Membingungkan. Dan tidak punya rasa. Betul kata Antoine de saint Exupery. Grownups like figures. Semua dilogikakan, dibuatkan ukuran (by figures). Karena itu sulit sekali bagi orang dewasa memahami dan memaknai cinta, apalagi memahami kasih.

Jadi apa itu cinta? Saya tidak tahu. Tapi alam disekeliling saya ternyata tahu. Binatang piaraan saya tahu, tanaman saya tahu. Tanah, batu di sekeliling rumah saya tahu. Anak-anak tahu. Orang dewasa? Mereka tidak tahu. Dan malang bagi anak-anak yang berangkat dewasa. Dari tahu mereka menjadi tidak tahu lagi karena begitu dewasa mereka jadi suka angka juga.
Kelihatannya kita harus belajar kembali pada alam. Belajar memahami tanpa kata. Belajar diam. Cuma diam dan mendengarkan. Ah…. kita ini terlalu berisik, sampai tidak mendengar apa-apa. Terlalu berisik sehingga rasa cinta dari sekeliling tidak bisa sampai pada kita. Begitu berisik ngomong sendiri sampai tidak mendengar suara nurani kita. Padahal itulah sesungguhnya cinta, --bukan, itulah kasih.

Mungkin inilah kesulitannya dalam Bahasa Indonesia. Sampai saat ini saja, saya pribadi merasa risih dengan kata cinta karena pertama kali tahu makna cinta dari orang dewasa adalah bahwa cinta itu adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang diwarnai nafsu tentu saja. Jadi bila bicara cinta untuk hal yang lain, selalu terhambat oleh definisi nafsu tadi. Bayangkan saja, bila belum apa-apa sudah terhambat dengan definisi cinta, bagaimana cinta dapat berkembang menjadi kasih? Dengan usaha keras saya dapat membuang stigma itu.

Sekarang saya dapat dengan suka cita berkata “Aku mencintaimu alam semesta seperti aku mencintai diriku sendiri” tanpa merasa aneh dengan maknanya. Itulah yang saya lakukan setiap hari, keluar rumah, dan berkata “Aku mencintaimu alam semesta’.

Semoga semua makhluk berbahagia.­

Saturday, September 10, 2005

Moralitas dan Keagamaan

Akhir-akhir ini banyak sekali pihak yang membicarakan tentang moralitas. Kelompok yang satu mengklaim dirinya memiliki moralitas yang lebih baik dibanding yang lain. Sampai-sampai ada kelompok yang kesannya memaksakan moralitasnya pada yang lain. Hal ini membuat saya berpikir kembali mengenai moralitas.

Apakah sebenarnya moralitas itu? Siapa yang dapat menentukan moralitas seseorang? Parameter apa yang digunakan? Apakah agama, atau nilai-nilai yang dianut masyarakat? Darimana nilai-nilai yang dianut masyarakat itu? Sebagai hasil perenungan mendalam tentang kehidupan atau ada intervensi luar seperti, kembali lagi --intervensi agama? Apakah nilai itu baku? Kalau seseorang dikatakan bermoral baik menurut penilaian masyarakat apakah dia akan selalu berbuat baik? Kemudian apa pula yang dinamakan akhlak itu? Apakah akhlak sama dengan moral?

Akhlak = Moral
Menurut kamus Bahasa Indonesia, akhlak artinya kelakuan, tabiat, tingkah laku. Jadi akhlak yang baik berarti kelakuan, tabiat, atau tingkah laku yang baik. Sedangkan moral artinya akhlak atau budi pekerti. Jadi berdasarkan definisi ini akhlak sama dengan moral. Untuk selanjutnya saya akan menggunakan istilah moral.

Moral = Religi?
Seperti judul tulisan ini di atas, apakah moral sama dengan religi? Menurut saya tidak. Religi berarti agama, kepercayaan (akan adanya kekuasaan yang mahatinggi di atas kekuasaan manusia). Secara umum bila kita bicara tentang religi, itu berarti kita bicara tentang lembaga agama, bukan agama itu sendiri. Karena bila kita bicara tentang isi agama, tentang jiwa agama, maka kita akan menyebutnya spirituality. Spirituality atau spiritualitas diartikan sebagai bersifat rohani, kejiwaan. Jadi bila kita bicara ‘agama’, maka akan ada sejumlah perbedaan pada macam-macam agama yang ada, karena memang lembaganya berbeda, tata caranya berbeda. Tapi kalau kita bicara inti agama, inti sari spiritual-nya, maka semua akan sama. Sayang sekali banyak yang tidak memahami hal ini dan menyamaratakan antara spirituality dan religiosity.

Dengan pemahaman bahwa spritualitas sama dengan religiositas maka terjadilah kesalahpahaman di atas. Sama halnya seperti saat kita bicara budi pekerti (baca: moral) maka sepertinya selalu dikaitkan dengan agama. Padahal tidak begitu.

Budi pekerti adalah tingkah laku. Jadi seyogyanya dia tumbuh, lahir dari kebiasaan, adat istiadat yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, menjadi nilai-nilai umum yang berlaku dan berguna untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam masyarakat. Dan nilai-nilai umum yang berlaku itu umumnya sama dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama. Dari sinilah semua kerancuan ini bermula.

Pada akhirnya setelah melewati beberapa masa, nilai-nilai yang diajarkan agama ini bergeser menjadi apa saja yang dibawa oleh agama itu. Jadi bukan ‘isi’ atau ‘jiwa’ agama lagi yang dipakai tapi seluruh ‘tradisi’ tempat dimana agama tadi lahir. Tradisi ini yang kemudian diadopsi dan dianggap sebagai nilai-nilai, dan menjelma menjadi nilai-nilai agama. Dan itu terjadi pada hampir semua agama.

Kaum fundamentalis (penganut gerakan keagamaan yang keras dan fanatik serta reaksioner) berkembang, dan masyarakat mendua dalam kebingungan antara paham yang disebar oleh kaum fundamentalis, dengan kesadaran yang masih tersisa atas nilai-nilai budaya yang telah lebih dahulu dimilikinya.

Parameter Moralitas?
Adakah parameter moralitas? Saya yakin seharusnya tidak ada karena moral adalah hati nurani. Hati nurani sendiri, sejatinya adalah sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam diri setiap manusia. Tetapi sayangnya dengan latihan, kebiasaan atau kejadian yang berulang-ulang, hati nurani ini dapat dikelabui oleh akal pikiran. Jadilah hati nurani seseorang nilainya akan berbeda dari yang lainnya, karena perbedaan cara berpikir atau keyakinan.

Sedangkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, baik berasal dari kristalisasi pandangan hidup, budaya yang diwariskan leluhur ataupun yang diambil berdasarkan tuntunan agama, tetaplah bukan parameter satu-satunya. Lagi pula siapakah yang berwenang mengukur moralitas dan siapa yang diukur? Apakah mereka yang menentukan parameter tersebut sudah pasti mempunyai moral yang baik? Rasanya tidak, sangat sulit, selama kita masih disebut manusia. Kita punya kebiasaan buruk berlindung dibalik kata “khilaf” jika sewaktu-waktu melanggar parameter yang bahkan kita tentukan sendiri.

Tetapi yang kita lihat saat ini adalah betapa begitu mudahnya seseorang menghakimi yang lainnya, lembaga ini mengecam lembaga itu, atau kelompok ini mengharamkan yang itu. Apakah yang menjadi subjek sudah bermoral baik? Mungkin sudah, menurut ukurannya sendiri. Tapi apakah ukuran yang sama secara otomatis dapat diterima oleh yang lainnya?

Apakah dengan mengatakan orang lain tidak bermoral itu akan menunjukkan kita sudah bermoral? Pada saat kita mampu mengecam yang lain, pada saat itu pula kita menjadi tidak bermoral. Saat ini saya tidak bermoral karena juga mengecam kan? Sepenuhnya saya menyadari hal itu. Jadi mohon maaf, saya hanya berusaha menjelaskan pandangan saya.

Jadi kalau kita kembali pada pertanyaan di atas, apakah seseorang yang bermoral baik akan melakukan perbuatan yang baik, ya jawabannya bisa benar, dalam tanda kutip. Di luar tanda kutip jawaban itu tidak tepat karena siapakah yang dapat menilai dan menentukan moral yang baik itu? Apabila kita mematok moralitas berdasarkan nilai agama, agama yang mana, agama siapa? Jika kita memaksakan hal ini akan terjadi ketidakseimbangan, karena sifat masyarakat kita yang sangat beragam. Lagi pula pemaksaan adalah suatu tindakan tidak bermoral yang tidak diinginkan oleh siapapun, termasuk yang mematok moralitas. Alam selalu menuju keseimbangan, jadi sesuatu yang dipaksakan hasilnya akan tidak baik.

Saya tidak dapat mengemukakan seluruh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas secara lengkap. Saya tidak dapat membahasnya secara keilmuwan. Saya hanya berharap bahwa apa yang saya sampaikan ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Mari kita renungkan apakah kita cukup bermoral untuk mampu menilai moralitas diri sendiri maupun orang lain ?

Friday, September 09, 2005

Sang Keris

Saya punya teman. Dia suka keris. Koleksi tombak dan kerisnya banyak sekali sampai sekitar 400-an buah. Hebatnya dia ingat semua kerisnya dengan segala detilnya. Mata kerisnya bagaimana, dapurnya bagaimana, pamornya apa, luknya berapa, pokoknya apa saja tentang kerisnya. Kesimpulannya satu, dia cinta keris dan memandang keris itu sebagai sebuah seni, bukan seperti anggapan orang umumnya tentang keris, yakni klenik.

Bagi saya yang tidak begitu mengenal keris, saya memandang keris hanya sebagai salah satu senjata tajam. Itu saja. Tapi setelah saya bertemu dengan teman saya ini, barulah mata saya terbuka dan menyadari, keris lebih dari sekedar senjata tajam. Seperti halnya benda-benda lainnya, yang tajam maupun yang tidak tajam, keris punya sejarah sendiri, punya nilai tertentu, nilai tinggi yang sayangnya tidak dikenal orang banyak. Entah karena sejarah ke-ekslusifan-nya yang membuat keris dan pengetahuan tentang keris tidak terjangkau oleh orang banyak, atau kalau pada masa sekarang ini lebih tepat kalau dikatakan informasi yang lengkap dan mudah dipahami orang awam tentang keris nyaris tidak ada.

Tak kenal maka tak sayang. Melalui tulisan ini saya mencoba mengenalkan keris sebatas pengetahuan saya yang minim. Saya harap cukuplah untuk sekedar sekilas pandang bagi kita untuk mengenal keris.

Jika mengacu pada definisi kata, keris artinya senjata tajam berkelok-kelok (ada juga sih yang tidak berkelok) yang semakin ke ujung semakin lancip (biasanya ada sarungnya), atau juga didefinisikan sebagai senjata tajam khas Jawa. Meskipun informasi yang terakhir ini saya tidak yakin benar, karena saya menemukan keris juga dimiliki oleh orang-orang di luar Jawa dengan bentuk sedikit berbeda dengan sebutan yang berbeda juga, seperti yang saya tahu ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. (Sejak orang Jawa menyebar ke seluruh wilayah nusantara, kebudayaan yang dibawa oleh komunitas itu juga menyebar dan berasimilasi dengan budaya setempat, melahirkan bentuk budaya baru yang mengandung akar dari budaya asalnya. Mungkin dengan cara seperti inilah keris juga dikenal di luar Jawa). Tapi baiklah dalam tulisan ini saya mengacu pada keris sebagai senjata khas Jawa, yang dikenal hampir di seluruh kepulauan nusantara.

Keris ada bermacam-macam jenis. Seperti keris alang yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, keris sepukul yang bilah (mata keris) -nya lurus, keris sari atau keris parung yang berbentuk ular menjalar dan berluk (lekuk) sembilan, keris bahari yang bertuah karena diyakini ada roh penunggunya, keris pandak yang ukurannya agak panjang, keris sempana yang berluk ganjil, yaitu lima dan tujuh (dianggap mendatangkan rejeki dan keselamatan bagi pemiliknya), dan ada juga keris pendus atau keris cadangan.

Kalau kita masuk ke tiap bagian seperti ke bilah, dapur dan pamor keris maka maing-masing keris memiliki bilah, dapur dan pamor sendiri-sendiri. Bilah adalah mata keris dimana setiap bagian, pola, garis dan lekuk pada mata keris mempunyai sebutan sendiri-sendiri. Ada bagian yang disebut landep ngajeng, landep wingking, ada, gusen, kembang kacang, ganjah, peksi dan lain-lain, Saya harus menggambarkan keris untuk menguraikannya satu persatu.

Sedangkan dapur, atau bentuk keris ada yang lurus ada yang berkelok (luk). Umumnya orang mengenal keris yang punya luk (dapur luk), tapi keris luruslah (dapur lurus) yang lebih banyak ditemukan. Yang saya tahu ada sekitar 145 macam dapur yang telah diidentifikasi dan dicatat. Beberapa tipe dapur yang umum adalah Dapur Brojol, Dapur Tilam Upih dan Dapur Jalak Ngore.

Pamor berasal dari kata wor atau awor yang berarti campuran. Maksudnya adalah dari campuran bahan apa keris itu dibuat. Jaman dahulu orang yang ahli membuat keris disebut Empu. Para empu ini tahu bagaimana cara mencampur berbagai bahan (logam dan non logam) sehingga memunculkan pola tertentu pada keris yang kemudian disebut pamor tadi. Pamor digolongkan dalam 2 kelompok utama yaitu “Mlumah” rata/datar dan “Miring” vertikal. Contoh pamor mlumah adalah Kulit Semangka dan Beras Wutah. Sedangkan pamor miring contohnya Blarak Ngirid dan Ron Genduru.

Kalau dilihat dari sisi teknis, keris mungkin adalah senjata yang paling awal didesain secara ergonomis. Karena keris didesain pas ditangan untuk mendapat jangkauan terjauh untuk senjata sekelasnya dan mempunyai kemampuan membunuh dengan kekuatan minimum, dengan kata lain senjata yang sangat efisien.

Tapi harap jangan hanya dilihat dari sisi itu, karena keris juga dianggap sebagai sesuatu yang membawa keberuntungan, yang mengekspresikan budaya, sejarah dan seni orang-orang Melayu melalui masa Animisme, Hinduisme dan Islam. Keris adalah simbol karakter inti dari manusia : “perubahan yang tidak berubah”. Keris adalah sebuah karya seni dan sekaligus jimat budaya. Tapi begitulah, dia juga bagus untuk senjata.

Semoga apa yang saya tulis di atas dapat menjadi prolog bagi kita untuk lebih mengenal keris sebagai warisan budaya leluhur. Karena seperti yang sudah sering saya alami, setiap kali saya mencari tahu sesuatu tentang warisan leluhur kita, saya justru harus ‘bertanya’ pada orang luar bukan pada orang sendiri. Saya yakin sebenarnya kita tidak --belum kehilangan budaya leluhur. Hanya karena kebiasaan kita yang malas mendokumentasikan segala sesuatulah yang menyebabkan budaya warisan leluhur bisa hilang ditelan masa. Kemalasan itulah yang harus dihilangkan.

Dan saya harus berterima kasih pada teman saya itu yang secara tidak langsung telah membangkitkan kesadaran saya akan betapa indah dan betapa berharganya warisan budaya leluhur kita. Dalam kesempatan ini sekaligus saya mengajak anda untuk ikut serta. Dan kepada para pembaca sekalian, saya mohon maaf karena telah berani mengulas salah satu warisan budaya yang begitu sarat dengan pesan dan makna ini, dengan pengetahuan saya yang dangkal.
Terakhir, tulisan ini saya dedikasikan untuk teman saya, Mas Iwan Santoso Lolang-- , yang hari Minggu ini (11/09) melangsungkan pernikahannya. Selamat berbahagia.

Friday, September 02, 2005

Kampanye Yang Berestetika

Masih tentang Pilkada Samarinda. Kalau saya tidak salah akan diselenggarakan tanggal 19 September nanti. Dan mulai hari ini (1/9) saya mulai melihat lagi iklan calon-calon pimpinan daerah ini dimana-mana. Kampanye….. Tapi ada satu yang tidak menyenangkan di sini. Pemasangan baliho dan spanduk iklan itu sembarangan sekali. Mungkin pikir yang memasang, itu toh cuma dipasang sebentar, nanti dicabut lagi. Tapi bukan itukan masalahnya?

Masalahnya adalah, selama beberapa waktu pengguna jalan akan terganggu dengan kehadiran papan iklan yang bertaburan di sepanjang jalan seperti itu. Celakanya malah banyak papan iklan yang menutupi pandangan pengendara sepeda motor dan mobil ke arah rambu-rambu serta lampu lalu lintas. Selain berbahaya, kelihatan tidak estetis kan? Tidak indah kan?

Kejadian ini tidak cuma sekali ini saja. Pada masa pemilihan presiden dulu juga ada pemandangan pemasangan iklan yang menghalangi rambu-rambu lalu lintas seperti ini. Sekarang terulang lagi. Mudah-mudahan kelak tidak lagi. Itu masalah tempat memasang. Ada lagi masalah cara memasang yang nantinya setelah dilepas akan menimbulkan kotoran, bekas yang sulit hilang. Jadilah tiang lampu jalan yang tadinya bersih bercat jadi penuh bekas tempelan kertas kampanye. Dinding bangunan orang yang kelihatan kosong asal terlihat dari jalan tak luput jadi korban. Apakah setelah masa kampanye selesai para peserta kampanye bertanggung jawab membereskan kekacauan itu sampai sekecil-kecilnya sehingga keadaannya kembali seperti semula? Mengingat pengalaman yang lalu, sepertinya tidak.

Hal ini membuat saya berpikir dan bertanya-tanya, kenapa kita tidak pernah peduli pada kenyamanan orang lain? Hanya memikirkan tujuan diri sendiri. Kalau tujuannya sudah tercapai, ya sudah. Orang lain, ora urus!

Gambaran kecil mencerminkan gambaran besar. Hal sepele ini bagi saya mencerminkan kondisi masyarakat kita. Dan menurut saya sekali lagi itu berbahaya. Kita tidak punya kepedulian. Caring and loving. Tidak hanya kepada orang lain --manusia, tapi juga kepada alam –hewan, tumbuhan bahkan yang dikatakan benda mati seperti lampu di jalan, trotoar, tempat sampah, jalan raya itu sendiri, batu, gunung, sungai, ya semua di sekitar kita. Mengapa kita tidak bisa mencintai segala sesuatu di sekitar kita? Jawabnya karena kita tidak mencintai diri kita sendiri.

Anda mungkin bingung mengapa saya berkata demikian. Saya juga bingung –enngg, bagaimana menjelaskannya pada anda. Tapi saya akan coba jelaskan. Begini.

Pada saat kita dapat mencintai diri kita sendiri kita akan berlaku baik pada diri kita. Saat kita berlaku baik pada diri kita tanpa sadar kita menumbuhkan kesadaran akan keadaan diri kita senyatanya, apa adanya, tidak kurang juga tidak lebih. Kita akan menghargai diri kita sebagai manusia, kemudian selanjutnya kita akan mudah menghargai sesama. Saat kita dapat menghargai sesama, penghargaan kita akan menyebar ke alam sekitar kita. Mulanya hanya pada yang bernyawa. Tak lama kemudian kesadaran kita tumbuh lagi, meluas ke keseluruhan alam baik yang bernyawa maupun tidak. Yang tak bernyawapun kita perhatikan, kita pedulikan. We care, we do care.

Jadi cinta itu tumbuh dari dalam diri. Menyebar ke luar.

Mari kita ambil perupamaan, kita ibaratkan cinta, perhatian, dan kepedulian adalah mata uang. Jika kita hanya punya mata uang cinta, mata uang perhatian, mata uang peduli, maka mata uang itu juga yang akan kita gunakan. Mata uang itu juga yang akan kita berikan kepada siapa saja. Karena hanya itu yang ada di kantong kita. Tapi kalau yang kita miliki mata uang benci, mata uang masa bodoh dan mata uang tidak peduli, maka mata uang itu juga yang kita gunakan. Karena hanya itu yang kita punya. Jadilah yang kita berikan selalu mata uang tidak peduli, mata uang masa bodoh dan mata uang benci. Tapi kita bisa mengganti mata uang kita itu, kalau kita mau. Yang kita perlukan hanyalah kesadaran, sadar mata uang apa yang kita miliki, kemudian ganti dengan yang terbaik!

Sepertinya tulisan saya absurd sekali bagi sebagian orang. Mungkin ada di antara anda yang berpikir begitu. Tapi begitulah adanya.

Lalu kembali ke masalah iklan kampanye tadi. Itulah semua yang ingin saya sampaikan. Cobalah kita peduli pada lingkungan kita. Jadikan apapun kegiatan yang kita lakukan, sesederhana apapun seperti hanya memasang iklan, jangan sampai tindakan itu menimbulkan ketidaknyamanan, bagi orang lain dalam hal ini pengguna jalan dan bagi lingkungan, dalam hal ini taman di jalan, tiang lampu jalan, dan pihak ketiga, yang terkena imbas belakangan. Itu lho, mereka yang bertugas menata taman jalan supaya tetap rapi, bersih, tiang lampu jalan tetap utuh dan tidak coreng moreng. Kalau kita menjaga perilaku kita, kita akan meringankan beban mereka, lebih jauh lagi beban pemerintah daerah. Sayang kan, kalau PAD yang tidak terlalu besar itu habis hanya untuk memelihara sesuatu yang sebenarnya tidak perlu jika kita cukup bertanggung jawab dan menghargai segala sesuatu yang ada di lingkungan kita.

Wednesday, August 31, 2005

Formalisasi Syariat : Anti Demokrasi ?

Saya baru saja membaca berita, tepatnya tulisan dari seorang teman bahwa di kota Padang, diberlakukan pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005. Maksud perda ini jelas, setiap orang Islam wajib berbusana islami dan berjilbab, yang non Islam dianjurkan –pada prakteknya saya dengar juga ada kesan pemaksaan-- untuk juga memakainya. Ini satu hal.

Hal lain yang lebih dekat dengan kita di sini, yaitu Kabupaten Banjar. Di sana ada Perda Jum’at Khusyuk yang baru disosialisasikan pada masyarakatnya, dan sebelumnya juga ada Perda Ramadhan yang sudah dijalankan sejak tahun yang lalu. Dan sudah memakan korban.
Perda Jum’at Khusyuk katanya bermaksud untuk mendorong umat Islam melaksanakan ibadah sholat Jum’at di mesjid-mesjid dengan menciptakan ketenangan dan suasana batin yang khusyuk, juga untuk menciptakan rasa saling menghargai antara sesama umat seagama maupun antar umat beragama. Perda yang menurut saya isinya lucu, masak untuk bisa khusyuk beribadah orang lain yang disuruh tenang. Apakah pemerintah dan masyarakat Banjar, dalam beribadah sudah mencapai tahap ‘tertentu’ sehingga pikiran mereka begitu liar, sampai-sampai mereka tidak dapat melakukan ibadah jika ada kendaraan yang melintas di jalan raya? Lantas bagaimana tercipta rasa saling menghargai kalau orang-orang dipaksa harus melakukan sesuatu? Hal yang mungkin terjadi hanyalah timbulnya rasa ketidakadilan, keberpihakan dan bibit kebencian yang mulai bersemi di hati.

Sedangkan untuk Perda Ramadhan isinya tentang larangan makan minum termasuk merokok di tengah keramaian/tempat umum terbuka pada siang hari selama bulan suci Ramadhan. Berlaku untuk siapa saja (muslim/non muslim). Hebat bukan, siapa yang puasa siapa pula yang disuruh menahan diri. Puasanya enak betul ya? Kok tidak malu ya membuat peraturan seperti itu? Itu kalau diibaratkan, sama dengan cerita ini, ada anak yang belajar menyetir mobil dan akan tes menyetir mobil di jalan raya. Orang tua yang khawatir sekali dengan anaknya, tidak percaya dengan kemampuan anaknya, lantas menyuruh semua orang di jalan raya tanpa kecuali untuk minggir, mengosongkan jalan raya supaya jalanan sepi dan anaknya bisa menyetir dengan tenang dan lulus ujian. Lucu bukan? Dengan analogi yang sama begitu juga untuk kasus di atas.
Kalau tentang pewajiban jilbab kalau tidak salah juga diikuti oleh Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, dan yang paling dekat dengan kita adalah Kotamadya Bontang. Semua ini adalah formalisasi syariat Islam. Untuk melengkapi ironi di atas, masih banyak lagi daerah yang melakukan formalisasi Syariat Islam seperti itu dalam kadarnya masing-masing, diantaranya adalah Cianjur, Sukabumi dan Pamekasan.


Terus terang saya tidak suka membaca berita-berita semacam ini sehingga tidak pernah mengingat dengan lebih seksama mengenai dasar hukumnya. Reaksi yang timbul pada diri saya hanyalah rasa ngeri. Akan jadi apa bangsa ini? Kalau saya ingat, hal ini terjadi justru setelah reformasi, yang katanya mendorong tegaknya demokrasi, sehingga salah satu hasilnya setiap daerah berhak mengatur dirinya sendiri. Sayangnya beberapa daerah berkembang seperti di atas (menterjemahkan arti otonomi secara berlebihan?). Kekuasaan yang timbul akibat otonomi daerah kemudian sangat diwarnai oleh sentimen keagamaan sehingga mengaburkan kembali makna demokrasi tadi. Saya berharap sekali semoga jajaran pemerintahan dan anggota dewan yang terhormat, di Samarinda khususnya dan di Kalimantan Timur umumnya, cukup waras untuk tidak ikut-ikutan menetapkan aturan yang sangat bersifat provinsial, sangat berpihak dan sektarian seperti itu. Tolong diingat bahwa masyarakat kita sangat majemuk, jadi tidak pada tempatnya jika ada aturan yang hanya mengakomodir salah satu golongan saja.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja menulis tentang pluralisme. Indahnya persatuan dalam keberagaman. Betapa iklim demokrasi yang baik itu memerlukan semangat pluralisme yang baik pula. Tetapi membaca berita-berita ini sungguh sangat menyedihkan dan menciutkan hati nurani saya, sekali lagi.

Baiklah sekarang mari kita lihat kenapa hal semacam itu timbul dan tumbuh ‘liar’ dalam waktu singkat –dimulai sejak reformasi, jadi baru sekitar 8 tahun-- seperti ini. Sekali lagi seperti yang sudah sering saya tulis disini, saya orang biasa, jadi pembahasan inipun dari sudut pandang yang biasa saja.

Sederhananya, saya melihat perda-perda atau instruksi atau apapun dasar hukum sebuah formalisasi atau legitimasi syariat (Islam) seperti itu adalah kendaraan politik bagi penguasa. Saya yang sederhana ini tidak melihat itu sebagai suatu pandangan penuh semangat kebangsaan, atau semangat persatuan, atau semangat untuk mensejahterakan masyarakat, atau semangat untuk kemaslahatan umum –kalau saya tidak salah kutip kata—tetapi hanya untuk mengamankan posisi, bargaining politik, di atas sana. Mereka melihat siapa masyarakat mayoritas di sana, dan menggunakan itu sebagai tunggangan, yakin seluruh tindakannya akan di-amin-i karena semua orang toh masih gagap dengan warna demokrasi yang baru. Ceritanya mungkin seperti itu. Saya tidak tahu persis bagaimana permainannya, kelihatannya rumit, karena yang duduk di pemerintahan dan dewan kita yang terhormat (meminjam istilah yang digunakan Harry Roesli, alm) pastilah orang-orang pintar, yang terbukti bisa memelintir kata, melanggar hak azasi manusia tapi tetap dapat membuat khalayak mengangguk-angguk setuju tanpa suara karena takut dicap tidak taat pada penguasa, atau takut dibilang rendah kadar keagamaannya atau malah takut terdepak ke luar arena.

Padahal idealnya penguasa (=pemerintahan dan dewan yang terhormat) harus dapat memandang keseluruhan permasalahan yang dihadapinya dan terlepas dari kotak-kotak sempit yang mengurung keputusannya. Apapun judul kotak itu. Bukan malah menyediakan kotak-kotak baru, lebih sempit lagi. Dalam kasus di atas kotaknya adalah kotak agama.
Seharusnya keputusan yang dibuat itu mengakomidir kebutuhan seluruh elemen masyarakat, tidak bersifat khusus, sektarian, dan juga tidak mengikat tetapi membebaskan. Bebas dari apa? Bebas dari rasa tidak nyaman, tidak aman, tidak tentram.

Sekali lagi masyarakat kita majemuk. Jadi keputusan apapun yang diambil mengenai hal apapun haruslah keputusan yang tepat, adil, berimbang, dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Untuk itu kan kita memilih orang-orang pintar untuk duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat? Saya sangat yakin bahwa beliau-beliau yang duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat bukanlah sekumpulan orang idiot, yang sibuk mencari dalil agama untuk pembenaran tindakan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, berkerudung moralis berbasis fasisme. Bukan begitu.

Mengapa saya katakan fasisme? Praktek (pemberlakuan perda-perda diatas) semacam itu menurut saya adalah praktek pemerintahan yang diwarnai fasisme. Semangat otoriter. Demokrasinya mana? Sepertinya mereka blunder (maaf saya tidak menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia) sendiri dengan euforia demokrasi yang sedang bergulir sehingga menghasilkan perda-perda lucu semacam itu. Karena yang di atas blunder, masyarakat bawah yang waraspun jadi terpaksa blunder. Apa mereka sadar, kalau aturan-aturan itu hanya menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan mereka sendiri. Kalau mau dicarikan alasan yang lebih masuk akal, aturan-aturan tersebut bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, alinea ke-2 (tentang berperi kemanusiaan dan peri keadilan) dan ke-4 (tentang persatuan dan kesatuan, dan kehidupan sosial). Sekali lagi saya berharap kita di sini tidak ikut-ikutan blunder.

Sebentar lagi kita menghadapi pilkada. Saya berharap sangat, siapapun pemimpin Samarinda nantinya mampu melihat masalah ini dengan jernih. Mampu memahami, menterjemahkan, cerita di atas dan mengambil tindakan yang benar. Jangan sampai kecenderungan fasisme yang bernafsu untuk menyeragamkan dan mendisiplinkan corak berpikir dan bertindak dalam masyarakat merasuki para calon pemimpin kita nantinya. Seharusnyalah seorang pemimpin sensitif akan pluralitas masyarakatnya dan menghargainya.
Lagipula bukankah kecenderungan fasisme itu akan mengalahkan identitas ke-Indonesia-an kita yang bhinneka. Jadi tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena meng-atasi hukum di atasnya. Hukum Pancasila sebagai dasar negara. Yang sila keduanya mengatakan kemanusiaan yang adil dan beradab (bukan menurut ajaran agama tertentu). Fasisme itu bagi saya tidak berperikemanusiaan. Tidak menghargai manusia sebagai manusia tapi sebagai objek yang seragam, tidak boleh berpikir dan bereskpresi. Jadi bagi saya itu adalah pelanggaran, pelanggaran HAM. Dan adalah salah apabila sebagai warga negara saya hanya berdiam diri, jika penguasa mengarah pada tindakan yang tidak benar seperti itu.
Harapan saya yang lain adalah untuk kita semua memahami dengan jelas apa demokrasi itu. Tidak hanya di mulut, tapi di hati. Sehingga kita tidak cuma bisa berkoar-koar tentang demokrasi tapi juga diwujudkan dalam tindakan. Saya tahu biasanya orang lain itu cuma pintar mengkritik, tapi tidak pandai mengerjakannya sendiri. Mungkin saya termasuk orng yang seperti itu. Tapi saya yakin orang-orang pilihan kita di jajaran pemerintahan dan parlemen tidak begitu.

Untuk itulah artikel ini saya tulis. Semoga anda membaca tulisan saya, dan kita semua dapat sepaham bahwa seperti tulisan Franz Magnis Suseno dalam Kompas (31/08) hari ini, mengutip ucapan Nurcholish Madjid, bahwa suatu agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi menjadi ‘aparat’ kekuasaan negara. Peran agama adalah sebagai pembawa nilai-nilai, sebagai suara profetis yang menagih kemanusiaan, kejujuran, keadilan, solidaritas yang tidak membiarkan pragmatisme politik melindas harkat moralitas. Begitulah.

Seandainya para pemimpin kita, ditingkat lokal dan tingkat pusat, adalah negarawan sekelas Cak Nur almarhum, tentu saat ini kita sudah merasa aman tentram dan nyaman. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran dalam melakukan pekerjaan, dalam kehidupan sosial dan dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat yang berbeda suku, agama dan golongan.

Jadi, mengapa kita sekarang tidak mencoba berubah, dan sekaligus menyiapkan kondisi agar kita dapat melahirkan generasi baru yang lebih terbuka, humanis, pluralis serta demokratis.

Monday, August 29, 2005

Quo Vadis Demokrasi Indonesia

Kemarin saya ngobrol dengan teman saya tentang luasnya penggunaan kata iler dan ngiler. Menurut teman saya, iler artinya adalah air liur yang menetes tanpa disadari, umumnya terjadi ketika sedang tidur pada posisi tertentu. Sedangkan ngiler adalah 1. proses berlangsungnya keluarnya iler 2. keinginan yang luar biasa untuk memiliki sesuatu. Jadi kalau seseorang sedang tidur, kemudian ada air liur yang keluar dari sudut mulutnya itu pasti iler, dia sedang ngiler. Tapi kalau orang melihat wanita cantik kemudian mulutnya membuka dan tidak sadar sekelilingnya lagi, itu ngiler, tidak selalu disertai iler. Lalu kalau ada sekelompok orang berkelahi untuk memperebutkan kursi, pastilah mereka semua sedang ngiler ingin duduk di kursi itu. Dalam hal ini mereka malu kalau ilernya sampai kelihatan.
Lalu apakah ada hubungan antara iler, ngiler dan demokrasi? Tidak ada, saya cuma mau cerita kok.

Lalu kenapa saya ajukan pertanyaan di atas ? Mari kita lihat. Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, telah dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang dianut berubah-ubah sesuai wajah parlemennya. Sampai pada yang terakhir ada istilah demokrasi Pancasila. Demokrasi model itulah yang saya ingat sampai sekarang Waktu saya sekolah dulu saya hapal dengan istilah itu meskipun tidak tahu persis bagaimana cara kerjanya. Saya hanya tahu bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas berdasarkan pada Pancasila. Dulu saya berpikir bahwa saya mengerti sekali tentang demokrasi Pancasila ini. Saya hapal diluar kepala. Tapi sekarang, terus terang, apalagi setelah reformasi, dan katanya Indonesia telah lebih demokrasi, saya jadi tidak mengerti apa yang dimaksud demokrasi sesungguhnya. Jadi seperti biasa. Saya kembali ke buku sakti saya. Kamus Bahasa Indonesia.

Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan yang segenap rakyatnya turut serta memerintah melalui wakil-wakilnya di parlemen. Arti yang lain adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama terhadap setiap anggota masyarakat sebagai warga negara.

Pada era sebelum reformasi dulu, katanya demokrasi tidak dijalankan penuh karena meskipun ada wakil rakyat yang duduk di parlemen, tapi suara rakyat ‘diarahkan’ ke hasil tertentu. Ingat, namanya kan khusus, demokrasi Pancasila. Meskipun seyogyanya tidaklah begitu. Setelah reformasi semua terbuka. Semua orang menuntut untuk diberi hak (sayang kewajibannya sering terlupakan) dan perlakuan yang sama. Wakil-wakil rakyat dipilih secara lebih demokratis, karena dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan presidennya pun dipilih langsung. Mungkin dari sisi pemerintahan (=politik) saya sebagai orang awam melihat, yah demokrasi sudah dijalankan secara lebih tepat seperti definisinya.

Bagaimana dengan sisi-sisi kehidupan lainnya? Bagaimana pengaruh demokrasi dalam kehidupan berbangsa, kehidupan pers dan media, kehidupan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat kita? Hmm, perubahan sistem demokrasi dapat dikatakan juga berimbas pada semua sisi kehidupan. Saya juga tidak tahu apa sistem demokrasi kita sekarang punya nama baru, atau sedang mencari bentuk, kelihatannya sih seperti yang saya sebut terakhir ini. Mengapa? Karena kita semua gelagapan dengan alam demokrasi yang baru ini. Kalau tidak ingin dibilang nyaris tenggelam (kebablasan?).

Mari kita lihat satu-persatu. Pertama kehidupan berbangsa. Kita bangsa Indonesia yang merdeka. Saat ini para wakil rakyat dan orang-orang yang duduk di atas sana, sedang mencari formula yang tepat untuk kehidupan berbangsa. Begitulah pemahaman saya yang sederhana ini. Kita serba ragu. Tidak punya pendirian. Tidak punya sikap. Di bawah pemerintahan yang lebih demokrasi ini rasa kebangsaan kita digugat, dan semua bingung bagaimana harus bersikap. Mari lihat kasus Timor, Aceh, pulau Sipadan, dan sekarang yang masih hangat Ambalat. Saya sebagai bagian kecil sekali dari rakyat Indonesia tidak bisa melihat dengan jelas kemana sih Indonesia mau di bawa? Saya merasa tidak aman. Kelihatannya sewaktu-waktu kedaulatan Indonesia bisa digoncang, entah dari dalam, entah dari luar. Bagaimana sikap pemerintah, apa yang akan dilakukan? Kedua kehidupan pers dan media. Semua orang bersorak, akhirnya kungkungan lepas. Sekarang semua bisa bersuara bebas, mengeluarkan pendapat, ide dan kreasi, bahkan sampai lupa diri. Semua informasi yang tadinya hanya beriak di bawah sekarang naik ke permukaan. Bebas lepas tanpa saringan. Sayangnya juga sering tanpa tanggung jawab. Tidak ada yang peduli dengan akibat yang timbul dari apa yang ditulis, diungkap, ditayangkan, disiarkan.

Apakah keadaan seperti itu yang dimaksud dengan kebebasan pers dan media ? Mestinya, setelah puluhan tahun terkungkung, kita juga sadar dan mengerti bagaimana kebebasan yang bertanggung jawab itu. Yah, setidaknya informasi yang disampaikan tidak bias, informasi yang sebenarnya tidak bercampur dengan gosip, informasi kejadian nyata tidak dicampur dengan yang fiktif, materi dewasa tidak dicampur dengan materi untuk anak-anak. Misalnya saja, sekarang hampir semua stasiun TV menyiarkan acara yang pemeran utamanya adalah hantu. Untuk urusan ini terkadang dilakukan siaran langsung. Tapi apakah informasi yang disampaikan benar? Dapat dipertanggung jawabkan? Dapat dibuktikan? Atau, apakah masayarakat kita memang suka pada informasi yang bias, yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya?

Memang, tentang urusan berita ini tidak melulu menjadi tanggung jawab pers dan media. Bagaimanapun masyarakat juga dituntut untuk lebih dewasa dalam berpikir agar dapat memilih dan memilah informasi yang diterima. Untuk menjadi dewasa kita memang perlu waktu, baik itu pihak pers dan media, masyarakat dan juga pemerintah.

Ketiga, kehidupan kebudayaan. Demokrasi berarti juga kebebasan informasi. Saking bebasnya, semua informasi dan budaya dari luar hampir seluruhnya terserap ke sini. Sebenarnya bukan seluruhnya terserap. Yang terserap sebagian saja, tapi kebudayaan kita sendirilah yang tenggelam. Jadinya yang terlihat hanya budaya dari luar atau budaya kontemporer saja. Mana budaya warisan leluhur? Kalau ada yang membicarakannya paling-paling dianggap kuno, tidak modern. Lucu sekali. Sampai saya membayangkan kelak kita harus belajar kebudayaan Indonesia dari orang luar yang mempelajari budaya Indonesia. Sementara anak negeri lebih suka budaya impor untuk mengejar prestise yang entah bagaimana diasosiasikan dengan dunia di ‘luar’ sana . Kata orang itulah budaya massa. Sekali lagi itu pengaruh informasi yang bebas diberi dan diterima. Kita memang tidak bisa menghalangi kemajuan semacam ini, tapi bagaimana agar kita bijak menyikapinya?

Keempat, kehidupan sosial masyarakat. Apa yang bisa saya tulis disini? Masyarakat berubah seperti halnya kehidupan yang setiap harinya terus berubah. Saat kita membicarakan sosial masyarakat, hal itu tidak terlepas dari pengaruh informasi dan kebudayaan. Perubahan informasi mengubah pola sosial masyarakat. Sekarang masyarakat lebih kritis, lebih pintar --walau banyak yang kelihatan apatis, lebih terbuka, dan lebih konsumtif. Karena lebih konsumtif, lantas masyarakat kita jadi tidak kreatif untuk berinovasi dan akibatnya jadi tidak produktif.
Jangan lupa, para pelaku, pemeran utama baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya kita umumnya masih didominasi oleh orang-orang produk dari orde baru. Tidaklah mudah bagi mereka untuk mengubah pola yang telah lama terbentuk menjadi perspektif baru yang sesuai dengan perubahan yang serba cepat. Sedangkan mereka yang lahir mulai tahun 1980-an masih dapat dikatakan sebagai fresh brand new, yang tidak terlalu paham (atau tidak peduli?) akan carut marut kesulitan yang dihadapi oleh bangsa yang sedang menggeliat mendapat kebebasan baru ini. Diluar kedua kelompok itu masih banyak orang-orang seperti saya yang terbengong-bengong melihat perubahan jaman. Kadang terhipnotis dengan kenyamanan masa lalu tapi juga bergairah mengharap hal yang baik akan datang di dalam perubahan.
Lalu akan kemana kita di bawa?

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah buku yang aslinya dalam bahasa Itali berjudul Va dov’e ti porta il cuore – pergilah kemana hati membawamu. Ah seandainya semudah itu jugalah kita bisa menjawab masalah bangsa ini. Teman saya di atas bilang, apa yang saya tulis ini terlalu berat untuk saya tuangkan, karena saya tidak menguasai bidang ini. Saya setuju dengannya. Tapi saya tak setuju untuk tidak menulisnya. Dan inilah yang tersisa, hanya pertanyaan, apakah hubungan iler dengan demokrasi? --Oh bukan, bukan, maafkan pikiran saya yang sederhana ini jadi melantur. Maksud saya, benar topik ini terlalu berat, mari kita kembali ke permasalahan. Jadi akan kemana kita di bawa? Demokrasi macam apa yang kita inginkan, yang cocok dengan jiwa bangsa kita? Mari kita renungkan bersama.

Thursday, August 18, 2005

Tanggung Jawab

Akhir-akhir ini kembali marak berita masalah makanan yang diberi formalin sebagai pengawet. Sebelum ini, mungkin 6 – 7 tahun yang lalu yang diberi pengawet formalin ini adalah bakso. Sekarang tahu dan ikan. Bayangkan !

Berita yang lain adalah adanya praktek penjualan obat bekas. Bekas dalam arti sisa obat yang tidak terpakai padahal si pasien sebelumnya sudah menebus obat itu dalam jumlah cukup banyak. Sisa obat semacam itu biasanya dibuang, setelah dibuang dipungut oleh pemulung, kemudian oleh pemulung dijual (ternyata ada penadahnya). Kemudian terakhir obat itu dijual kembali kepada masyarakat, bahkan dengan harga yang sama dengan obat baru. Yang lebih membuat merinding adalah beberapa dari obat ‘daur ulang’ itu ada yang sudah kadaluarsa – pun tetap dijual setelah “dipermak” tanggal kadaluarsanya.

Sebelum ini ada juga masalah jamu yang diberi zat additif sehingga memberi efek penyembuhan yang luar biasa pada peminumnya – untuk jangka pendek. Bagaimana untuk jangka panjang? Entahlah, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, entah bagaimana penyelesaiannya. Yang kita tahu adalah sekarang sudah aman, badan yang terkait sudah melakukan penarikan produk yang bermasalah, melakukan pemeriksaan, test dan sebagainya pada produk baru. Hasilnya, kini jamu yang beredar sudah aman.

Tetapi dari apa yang terjadi ini seyogyanya kita bertanya-tanya ‘ada apa dengan masyarakat kita?’ Sedemikian parahnyakah penyakit sosial di dalam masyarakat – di antara kita sehingga kita sama sekali tidak punya kepedulian pada yang lain. Untuk keuntungan sesaat kita berlomba-lomba mencari keuntungan dengan cara apapun! Pokoknya menghalalkan segala cara, tidak peduli tentang kesehatan, tidak peduli dampak apa yang bisa terjadi kemudian, tidak peduli tentang aturan, yang penting dapat untung.

Saya akan menyimpulkan segala kejadian di atas dalam satu kalimat saja. Kita tidak bertanggung jawab. Kita tidak bertangung jawab pada orang lain, pada lingkungan kita bahkan kita tidak bertanggung jawab pada diri kita sendiri. Melihat begitu banyak kejadian, begitu banyak upaya mencoba, satu gagal - ketahuan, coba lagi yang lain, gagal yang ini, coba lagi yang lain. Artinya kita tidak jera. Mengapa tidak jera ? kita tidak bertanggung jawab. Mengapa kita tidak bertanggung jawab?

Nah, sampai disini akan panjang jawabannya. Ada yang memandang dari sisi ekonomi, ada dari sisi sosial, budaya. Ada banyak orang pintar di negeri ini yang dapat merumuskannya. Akan memakan berlembar-lembar hasil pembahasan, tulisan, uraian, diskusi dan sebagainya sampai kita tidak tahu lagi, kita lupa apa pokok permasalahannya.

Dan saya disini tidak untuk membahas itu.Saya hanya akan membahasnya dari sudut pandang saya. Seorang rakyat biasa dengan pikiran yang sederhana.

Kita tidak bertanggung jawab karena kita tidak pernah diajar untuk bertanggung jawab. Beberapa contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari : orang tua umumnya masih merasa bertanggung jawab terhadap anaknya bahkan saat si anak sudah menginjak usia dewasa, sudah bekerja bahkan kadang-kadang sudah menikah. Kita dapat dengan mudah menyalahkan sistem, peralatan atau lingkungan yang buruk untuk menghindarkan tanggung jawab apabila kita melakukan kesalahan. Kita bahkan sering berdalih dengan kalimat “tergoda syetan” untuk membenarkan tindakan salah yang telah kita lakukan. Kita tidak pernah diajar untuk berkata,”Ya ini kesalahan saya, saya bertanggung jawab atasnya dan saya akan memperbaiki kesalahan itu” dan kita tidak pernah diajar juga untuk menepati apa yang kita katakan. Betul-betul menepati apa yang kita katakan. Say what you mean and mean what you say, kata orang sono.

Tapi kita juga bisa jadi orang sini dan mengatakan hal yang sama. Katakan apa yang sesungguhnya kau maksudkan dan sungguh-sungguhlah dengan apa yang kau katakan.
Yang kita perlukan cuma satu – oh, dua. Hati dan pikiran yang terbuka serta kemauan kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Saya ingin berubah menjadi lebih baik, lebih bertanggung jawab. Dan saya mengajak Anda semua untuk ikut bersama saya. Bayangkan bila tiap dari kita melakukannya maka kita akan dapat mengubah wajah lingkungan kita menjadi lebih indah dan menyenangkan.