Tuesday, December 02, 2008

Caleg...caleg.....

Ih... aku lagi sebel sama caleg-caleg yang bakal maju pemilu April 2009 mendatang. Bukannya apa-apa. Aku kebetulan kenal satu dua orang dari mereka, lantas mereka membawa lagi satu dua orang temannya lagi, jadi begitulah tambah lama tambah banyak dan tambah bingung aku melihatnya.

Ceritanya aku punya toko, teman dekatku punya usaha design kartu nama, stiker, sablon spanduk etc dan numpang tempat sama aku. That's fine. Aku juga yang nyuruh dia mangkal di situ. Aku senang sampe sini. Kemudian temanku yang lain lagi ternyata mengajukan diri sebagai caleg dan pesan kartu nama, stiker, pamflet etc sama teman dekatku tadi. Senang dong....? Iya. Aku senang teman dekatku dapat orderan, teman dekatku senang karena dapet kerjaan. Jadi bagian nggak senangnya dimana?

Di sini nih.... temanku yang order tadi, entah merasa teman entah gimana kalo lagi pesan kartu nama tu ditungguin.... sambil minta ini itu, rubah design begini begitu (walaupun hasilnya malah jadi rada 'ajaib' menurutku)sambil bawa teman-temannya, lantas menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol ngalor ngidul ndak keruan (menurut mereka sih keruan). Kadang malah sampai tutup toko. Nah aku yang nota bene empunya toko malah sering mau duduk aja nggak bisa di tokoku sendiri. Coba bayangkan! Kesel nggak?

Eh .... temenku caleg ini tadinya nggak gitu lho... atau aku aja yang nggak terlalu kenal kali ye...Hanya saja jeleknya aku jadi mengambil kesimpulan buruk. Apakah para caleg yang nota bene para pemain politik (politikus) ini emang pada nggak punya etika ya? Atau karena situasi hari-hari yang mereka hadapi bahkan pada masa-masa kampanye seperti sekarang ini yang membuat mereka nggak punya etika (lagi)?.

Aku nggak tahu. Tapi kadang-kadang kalo sudah ngeliat tokoku dipenuhi manusia-manusia politik ini bawaanku mau marah aja...!

Lebih nggak asik lagi, sekali-kalinya ku ajak mereka berpikir misalnya gimana nih caranya kita mendokumentasikan kebudayaan asli seperti budaya tutur Dayak yang hampir punah tergerus modernisasi dan agamisasi (wuah... bahasa mana ini?)--karena banyak dari mereka para caleg itu yang putra Dayak... eh jawabannya sama sekali nggak praktis, di awang2 yang entah bagaimana urutan pengerjaannya seandainya juga dikerjakan, nggak tahu, nggak jelas, sampai di mulut doang. Tidak ada yang tergerak. Lha kalo caleg-calegnya begini...gimana dong?

Belum lagi kalau kita lihat spanduk-spanduk kampanye para caleg yang seperti iklan konser artis itu, wajah caleg yang muda-muda, kinyis-kinyis baru tamat sekolah apa ya ngerti dunia? atau yang wajahnya udah wajah kolusi duluan? (Halah.... aku kan juga cuman omong doang...!)

Kesimpulannya setelah suka maupun tidak suka aku terpaksa konek dengan para caleg-caleg ini aku bisa bilang aku tambah nggak suka dengan politik. Penuh intrik, basa basi busuk. Omong doang. Ah sudahlah... tempatku bukan di situ. Tapi memang harus ada orang-orang seperti mereka, yang tahan omong doang. Cuma sialnya sekarang ini orang yang seperti itu KEBANYAKAN!

Tapi aku yakin, neraca keseimbangan akan bergeser lagi mencapai posisi setimbangnya, jadi yah.... wait, patient, wait....wait....wait..... if it's still the same.... then take an action!

Thursday, October 30, 2008

Malas....

Aku malas sekali menulis sekarang. Aku tidak punya sesuatu lagi untuk dituliskan. Aku masih menulis lagu, masih membuat puisi, masih melukis. Tapi tidak intens. Apa yang terjadi denganku?

Yang pasti aku mengalami transformasi diri yang luar biasa masa-masa sekarang ini. Mungkin itu juga yang begitu besar menghabiskan energiku. Jadi aku tidak punya energi untuk hal-hal yang lain lagi.

Aku tidak lagi terganggu dengan keadaan sekelilingku meskipun aku tidak tahu pasti ini suatu kemunduran atau kemajuan. Mungkin maju mundur itu tergantung dari sudut mana kita memandang. Karena secara spiritual aku merasa mendapat kemajuan yang luar biasa, tetapi secara sosial mungkin ini kemunduran yang amat sangat juga.

Jadi... aku merasa aneh saja waktu mengunjungi blog-blogku dan mendapati tidak satupun ada postingan yang baru.

Aduh..aduh... pemalasnya aku sekarang....

Friday, May 16, 2008

Pengayak Tanah

Di depan kantorku (atau gudangku) tempatku bekerja ada pergudangan lainnya yang menjadi distributor makanan anak-anak seperti chiki, jets, ……………sarimi. Apabila makanan-makanan itu mendekati kadaluarsa, atau sudah kadaluarsa akan ditarik dari toko-toko, ditumpuk, dibakar sambil difoto (ini sih buat laporan resmi bahwa barang kadaluarsa sudah dimusnahkan!). Proses pembakarannya ya di halaman gudang itu. Baunya jangan tanya, seperti (maaf) bau tahi kucing! Pokoknya membuat polusi udara.

Kadang-kadang aku dan teman-temanku ingin protes ke gudang seberang ini. Tapi bagaimana ya, gudangnya gudang mereka, tanah tanah mereka, yang dibakar barang mereka, tapi mereka lupa, udaranya ini udara bersama. Jadilah para tetangga ikut menikmati aroma tak sedap yang menguar hampir setiap hari dari hasil bakaran mereka.

Tapi aku tidak ingin bercerita tentang polusi udaranya. Yang ingin kubagi adalah cerita tentang seorang laki-laki pemulung tanah yang setia setiap hari, memilah sisa sampah bakaran, mengayak tanah, hingga diperoleh tanah hitam bercampur arang bakaran yang halus. Tanah itu dimuat didalam karung-karung kecil siap dicampur dengan kotoran-kotoran ayam, sapi yang sudah dibakar juga hingga kering, dan jadilah tanah untuk media tanam dengan harga per karung umumnya Rp. 10.000,-.

Aku selalu merasa senang melihat laki-laki itu bekerja. Dari jam 8 pagi hingga tengah hari, (hei jangan kira aku melongo di dekatnya memandangnya. Tapi ya….aku sering melamun memandanginya dari jendela kantorku sampai lama, merenung-renung….),--karena biasanya gudang depan itu mulai menumpuk barang rusaknya mulai tengah hari dan membakarnya menjelang sore. Bila aku bertanya pada diriku sendiri apa yang membuatku senang melihat laki-laki itu bekerja, aku tidak tahu jawabannya. Tapi suamiku bilang aku senang karena aku melihat harapan, cinta dan kerja keras di sana. Usahanya itulah yang kuhargai. Dan kurasa suamiku benar.

Pekerjaannya sih biasa. Rendahan, kotor --menurut ukuran orang kantoran sepertiku. Tetapi aku merasa pekerjaannya berberkat. Dia mendapat untung dari kerja kerasnya mengumpulkan tanah bakaran, mengumpulkan kotoran, dan menjadikannya media siap tanam yang diperlukan orang-orang kota seperti aku. Yang tinggal berdempet-dempet dengan rumah tetangga, tak punya pekarangan, tapi ingin bertanam-tanam di pot. Ingin hijau-hijauan yang hidup, bernapas dan memberi energi. Untuk kenyamanan orang kota yang malas dan pandai mencari pembenaran tentang sempitnya lahan yang dimiliki.

Yang punya gudang juga merasa untung karena sisa bakarannya bersih lagi setelah diambil oleh pengayak tanah itu. Mereka siap membakar makanan kadaluarsa selanjutnya. Seandainya tidak ada orang yang bersedia mengerjakan hal-hal rendahan dan kotor? Bagaimana?

Aku bahagia melihat sang pengayak tanah ini. Lebih berbahagia daripada melihat spanduk-spanduk calon pemimpin yang ingin bertarung dalam pilkada mendatang. Selain bisa membuat pusing karena terus-menerus membaca janji-janji palsu juga mengakibatkan rawan kecelakaan (sueer.. temanku hampir jatuh dari motornya gara-gara tiang spanduk yang dipasang di tepi jalan tiba-tiba ambruk ditiup angin dan nyaris menimpanya). Lebih bahagia daripada melihat iklan-iklan apartemen atau rumah mewah di TV yang dengan berapi-api menerangkan bahwa lokasi mereka bebas banjir (sampai berapa lama bebasnya?). Lebih bahagia daripada aku menerima gajiku sendiri sebulan hasil duduk-duduk, berpikir sedikit, bicara sedikit, dan menulis uneg-uneg banyak di komputer seperti saat ini.

Bagaimanapun, aku bahagia untuk sang pengayak tanah itu. Dan aku bahagia bahwa aku masih bisa merasa bahagia. Apapun alasannya.

Samarinda, 16 Mei 2008

Pak Tua Petaniku

Di pinggir jalan raya menuju tempat kerjaku, ada tanah kosong dengan ukuran sekitar 300 m2. Tanah itu mungkin ada yang punya. Mungkin. Karena aku tidak pernah bertanya. Tapi karena belum digunakan, oleh penduduk sekitar tanah itu diolah, ditanami pohon katu, pepaya, terung asam, cabe. Berganti-ganti. Sudah pernah panen cabe kelihatannya, dan sekarang hampir panen pepaya. Sementara terung asam dan pohon katu di tanam disela-sela tanaman utamanya.

Bapak Tua yang sama selalu kulihat setiap pagi, mencangkul membalik tanah, membuat tegalan. Urat otot tangannya liat menggerakkan cangkul dengan kulit terbakar matahari. Usianya mungkin menjelang 50-an. Garis-garis keras sekaligus damai tergurat di wajahnya. Aku merasa sangat senang dan bahagia melihat dia bekerja. Entah mengapa. Dialah sang petani kota. Memanfaatkan apa yang ada untuk kecintaannya.

Aku pernah bertanam juga. Hanya bertanam singkong yang paling mudah tumbuhnya karena sejak kecil aku yakin aku tak pandai bertanam-tanam. Nyatanya saat itu aku berhasil. Dan aku sangat bahagia menyaksikan tanamanku tumbuh besar, berbuah. Dan kebahagiaanku berlipat-lipat saat memanennya. Sehingga aku dapat merasakan kebahagiaan yang sama, yang sedang dirasakan oleh Pak Tua, petani kotaku ini.

Oh oh… inilah kecintaan para petani pada tanahnya. Kecintaan yang jaman ini banyak direbut oleh penguasa atas nama pembangunan, oleh pedagang atas nama pembukaan lapangan kerja, yang semuanya hanya mencari uang belaka. Petani-petani tergusur ke kota. Mencoba peruntungan menjadi buruh harian, terjepit kebutuhan siang dan malam. Dan mencari bahagia dan cintanya pada sepetak tanah (yang sementara tak berguna) walau tidak untuk selamanya.

Pohon cabe rapi di tanam di tegalan itu dan menjelang panen warna cabe yang merah cerah membuat hatiku turut senang dan sanggup sejenak melupakan bahwa disekitarku ini sebenarnya adalah kawasan pergudangan dengan bangunan seperti balok-balok dengan tiang-tiang baja suram. Sepetak tanam-tanaman itu sanggup meneduhkan hatiku. Saat aku menulis ini Pak Tua itu baru akan mengakhiri panen pepayanya. Dia sudah merapikan tegalan lagi, untuk tanaman berikutnya. Aku ikut menanti, apa gerangan yang akan ditanamnya lagi.

Sebenarnya tidak hanya di sepetak tanah itu saja. Di pinggiran jalan sepanjang blok-blok pergudangan ini (kalaupun itu bisa disebut jalan, karena di beberapa blok ‘bekas’ jalan malah lebih mirip kali kecil yang kering, maklumlah pemerintah memang selalu pintar melokalisasi kawasan pergudangan, tapi tak pintar mengelola lokalisasi itu kalau tak menghasilkan uang nyata ke dalam kantong mereka) --yang lokasinya dekat dengan rumah penduduk pun ditanami oleh mereka. Ada daun mangkokan, tebu, sereh, laos, terung ungu, labu kuning, labu siam, jahe, kunyit selain cabe dan katu. Sementara di sepanjang tepi jalan menuju kantorku (atau gudangku ya?) ditanam pohon turi rapi berjajar, yang bunganya secara teratur dipanen oleh –mungkin keluarga Pak Tua itu. Pohon turi mungkin sengaja di tanam, tetapi bumbu dapur seperti jahe, kunyit, sereh, laos, ketela rambat…..Aku sering berpikir sepertinya mereka itu hanya melempar cabe busuk, terung busuk, melempar jahe dan kunyit kering (seperti yang biasa kulakukan juga dirumah), dan …….voila!, tanaman itu tumbuh. Sungguh!

Aku sering menyayangkan lahan yang subur begini ditimbun semen cor-coran untuk pergudangan. Setiap hari dilewati truk-truk dari kecil hingga besar. Container-container dan truk bermuatan 35 ton yang mengangkut bahan kimia untuk pupuk, semen, kayu, tegel, bahan makanan dan bahan peledak. Mobil-mobil angkutan. Kendaraan para karyawan. Debu-debu yang berhamburan. Banjir yang seperti arung jeram (jangan heran kalau ada arung jeram di kawasan pergudangan saat musim hujan yang hampir sepanjang tahun ini berjalan. Ini beneran! Lagi-lagi karena perencanaan pembangunan yang tak matang, tak berkesinambungan, tak peduli orang!).

Aku heran! Menyayangkan! Oh tanahku yang subur! Tersia-sia sudah kesuburannya. Seperti permata tak dikenali, terpendam bumi, kalaupun beruntung tergali, berada di tangan orang yang tak punya seni, Tak berjiwa. Menyia-nyiakan kecantikannya. Menghinanya. Ah, tanahku!

(Untunglah ada Pak Tua yang dengan kehadirannya dan cintanya pada tanahnya memberiku sedikit harapan, masih ada orang Indonesia Sejati di tanah ini….ah..ah…!)


Samarinda, 16/5/2008

Monday, April 21, 2008

Arabisasi dan Religiusitas yang Keblinger:

Bila kau ingin melihat sekelilingmu berwarna hijau, jangan jadi bodoh! Tak perlu semua orang dipaksa berpakaian hijau, semua benda dicat hijau. Pakai saja kaca mata dengan lensa berwarna hijau. Maka duniamu seketika akan berwarna hijau.

Ini obrolan teman-temanku di kantor : Ada pemirsa TV yang protes kenapa penayangan acara Mama Mia (tahu nggak acara di TV mana tuh?) bertepatan dengan adzan maghrib? Sambil bercanda teman-temanku berkomentar begini : “Dia itu pengin nonton Mama Mia tapi kok pas adzan. Harus sholat tapi pengin nonton. Makanya orang yang dimarahi kenapa menayangkan acaranya kok pas adzan”

Ini cerita sepele yang sering terjadi. Tahu implikasinya jika protes kecil ini dituruti oleh pengelola stasiun TV : arogansi dari orang Islam bertambah, dia bisa mengatur orang lain agar semua kegiatan sesuai jadwal ibadahnya. Padahal seharusnya ya dia yang harus memilih mau nonton atau ibadah. Mau ibadah kok orang dipaksa menyesuaikan diri dengan ibadahnya? Tetapi hal ini akan didukung oleh kaum fundamentalis. Kenapa? Karena dengan cara ini perlahan-lahan orang bisa dikekang dengan aturan-aturan sesuai hukum Islam (baca:yang mereka inginkan)

Tahu film AAC (Ayat Ayat Cinta)? Film itu dibuat berdasarkan novel dengan judul yang sama. Isinya : tentang sang tokoh yang poligami. Bagian menariknya : Presiden RI dan Ketua MPR RI merasa perlu menonton film ini. Di tingkat daerah, para calon yang akan maju pada pilkada mengadakan acara nonton AAC bareng. Sebenarnya ada apa? Tanya kenapa? (Belakangan aku membaca di koran sedang diadakan audisi untuk mencari 5 pemeran pada film baru yang akan dibuat berdasarkan novel-novel sejenis. Tanya lagi, kenapa?)

Instruksi Wali Kota Padang, 7 Maret 2005 menyebabkan seluruh siswa mulai SD – SMA mengenakan jilbab baik muslim maupun non muslim. Mekipun Walikotanya berkelit dengan menyatakan itu hanya ‘himbauan’ kenyataannya hal ini telah berlangsung 3 tahun hingga sekarang sebagai suatu kewajiban. Suara minoritas tidak didengar. Yang minoritas tidak berani juga bersuara lantang karena merasa terancam bila mengungkapkan keberatan secara terbuka. Sayang sekali seorang pemimpin mempunyai sikap mental seperti itu. Sayang juga masyarakat Padang tidak sadar dengan akibat jangka panjang dari sikap diam mereka ini. Belum lagi perda yang mewajibkan siswa pandai baca tulis Al Qur’an. Lucu sekali.

Arabisasi? Ya, iyalah.

Disadari atau tidak, itulah yang sedang terjadi. Religiusitas kita sudah keblinger. Yang disentuh kulitnya saja.


Bangun woi….bangun!

Friday, April 18, 2008

The Trouble with Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith

Itu judul buku yang baru selesai kubaca hari ini. Judul Indonesianya Beriman Tanpa Rasa Takut, diterbitkan oleh Nun Publisher --akhirnya. Penulisnya Irshad Manji seorang jurnalis yang kolom-kolomnya muncul secara teratur di New York Times, Wall Street Journal, Times of London, Al-Arabiya.net dan sejumlah sumber berita besar lainnya. Dia juga penulis tetap feature untuk Globe and Mail Canada.

Irshad juga seorang pendiri Project Ijtihad, yaitu sebuah usaha untuk memperbaharui cara berpikir kritis, berdebat dan berpikir alternatif (baca:berbeda) dalam tradisi Islam. Seorang Senior Fellow dalam European Foundation for Democracy Director of the Moral Courage Project pada New York University yang bertujuan untuk mengembangkan pemimpin-pemimpin yang akan menantang perubahan dalam sikap politik yang baik dan sehat (political correctness), intellectual conformity dan self-censorship (kemampuan memilah dan memilih serta melakukan koreksi diri) . Dalam semangat terbaik dari pendidikan bebas, the Moral Courage Project mengajarkan bahwa hak datang bersamaan dengan tanggung jawab, bahwa kita adalah sebuah warga masyarakat bukan anggota dari suku-suku dan bahwa keberagaman hanya berarti apabila tidak hanya identitas tetapi perbedaan ide juga diterima.

Buku ini adalah buku yang kuimpikan. Aku membacanya dengan rakus, sampai pundak dan mataku tegang. Emosiku mengharu biru. Inilah dia segala hal yang selama ini ingin kusampaikan.

Semula dengan menulis ini aku ingin menulis ‘tentang’ buku ini. Tetapi setelah aku selesai membacanya aku rasa aku tidak akan bisa menuliskan dengan lebih jelas lagi duduk permasalahannya, lebih baik orang-orang membaca buku ini sendiri. Irshad telah berbaik hati menyediakan terjemahan Bahasa Indonesia dalam websitenya http://www.irshadmanji.com/indonesian-edition . Jadi ku ajak Anda semua yang sudah muak dengan keadaan kita sekarang untuk melihat lebih dekat apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekitar kita.

- Kenapa tiba-tiba pelajaran Budi Pekerti hilang dan istilahnya diganti dengan ‘akhlak’?

- Kenapa banyak sekolah negeri yang lebih mirip madrasah-madrasah yang disubsidi pemerintah dari pada sekolah umum biasa untuk seluruh rakyat?

- Kenapa di seluruh instansi pemerintah pemandangan yang kita temui nyaris seragam: :perempuan berjilbab? (bahkan seniman Dede Yusuf yang baru terpilih minggu ini jadi wakil gubernur Jawa Barat berpose dengan istrinya yang mengenakan kerudung)

- Kenapa begitu banyak muatan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri?

- Kenapa anak perempuan di sekolah-sekolah negeri pun di paksa berjilbab (dengan cara halus maupun kasar)?

- Kenapa banyak daerah-daerah tiba-tiba menuntut penerapan syariah Islam (yang sayangnya sudah terjadi di beberapa tempat)?

- Kenapa orang Islam bertambah arogan, munafik dan makin jauh dari makna ISLAM?

- Kenapa kaum fundamentalisme bisa berkembang subur?

- Kenapa sekarang sulit sekali mengucapkan selamat suka cita maupun duka cita pada tetangga kita yang berlainan iman?

- Kenapa orang Islam umumnya membenci Yahudi?

- Apakah Islam agama yang benar sementara ajarannya juga menghalalkan darah orang lain untuk dibunuh (lihatlah para penjahat yang melakukan pengeboman dimana-mana dengan berlindung pada ayat Al Qur’an juga) ?

- Apakah negara yang berdasar Islam lantas menjadikan masyarakatnya benar-benar makmur, aman, terlindungi bukannya malah tambah miskin dan teraniaya terutama kaum wanitanya?

- Apakah benar bahwa Islam adalah satu-satunya solusi seperti yang sering didengung-dengungkan partai Islam atau kelompok-kelompok Islam garis keras?

- Apakah untuk menerapkan Islam secara benar kita harus kembali ke masa permulaan Islam, sehingga harus juga menerapkan hukum yang berlaku di padang pasir di tengah-tengah orang jahil pula? (saking jahilnya sampai-sampai hukuman untuk mereka adalah rajam, potong tangan, penggal kepala, dikubur hidup-hidup, di mana letak kemanusiaannya bila ingin diterapkan pada manusia masa kini yang kecerdasan dan kesadarannya lebih maju beberapa abad, apalagi ingin diterapkan di Indonesia, yang bodohnya mereka tidak tahu kalau leluhurnya telah berbudaya tinggi, bermoral tinggi dan memahami hidup dan kehidupan lebih dari mereka yang sekedar membaca Al Quran)?

Masih banyak kenapa-kenapa dan apakah-apakah yang lain. Untuk sementara cukuplah itu. Di buku ini dibeberkan masalahnya. Duduk perkaranya hingga akhirnya kini keadaan bermuara seperti yang kita lihat saat ini.

Intinya adalah saat ini sebenarnya yang terjadi adalah ARABISASI, bukan Islamisasi. Sayangnya banyak orang tidak menyadari dan secara sistematis yang telah sadar pun dibuat tidak menyadarinya lagi.

Sialnya mereka yang tidak sadar itulah yang rajin cuap-cuap di media baik koran, majalah, radio, TV, internet dan dengan sombong berkoar-koar tentang Islam dan hukum Islam yang mereka hanya tahu kulitnya.

Kalau ada orang yang berpikir atau mencoba berpikir, bertanya, mempertanyakan –contohnya hal-hal di atas--di katakan menuhankan pikiran. Aku pernah mengalaminya sendiri. Waktu ku balik dia dengan pertanyaan sebenarnya dari mana kelompoknya mendapat dana untuk berdakwah kesana kemari mencari pengikut dan bisa sibuk seharian hanya bicara dan berdebat menyuruh orang agar berhenti bertanya dan berpikir, dia membisu.

Kata menuhankan pikiran adalah cara ala Indonesia untuk secara sistematis membuat orang tidak ingin berpikir lagi. Menjadi taqlid. Sehingga apapun yang dikatakan imamnya, yang dikatakan kyai, ustadz, yang dikatakan MUI, akan diikuti dengan keyakinan penuh. Berani mati!


Dan Ijtihad pun mati!

Apabila tidak ada lagi yang berijtihad, maka akan lahirlah penguasa-penguasa baru yang berjubah kebesaran agama sebagai penafsir satu-satunya yang benar dan di diridhoi. Ingin tahu ujungnya? Ujung yang satu : kekuasaan. Ujung satunya lagi : duit.


Jadi saudara-saudaraku , siapapun juga yang membaca tulisan ini. Cobalah kunjungi Irshad Manji. Dengarlah apa yang disampaikannya. Cerna!. Dia memiliki pengalaman yang jauh lebih baik dan banyak dari kita yang mudah-mudahan tetap dapat hidup damai di Indonesia dan dia pandai pula menceritakannya kepadamu.

Aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah kau berjalan bersamaku?


Salam dan Semoga engkau diberkati!

Wednesday, April 09, 2008

Antara Fitna dan YouTube

Geertz Wilders seorang anggota parlemen Belanda membuat film pendek berjudul Fitna. Pertama ditayangkan oleh liveleak.com. Dalam waktu singkat telah membuat kegemparan dunia Islam di seluruh dunia. Terutama Indonesia, kali ye….yang katanya mempunyai penduduk dengan jumlah muslim terbanyak di dunia.

Film itu sempat saya tonton separoseparonya lagi nggak ditonton karena sudah nggak minat. Bukan karena muak dengan isinya, tapi karena udah tahu isinya. Ya begitulah Islam di mata umumnya orang non Islam. Berdarah-darah, egois, haus kekuasaan. Jauh…jauh dari arti kata Islam yang sebenarnya.

Kalau mau nonton filmnya, mungkin sudah nggak bisa karena sudah di ban dari internet (meskipun technically, internet tidak bisa di ban bo! Akan ada saja orang yang bisa nonton dan share ke orang lain). Tapi kalau mau tahu ceritanya boleh tengok ke alamat blog http://www.sorayacity.blogspot.com. Disana dituliskan rinci isi film itu.

Sekali lagi, adakah yang luar biasa? Tidak ada. Banyak anak negeri ini yang mengeluarkan statement yang mirip-mirip dengan isi film itu dengan dampak yang tidak kalah berbahayanya . Tapi aman-aman saja.

Bahkan Abu Bakar Baasyir jelas-jelas mengeluarkan statement semodel itu dalam Sarasehan bertajuk Kepemimpinan Umat, di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jum’at(16/11/07).

“Orang Islam haram hidup di negeri kafir, itu tidak boleh. Orang Islam harus menjadi warga negara di negara Islam, itulah ketetapan dan perintah Allah, ”ujarnya. (Ini bagian dari Islam masa kini yang haus kekuasaan dan egois)

Kalimat yang lain oleh pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo itu:

“….Tidak boleh sendiri-sendiri. Kalau belum internasional namanya daulah, tapi kalau sudah internasional namanya Khilafah. Jadi berdasarkan ayat ini, hidupnya umat Islam haram kalau tidak di bawah kepemimpinan Ulil Amri, Daulah Islam itu bukan sunnah tapi wajib, keterangan saya ini yang ditakuti oleh Yahudi…... ”

(dalam keterangan sumber bacaan saya Baasyir berseloroh, bagi saya ini bukan seloroh tapi kalimat bersayap yang mengancam integrasi bangsa dan penafsiran dangkal dari ayat yang bersifat konstektual, yah persis sama seperti isi film Fitna itulah, comot ayat sana sini untuk pembenaran tindakan anarki dan pemenuhan nafsu berkuasa).

Sehingga dalam kaitan ini jika dihubungkan dengan Indonesia yang mayoritas muslim, Baasyir menyarankan agar sistem negara Indonesia dirubah menjadi negara Islam. Nah lo ketahuan kan maksudnya!

Menanggapi film Fitna, SBY berang dan langsung membuat pernyataan. Tapi atas pernyataan Baasyir beliau adem ayem aja. Sayang sekali, pengecut!

Din Syamsuddin Sekretaris Umum MUI dan juga ketua Umum PP Muhammadiyah bersama dengan Hidayat Nur Wahid Ketua MPR RI dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam mengadakan dialog soal film Fitna dengan ormas-ormas Islam dan duta besar dari negara-negara Islam untuk Indonesia di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (7/4/08). Karena menurut apa yang disampaikan Din Syamsuddin, langkah yang dilakukan Wilders (membuat film Fitna itu) sudah merugikan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat Belanda serta membahayakan bagi perdamaian dunia Islam dan Barat. Tapi tidak ada komentar atas pernyataan Baasyir di atas.

Thus, tidak ada juga penjelasan kembali tentang isi film Fitna itu. Menyampaikan pada khalayak bahwa Islam itu agama yang sejuk, yang toleran, yang damai. Bahwa Islam tidak diajarkan dengan cara seperti dalam film itu. Tidak ada. Yang diungkit hanya bahwa Fitna telah menyinggung umat Islam. (Ha… tersinggung lagi kan? Tapi tidak berkaca kenapa orang luar sampai melihat Islam seperti itu. Padahal hasil dari apa yang ditampilkan dalam Fitna sudah jelas, itu bom teror sana-sini, fundamentalisme meningkat, fanatisme. Tapi kok masih nggak sadar ya…Mana figur pemimpin Islam yang waras dan sadar dan berani menyampaikan kebenaran sebenar-benarnya, bukan kebenaran yang dipelintir untuk kepentingan sendiri seperti Baasyir? Atau Din sendiri?)

Yang lebih menyedihkan dari kasus Fitna ini, YouTube di ban karena Fitna ada dalam contentnya. Nah!

Ada yang mengumpamakan kasus ini seperti mau membunuh tikus seekor di lumbung padi, tapi lumbungnya dibakar sekalian.

Yang sedih dan gumun dengan kasus YouTube di ban banyak sekali, termasuk saya,-- Pengguna YouTube setia yang sangat banyak merasakan manfaat darinya. Tidak sekedar untuk berekspresi, tapi belajar. Belajar apa saja yang terpikir oleh kita. Melukis, menari, mengecat rumah, yoga, fitness, main skate board, seni melipat kertas, apa saja yang terpikir olehmu. YouTube adalah terobosan besar dalam menyebar informasi, pengetahuan, pendidikan, lintas negara, lintas benua. Waktu dan tempat bukan penghalang.

Tapi sama seperti api, mau dipakai untuk hal berguna seperti memasak, atau untuk membakar rumah sebagai protes karena tuntutannya tidak dipenuhi ya bisa juga. Bukan berarti kita lantas dilarang menggunakan api kan? Logika konyol yang bahkan akan ditertawakan oleh anak SD. Seharusnya apa? Gunakanlah api untuk hal yang berguna secara bijaksana. Itu baru bener!

Tapi itulah yang terjadi.

Sekali lagi kita bisa melihat, bahwa para pemimpin kita, para pemuka agama kita semuanya itu orang ‘dewasa cilik’. Maksudnya yang dewasa cuma fisiknya, tapi tingkat kesadarannya masih seperti anak cilik. Logika yang dipakai ya logika bocah. Yang menderita, rakyat kebanyakan yang waras.

Tidak percaya? Waktu Fitna pertama kali diributkan di media, teman-teman saya yang orang biasa seperti saya, heboh ingin melihatnya. Maka kami cari di internet (waktu itu masih bisa), kami tonton, dan seperti yang sudah saya tulis di atas, kami hanya menonton separuh saja. Separuhnya lagi sudah nggak minat. Teman-teman saya pada ngeloyor pergi sambil berkata,” Kok bisa-bisanya agama diartikan seperti itu. Kasihan orang-orang itu, sudah nggak ngerti agama, sing ngandhani pada ngawure--- yang memberitahu sama nggak ngertinya—jadi bubrah.Wis ora usah ditonton—sudah, ndak usah dilihat--”.

Kalau rakyat biasa bisa mempunyai penilaian seperti itu, kenapa para pemimpin agamanya malah kebakaran jenggot? Umatnya lebih pandai bersikap dewasa dalam melihat suatu keadaan, kejadian, para pemimpinnya hanya sibuk memikirkan kekuasaan, dan sudah dari jaman dahulu kala, agama selalu dipolitisasi untuk meraih kekuasaan.

Jadi apakah Fitna membahayakan bagi perdamaian dunia Islam dan Barat? Hanya bagi mereka yang tidak punya hati nurani dan tidak punya kesadaraan, dan dibiasakan untuk taqlid (mengikut tanpa berpikir).

Bagi sebagian besar orang tidak. Banyak sekali manusia di bumi ini, banyak sekali umat Islam di Indonesia yang masih bisa berpikir jernih, mempunyai hati nurani, berbudaya dan berkesadaran tinggi yang bisa memilah dan memilih apa-apa yang baik dari segala yang diperolehnya. Mereka diam memang, tidak ribut seperti kelompok-kelompok yang sering melakukan tindakan buruk dengan mengatasnamakan umat Islam itu.

Tulisan ini mewakili mereka yang diam itu. Kini mereka tidak diam lagi. Kami rakyat biasa ini mampu berpikir. Kami dewasa. Kami punya kesadaran tinggi. Kami punya hati nurani. Kami tahu yang benar. Dan sekarang kami akan mulai menyampaikan kebenaran itu.

Itulah. Jadi Fitna mau di ban atau tidak. Nggak ngaruh!. Yang memberi pengaruh itu justru keputusan-keputusan konyol yang dihasilkan pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini yang dari hari ke hari hanya tambah menyengsarakan rakyat, menggerogoti kekayaan negara, kekayaan alam. Itu yang ngaruh! Itu yang harus dipikirkan pemecahannya. Itu juga seharusnya yang dibahas, didialogkan oleh para pemuka agama dan pemimpin bangsa itu!

Omong-omong saya masih bisa akses YouTube. Dengan bantuan mereka-mereka yang paham teknologi. Terima kasih pada mereka yang mau membantu membagi pengetahuannya, sehingga proses belajar yang saya lakukan tidak berhenti.

Itulah gunanya teknologi!

Samarinda, 9 April 2008

Thursday, March 27, 2008

Kartini

The Book

Aku baru saja selesai membaca buku Aku Mau, Feminisme dan Nasionalisme: surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903 yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2004. Judul aslinya On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 dari Monash Asia Institute, Monash University. Dan setelah selesai membaca buku ini, aku baru menyadari bahwa selama ini aku belum pernah benar-benar mengenal Kartini.

Aku hanya tahu Kartini dari lagu ‘Ibu Kita Kartini’ yang sering kunyanyikan waktu aku kecil. Tetapi pemahaman tentang siapa dan bagaimana seorang Kartini, baru kuperoleh setelah aku selesai membaca buku ini. Aku bahkan memerlukan membaca buku ini sekali lagi untuk lebih memahami maknanya.

Seperti judul bukunya, buku ini memuat surat-surat Kartini dalam periode 1899-1903. Surat-surat itu ditujukan kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar, seorang pegawai muda kantor pos di Amsterdam yang juga seorang kontributor untuk jurnal-jurnal di De Hollandsche Lelie. Stella telah menerbitkan artikel berseri pada majalah De Lelie yang kemudian menjadi ‘best –seller Hilda Van Suyverberg’, sebuah novel feminis yang sangat berpengaruh.


Kartini’s Spirit

Saat aku membaca pidato-pidato Bung Karno, keharuan dan semangat kebangsaan bergelora menyelimuti diriku. Saat aku membaca surat-surat Kartini ini perasaanku seperti dialun ombak. Sesekali terhempas sedih hingga ke dasar palung laut. Ikut merasakan pahit getir situasi yang dihadapinya. Di lain waktu semangatku ikut terlambung menjemput langit, membuncah, berkibar dalam optimismenya.

Benang merah utama dari semua tulisan Kartini yang dapat kugarisbawahi dari buku ini adalah tentang kemajuan perempuan. Kemajuan dalam hal berpikir, berucap dan bertindak. Dan dia pun dengan jelas menyampaikan bahwa pendidikan adalah jalan utamanya. Jadi pertama: perempuan harus mendapat pendidikan. Kedua: meskipun dia hanya sekali menyebutnya dengan jelas, dia menentang poligami. Ada kata-katanya yang menjadi favoritku seperti di bawah ini tertuang dalam suratnya tertangal 6 Nopember 1899:

….Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang Ayah? yang hanya karena dia sudah bosan dengan istrinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mangawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan atau skandal; Hukum Islam mengijinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa.

(Kata-kataku sendiri tentang poligami,”Aku menolak poligami atas nama apapun bahkan atas nama Tuhan”. Bagiku poligami adalah tindakan yang sangat kejam karena melukai perasaan manusia (baca:perempuan) lainnya untuk alasan-alasan rendah”.)

Tetapi Kartini tidak hanya peduli pada urusan perempuan. Kalau kemudian ternyata dia lebih banyak bicara tentang perempuan itu lebih karena dia sendiri adalah subjek dari masalah itu. Dia pelaku. Dia tahu bagaimana rasanya (baca: kesulitan yang dialami) menjadi seorang perempuan.


Kartini juga menentang tradisi-tradisi kuno yang tidak cocok lagi dengan kemajuan jaman. Hal-hal yang sangat sulit dipahami oleh orang-orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan gaya feodal raja-raja jaman dahulu. Juga perlakuan-perlakuan sosial yang tidak adil yang harus diterima oleh seorang ‘bumiputera’ karena adopsi gaya feodalisme itu oleh pemerintah kolonial.

Tentu saja Kartini tidak bisa menabraknya langsung, merubah seketika. Untuk hal sebesar itu perlu proses, dan Kartini memulai dari hal paling kecil, paling sederhana, paling mudah, --dari dirinya sendiri. Contohnya seperti dia tulis dalam suratnya tertanggal 18 agustus 1899:

……….Kepada kakak-kakakku aku masih sangat patuh dan menjalankan peraturan itu (seperti jalan jongkok, berbicara pada yang tua dengan kromo inggil, seorang gadis harus berjalan lamban dsb-penulis), tetapi mulai aku ke bawah kami sudah mengabaikannya. Kami tidak lakukan itu lagi. Hidup kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan! Kami semua; aku, adik-adikku baik laki-laki maupun perempuan merasa setara dan kami berteman. Adik-adik perempuan memanggilku ‘kamu’, bentuk informal dan menggunakan bahasa yang sama denganku………….

Ada pula perenungannya tentang agama seperti ditulisnya dalam suratnya tertangal 6 Nopember 1899:

……..“Tapi kita bisa menjadi orang baik tanpa harus menjadi religius kan Stella? Dan yang paling penting adalah menjadi orang baik.
Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk bisa menjadi tali penghubung antara semua ciptaanNya. Kita semua bersaudara bukan karena satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas
sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mangakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan.
Aku sering bertanya pada diriku sendiri; apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?”…….

Wow… katakanlah apa yang disampaikan oleh Kartini ‘terasa’ baru pada waktu itu, tetapi resapilah tiap katanya dan kita akan sadar bahwa apa yang disampaikannya hingga kinipun masih relevan, masih terjadi, dan masih menjadi penyebab bencana dan kerusakan yang tak pernah terbayangkan oleh Kartini.

Ibu Rohani

Untuk orang dengan usia semuda dia (saat dia meninggal dunia usianya baru 24 tahun) kata-kata yang keluar dari dirinya sangatlah luar biasa. Begitu bijaksana. Dia itu roh tua. Miris rasanya membandingkan kata-kata yang diucapkan seorang Kartini (yang hanya perempuan!) dengan kata-kata yang keluar dari mulut politikus-politikus kita sekarang.

Betapa pentingnya mengkaji kembali buah pikiran Kartini. Tidak hanya mengingatnya dalam balutan kebaya sederhana dan pengusung emansipasi wanita dan merayakan kelahirannya dengan lomba busana.

Emansipasi –arti asalnya adalah membebaskan seseorang dari kekuasaan orang lain-- menuntut kesetaraan. Jadi wanita dibawah pria?. Tidak, kata-kata ini tidak tepat, karena bagiku pria dan wanita setara, posisi awalnya setara, tidak ada yang lebih berkuasa.Tidak ada yang perlu disetarakan lagi karenanya. Tetapi dengan lewatnya masa, sejarah berbicara, wanita memang telah direndahkan (baca:dikuasai) sedemikian rupa dengan segala macam cara baik lewat kultur sosial, budaya dan agama, sehingga seolah-olah wanita lebih rendah daripada pria, sehingga perlu ada perjuangan untuk meraih kesetaraan. Proses sejarah yang panjang, lama dan menyakitkan ini perlu disadari sepenuhnya: 1. oleh wanita -- agar wanita dapat lebih menghargai dirinya dan 2. oleh pria -- agar pria terbuka mata hatinya, sehingga sama-sama diperoleh kesadaran bahwa wanita dan pria adalah setara.

Kurasa dengan membaca satu buku saja yang memuat surat-surat Kartini ini belum dapat memberi jawaban yang terang tentang siapa dan bagaimana Kartini. Gambaran kita belum utuh. Tapi aku cukup senang karena kini aku tahu alasan mengapa dia tetap dikenang hingga kini: karena buah pikirannya yang sangat dalam, mengagumkan dan dahsyat.

Kata orang apabila kita berupaya keras untuk orang lain, apa yang kita lakukan itu akan abadi. Tapi jika kita berupaya dengan segala cara untuk diri sendiri, hasilnya hanya bertahan sekejap napas yang bisa kautarik. Dan Kartini telah memilih untuk menentang arus, menjadi ibu rohani yang melahirkan ‘yang baru’ meskipun dia harus menanggung derita.

Terima kasih Kartini, karena engkau telah berkenan hadir di bumi Indonesia ini. Bahkan saat nama Indonesia waktu itu belum dikenal, kau sudah banyak memberi arti dan inspirasi tentang nasionalisme pada bangsa ini.

Salut padamu!


Samarinda, 25 Maret 2008

Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Pak Harto!

Kemarin, 27 Januari 2008 pukul 13.30 WIB, telah berpulang Bpk HM Soeharto, mantan presiden RI ke-2. Seluruh stasiun TV memberitakan hal ini secara serentak Ada yang disela iklan, ada yang tidak, ada yang sudah diselipi acara bincang-bincang, ada yang sekilas saja diulas, ada yang mengulang-ulang berita sampai pendengar bosan. Ada yang mengumpat, ada yang menyesali, ada yang sedih, ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang tidak peduli. Itulah ekspresi yang diperlihatkan masyarakat atas kepergian Pak Harto.

Bagaimana denganku?

Terus terang aku pernah tidak suka dengan rezim Soeharto as they say he was a dictator(?). Tapi ternyata setelah reformasi yang terjadi tahun 1998, yang katanya melepaskan segenap rakyat dari kediktatoran Soeharto, keadaan Indonesia tidak bertambah baik. Yang kurasakan kemudian hanyalah perasaan tidak aman, tidak tentram, tidak sejahtera, masyarakat kehilangan etika, kita kehilangan jati diri, anak-anak muda kebingungan mencari panutan. Kalaupun ada kualitas yang berbeda hanyalah kini orang lebih bebas bersuara, meskipun kebebasan ini masih dibatasi dalam hal-hal tertentu, dalam arti suara mayoritas tetaplah yang berkuasa.

Secara umum keadaan masyarakat Indonesia tidak menjadi lebih baik. Yang merasakan perubahan berarti tetaplah lingkaran dalam kekuasaan. Kini bahkan semua orang berebut masuk ke lingkaran dalam sehingga saling sikut, tingkah laku tanpa etika terjadi setiap hari. Terutama di kalangan mereka yang mengaku dirinya intelek, terpelajar, pejuang atas nama rakyat, politikus, pengusaha, in short people who stand on top of pyramid. If they don't stand on top, they try hard to get there with all their might, good or bad. Tidak ada yang menegur. Tidak ada yang berteriak. Semua orang bingung, lupa jati diri. Kalaupun ada yang menegur, mereka tidak mendengarkan.

Dulu pernah terjadi, niat baik Pak Harto dengan 'memasyarakatkan Pancasila'nya dimentahkan, dicibir dan dijalankan dengan rasa muak. Tetapi kini, kala segala hal yang berbau rezim Soeharto dibersihkan, orang-orang bingung mencari pegangan baru. Melepas yang lama masih ragu, mau pegangan baru, tapi tidak punya, tidak bisa, tidak tahu. Orang-orang berteriak menolak Soeharto tapi mereka bahkan tidak tahu dirinya sendiri. Lupa akarnya sendiri.

Masyarakat bingung. Terbelah dalam ketidaktahuan.
Sungguh.
Ignorance is a curse. But curse should be vanished.
Where do we start?
Maybe from now on. Lets make this losing of someone great like him as a new start for our consciousness. Our national consciousness.
Why don't we take lesson from him. It should be.

Sayangnya yang terjadi malah orang lebih brutal dari Soeharto, seandainya kekuatan militer dapat terpegang, boleh jadi mereka yang membenci Soeharto akan lebih jahat dan brutal dari pada tindakan yang dilakukan oleh orang yang dibencinya ini. Ini bukan omong kosong. Dalam skala kecil kita di Indonesia sudah melihat dan merasakan hal-hal semacam itu. Kecuali bagi mereka yang sudah terlanjur bebal dan kehilangan akal budi dan nurani, mungkin merasa tidak apa-apa. Semua baik-baik saja.

Back to Soeharto, dia pernah kuidolakan.
Setelah mendengar sana-sini, membaca ini-itu, aku sempat pula sebal kepadanya. But it won't take long.
Saat aku berpaling ke dalam diriku sendiri, aku sadar aku tidak bisa begitu. Aku tidak boleh begitu. Kita tidak bisa menilai orang lain seperti itu.

Seperti kata pepatah, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Begitulah orang mengingat Soeharto. Kesalahan dia punya, pasti (siapa yang tidak selama kita masih bernama manusia?) dan jelas tidak setitik. Itulah yang merusak seluruh kebaikannya. Tapi kita tidak bisa menerima Soeharto dari sisi baiknya saja. Kita harus menerima keduanya. Sisi baiknya dan sisi buruknya. Dan rakyat kecil akan bilang Soeharto lebih banyak sisi baiknya. Mungkin mereka bahkan tidak tahu sisi buruknya.

Tapi mereka kelas elite akan bilang, oh no....he was evil. Bahkan saat Soeharto sakit parah menjelang ajal, mereka masih bisa bilang begini: sebagai sesama manusia saya bisa memaafkan Soeharto, tetapi proses hukum tetap harus berjalan....bla...bla...bla.... (Itu mah tidak memaafkan namanya).

Dan masyarakat belajar dari sana. Oh ... ternyata kita boleh 'memaafkan dengan syarat' seperti itu.

Keadaan ini begitu membingungkan. Begitu menyedihkan. Sampai aku tidak bisa menulis dengan lebih terstruktur, dengan lebih baik.
Mungkin bila dituliskan, dibahas satu persatu akan menjadi sebuah buku. Padahal di awal menulis ini aku hanya ingin mengucapkan:

'Selamat jalan Pak Harto. Seharusnyalah engkau termasuk salah satu putra terbaik bangsa ini. Tidak bisa tidak. Lepas dari semua hasil buruk dari pilihan-pilihan yang telah kau lakukan, kau telah memberi banyak pada bangsa ini. Hal-hal baik tentang budaya Indonesia dan akar masyarakat yang sesungguhnya. Sayangnya tidak tuntas. Atau kau menggunakan metode yang tidak tepat, tidak mengena, atau memang kami rakyatmu yang belum paham sepenuhnya maksudmu.
Selamat jalan Pak Harto. Semoga Cahaya Keberadaan menyertaimu. Dan Damai besertamu selalu'.

Samaarinda, 28 Januari 2008

Wednesday, January 16, 2008

Success

"'Success?' Well, I don't know quite what you mean by success. Material success? Worldly success? Personal, emotional success? The people I consider successful are so because of how they handle their responsibilities to other people, how they approach the future, people who have a full sense of the value of their life and what they want to do with it. I call people 'successful' not because they have money or their business is doing well but because, as human beings, they have a fully developed sense of being alive and engaged in a lifetime task of collaboration with other human beings - their mothers and fathers, their family, their friends, their loved ones, the friends who are dying, the friends who are being born."

Parade (March 9, 1997)

This is a quote from Ralph Fiennes. I got it from ralph-fiennes.net and I agree for what he said what success about. That is the real succcess mean -- in my opinion. But unfortunately many people measured success as only material success. Not many people appreciate the successful as ‘you are and your world that give you happiness’ only. They just simplify it by material success.

According to that, I am not the successful person either. I am not really happy, I am not really engaged with my environment, my family, my friends. I am alienated, at least I feel alienated all the times. So … successful is far away from me.

Luckily, Ralph had show me what succesful is. And maybe I should take backward a few step and stop to think what I’ve been doing wrong. Start evaluating my relationship to other people around me, my kids, my spouse, my (very few) friends, my brother and sisters. Take a few breaks. Take a deep breath.

I think if we can live the life to the fullest, we can live here and now, mean every single word we say, then we can be called as success people.

Is it? Or is this just a hopeless thought of a person who feel really unsuccessful?

Wednesday, January 02, 2008

Va' Dove Ti Porta Il Cuore


Kemarin aku membaca ulang buku ini. Karya Sussana Tamaro, penulis Italia yang memilih menyendiri untuk membaktikan diri sepenuhnya pada menulis. Buku ini selalu kutuliskan menjadi salah satu buku favoritku, tetapi aku sendiri sudah lupa apa yang telah membuatnya menjadi favoritku. Jadi untuk mengingat, kubaca sekali lagi. Dan cukup membaca pengantarnya saja aku sudah ingat kembali kenapa buku ini selalu menjadi favoritku.
Va' dove ti porta il cuore – pergilah kemana hati membawamu. Sebuah kalimat yang biasa saja kecuali… kau berhenti sejenak dan memahami maknanya. Inilah petunjuk hidup yang sesungguhnya. Inilah rambu besar jalan kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia. Lucunya rambu sebesar itu sering kali tidak terlihat atau sengaja tidak dilihat atau malah ada yang tidak tahu kalau rambu itu ada.
Sebenarnya apa yang dia tuliskan di buku ini telah banyak juga dituliskan orang lain. Tulisan-tulisan yang sama yang telah lama pula coba kuhayati, kupahami. Tetapi di buku ini apa yang dituliskan itu memiliki rasa berbeda karena dituliskan dengan begitu indah. Dengan sepenuh hati, dengan kedalaman makna dan kehalusan bahasa.
Aku hanya membaca buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan sudah dapat merasakan keindahannya. Seandainya aku mampu membacanya dalam bahasa aslinya –Italia- mungkin keindahan yang kurasakan akan terasa lebih lagi.Tapi aku tidak bisa mendapatkan dalam versi aslinya. Jadi inilah.
Cobalah ini:
Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus
kau ambil, janganlah memilihnya dengan
asal saja, tetapi duduklah dan
tunggulah sesaat. Tariklah napas
dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan.
Seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apa pun mengalihkan
perhatianmu, tunggulah dan tunggulah
lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening,
dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah,
dan pergilah kemana hati membawamu’
Atau yang ini:
‘Ketika jalanmu bercabang kau berpapasan dengan kehidupan lainnya. Berkenalan atau tidak dengan mereka, terlibat dengan mereka atau membiarkan mereka lewat begitu saja, semua itu tergantung semata-mata pada keputusan sesaat. Meskipun mungkin kau tidak mengetahuinya, hidupmu dan hidup orang-orang yang dekat denganmu dipertaruhkan saat kau memilih, entah berjalan lurus atau berbelok’ (va' dove ti porta il cuore hal 77)

Kadang tulisannya sangat feminin seperti ini:
‘Hubungan antara dirimu dan rumah dan apapun di dalam dan di sekitarnya adalah salah satu hal yang hanya dapat dipahami setelah kau mencapai usia tertentu. Pada usia enam atau tujuh puluh kau tiba-tiba sadar bahwa rumah dan kebunmu lebih dari sekedar kebun dan rumah tempat kau hidup nyaman, entah karena kebetulan atau karena tempat itu indah. Tapi itu rumahmu, kebunmu, mereka milikmu sama seperti rumah kerang adalah milik kerang yang hidup di dalamnya. Cairan-cairanmu telah membentuk kulit kerang itu, sejarahmu ada di antara garis-garisnya, rumah kerangmu membungkusmu, dan mungkin kehadiranmu, kebahagiaan dan kegetiran yang kaurasakan di sana, akan terus hidup di sana bahkan setelah kau tiada’ (va' dove ti porta il cuore hal 49)

Kadang tulisannya membuatku merasa seolah-olah waktu berhenti, seperti ini:
‘Di rumah masa kecilku ada pohon ek. Pohon itu begitu besarnya hingga diperlukan dua orang untuk bisa memeluk batangnya. Sejak berusia empat atau lima tahun, aku suka sekali mendatanginya. Aku duduk di sana, merasakan kelembaban rerumputan di bawah tempatku duduk. Aku menarik napas dalam-dalam dan tahu ada tatanan yang lebih tinggi atas segala sesuatu dan bahwa aku serta semua yang kulihat termasuk di dalamnya. Meskipun aku tidak mengerti musik, sesuatu dalam diriku bernyanyi. Aku tak tahu melodi macam apakah itu, bukan lagu melainkan lebih mirip melodi yang lahir dari hembusan napas di dekat hatiku; dan hembusan ini membungkusku, raga dan pikiran, bersinar bagai cahaya dan mengalun bagai musik. Hidup membuatku bahagia, dan tak ada apapun yang mengisi benakku selain kebahagiaan itu’ (va' dove ti porta il cuore hal 80)

experiencing God?
Aku tidak tahu.
Membaca baris-baris kalimat itu membuatku kembali merasakan perasaan yang selalu tidak dapat kukatakan dengan tepat. Rasa seperti bila kau duduk tenang di atas perahu yang bergerak pelan dihanyutkan riak sungai atau seperti sebatang kayu pasrah terapung mengikuti arus air.
Perasaan hanyut yang menyenangkan, dihanyutkan tapi kau tidak hanyut. Rasa indah yang dalam, jauh di jurang hati. Ceruk jiwamu seperti dibasuh dengan embun. Seperti kau duduk di taman yang kau kenal tapi kau tidak ingat dimana taman itu berada. Perasaan damai menyelimuti dan mengisi rongga dadamu dengan napas baru. Perasaan indah yang universal, mendalam dan membuatmu ingin lagi dan lagi kembali ke sana.
Hanya membaca bukunya saja aku merasa bahagia. Aku merasa dekat dengan tokohnya :sang nenek Olga. Aku belum menjadi nenek dalam kehidupanku ini, tapi dalam melihat dan menimbang suatu peristiwa, aku menemukan kedekatan dengan sang nenek seolah kami adalah orang yang sama.
Aneh.
Tapi seperti kata pengantar yang diberikan oleh Prof. Ostelio Remi, Direktur Pusat Kebudayaan Italia, Atase Kebudayaan Kedutaan Italia, Jakarta, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang memberikan ruang bagi hati untuk membuat pilihan dan ruang bagi perasaan dalam hubungan antar manusia.
And for sure, this is one my favorite books