Tuesday, July 25, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 6

Samarinda, July 24th 2006

Hari ini aku pergi urut ke tempat mBak Jeblik. Aku tidak tahu nama sebenarnya. Hanya dia biasa di panggil begitu. Sampai saat ini dialah seorang yang bisa memperbaiki salah urat, otot keplintir, perut turun dan lain-lain yang menurutku paling manjur di Samarinda. Aku bersyukur telah mengenalnya (atau memang aku harus mengenalnya?), karena aku punya banyak masalah dengan kondisi tubuhku. Pokoknya kalau ke dokter kita sudah divonis harus bedah, kalau ke mBak Jeblik biasanya bisa beres. Apalagi kalau kita yakin dengannya, pasti ketemu dia --berjodoh orang bilang, dan akan berhasil pengobatannya.

Seperti biasa saat mengurutku, dia banyak bercerita tentang keadaan dirinya saat ini. Seperti juga aku yang tak henti dirundung santet, mBak Jeblik pun begitu.Sedihnya yang nyantet dia ndak jauh-jauh, masih keluarga sendiri, bertetangga pula. Aku kenal mBak Jeblik waktu umurku 18 tahun. Sekarang usiaku 35 tahun, dan cerita yang kudengar masih sama. Tentu saja kisah penderitaan yang dialaminya berbeda-beda. Kadang-kadang intensitasnya tinggi. Kadang rendah. Aku senang kalau dia terlihat sehat. Begitu juga orang-orang yang sering datang untuk urut padanya. Seringkali saat mendengar ceritanya disakiti seperti itu, aku kagum karena dia mampu bertahan dan sabar tidak membalas. Tapi secara umum aku lebih banyak jadi pendengar, merenungi apa yang disampaikan, membayangkan penderitaan yang dia rasakan dan keluhkan. Aku sering merasa bodoh karena tidak tahu kata-kata apa yang bisa kuucapkan.

Dulu, aku memilih jadi pendengar yang baik saja. Kini, kadang aku ingin menyampaikan sesuatu padanya. Tapi rasanya kok terlalu panjang lebar, terlalu jauh, aku merasa akan terlalu mengejutkan baginya. Rasanya aku masih harus menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan menyampaikan pemahamanku padanya.

Tadi siang percakapanku dengannya sangat menarik. Dia bilang, dia heran kenapa dia yang selama ini selalu berusaha sabar, berbuat baik dan selalu berusaha tidak melakukan suatu kesalahan apapun pada saudaranya itu tidak henti diuji, dicoba, difitnah, disakiti. Sedangkan saudaranya yang jelas-jelas salah, kok dipercaya orang, tidak pernah sakit, tidak pernah dirundung kesusahan. Hampir saja aku iseng menjawab, “Kan persis cerita sinetron. Nanti kalau tokoh jahatnya jadi baik, ceritanya habis. Tamat,” Tapi untung aku tidak sampai keceplosan begitu.

Aku ingin sekali menjawab, menerangkan padanya bahwa hal itu berkaitan dengan karma seseorang. Bahwa seseorang itu jahat atau baik hanya sekedar menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Bahwa yang terlihat jahat belum tentu jahat, yang terlihat baik belum tentu baik. Yang disakiti bukan berarti dibenci. Yang menyakiti tidak berarti dia bahagia. Tetapi aku bingung bagaimana menjelaskan padanya. Bahwa bisa jadi dia di masa kehidupan sebelum ini mungkin sekali sangat jahat, sehingga dia harus membayar kejahatannya itu di masa kehidupan sekarang. Bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita bukannya tanpa makna. Hanya karena kita tidak bisa melihat gambaran besarnya kita tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi. Intinya semua yang kita lakukan pada dasarnya akan kembali pada diri kita sendiri. Meskipun kita mengira kita telah dijahati sepanjang hidup kita, bisa jadi kalau kita mengetahui kenyataan yang sebenarnya, ternyata hal itu bukanlah apa-apa.

Hal itu sulit diterima oleh orang beragama yang penuh dengan doktrin-doktrin keagamaan yang kuat. Yang terbiasa menyalahkan pihak lain atas perbuatan yang dilakukan. Tetapi sungguh aku ingin sekali mencoba menerangkan hal itu padanya. Berharap agar ketegangan pikiran yang dialaminya karena merasa dizalimi berkurang banyak, yang ada hanya usaha untuk sadar, mempertahankan kewarasan, kesehatan dan keselamatan diri di kehidupan sekarang untuk mampu melakukan hal baik bagi dirinya sendiri.

Keinginan itu untuk sementara kutelan dulu sampai aku punya waktu yang pas untuk menyampaikan.

Hal lain yang menarik, dia tadi juga bercerita bahwa setiap dia sakit akibat santet-santet itu, dia akan berupaya kesana kemari mencari pengobatan. Kadang karena jasa dia juga dibutuhkan banyak orang, pasien dia yang semula berniat urut padanya malah ikut sibuk mencarikan penyembuhan baginya. Tetapi akhir-akhir ini setelah bertahun-tahun lelah disantet, dia bilang seringkali justru dia sembuh setelah dia mencoba mengobati dirinya sendiri. Kadang cuma diusap-usap, kadang diurut perlahan, kadang dia buat air putih untuk dirinya sendiri. Dan dia sembuh.

Setelah mendengar hal itu, aku langsung merasa mendapat konfirmasi. Jadi aku segera mendorongnya untuk meyakini hal itu, untuk percaya akan kemampuan dirinya mengobati dirinya sendiri.

Aku percaya bahwa tidak ada kejadian kebetulan. Baru beberapa hari yang lalu aku mendapatkan keyakinan seperti itu dan sekarang aku merasa mendapat konfirmasi sekali lagi. Bahwa setiap dari kita mampu menyembuhkan diri sendiri. Dan kuncinya pada keyakinan. Pengetahuan untuk penyembuhan diperlukan, tetapi keyakinanlah kunci penyembuhan itu.

Terakhir yang menjadi renunganku adalah saat pikiranku mengembara pada karma, pada perbuatan diriku, pada perbuatan orang lain pada diriku, pada perbuatan orang lain. Aku tiba-tiba teringat pada doa yang sering kuucapkan. “Semoga semua makhluk berbahagia”.

Ah, ah, tiba-tiba aku ingat kalau aku tidak pernah mendoakan “musuhku”. Lalu pikiranku berkata, “Ah doamu kan sudah untuk seluruh makhluk yang ada. Lalu hatiku menjawab, “Ya, tapi kaukan tidak pernah sungguh-sungguh berdoa untuk musuhmu, tidak pernah mengasihi mereka”.

Dan aku tersentak.

Kesadaran itu menohokku dalam sekali. Sambil meringis menahan sakit diurut mBak Jeblik, aku mengiyakan kata hatiku. Ya, aku belum pernah mengasihi musuhku. Aku berharap mereka berubah. Aku berharap mereka sadar dan berhenti menimbulkan gangguan pada diriku. Aku memahami bahwa penderitaan yang kuterima adalah karma yang harus kuterima dalam kehidupan ini, aku memahami bahwa musuhku pun hanya melakukan apa yang harus dilakukannya dalam hidupnya ini. Aku memahami fakta itu. Aku berharap musuhku sadar dan berubah, aku berharap mereka berubah. Tetapi ternyata aku tidak berubah. Kejadian-kejadian itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Aku belum memahami Kasih.

Kurasa itulah yang seharusnya kulakukan, mengasihi musuhku, dengan cara memaafkan setulusnya. Tidak dengan gerutuan, tapi dengan keikhlasan. Sehingga doa yang kuucapkan mewujud dalam kenyataan. Sehingga tidak ada lagi musuh, yang ada adalah kawan seperjalanan.

Apa yang telah kulakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. Aku tahu kesalahan bisa diperbaiki. Aku berterima kasih pada Tuhan karena aku sekarang dapat menyadarinya lewat percakapanku dengan mBak Jeblik siang ini.

Ah….lega rasanya

Friday, July 21, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 5

Samarinda, July 21th 2006

Tadi malam untuk kesekian kalinya aku “diobati” Bapak. Dalam kurun waktu 14 tahun sejak aku pertama kali tinggal di Samarinda ini, tak putus aku dirundung santet. He..he..he.. lucu rasanya mengatakan “dirundung santet”. Tapi itulah yang terjadi.

Tahun 1999 aku mulai melakukan perjalanan ke dalam diri. Memulai, belajar sana belajar sini, tabrak sana tabrak sini. Sampai saat ini aku tidak dapat sungguh-sungguh menilai diriku sendiri. Rasanya aku mengalami perkembangan, secara spiritual. Ya, aku berkembang. Tetapi karena aku berjalan langsung di jalan spiritual, aku tidak sempat bersentuhan dengan gula-gula spiritual.

Tidak, bukan tidak sempat bersentuhan, mungkin aku bersentuhan, mungkin aku sudah mengantongi gula-gula itu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Aku bahkan tidak tahu kalau aku pun memilikinya sebagai bonus perjalananku itu.

Selama aku memulai perjalananku, sedikit demi sedikit aku mulai melepaskan diri dari ketergantunganku dengan Bapak. Meskipun terasa sekali bahwa Bapak tidak mau melepaskanku. Aku sedih. Aku merasa heran kenapa Bapak tidak melihat perubahanku. Padahal perubahan-perubahan yang kualami banyak. Bapak selalu melihatku sama seperti dia melihatku pertama kali 14 tahun yang lalu.

Tadi malam, untuk pertama kali dalam enam bulan terakhir ini, aku ikut sesi meditasi bersama suamiku dan teman-temannya. Biasanya aku hanya mendengar cerita saja tentang apa yang dialami, didiskusikan, apa hal-hal yang baru didapat dari sesi meditasi itu. Atau kadang-kadang aku melihat dan mengetahui apa yang terjadi selama mereka meditasi sementara aku tidur. Kadang-kadang, hanya untuk hal-hal khusus saja. Tapi tadi malam, aku menyengaja ikut.

Keputusan itu dari hasil pemikiran dan perenungan, dan perenungan, dan perenungan, yang telah kulakukan berhari-hari, berbulan-bulan. Ditambah dengan sesi pengobatan yang Bapak lakukan terakhir ini, membuat aku bertambah mantap untuk kembali intens berlatih.

Untuk pertama kalinya setelah 14 tahun, saat diobati Bapak hatiku merasa hampa. Kehilangan keyakinan, diselimuti keraguan. Selama bulan-bulan terakhir ini aku memang telah sampai pada kesimpulan, bahwa entah kapan dimulainya sebenarnya aku telah melakukan banyak hal untuk mengobati diriku sendiri, melakukan banyak hal untuk mempertahankan diri apabila diserang. Melakukan banyak hal untuk kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan diriku. Tetapi aku tidak pernah yakin akan kemampuan diriku karena setiap kali aku bertemu Bapak, Bapak akan mengatakan bahwa itu adalah hasil dari pengobatannya, karena aku dipantau terus-menerus olehnya.

Setiap kali mendengar hal itu dari Bapak, aku kembali diselimuti keraguan akan kemampuan diriku sendiri. Semula yakin, tetapi kemudian ragu lagi. Begitu terus sampai aku lelah dengan santet-santet ini, aku lelah meragukan diriku sendiri. Aku merasa aku harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri hal ini. Mengakhiri ketergantunganku pada Bapak, mengakhiri keraguan pada kemampuan diriku sendiri. Dan, terima kasih Tuhan, aku mendapat berkah kekuatan untuk yakin tadi malam.

Sesi meditasiku lancar. Aku heran. Biasanya tidak seperti itu. Aku masih takut. Tapi semua lancar, aku tidak menimbulkan gangguan pada yang lainnya, aku merasa nyaman. Hal lain yang membuat aku merasa bahagia hingga hari ini, Mas Nur bilang ada Babaji turut hadir disana, saat kami bermeditasi, dan meninggalkan pesan bahwa apa yang telah kami bicarakan malam itu benar adanya. Itulah jalan yang harus ditempuh. Aku tidak menyadari kehadiran Babaji. Tapi aku tahu itu Babaji dari deskripsi yang diberikan Mas Nur tentang orang itu. Aku yakin. Dan aku merasa bahagia. Pertama, tentu saja karena ada orang suci yang berkenan datang dalam acara meditasi kami. Kedua, pesan yang ditinggalkannya. Meskipun tidak langsung kepadaku, aku menjadi yakin dengan apa yang telah kuputuskan malam itu.

Sebelum meditasi, kami memang telah mendiskusikan hal ini. Tentang gula-gula spiritual. Dan kami sampai pada kesimpulan, bahwa jalan yang aku dan suamiku telah tempuh selama ini tidak salah. Hanya saja kami telah melewatkan begitu saja tentang gula-gula spritual ini. Kami punya, tapi tidak tahu menggunakannya. Bahkan tidak tahu kalau kami punya. Itu akan kami pelajari sekarang, sebagai bekal agar memahami sepenuhnya gula-gula itu, paham bila ada orang yang menawarkan atau melempar gula-gula pada kami, paham agar kami tidak lagi terobsesi dan turun lagi suatu saat nanti.

Itulah, pencerahan yang kualami. Yang kami ingat-ingat sekali adalah bahwa apapun yang akan kami pelajari dan dapatkan ini adalah gula-gula. Kami tidak boleh lupa dengan tujuan kami semula. Dalam bahasa Mas Nur, Kanuragan dan Ilmu sejati haruslah berjalan seiring agar tidak pincang. Jangan keasyikan dengan ilmu kanuragan, tetapi itu turut menjadi senjata dalam menempuh perjalanan.

Tentang Bapak, bagaimanapun, he is my foster father. Dan aku tetap menghargainya sebagai orang tua. Aku tetap akan mendengarkan kata-katanya. Mengikutinya bila sejalan dengan keyakinanku, cukup mengiyakan bila ternyata bersilang jalan dengan keyakinanku. Tetapi hari ini aku yakin bahwa aku dapat melepaskan diri dan tidak bergantung lagi padanya. Aku yakin dengan kemampuan yang kumiliki yang dapat kukembangkan. Tetapi aku harus berlatih dan disiplin dengan latihanku.

Lucu juga, biasanya orang belajar gula-gula ini dulu kemudian melangkah ke jalan spiritual. Tapi aku sudah di jalan spiritual, kelaur lagi mencari gula-gula. Tapi aku yakin dengan pesan yang Babaji sampaikan. Jalan kami tidak salah. Kami harus berhati-hati agar tidak tergelincir karena ego kami. Tetapi ini tidak salah.

Monday, July 17, 2006

Pencerahan Kecil Setiap Hari 4

Samarinda, July 17th 2006

Akhir minggu yang lalu aku membaca buku Sabdo Palon dan Naya Genggong karangan Drs. Sigit Hariyadi MA. Meskipun buku itu ditulis dengan cara yang acakadut, tapi bagaimanapun masih ada yang dapat diperoleh dari buku itu. Hal-hal penting malah, yang selama ini tidak banyak orang yang tahu. Untuk lebih tepatnya mungkin bisa dikatakan orang hanya tahu versi yang lain dari cerita itu. Kukatakan acakadut karena terjemahan dari bahasa Jawa yang ditulis begitu saja, diterjemahkan kata per kata, tanpa editing agar pas dan nyaman dibaca dalam bahasa Indonesia. Tetapi penulis juga memberikan versi bahasa Jawanya dibuku tersebut. Jadi bagi yang mahir berbahasa Jawa akan lebih mudah lagi memahaminya. Pembahasannya pun minim, sulit dipahami apa maunya penulis. Tetapi diluar kekurangan tersebut, buku ini berani mengungkap hal-hal yang sama sekali berbeda dari apa yang dipahami orang selama ini.

Sebelum ini aku sudah pernah membaca Sabdo Palon. Waktu itu hanya buku photo copy-an dari teman. Isinya pun sudah diringkas. Tetapi saat membaca buku Sabdo Palon ini lagi, aku teringat lagi dengan photo copy-an yang pernah kubaca itu. Isinya sama. Hanya saja yang ini lebih lengkap.

Inti cerita dari buku Sabdo Palon ini adalah percakapan antara Ki Kalamwadi dengan muridnya Dharmo Gandul tentang cerita seputar keruntuhan Majapahit, peng-Islaman Majapahit dan pulau Jawa. Cerita yang selama ini didapat dari buku-buku sejarah bahwa Islam disebarkan secara damai adalah bohong besar !

Islam disebar di pulau Jawa dengan cara berdarah, penuh intrik, perebutan kekuasaan dan pemaksaan. Tidak berbeda dengan Islam yang dikenal sekarang. Berdarah-darah dan berbau perebutan kekuasaan. Begitulah. Orang bijak bilang, jika kita belum dapat memetik pelajaran dari pengalaman yang kita peroleh maka sejarah akan berulang. History will repeat itself.

Dari buku ini kita akan mengetahui, betapa jahatnya para Sunan yang disebut Wali Sanga itu. (Wali itu artinya walikan- Jawa, yang harusnya baik malah jahat). Pertama yang paling jahat tentulah Sunan Bonang, kemenakan dari istri Sang Prabu -- putri dari Cempa. Dialah yang menghasut Raden Patah, anak Prabu Brawijaya dari istri yang lain (putri Cina) yang tinggal di Palembang untuk menyerang ayahandanya sendiri. Dia juga yang mengerahkan para bupati lainnya dan sunan-sunan yang lain untuk memberontak dan menyerang Majapahit dengan dalih memperbaiki Masjid Demak. Dia juga yang memerintahkan Sunan Giri untuk membunuh Seikh Siti Jenar karena tidak mau ikut dalam pemberontakan ini. Hebat bukan? Bukankah sekarang cara-cara yang sama dipakai kembali untuk merebut kekuasaan, orang-orang dihasut melakukan hal-hal buruk, kejahatan, pembunuhan, anarki dengan dalih agama untuk mendapat surga.

Dari percakapan antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya (Rajanya Demit) misalnya, kita malah dapat melihat yang waras dan pengasih, jauh dari ego diri justru sang Buta Locaya. Sedangkan Sunan yang katanya aliran putih malah hanya mementingkan ego diri sendiri, akibatnya menyengsarakan manusia dengan mengeluarkan kutukan sembarangan. Menghancurkan patung-patung di hutan, tanpa memahami makna sebenarnya yang terkandung dengan keberadaan patung-patung itu. Sungguh seorang yang sangat buruk. Makanya sungguh mengherankan dia dapat bergelar Sunan. Buta Locaya juga menyampaikan pengetahuannya tentang daerah asal sang sunan --yang bernama asli Sayid Rahmad sebagai daerah yang tanahnya panas, air sulit, tidak ada tumbuhan dapat hidup, dan bahwa dia seorang penjahat di negerinya sendiri. Sungguh memalukan apabila kita setelah mengetahui kebenaran ini masih menganggap para Sunan-sunan itu sebagai orang suci.

Hal lain yang dapat diketahui adalah bahwa setelah Majapahit dapat direbut, maka seluruh kitab-kitab agama Budha yang ada di kerajaan dimusnahkan, seluruh buku-buku yang ada di tangan orang perorang juga dimusnahkan, yang tidak mau masuk Islam dibunuh sedangkan yang mau masuk Islam diberi kedudukan dan kekayaan. Seluruh buku-buku yang memuat cerita tentang leluhur kita musnah pada masa itu. Lihatlah bukankah sama dengan perilaku Taliban sewaktu berkuasa di Afganishtan, merusak patung Budha, memusnahkan segala bentuk seni budaya leluhur, mengekang kebebasan pribadi. Apakah itu kita inginkan terjadi di Indonesia. Tidak. Tidak. Tentu saja tidak. Aku akan berupaya dengan segala dayaku untuk itu.

Begitu banyak hal yang kuperoleh dari membaca ulang Sabdo Palon ini. Begitu banyak, sehingga berseliweran di kepalaku tidak tersusun rapi. Begitu banyak pencerahan yang kualami. Keyakinan ku peroleh. Pemahaman. Satu hal yang pasti -- aku merasa arahku semakin jelas.

Selama beberapa bulan terakhir ini banyak hal yang kulakukan bersama suamiku yang semuanya berujung pada pencarian akar, pencarian jati diri. Selama ini pula aku bertanya-tanya, ada apa? Di sini aku menemukan salah satu puzzle itu. Aku harus bangga dengan diriku sendiri. Dengan keluhuran nenek moyangku. Mungkin aku tidak tahu keluhuran mereka seperti apa. Tetapi melihat dan mengetahui pemahaman mereka tentang kehidupan ini aku seharusnya bersujud pada mereka. Aku tidak perlu berguru ke Arab untuk memperoleh pengetahuan, tidak perlu berguru ke Cina, tidak perlu ke Thailand, tidak perlu ke India. Aku cukup berada di sini. Mendengar nenek moyangku berkata. Dan yang akan kuperoleh tidak hanya pengetahuan, tetapi budi, rasa.

Mungkin sejarah itu terputus. Tetapi aku yakin, ada cara untuk menemukan sambungannya.

Pangeran Karang Gayam, salah satu murid Syeikh Siti Jenar beberapa kali mampir pada sesi meditasi bersama di rumah. Sayang suamiku tidak dapat menyadari kehadirannya. Berdasar hal itu aku yakin, kami dapat menemukan sambungannya. Kami dapat belajar kearifan hidup dari nenek moyang sendiri. Yang diperlukan hanya persiapan yang cukup. If the student is ready, the teacher is up here !

Mungkin akan lebih mudah bila kutuliskan pemahaman-pemahaman baru dan keyakinan-keyakinan yang kuperoleh dari buku Sabdo Palon ini :
1. Para Sunan itu tidaklah orang suci, mereka dapat gula-gula kebenaran dan menggunakannya untuk memuaskan ego diri seperti haus pemujaan, haus kekuasaan, dan mau menang sendiri.
2. Agama Budha dapat hidup ribuan tahun di wilayah yang sekarang bernama Indonesia karena agama itu yang paling dekat dengan agama yang di anut oleh nenek moyang bangsa Indonesia, dimanapun wilayah mereka berada, yaitu agama Budi. Apapun nama agama setempat, inti ajaran mereka adalah tetap dengan cara hidup serasi dengan alam, menghormati alam, menghormati segala bentuk kehidupan di alam.
3. Kita bisa hancur apabila kita plin plan, ikut-ikutan, tidak punya keyakinan diri, tidak punya harga diri, ragu-ragu dan tidak waspada. Itulah hal yang bisa dipetik dari peristiwa runtuhnya Majapahit ini. (Kebaikan hati sang Prabu dengan memberi tempat tinggal dan perlindungan juga kebebasan untuk menyebar agama, dibalas dengan kejahatan oleh para Sunan dengan cara menyerang dan meruntuhkan Majapahit)
4. Jangan sampai kehilangan jati diri. Putusnya sejarah harus membuat kita giat mencari jati diri kita. Serat Babad Tanah Jawa di tulis pada masa runtuhnya Majapahit ini. Jadi isinya tentu tidak dapat seluruhnya menggambarkan kemulyaan dan kejayaan nenek moyang kita. Itulah yang harus kita gali dengan cara instrospeksi, kontemplasi, eling dan mengembangkan Budi.
5. Keruntuhan Majapahit hanyalah salah satu gambaran dari apa yang dialami oleh wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Agama nenek moyang digantikan oleh para pendatang dengan cara pemaksaan kalau perlu dengan berdarah-darah, padahal agama nenek moyang mengajarkan hal yang lebih tinggi dari agama-agama yang baru masuk itu. Ketidaktahuan kita telah membuat kita menjadi anak durhaka. Kini saatnya untuk taubat -- sadar dan berubah.

Pemahaman-pemahaman lain :
- Patung-patung besar yang dibangun oleh nenek moyang itu adalah salah satu cara untuk hidup berdampingan dengan bangsa lain yang hidup bersama pada saat yang sama tetapi di alam yang berbeda. Mereka makanannya wewangian. Karena tanah dan pohon diambil manusia untuk tempat tinggal maka dibuatlah patung-patung itu untuk tempat tinggal mereka dan diberi wewangian(sajen)-lah disana oleh nenek moyang kita yang memahami hal ini. Jadi dua makhluk di dua alam dapat hidup bersama dalam damai.
- Sebenarnya saat aku membeli buku Sabdo Palon ini aku sedang mencari buku Melampaui Tenaga Dalam karangan Agung Webe. Buku yang kucari tidak ada, dan aku malah mendapat hal-hal baru Melampaui Keyakinan dari membaca Sabdo Palon.
- Al Quran atau Al Kitab adalah kisah sejarah. Tuhan berjanji untuk menjaga kemurnian Al Quran bukanlah Quran dalam bentuk fisik terdiri dari sekian ayat. Yang dimaksud adalah inti ajaran Qur’an yaitu Kebenaran. Sehingga kalau membaca cerita tentang Manik Maya akan diketahui bahwa tidak ada cerita Adam di usir dari surga. Itu hanyalah metafora. Puzzle lain yang aku belum bisa lihat dengan jelas.

Rasanya itu dulu untuk hari ini. Tetapi dari semua yang telah kutulis, apa yang paling besar artinya dari semua pemahamanku itu adalah bahwa : aku yakin pada jalan yang kutempuh. Aku yakin pada diriku sendiri. Aku siap menghadapi setiap resiko atas keputusanku ini.