Friday, May 16, 2008

Pengayak Tanah

Di depan kantorku (atau gudangku) tempatku bekerja ada pergudangan lainnya yang menjadi distributor makanan anak-anak seperti chiki, jets, ……………sarimi. Apabila makanan-makanan itu mendekati kadaluarsa, atau sudah kadaluarsa akan ditarik dari toko-toko, ditumpuk, dibakar sambil difoto (ini sih buat laporan resmi bahwa barang kadaluarsa sudah dimusnahkan!). Proses pembakarannya ya di halaman gudang itu. Baunya jangan tanya, seperti (maaf) bau tahi kucing! Pokoknya membuat polusi udara.

Kadang-kadang aku dan teman-temanku ingin protes ke gudang seberang ini. Tapi bagaimana ya, gudangnya gudang mereka, tanah tanah mereka, yang dibakar barang mereka, tapi mereka lupa, udaranya ini udara bersama. Jadilah para tetangga ikut menikmati aroma tak sedap yang menguar hampir setiap hari dari hasil bakaran mereka.

Tapi aku tidak ingin bercerita tentang polusi udaranya. Yang ingin kubagi adalah cerita tentang seorang laki-laki pemulung tanah yang setia setiap hari, memilah sisa sampah bakaran, mengayak tanah, hingga diperoleh tanah hitam bercampur arang bakaran yang halus. Tanah itu dimuat didalam karung-karung kecil siap dicampur dengan kotoran-kotoran ayam, sapi yang sudah dibakar juga hingga kering, dan jadilah tanah untuk media tanam dengan harga per karung umumnya Rp. 10.000,-.

Aku selalu merasa senang melihat laki-laki itu bekerja. Dari jam 8 pagi hingga tengah hari, (hei jangan kira aku melongo di dekatnya memandangnya. Tapi ya….aku sering melamun memandanginya dari jendela kantorku sampai lama, merenung-renung….),--karena biasanya gudang depan itu mulai menumpuk barang rusaknya mulai tengah hari dan membakarnya menjelang sore. Bila aku bertanya pada diriku sendiri apa yang membuatku senang melihat laki-laki itu bekerja, aku tidak tahu jawabannya. Tapi suamiku bilang aku senang karena aku melihat harapan, cinta dan kerja keras di sana. Usahanya itulah yang kuhargai. Dan kurasa suamiku benar.

Pekerjaannya sih biasa. Rendahan, kotor --menurut ukuran orang kantoran sepertiku. Tetapi aku merasa pekerjaannya berberkat. Dia mendapat untung dari kerja kerasnya mengumpulkan tanah bakaran, mengumpulkan kotoran, dan menjadikannya media siap tanam yang diperlukan orang-orang kota seperti aku. Yang tinggal berdempet-dempet dengan rumah tetangga, tak punya pekarangan, tapi ingin bertanam-tanam di pot. Ingin hijau-hijauan yang hidup, bernapas dan memberi energi. Untuk kenyamanan orang kota yang malas dan pandai mencari pembenaran tentang sempitnya lahan yang dimiliki.

Yang punya gudang juga merasa untung karena sisa bakarannya bersih lagi setelah diambil oleh pengayak tanah itu. Mereka siap membakar makanan kadaluarsa selanjutnya. Seandainya tidak ada orang yang bersedia mengerjakan hal-hal rendahan dan kotor? Bagaimana?

Aku bahagia melihat sang pengayak tanah ini. Lebih berbahagia daripada melihat spanduk-spanduk calon pemimpin yang ingin bertarung dalam pilkada mendatang. Selain bisa membuat pusing karena terus-menerus membaca janji-janji palsu juga mengakibatkan rawan kecelakaan (sueer.. temanku hampir jatuh dari motornya gara-gara tiang spanduk yang dipasang di tepi jalan tiba-tiba ambruk ditiup angin dan nyaris menimpanya). Lebih bahagia daripada melihat iklan-iklan apartemen atau rumah mewah di TV yang dengan berapi-api menerangkan bahwa lokasi mereka bebas banjir (sampai berapa lama bebasnya?). Lebih bahagia daripada aku menerima gajiku sendiri sebulan hasil duduk-duduk, berpikir sedikit, bicara sedikit, dan menulis uneg-uneg banyak di komputer seperti saat ini.

Bagaimanapun, aku bahagia untuk sang pengayak tanah itu. Dan aku bahagia bahwa aku masih bisa merasa bahagia. Apapun alasannya.

Samarinda, 16 Mei 2008

No comments: