Saturday, November 25, 2006

SDA & Lingkungan, Sebuah Ajakan

Semester ini aku mendapat kuliah Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Suer…. 10 atau 15 tahun yang lalu mata kuliah ini pasti sangat tidak menarik bagiku. Tapi sekarang lain lagi. Aku sangat berminat. Tertarik. Dan kagum mendengar penjelasan dosenku tentang tanah, air, hutan. Tentang bermacam-macam sumber daya alam dengan segala sifat yang melekat padanya, dengan segala penggolongan menurut apa dan siapa yang menelitinya. Aku kagum mengetahui bahwa manusia sekarang ini telah begitu pintar sehingga dapat mempelajari susunan tanah, sifat tanah, jenis hutan, perilaku air, and so on and so forth tentang segala macam ilmu tentang lingkungan, tentang sumber daya alam yang semua sudah, masih dan akan terus dipelajari oleh manusia.

Aku juga menjadi tahu bahwa semua pengetahuan itu telah dicoba terapkan dengan menyusun peraturan, membuat strategi dan rencana yang baik sekali (sungguh kukatakan : BAIK SEKALI!) untuk mengatur pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa begitu banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Padahal sejak dulu sudah ada lembaga yang khusus menangani hal itu, di bawah kementerian lingkungan hidup.

Kita ingat bahwa untuk setiap pembangunan (baca: eksploitasi hasil alam, perumahan, pembukaan lahan, pembangunan industri) dalam skala yang mengakibatkan perubahan landscape itu harus memenuhi persyaratan AMDAL. Dengan adanya persyaratan AMDAL sebelum pembangunan dimulai itu masyarakat luas sebenarnya mempunyai suara untuk menyetujui atau menggugurkan suatu usulan pembangunan. Belum lagi kalau menyebut begitu banyak lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang berperan sebagai kontrol dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Tanggung Jawab Bersama

Mungkin jawabannya harus kita runut dengan seksama, satu persatu, step by step, case by case. Siapa yang bertanggung jawab : semua elemen, baik pemerintah (sebagai pengatur & pengelola) industri (pihak pemrakarsa, pembangun) dan masyarakat (sebagai konsumen dan yang terkena dampak lingkungan). Apakah semua elemen ini sudah menjalankan fungsinya? Jawabannya : TIDAK.

Pemerintah sering (atau malah selalu?) kongkalikong dengan pemrakarsa (baca : pengusaha) sehingga bisa jadi kita mendengar AMDAL yang disusulkan belakangan setelah pembangunan selesai, atau data AMDAL yang telah dimanipulasi. Karena hampir dapat dipastikan, sulit sekali bagi pengusaha untuk kucing-kucingan melanggar peraturan kalau tidak main mata dengan pemerintah sebagai pengawas pemanfaatan lingkungan.

Bagaimana dengan masyarakat ? Biasanya masyarakat itu tidak peduli selama dia belum merasa terganggu dengan suatu kegiatan pembangunan. Ada juga beberapa yang ribut, tapi hampir selalu tidak mendapat perhatian. Lebih banyak lagi yang protes setelah terjadi kerusakan parah dan membahayakan. Tapi pada akhirnya tetap saja keluhannya tidak mendapat respon yang positif baik dari pihak pengusaha maupun pemerintah. Intinya masyarakat selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dalam hal ini. Jadi dimulai dari sikap tidak peduli masyarakat – menjadi keluhan massal yang selalu tidak mendapat tanggapan – pada akhirnya lahir sikap apatis terhadap situasi di sekelilingnya.

Sebenarnya hal ini sangat menyedihkan. Tetapi tinggalkan dulu soal itu. Sekarang apa tindakan yang harus diambil ?

Jangka pendek tentu saja jawaban yang pasti adalah pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas harus introspeksi diri agar menjalankan fungsinya sesuai yang seharusnya. (Tetapi bagaimana ya…..umumnya orang-orang yang duduk di bagian ini di negara kita adalah orang-orang yang berjiwa pedagang dan opportunist. Semua tindakan berdasarkan perhitungan ekonomis. Untuk kepentingan pribadi, atau paling banter untuk golongannya sendiri. Jadi sulit sekali mengharapkan perubahan, walaupun kita tidak boleh berputus harapan).

Tindakan jangka panjang, nah ini dia PR bagi kita semua seluruh elemen bangsa ini. Yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran bahwa kita semua di timur di barat, di desa di kota, di gunung, di lembah adalah satu. Saling terkait dan bergantung dalam satu siklus kehidupan. Bahkan saling terkait antar kehidupan sebelum ini—apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita—kehidupan kita sekarang, dan kehidupan yang akan datang—generasi anak cucu kita. Kalau semua orang memahami ini, sebenarnya konyol sekali kalau masih ada yang ngotot mencari keuntungan sesaat. Karena pada waktunya nanti kekonyolannya itu pasti akan melahirkan kesulitan bagi dirinya sendiri.

Tapi memang sekarang ini pepatah, “Siapa yang menabur dia yang menuai” itu sudah tidak dianggap lagi. Dianggap hanya ungkapan indah peninggalan orang dulu. Tidak banyak lagi yang berusaha memahami makna dan kebenarannya. Karena itu banyak sekali ditemui orang-orang konyol sekarang ini yang menganggap kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita itu adalah cobaan, ujian dari Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa kebanyakan orang sungguh tidak paham akan siklus kehidupan yang sedemikian alami.

Jadi bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kembali ke rencana jangka pendek, ya gedorin orang-orang pemerintah terutama para pengambil keputusan agar melek mata pada apa yang sedang terjadi dan segera sadar dan tegas untuk mengambil tindakan koreksi. Lalu gedorin juga pihak pemrakarsa agar tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, uang, uang, dan uang saja. (Mungkin bisa dengan cara di suruh retreat ke alam terbuka dengan program khusus mempelajari dan belajar mencintai alam gitchu kali ye…..pokoknya diwajibkan ….he..he..he…..;)

Bagaimana dengan masyarakat? Oh kalau masyarakat itu proyek (yang ini proyek minus uang) jangka panjang. Karena sebenarnya menyadarkan masyarakat lebih gampang karena masyarakat yang paling terkena dampak, yang paling menderita kalau ada kerusakan lingkungan. Masyarakat ada di piramida paling bawah, jadi paling mudah diarahkan. Tetapi bukan berarti mudah dalam pelaksanaan. Karena harus dimulai sejak dini. Dini sekali sejak masih anak-anak.

Anak-anak yang masih polos, tanpa prasangka, tanpa tendensi apapun pada siapapun yang dihadapinya, kepada mereka itulah kita harus menanamkan pemahaman yang benar tentang peran PENTING lingkungan sebagai tempat kita tinggal, tumbuh dan berkembang. Kapan kita bisa mengambil manfaat, kapan kita harus berhenti, bagaimana cara beradab memperlakukan alam. Jangan jadi manusia tak tahu diri.

Pada masa ini harus sudah diajarkan pemahaman yang benar tentang keterkaitan antara segala sesuatu di alam ini. Ada keterkaitan dan ketergantungan yang begitu jelas di mata, ada yang tidak jelas hingga sulit membayangkannya.

(Tetapi bagaimana ya….. sekarang anak-anak makin jauh dari alam. Turun dari rumah gedongan, masuk gedong sekolah. Lepas dari sekolah masuk gedong mall, atau ambil les ini itu belajar lagi di dalam gedong, mungkin di daerah gedongan juga. Nanti akhirnya pulang masuk rumahnya yang gedongan lagi untuk tidur. Sementara yang tidak punya rumah gedongan sudah disodori bayangan enaknya tinggal di rumah gedongan dari tontonan yang non stop 24 jam. Jadi cita-citanya pun ya jadi orang gedongan. Lupa menikmati sejengkal halaman yang banyak tanaman. Jadi bagaimana mau cinta alam, mau kenal alam, kalau sejak lahir, tumbuh besar kemana-mana hanya masuk dalam sangkar gedong lagi?)

Action, action, action
Begitulah keadaan kita sekarang ini. Kalau kita lihat contoh garis besar kejadiannya:
- Pertama bencana terjadi di Indonesia (misal kebakaran hutan).
- Kenapa terjadi bencana? Karena tindakan manusia mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, atau bahasa kerennya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan (ceritanya mau bikin perkebunan, pH tanah tidak cocok dengan tanaman yang akan ditanami, jadi bakar dulu lokasi untuk meningkatkan pH tanah tadi).
- Siapa yang terkena bencana? Seluruh masyarakat, bisa di sekitar lokasi bisa juga jauh dari lokasi. (Ingat, kebakaran hutan di Indonesia, yang keasapan dan menuai penyakit selain Indonesia sendiri juga negara tetangga. Tetapi biasanya si pemrakarsa --dalam contoh ini yang membakar hutan-- tidak terkena dampak secara langsung, karena mereka berduitlah..)
- Kapan bencana terjadi ? Ada yang bisa diprediksi karena selalu berulang setiap tahun tapi tidak kunjung disadari dan diatasi. Ada bencana baru akibat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ada yang memang baru sama sekali. (Mungkin yang baru ini bisa dicontohkan bencana Lumpur Lapindo lah….)

Jadi apakah kita sudah mendapat jawaban dari pertanyaan kita di atas? Rasanya sudahlah yau….. Tinggal actionnya sekarang.

Saya mengajak Anda yang membaca tulisan ini, memberi sedikit sumbangan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan sekarang ini. Tapi tenang saja, saya tidak minta uang.

Saya hanya minta kesediaan Anda, Anda, dan Anda untuk sedikit melakukan perubahan setiap hari. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, kalau ada tanah sejengkal di halaman tanamilah dengan pepohonan, kalau ada kesempatan melakukan usaha/bisnis jangan sampai merusak lingkungan, sedapatnya membuat rumah yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan iklim tropis kita ini jadi tidak perlu pake AC, tidak perlu listrik untuk penerangan nonstop 24 jam lagi.

Bagi yang kerja kantoran sebisanya memanfaatkan kertas bekas sebelum benar-benar dibuang, mengurangi pemakaian kertas tissue, menaruh beberapa tanaman yang dapat menghisap racun di udara seperti tanaman Chinesse Evergreen (sejenis Sri Rejeki) atau Dracaena (yang ini saya lupa nama lokalnya) untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.

Bagi ibu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian diapers, lebih menyukai hasil kebun lokal daripada impor (kebun lokal biasanya kalah mutu sama produk luar. Kelihatannya dari daunnya yang bolong-bolong, berulat, jelek, cepat busuk karena cara pengemasan yang kurang ok. Tetapi itu juga indikasi pemakaian pestisida yang minim, jadi sayuran lebih sehat, tanah kebunnya juga lebih sehat. Efek selanjutnya kalau permintaan untuk barang lokal tinggi maka pasar bisa bergeser mengangkat produk lokal menjadi primadona, lalu petani untung, lahan kita juga selamat. Jauh sih hubungannya, tapi tetap ada jika ditelusuri lebih jauh)

Begitulah kira-kira. Anda pasti bisa menambah panjang daftar itu.
The point is: it must be started from ourselves
. Semua harus kita mulai dari diri kita sendiri. Percayalah, tindakan-tindakan kecil ini akan membawa perubahan besar pada waktunya. Yang diperlukan hanya kemauan.

Sekarang!

Friday, November 17, 2006

Dicari .......Penghargaan (yang Hilang)

Beberapa hari terakhir ini aku belusukan di dunia maya mencari bermacam-macam informasi tentang kepenulisan. Sebenarnya aku mencari contoh cover letter. Tapi entah aku yang mencarinya ditempat yang tidak tepat, aku tidak menemukannya.

Aku malah masuk ke dalam bermacam-macam milis penulis. Macam-macam namanya. Aku tidak ingat. Kalau mau cari langsung aja surfing pake kata kunci menulis, atau penulis, atau apa saja yang berkaitan dengan tulis menulis.

Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak menemukan contoh cover letter yang kuinginkan. Tetapi aku banyak mendapat informasi tentang penulisan, penerbitan, cara mengirim naskah, cara penulisan, semua hal yang bersangkutan dengan menulis, mengirim ke media atau menerbitkan buku. Beberapa malah mendapat masukan langsung dari editor suatu penerbitan, atau mendapat nasehat dari penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan.

Tapi dari sekian banyak informasi yang kudapat itu, aku mendapat kesan sedikit sekali yang mengajarkan tentang MENGHARGAI DIRI SENDIRI yang pada gilirannya berarti kita akan menghargai orang lain. Kesan yang kutangkap dari tanya jawab di milis-milis itu penerbit/editor maunya dihargai. Walaupun sebenarnya mereka tidak salah. (Tentu saja setiap orang inginnya dihargai dan sudah seharusnya kita menghargai orang lain. Tetapi kalau kita tidak pernah diajar untuk menghargai diri sendiri bagaimana kita bisa menghargai orang lain).

Jelasnya begini, dan ini tidak hanya terjadi dalam dunia penulisan saja, tetapi dalam bidang yang lain juga. Orang kita umumnya kalau sudah hebat sulit menghargai orang lain. Umumnya, orang kalau sudah hebat terus sikapnya mentang-mentang. Mau ini itu. Cerewet dan pemilih. Tetapi sering kali dengan sikapnya itu lantas dia tidak dapat lagi menghargai orang lain. Maunya dia saja yang dihargai. Kalau sama orang mikirnya “who do you think you are?”.

Tentu saja setiap orang bebas bersikap seperti yang dia inginkan. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Too high expectation. Hanya saja menurutku, seharusnya justru dalam forum seperti milis-milis seperti itu kita bisa menularkan sikap saling menghargai tadi.

Sederhananya seperti ini. Ada orang yang memang punya bakat. Dia hebat. Kita menghargainya karena kehebatannya. Tetapi ada orang yang tidak punya bakat. Dia berusaha hebat. Kita menghargainya. Ada lagi orang yang payah. Pokoknya nggak ada bagus-bagusnya deh. Hasil karyanya juga payah. Seharusnya kita tetap menghargainya. Menghargai usahanya, mencari yang terbaik dari yang buruk. Bukan bersikap, wah ini buruk, lewatkan saja.

Sebenarnya saat aku belusukan itu, aku menangkap pesannya. Ya pesannya sama. Bahwa seharusnya kita menghargai orang lain dengan berperilaku yang pantas sehingga orang juga akan menghargai kita. Tetapi banyak sekali kiranya orang kita yang tidak tahu cara berperilaku yang pantas penuh sopan santun, atau ada yang merasa terlalu hebat sehingga dia merasa tidak perlu lagi menghargai orang lain dengan sikap yang santun.

Tetapi justru --dalam hal ini karena berbicara tentang kepenulisan--, orang-orang yang berada dalam posisi menentukan bisa mendidik bagaimana bersikap yang santun dalam berperilaku dalam dunia kepenulisan ini.

Sayangnya dari hasil belusukanku kemarin, kelihatannya tidak begitu. Para penentu juga mengambil sikap yang sama dengan orang yang tidak santun dengan sama-sama bersikap tidak santun. Kalau begini kapan ada yang bersikap santun?

Lalu mereka memberitahu, kalau mau diperhatikan begini lho seharusnya bersikap sama orang. Seandainya orang yang tidak santun membaca, kemudian tahu, kemudian karena merasa perlu, dia mengikuti pemberitahuan itu untuk bersikap santun, mereka akan melakukannya selama mereka perlu saja. Begitu mereka punya ‘gigi’ ya balik lagi ke sikap asal, tidak santun. Hanya sekarang posisi mereka berubah. Mereka orang hebat sekarang, jadi berhak dong mendapat penghargaan lebih….. Lalu maunya orang lain saja yang bersantun-santun dengannya. Lalu kapan masyarakat kita sadar untuk bersikap santun. Padahal mereka yang bergerak dalam bidang media punya akses yang kuat untuk mempengaruhi orang lain dan menyebar pesan yang baik. (Menyebar pesan yang buruk juga bisa, so watch out!)

Yah ini cuma rasan-rasan. Aku heran. Kok ketika aku belusukan ke milis atau web nya orang luar bahasa yang mereka gunakan sangat menyenangkan. Mereka menghargai semua pelaku proses kreatif, baik yang hebat maupun yang sangat tidak hebat. Everyone is appreciated.

Yah, tapi bisa jadi rasan-rasan ini lahir dari kondisiku yang biasa-biasa saja dalam dunia kepenulisan ini. Bukan orang hebat. Jadinya gerundelan di belakang. Ha…ha…ha……

Samarinda, 17 November 2006

How to ...........

Aku ini senang ngoceh, berpikir, bertanya tiada henti. Kadang-kadang begitu derasnya pikiran yang mengalir sampai tidak tertampung lagi dan aku tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Terhalang oleh kewajibanku untuk bekerja juga tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. I have to make my living. Jadi sampai sejauh ini bagiku menulis masih untuk bersenang-senang.

Karena itu juga tulisanku tidak fokus. Tergantung apa yang sedang menarik perhatian dan minatku. Atau aku sedang terganggu dengan hal apa. Jadinya kadang aku menulis tentang lingkungan, kadang tentang agama, kadang tentang politik, kadang tentang budaya. Apa saja yang terlintas di pikiranku. Aku menulis cerpen, cerita anak dan puisi. Aku melukis. Dan kegiatan itu semua menggunakan energi yang sama. Energi kreatif.

Aku menemui saat aku sedang ingin melukis dan dapat menghasilkan lukisan yang tidak memalukan untuk dipajang, aku stop menulis. Atau aku masih menulis, tapi menulis rubbish. Lain waktu aku lagi heboh bikin cerita anak, energiku terpusat di situ maka aku tidak bisa menghasilkan lukisan yang bagus--menurutku. Begitu juga dalam hal topik yang ditulis. Lagi menulis cerpen, yang lain ya stop. Aku tidak bisa berpikir kreatif secara simultan untuk beberapa hal yang berbeda. Lagipula, siapa juga yang bisa?
(Tapi ini di luar hal-hal rutin yang harus kukerjakan lho ya… seperti tugas rumah tangga, tugas kantor minus decision making. Hal rutin tidak memerlukan kreatifitas lagi, jadi bisa berjalan simultan dengan proses kreatif).

Pemahaman yang kudapat dari hal ini adalah kita tidak boleh serakah ingin mengerjakan semua dalam satu waktu. Everything has its own time and space. Jadi kerjakan satu per satu, langkah demi langkah, agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kita serakah ingin meraih semuanya, kita malah kehilangan semuanya.

Sejauh ini ternyata kelihatannya isi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan judulnya. Ini hal buruk lain yang sering kulakukan (Kalau ini bisa dibilang buruk. Karena sebenarnya nggak buruk-buruk amat, ndak cocok sama isi kan tinggal ganti judul).

Aku jarang membuat frame tulisan. Jadi begini deh melenceng dari jalur semula, meskipun hal yang kutulis diatas memang benar aku alami juga. Dan karena kurasa tidak ada yang keberatan dengan judul yang tidak cocok di atas. So……

Bye bye………(for now)


Samarinda, 17 November 2006

Telanjang = Birahi ??

Hari Kamis yang lalu aku mengambil cuti sehari khusus untuk melakukan hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain akan dilakukan olehku. Aku mewujudkan keinginanku untuk DIFOTO seperti seorang model.

Aku merasa diberkahi memperoleh suami yang bisa memahami keinginanku yang tidak biasa, mau membantu, memfasilitasi dengan ide-idenya yang luar biasa. Jadilah hari itu seharian aku dijepret sana sini sampai 400 kali. Just like the model!

Aku berdandan. Mengenakan bermacam-macam pakaian yang sulit aku kenakan di hari-hari biasa karena bisa-bisa mata orang melotot padaku karena dianggap tidak sopan. Memakai wig yang sudah kusimpan hampir setahun. Mencoba bermacam-macam gaya. Dari gaya bengong bego sampai gaya penari India. Dari gaya robot sampai postur yoga. Aku mencoba semuanya. And that was really fun!

Suamiku mengatur dekorasi, background, pencahayaan (yang masih sangat amatiran), memotret (terima kasih Tuhan kini sudah ada kamera digital, sangat membantu), mengarahkan gaya agar terlihat ciamik di kamera, termasuk menyiapkan konsumsi karena aku tidak masak seharian.

Anakku yang besar memilih main ke tempat temannya. Anakku yang kecil kutitipkan ke tempat penitipan biasa. Jadilah aku menikmati seharian itu menjadi seorang model tanpa gangguan, bergaya seperti model dan merasakan lelah dan sulitnya melakukan pemotretan semacam itu. Perlu energi, stamina yang oke, konsentrasi dan kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dari pengalaman ini juga aku menjadi lebih menghargai profesi seorang model dan fotografer. (Sssttt……..suamiku juga kelelahan, sampai 3 hari kemudian baru dia merasa fit lagi)

Tetapi hal yang paling asyik dari semua itu adalah aku sempat berpose persis seperti pose Sophia Latjuba di majalah Popular yang bikin heboh pada waktu itu (sudah berapa tahun yang lalu ya kejadiannya?). Foto bugil tapi tidak terlihat bugil (semoga tidak ada yang protes, karena aku difoto oleh suami sendiri, hasil fotonya untuk dinikmati sendiri, ini bukan untuk konsumsi umum!) – yang indah!

Setelah sesi pemotretan yang melelahkan itu tibalah saatnya aku dan suamiku memilih, menyortir hasil pemotretan hingga terkumpul sekitar 100-an foto yang cukup oke untuk fotografer dan model amatiran seperti kami. Termasuk foto ala Sophia Latjuba yang kusimpan rapi tersendiri dengan hati-hati (Tapi bangga bo! Aku bisa terlihat indah di usia yang sudah segini!)

Dari situlah diskusi ini bermula. Aku bertanya mengapa banyak orang (baca: laki-laki) yang tidak tahan memandang foto-foto semacam ini, sehingga bertebaranlah majalah atau koran atau media yang jualannya yah sekitar begituan lah. (Hukum ekonomi : ada permintaan –demand-- maka ada penawaran --supply. Kalau sekarang terlihat supply-nya lebih banyak, heboh, gegap gempita, itu karena mereka yang memberi supply tahu bahwa banyak sekali potential demand yang belum tergarap di luar sana! –termasuk orang-orang golongan PIKTOR LACI –PIKiran koTOR berLAgak suCI--)

Kesimpulannya hanyalah bahwa semua karena hal-hal yang indah ini telah disalahpahami. Bahwa ketelanjangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang alami. Bahwa keadaan alami manusia di masa sekarang ini selalu dikatakan sebagai hal yang mengundang malu atau birahi. Dan yang paling ngawur, adalah saat birahi kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menimbulkan dosa. Padahal misalnya, apabila dalam sebuah rumah tangga birahi tidak ada, hancurlah rumah tangga itu, dan bingunglah pasangan suami istri itu mencari solusi kemana-mana.

Jadi pada akhirnya semua hanya karena kesalahan proses berpikir, yang kebanyakan bermula dari doktrin agama yang dipahami keliru. Seperti misalnya; berpakaianlah yang sopan dan pantas, tapi kemudian dipahami sebagai --kalau bahunya terbuka itu artinya menggoda iman. Atau kalau memakai pakaian ketat artinya mengundang ke ranjang. Nah lo!

Seandainya orang melihat perempuan pakai kebaya cukup dinikmati saja, --oh indahnya. Atau lihat orang pakai bikini, maklum saja. Tidak marah-marah pada yang pakai bikini (karena biasanya yang marah-marah itu tidak mampu pakai bikini karena malu--gemuk, cacat dllsb). Yang laki-laki juga tidak perlu melotot lihat perempuan berbikini, saingi saja dengan memakai celana speedo. Selesai perkara!

Jadi apakah ketelanjangan mengundang birahi? Jawabannya relatif bagi setiap orang. Tapi tidak seharusnya seseorang menghakimi yang lain atau sekelompok orang memaksakan nilainya tentang hal itu pada yang lain.


Aku sendiri menikmati ketelanjanganku. Dan menerima keadaan diriku ini sepenuhnya. Begitu juga orang-orang yang mencintaiku.



Samarinda, 17 November 2006

Saturday, October 28, 2006

Bencana dan Parpol

Samarinda kebakaran lagi!

Baru beberapa hari yang lalu suamiku bertemu dengan Manajer Operasional PMK Mulawarman yang bercerita bahwa setiap kali bulan Ramadhan atau Lebaran tiba, dia deg-deg-an menunggu ada kebakaran atau tidak. Dari pengalamannya, sekali terjadi kebakaran, kecil atau besar, biasanya akan terjadi kebakaran berikutnya. Kebakaran tidak pernah terjadi sekali. Begitu kesimpulannya.

Suamiku baru usai menceritakan kembali kepadaku tentang hal itu, dan malamnya listrik di rumah kami padam. Kebakaran!. Malam itu kebakarannya tidak besar. Beritanya tidak sampai masuk koran. Korbannya hanya tiga rumah. (Sebenarnya itu karena setelah rumah ketiga tidak ada rumah lagi. Jadi kebakaran tidak meluas karena api tidak bisa menjalar kemana-mana lagi).

Besok malamnya kembali listrik padam di rumah kami. Aku langsung melihat langit. Ah ya, kebakaran lagi. Yang sekali ini besar. Langit membara. Lokasi kejadian cukup jauh dari rumahku. Tapi kalau melihat warna langit yang memerah seperti itu, dapat terbayang luasnya kebakaran yang terjadi. Kebakaran terjadi di daerah muara (sungai). Dan ternyata,-- belakangan aku tahu-- ini adalah kebakaran yang ke-empat yang terjadi selama bulan Ramadhan ini.

Tetapi karena yang ke-empat ini adalah kebakaran yang paling besar, memakan korban paling banyak, dan lokasi kebakaran juga sampai di pinggir jalan raya, --seperti yang telah kuduga sebelumnya--, ramai-ramailah para parpol membuka dompet bencana dengan mengusung panji-panji partai masing-masing. Yang pertama bergerak cepat --seperti biasa-- adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Di hari kedua partai yang lain bermunculan satu persatu. Di hari ketiga PKS bahkan sudah bisa menyebut jumlah sumbangan yang terkumpul, angkanya dipampang besar-besar dipinggir jalan. Yang belakangan menimbulkan pertanyaan di benakku. Benarkah angka sumbangan yang diklaim sebesar itu (dalam ratus juta rupiah)? dan seandainya benar sumbangan yang terkumpul sebanyak itu (oh alangkah dermawannya secara umum masyarakat kita, tidak pelit membantu), sampaikah sumbangan itu ke tangan korban bencana ? atau hanya untuk gaya-gayaan saja?

Terus terang aku merasa malu dan prihatin melihat parpol-parpol itu. Setiap kali ada bencana (di Samarinda ini, entahlah di kota-kota lain) mereka memang langsung membuka pos untuk menampung sumbangan dan bantuan dari masyarakat untuk korban bencana. Sebenarnya semangatnya bagus dan mulia. Judulnya kan membantu sesama. Tetapi karena mengusung nama partai masing-masing besar-besar, niat mulia tadi malah jadi tanda tanya. Apa maksudnya?

Waktu kecil, aku diajar. Kalau membantu dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Artinya kalau mau membantu tidak usah pengumuman. Itu namanya riya’. Nah..nah.. artinya parpol-parpol ini sebenarnya kan pada riya’ berjamaah. Atau kalau tidak ya, bantuan mereka memang ada pamrihnya. Just say ……kampanye terselubung gitchu loh …..Ihik..ihik…..

Tapi rasanya masyarakat kita sekarang sudah tambah pintar, bisa membaca keadaan, tahu maksud pepatah ada udang di balik batu. Bahasa kasarnya, nih lho aku bantu, ingetin nih partaiku. Partaiku yang paling perhatian nih sama rakyat kecil…..(Aku sangsi kalau mereka benar bisa berkuasa mereka akan masih ingat sama rakyat kecil. Bukannya rakyat malah direpresi dengan agenda mereka sendiri?)

Entahlah….. aku bukan orang dermawan. Aku sangsi menyumbang. Lagi pula kalau aku mau menyumbang aku kan tidak perlu umumkan? Jaman sekarang aku benar-benar bingung kemana bisa menyalurkan bantuan tetapi aku tetap bisa yakin bantuanku akan sampai ke tangan yang membutuhkan bantuan sebenar-benarnya.

Tapi setiap orang punya pilihan.

Kurasa aku hanya ingin menyampaikan pada parpol-parpol itu. Cobalah malu sedikit sama rakyat. Anda mau cari suara, cari simpati. Membantu di sana sini. Tapi pamrihnya besar sekali. Jelas-jelas terbaca. Apa mau anda. Seandainya anda orang biasa-biasa. Adakah anda akan membantu juga?

(Tapi mungkin lebih baik mereka yah? Paling tidak mereka berkarya. Daripada saya, hanya bicara saja….;)

Samarinda, 20 Oktober 2006

Tuesday, October 17, 2006

Kearoganan Negara Tetangga - Kebodohan Kita

Bicara tentang negara tetangga Malaysia --negeri jiran--, akhir-akhir ini setidaknya ada dua berita yang menggangguku. Pertama tentang nelayan-nelayan Indonesia di perairan Belawan yang ditembak tentara Diraja Malaysia. Kedua tentang komentar Malaysia yang menilai lambannya pemerintah Indonesia menangani asap kebakaran (pembakaran?) hutan.

Hal yang pertama, tentang nelayan. Lagi-lagi titik pangkal persoalan adalah beda pengakuan teritorial laut kita. Indonesia menghitung wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sesuai Konvensi Hukum Laut 1982 sejauh 200 mil dari garis pantai. Ini adalah hak istimewa Indonesia sebagai negara kepulauan. Sedangkan Malaysia menghitung batas persinggungannya dengan Indonesia di selat Malaka berdasarkan kesepakatan Landas Kontinen 1970. Menurut Indonesia Landas Kontinen gugur karena ZEE tadi, tapi Malaysia bersikukuh bahwa garis ZEE dan Landas Kontinen adalah satu. Akibat debat perbedaan pengakuan jarak itu, mengakibatkan nyawa nelayan Indonesia hampir melayang.

Tetapi ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya nelayan Indonesia juga sering ditembaki oleh tentara Malaysia. Perahu mereka rusak, bolong-bolong. Adegan kejar-kejaran seperti di film-film juga berlangsung. Sebenarnya bagian inilah yang aneh. Seharusnya jika tentara Malaysia melihat ada pelanggaran batas wilayah seperti itu, peringatan saja sudah cukup. Setelah itu diselesaikan baik-baik. Tidak perlu ditembak mati-kan ? Prosedurnya mana, seperti apa? Kelihatannya tentara Malaysia tidak mengambil jalan itu.

Wahai pemerintah Indonesia, bagaimana ini? Mana jaminan keselamatan dari pemerintah bagi seluruh warga negara dalam bekerja? Kemana pemimpin-pemimpin kita ini? Apa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap sikap Malaysia yang seperti ini?

Kedua, tentang asap kebakaran hutan. Setiap tahun hal ini terjadi. Negara tetangga menyalahkan Indonesia karena dari tahun ke tahun tidak ada solusi untuk memecahkan masalah ini. Tetapi mereka juga tidak membantu. Dan saat terungkap beberapa kasus terjadinya bencana asap itu karena pembakaran hutan yang disebabkan oleh pengusaha-pengusaha Malaysia juga --entah pembukaan lahan dan usaha peningkatan pH tanah untuk penanaman perkebunan sawit ataupun hanya untuk mengambil kayunya begitu saja-- pemerintah Malaysia tutup mata. Pokoknya yang salah Indonesia.

Terus terang aku tidak sabar melihat reaksi pemerintahku sendiri. Indonesia ini sudah terkenal di negara tetangga yang serumpun Melayu sebagai negara yang penuh masalah, yang malas, dst, dst…… Cukuplah sudah itu. Tapi janganlah menjatuhkan harga diri sendiri dengan menerima begitu saja limpahan kesalahan dan umpatan kebodohan dari negara lain seperti itu. Aku melihat pemerintahku tidak memiliki rasa cinta tanah air yang kuat. Tanah dan air lho! Bukan hanya tanah. Bukan hanya pulau Jawa. Tapi seluruhnya, seluruhnya. Yang kecil-kecil, yang jauh di mata pun juga.

Tapi mau ngotot menang sendiri berbicara tentang hal ini rasanya lucu juga. Karena semua hal di atas bisa terjadi karena kesalahan Indonesia sendiri juga. Kalau pemerintah Indonesia tidak menunda-nunda penyelesaian masalah pengakuan batas teritorial laut, atau tidak mengabaikan perbedaan pengakuan ini begitu saja, seharusnya ada usaha-usaha yang terus dilakukan untuk membereskan masalah ini hingga bisa dicapai kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang batas laut masing-masing.

Kalau pemerintah mengatur tertib pengusaha-pengusaha mana yang boleh merambah hutan, ijinnya sejauh apa, apa saja yang boleh dilakukan, mungkin kejadian kebakaran hutan seperti yang masih berlangsung hingga hari ini tidak perlu terjadi setiap tahun. Di mataku kebakaran hutan seluas, selama dan serutin ini adalah karena pembakaran, bukan sebab alami.

Sekarang kalau rakyat kecil sepertiku marah pada sikap Malaysia, bagaimana dengan pemerintahku yang adem-adem saja. Langsung minta maaf pada negara tetangga atas gangguan ini sih boleh-boleh saja. Tapi jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Aku gemas sekali dengan pemerintahku sekarang ini.

Dulu kasus Ambalat, lalu rebutan Sipadan Ligitan. Indonesia kalah terus. Malaysia coba-coba lagi kan? Kalau diibaratkan, aku jadi Malaysia, melihat tetanggaku anak baik, barangnya diambil diem, rumahnya ditinggalin diem, makan minum tidur di rumahnya diem, ya kuambil aja rumahnya sekalian. Toh rumahnya ndak pernah diurusin, ndak pernah dijaga, penghuni rumah ndak bisa makan, diambil alih saja sekalian. Logikanya sih begitu. Tapi apa Indonesia mau dibegitukan?

Apakah lama-lama sedikit demi sedikit wilayah abu-abu Indonesia akan jatuh satu persatu ke tangan negara tetangga?
Oi pemerintah, apa kerjamu?

Sementara orang Malaysia --maksudku benar-benar masyarakatnya-- bisa berkomentar dengan tenang (jadi ‘ketok’ orang pinter, terpelajar gitu loh!), “Oh menang-menang Indonesia kalau sampai perang, tetapi untuk apa perang. Kami tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik kami. (Padahal justru masalahnya di situ, Malaysia ingin memiliki semua wilayah abu-abu Indonesia, karena Indonesia diam saja). Lagi pula ingatlah, berapa banyak orang Indonesia yang mencari makan di Malaysia”.(Duh pemerintahku, kalau orang sampai bilang begini bagaimana lagi menjawabnya? Siapa lagi yang harus disalahkan selain diri sendiri. Memberi makan rakyat sendiri saja tidak mampu, hingga harus mengais-ngais menjadi kuli dan babu di negeri orang?)

Tidak tahu lagi aku harus berkomentar apa dan berpikir mengapa, atau memberi solusi bagaimana. Aku cinta tanah airku. Satu hal itu yang pasti. Aku mewujudkan cintaku dengan apa yang aku mampu. Hanya saja, saat ini aku tidak mampu memberikan yang lain selain tumpahan kekesalan dan kesedihan hatiku. Saat ini hanya itu yang mampu kuberi. Saat ini, detik ini, kekesalan dan kesedihan itu tumpah dalam tulisan ini. Mungkin di lain waktu aku bisa melakukan hal lain. Atau jika sampai waktuku, I could make something big, very big, so I can make a diference. A big difference.

(But why wait big? Why not now, this moment?)

Tanah airku, aku mencintaimu!

Samarinda, 16 Oktober 2006

Monday, October 09, 2006

Terempas ke Sudut Leiden

Aku membaca artikel ini di majalah Tempo edisi 2-8 Oktober 2006. Isinya tentang Museum Etnografi di Leiden yang memiliki barang-barang pampasan dari perang puputan di Badung dan juga Klungkung.

Pampasan perang puputan Badung antara lain berupa barang-barang berharga yang bentuk rupanya sulit terbayangkan olehku. Disebutkan di situ ada keris, tombak, senapan berlaras panjang yang dilapisi emas, tenunan, perhiasan (satu diantara perhiasan yang mewah dan anggun yang biasa dipakai dalam upacara adat juga ada : berupa mahkota setinggi 35 cm berbahan emas, permata, batu delima dan rotan, dan dibagian belakangnya ada 175 buah permata kecil dan kepala gajah –karang asti—untuk menolak bala), perlengkapan sirih, benda-benda upacara, berbagai hiasan pura, bahkan daun pintu dengan ukiran indah di satu sisinya yang menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana : Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.

Sedangkan barang-barang dari puputan Klungkung di antaranya bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran) dan kotak tembakau, yang semuanya berbahan emas dan perak. Juga ada alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima dan kristal. Selain itu juga dibawa dua peti manuskrip Bali. (Bayangkan, manuskrip!)

Itu yang benar-benar hasil pampasan perang. Museum ini juga menerima sumbangan kolektor perorangan sehingga koleksinya bertambah lagi. Salah satu yang disumbangkan oleh kolektor perorangan adalah daun pintu yang indah tadi, yang semula akan dijadikan jembatan oleh tentara Belanda. Untungnya berhasil diselamatkan. Malangnya, selamatnya ke negeri seberang.

Dan aku sedih.

Aku sudah tahu sebelumnya. Maksudku aku pernah diberitahu sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui sejarah bangsa kita yang sebenarnya, kita harus mencarinya di negeri orang. Dan yang paling banyak merekam sejarah kita adalah Belanda. Kenapa Belanda? Karena kita telah dijajah dan dikuasai Belanda selama 350 tahun. Dan Belanda paham benar bagaimana cara melemahkan negeri kepulauan ini. Lewat budaya! Meskipun mungkin pada saat itu mereka tidak sepenuhnya berencana melakukan itu. Namanya juga perang. Taktik apapun dijalankan agar tujuan tercapai. Kalau dapat pampasan, ya angkut saja sebanyak-banyaknya.

Apapun alasan yang melatari kejadian pada waktu itu, tetap saja aku sedih. Sedih karena menyadari sekali lagi bahwa banyak sekali hal yang tidak kutahu tentang leluhurku. Riwayat leluhurku itu yang tahu malah orang lain. Ditambah lagi sedikit sekali orang Indonesia masa kini yang mungkin tahu masalah itu, yang mau melakukan sesuatu untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain. Membagi kesadaran bahwa nenek moyang kita dulu beradab dan berbudaya tinggi. Membagi pengetahuan itu dengan cara yang lebih menarik untuk generasi muda.

Generasi sekarang, termasuk aku yang lahir tahun 70-an tidak tahu banyak tentang sejarah Indonesia sendiri. Tahunya sedikit sekali. Mulai penjajahan Belanda. Masa sebelum itu cuma disenggol sedikit-sedikit dalam pelajaran sejarah. Tidak berkesan. Atau yang menulis buku sejarah itu memang tidak tahu. Atau tidak boleh menulis keadaan yang sebenarnya? Entahlah………

Tapi aku sempat beranggapan bahwa nenek moyangku itu memang orang bodoh, tidak beradab. Sampai-sampai menderita dijajah orang sebegitu lama. Aku pernah berpikir begitu. Ternyata itu karena aku tidak tahu.

Setelah aku mulai mendapat informasi sedikit dari sana, sedikit dari sini. Baca sana, baca sini. Hal ini mulai terkuak perlahan. Oh, ternyata aku salah selama ini. Nenek moyangku tidak seperti yang kubayangkan. Akulah yang tidak mengenal mereka. Ketidaktahuanku membuat aku kemudian membayangkan mereka sama seperti aku yang berpikiran cupet ini. (Kita sering kali mengukur orang dengan baju kita sendiri kan? Tidak peduli ukuran orang cocok atau tidak dengan kita….(^0^))

Aku menyadari itu sekarang. Dan aku ingin membagi kesadaran ini pada orang lain. Pada siapa saja yang membaca tulisan ini. Coba renungkan isi artikel Tempo di atas. Jumlah itu hanya untuk barang pampasan puputan di Bali. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Yang juga punya kerajaan-kerajaan besar. Kemana ceritanya? Kemana manuskrip-manuskripnya? Siapa yang menyimpan? Siapa yang memusnahkan? Kenapa musnah? Jika ada, masih adakah yang bisa membaca manuskripnya?

Terlalu sedikit dari kita yang peduli pada hal ini. We ignore our heritage for century. Kita harus berhenti sekarang. Berpikir jernih. Dan mari mulailah menghargai peninggalan leluhur kita. Tidak usah muluk-muluk ke Belanda. Meskipun jika kita bisa ke sana mencari tahu, mungkin akan lebih baik atau lebih mudah. Untuk permulaan cukuplah kita mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Dari budaya yang masih tersisa sedikit di sekitar kita.

Yang mudah, misalnya membangkitkan kecintaan pada seni tari tradisional yang mulai banyak ditinggalkan karena dianggap ndak gaul gitchu? Atau mengajarkan kembali folksong yang mulai lenyap. Mengajarkan pemahaman pada generasi muda tentang makna setiap perayaan yang kita laksanakan, misalnya saat bayi baru lahir, selamatan rumah baru, perayaan panen, pesta syukuran desa. Hal-hal kecil saja. Dari situ diharapkan bisa tumbuh minat yang akan membawa kita kembali pada pencarian jati diri bangsa ini.

Sayang sekali pemerintah kita sekarang sibuk sekali dengan kursi masing-masing, atau kompromi bagi-bagi rejeki sehingga tidak sempat memikirkan hal ini. Boro-boro menjaga tradisi, mengurus bencana alam yang sifatnya harus segera saja ndak becus. Orang sudah sekarat, dia masih rapat.

Tapi bisa jadi karena pejabat-pejabat kita ini memang sudah mati rasa, tidak berbudaya, sehingga melahirkan sikap arogan, seenaknya. Pokoknya aku ndak susah, yang lain emang gue pikirin?

Kembali lagi, mana yang lebih dulu harus kita urus kalau sudah begini? Ya…urusan bencana harus segera. Tapi paling tidak kita sudah mendapat pelajaran bahwa budaya itu penting. Jangan pernah meninggalkan budaya sendiri. Karena akan menuntun perilaku dan tindak tanduk kita. Apalagi bila kita telah menjadi seorang pemimpin. Panutan.

Artinya lagi, jangan pernah meninggalkan budaya kita sendiri. Kita yang melahirkan budaya itu. Pastilah itu yang paling cocok untuk kita. Dan juga tidak perlu menunggu pemerintah membantu. Seandainya pemerintah turun tangan membantu, memberi kepedulian, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi tidak dibantupun, kita juga harus bisa.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Mencintai Ibu Pertiwi. Masa’ yang kenal Ibu Pertiwi ini malah orang lain, anaknya sendiri ndak peduli?

Kita tidak begitu. Jadi, mari………………..

Samarinda, 7 Oktober 2006

Friday, October 06, 2006

Rumah Ibadah tanpa Jiwa yang Beribadah

Masih tentang ibadah. Sekarang hampir ditiap sekolah dasar di kotaku ini dibangun tempat ibadah --masjid atau langgar--. Aku tidak tahu mereka menyebutnya masjid atau langgar. Yang pasti meskipun halaman sekolahnya sudah sempit, tetap saja maksa untuk dibangun masjid. Ada yang tadinya aula untuk pertunjukan kesenian atau ketrampilan anak muridnya --seperti bekas sekolah anak pertamaku--, kini aula itu disulap juga menjadi masjid. Dalam hal ini aku memberi contoh sekolah dasar, karena sekolah-sekolah itu umumnya terletak di tepi jalan besar. Jadi tampak jelas di mataku.

Mungkin hal ini berkaitan dengan usulan yang dimulai beberapa tahun yang lalu untuk memasukkan kembali pelajaran Budi Pekerti dalam kurikulum sekolah. Kukatakan mungkin, karena aku tidak tahu pasti. Hanya saja kecenderungan seperti ini kulihat merebak mulai tahun lalu. Aku sendiri agak blunder dengan masalah ini. Aku tidak mengetahui dengan pasti apakah budi pekerti menjadi suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau jadi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang lain. Entahlah. Kelihatannya sih menjadi mata pelajaran sendiri, soalnya sudah ada bukunya kulihat di toko buku.

Tetapi kemudian secara perlahan aku menemui perubahan pada keadaan sekolah-sekolah di Samarinda ini. Aku dulu pernah mendengar sekilas bahwa, salah satu cara untuk menanamkan budi pekerti adalah dengan penerapan aturan mengenakan pakaian muslim tiap hari Jumat, juga diadakan pengajian di sekolah tiap hari Jumat pagi. Malah belakangan, di tahun ajaran yang baru ini, seragam sekolah yang semula rok pendek-celana pendek-baju lengan pendek menjadi rok panjang-celana panjang-baju lengan panjang. Mungkin besok-besok siswa putri diwajibkan berjilbab. Dan sekarang rame-rame bangun masjid di halaman sekolah.

Sebenarnya gejala rame-rame bangun tempat ibadah ini tidak hanya di sekolah dasar. Mungkin SMP dan SMA juga, hanya aku yang tidak melihatnya. Tetapi Kampus Unmul (Universitas Mulawarman), iya. Sekarang hampir di setiap fakultas di Unmul ada masjid atau musholla. Bahkan instansi pemerintah. Di beberapa instansi mereka juga membangun musholla sendiri. Lucunya, kadang-kadang bangunan musholla mereka itu cuma berjarak + 50 m dari masjid yang memang sudah lama berdiri.

Apakah gejala ini juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia? Entahlah……. Semoga tidak.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ini semua hasil dari pengejawantahan pelajaran Budi Pekerti, hasil dari penafsiran terhadap pelajaran Budi Pekerti ? Kalau jawabannya ya. Aneh rasanya. Karena apakah dengan mengenakan identitas muslim (baca:keagamaan) akan mampu merubah seseorang menjadi ber-BUDI PEKERTI yang baik? Apakah dengan dibangun masjid di tiap sekolah akan membuat anak murid menjadi lebih ber-BUDI PEKERTI?

Menurut pendapatku tidak. Karena budi pekerti adalah hasil olah rasa. Hasil budaya. Hasil peradaban. Bukan doktrin. Bukan perilaku yang dipaksakan. Jadi meskipun semua orang dipaksa mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas keagamaan, meskipun kemana mata memandang yang terlihat hanya rumah ibadah, kalau tidak ada penghalusan rasa, tidak ada budaya yang dipelihara, pengembangan budi pekerti adalah non sense belaka.

Budi artinya pikiran yang jernih, sedangkan Pekerti berarti akhlak, watak perbuatan yang baik. Jadi budi pekerti adalah watak perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang jernih. Budi pekerti adalah ibu dari segala prinsip moral, etika, dan perilaku yang baik dan tepat. Budi pekerti idealnya dikembangkan dari rumah oleh orang tua dan keluarga kemudian juga oleh lingkungan sosial di sekitar kita secara langsung atau tidak langsung.

Begitulah pemahamanku tentang budi pekerti. Itu bukan doktrin. Itu adalah pemahaman. Pemahaman pada diri sendiri yang pada gilirannya berarti kita juga akan paham pada lingkungan di sekitar kita. Setelah paham, secara spontan kita akan bertindak dengan penuh kesadaran. Hasilnya pasti akan baik. Tetapi intinya tetap pada diri sendiri. Pemahaman diri. Untuk itu yang diperlukan adalah introspeksi. Orang yang sudah paham, akan memberi contoh berupa pikiran, ucapan dan tindakan atau perilaku yang baik. Dan anak-anak akan meniru yang baik tadi. Lingkungannya pun akan terkena kebaikannya tadi. Begitu saja. Alami. Natural. Tanpa paksaan. Karena memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi diseragamkan.

Kembali tentang judul tulisan ini. Sebenarnya hanya itulah yang ingin kusampaikan. Mengapa sekarang banyak bertebaran rumah ibadah, tetapi aku tidak melihat jiwa yang beribadah.

Jiwa yang beribadah tidak bisa membenci, tidak bisa menghasut, tidak bisa terkotak-kotak, tidak bisa memandang diri lebih tinggi dari orang lain, tidak merasa benar sendiri. Jiwa yang beribadah adalah jiwa yang rendah hati, yang terbuka, penuh cinta, penuh kasih, memahami kenyataan yang satu dalam realitas(?) kehidupan, yang mampu melihat secara jernih apa kedudukannya di alam semesta yang maha……ini.

Tidak banyak orang yang seperti itu bukan? Tetapi ada. Masih ada.

Aku bermimpi jiwa yang beribadah akan semakin banyak. Seperti riak gelombang di sungai Mahakam. Ada tetapi tak tampak di permukaan. Tak tampak bukan berarti tak kuat riaknya. Kini aku memimpikan riak-riak itu berkenan muncul dan membagi rasa dengan sekelilingnya. Sehingga akan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang tersentuh. Jiwa-jiwa lembut. Yang penuh cinta.

Aku di sini hanya ingin berbagi rasa
Karena aku nelangsa
Lebih banyak orang yang buta
Hanya menilai yang kasat mata

Lupa pada akar budaya
Adat tradisi leluhurnya
Yang mewariskan tata krama
Budi pekerti ada didalamnya

Lebih suka meniru-niru
Budaya seberang dianggap luhung
Tidak berkaca dulu
Agar paham bahwa nenek moyangnya sudah agung


Samarinda, 6 Oktober 2006

Wednesday, October 04, 2006

Saat Saleh menjadi Tujuan

Menyambung cerita tentang dai cilik. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan ucapan salah satu juri yang memberi komentar pada dai-dai cilik itu. Juri itu dipanggil Bunda. Beginilah kira-kira ucapan sang Bunda, “Semoga …………..menjadi anak yang pintar, yang berpengetahuan, yang saleh ………..bla bla bla………..”. Sewaktu aku mendengar kata-kata “yang saleh” aku tercenung sesaat. Sesaat saja. Tidak lama. Dan aku perlu waktu dua hari untuk paham mengapa kata-kata itu dapat membuatku tercenung sesaat seperti itu..

Saleh mengandung makna taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, suci dan beriman. Kesalehan adalah ketaatan dalam menjalankan amal ibadah. Jadi kalau seorang anak diharapkan menjadi anak yang saleh, artinya dia diharapkan akan taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, diharapkan akan menjadi anak yang suci dan beriman. Masalahnya adalah kini (mungkin sudah sejak dulu kala), hal itu kemudian malah menjadi tujuan (utama). Nah setelah saleh menjadi tujuan, apakah gerangan hal yang dapat mengantar kita dalam kesalehan?.

Menurut pemahamanku saleh adalah akibat, hasil dari proses. Ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan (amal?) ibadah adalah hasil dari upaya pemahaman diri dan pemahaman hidup dan kehidupan. Apabila saleh menjadi tujuan, maka kita hanya akan terpaku pada perilaku dan upaya-upaya untuk memperbanyak amal dan ibadah, tanpa berusaha mencari tahu apa makna dari setiap kejadian, apa maksud dari setiap gerakan, apa arti ibadah yang kita lakukan.

Lagi pula kalau hanya menyuruh orang menjadi taat itu gampang. Takut-takuti saja dengan ancaman ini dan itu. Orang bisa taat. Tetapi ketaatan itu tidak bertahan lama. Ketaatan itu hampa. Ketaatan itu bisa jadi kosmetik belaka. Superficial. Hanya agar dapat disebut sebagai ‘orang yang saleh’. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketaatan beribadah itu bukan karena cinta.

Kalau menelaah definisi saleh seperti di atas, sudah jelas aku bukan orang yang saleh. Tetapi menurutku tidak ada seorang dari kita yang dapat mengukur kesalehan orang lain. Kecuali kalau kita memang masih sibuk di dunia materi. Kalau lihat orang tungging-tungging setiap hari, lihat orang sedekah sana-sini, lantas kita menilai orang itu saleh, yah berarti memang baru sampai disinilah pemahaman kita. Baru sampai di dunia.

Tetapi, mungkin aku yang salah memahami makna saleh. Mungkin. Saat ini. Pemahamanku kini membuat segala sesuatu menjadi absurd. Semua relatif. Semua adalah proses. Semua benar.

Lalu ada temanku yang nyeletuk,” Kau tahu, pendapatmu itu tidak bisa dibawa ke tengah orang banyak”.

Kurasa dia benar. Karena itu kutuliskan di sini saja. Tidak akan banyak orang yang membacanya. Kalau sampai ada orang selain diriku yang membaca tulisan ini, artinya ……ya memang inilah waktunya dia membaca tulisan ini (^0^)

Samarinda, 2 Oktober 2006

Monday, September 18, 2006

Masih Samakah INDONESIA-ku dengan INDONESIA-mu ?

Samarinda, Sept 15th 2006

Ada sebuah toko alat memancing di Samarinda yang secara kreatif membuat iklan di depan tokonya. Mungkin maksudnya ingin meniru iklan A Mild. Jadi iklannya pun berganti tema sebulan sekali. Pernah dia membuat gambar monyet dengan tulisan, ”Sulitnya jadi manusia”. Lain waktu tulisannya berbunyi, “Jika ingin kedamaian, belok sini”. Atau “ Seandainya semua orang senang memancing, dunia akan lebih tenang”. Pokoknya kalimat-kalimatnya seru, unik dan lucu juga jika kita perhatikan.

Tetapi di antara semua iklan yang dipasang mereka selama ini, iklan yang terakhir dan masih terpasang sampai hari inilah yang sangat menggelitikku. Bunyinya,” Masih samakah INDONESIAMU dengan INDONESIAKU?”

Kebetulan setiap kali aku pergi kuliah, aku harus melewati toko itu. Jadi tulisan itu terbaca lagi. Sejak awal, tulisan itu sudah membuatku merenung. Ya. Masih samakah Indonesiaku dengan Indonesiamu?

Kelihatannya saat ini, Indonesia, negara ini, bangsa ini punya arti banyak bagi setiap orang. Kalau kau katakan bahwa segala sesuatu pasti punya arti berbeda bagi setiap orang, pernyataan itu memang benar. Jadi misalnya, pohon kayu sangat berarti bagiku, tetapi mungkin kurang berarti bagimu yang lebih suka mengutak-atik mesin-mesin. Mungkin malah pohon kayu itu hanya akan menjadi bahan percobaan untuk mesin-mesinmu. Sama halnya denganku. Mesin-mesinmu itupun tak berarti bagiku. Jadi jika mesin-mesinmu ada disekelilingku bisa jadi kusingkirkan jauh-jauh saja supaya tidak menggangguku. Ya, itu benar.

Masalahnya Indonesia adalah tanah air bagi kita berdua yang punya kesukaan dan minat berbeda ini. Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku? Jika aku menganggap Indonesia tanah kelahiranku, udara dan air kehidupanku, api semangatku dan tempat tinggalku, apakah kau juga menganggapnya seperti itu ?

Seharusnya ya, sama. Seharusnya kau juga menganggapnya seperti itu. Seharusnya setiap orang Indonesia mengakui Indonesia seperti itu. sebagai Ibu yang melahirkan setiap jiwa yang tumbuh di sini. Seharusnya!

Sayangnya sekarang tidak begitu yang terjadi.

Dulu waktu aku kecil, aku tahu aku cinta dengan negara ini. Aku cinta Indonesia sepenuh-penuhnya. Sewaktu ada gerakan Aku Cinta Indonesia dengan wujud gerakan untuk selalu membeli dan memakai barang Indonesia sendiri, aku masih berumur belasan tahun dan merasa terheran-heran. Kenapa harus ada gerakan seperti itu? Bukankah suatu hal yang wajar kalau kita mencintai produk kita sendiri. Itu biasa saja. Rupanya akulah yang belum paham dunia. Seiring dengan pertambahan usia, seiring dengan perubahan lingkungan pergaulan, bacaan, pertambahan pengetahuan lingkungan, barulah aku mulai memahami kenapa waktu itu ada gerakan Aku Cinta Indonesia.

Aku merasa dalam dua dekade terakhir ini, rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air, rasa bangga memiliki Ibu Pertiwi seperti Indonesia itu luntur dari dada setiap orang Indonesia. Sebagian orang menyalahkan sistem Orba yang menjejalkan P4 sejak kecil hingga kita dewasa sebagai penyebabnya sehingga kita jenuh dengan hal-hal bela bangsa. Tetapi menurutku bukan itu penyebabnya.

Bukan penataran P4 yang salah. Malah sekarang setelah penataran P4 dihapuskan orang makin tidak kenal dengan Pancasila, kristalisasi jiwa bangsa ini. Bahkan anak sekolahpun belum tentu tahu dan hapal sila-sila Pancasila, apalagi memahaminya. Bukan. Bukan itu.

Menurutku yang salah itu adalah para pemimpin bangsa ini, juga anggota dewan yang terhormat, entah dewan tinggi dan dewan rendah, para pejabat juga para hakim yang mulia yang tidak memberi contoh pada masyarakatnya, bagaimana mencintai tanah air. Ya, mereka tidak bisa memberi contoh karena mereka tidak cinta tanah air, mereka sibuk berdagang, memperdagangkan tanah air. Tetapi anehnya, orang-orang selalu menyalahkan sistemnya. Kalau ada yang tidak beres jalannya, sistem disalahkan. Padahal sebagus apapun sistem yang dimiliki kalau manusianya tidak beres ya tidak akan pernah bisa berjalan baik.

Jadi sebenarnya, seandainya pertanyaan “Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku?” , kalau diajukan dikalangan akar rumput, jawabannya akan sama. Ya tentu saja. Ini tempat tinggalku, tanah airku, tumpah darahku. Indonesia adalah tempat tinggal kita, tanah air kita, dan tumpah darah kita. Tetapi kalau diajukan kepada pejabat-pejabat itu jawaban yang akan kita temui seandainya mereka berani jujur mungkin, “Hmm…….Indonesia adalah tempat usahaku dan istana kekuasaanku. Tumpah darahku? Ndak la yau…….”

Tetapi karena mereka-merekalah yang dilihat setiap hari oleh rakyat kecil dilayar kaca, mereka juga yang menjadi berita yang dibaca di koran dan majalah. Bahkan banyak lagi rakyat kecil yang merasakan secara langsung akibat perbuatan mereka--jiwa-jiwa pedagang pemimpin bangsa ini--, rakyat juga menjadi kebal. Dan bebal. Orang-orang mulai meninggalkan nuraninya untuk bertahan hidup. Ada yang untuk memperbaiki taraf hidup. Orang-orang berpikir pendek, opportunist dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang menjadi egois, tidak sensitif bahkan apatis. Ya sesuai kata pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.

Jadi, jika ingin jawaban ya untuk pertanyaan awal tadi, sepertinya kita harus membersihkan petinggi-petinggi negara dari orang-orang bermental tempe semacam ini. Ya. Bermental tempe. Para pejabat itulah yang bermental tempe. Orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan orang yang lemah, tidak punya pendirian, gampang ciut nyalinya. Rasanya itulah gambaran yang tepat buat petinggi-petinggi bangsa kita sekarang ini. Bisa koar-koar doang tentang mensejahterakan rakyat, tapi saat disuruh kerja hasilnya yang untuk rakyat adalah nol besar. Yang nyata hanya kerusakan yang makin dalam, makin besar dan makin luas yang dirasakan Ibu Pertiwi, tanah air kita tercinta ini.

Jika dipersonifikasikan, Ibu Pertiwi kita ini sudah dilucuti perhiasannya, ditelanjangi tubuhnya, digores, dilukai, diperkosa, oleh orang asing, anak-anaknya malah hanya menonton saja, tidak membantu sang Ibu, alih-alih malah membantu si orang asing menyiksa Ibunya sendiri. Begitulah yang terjadi.

Lalu jika ada yang bertanya, ini salah siapa? Jawabnya ya salah kita semua, kenapa diam saja. Kenapa memilih wakil-wakil yang memimpin negara ini orang-orang yang tidak becus. Kenapa kita tidak memberdayakan diri kita sendiri. Memberdayakan lingkungan kita. Agar kita berani. Bukan berani berperang, atau berani membunuh orang yang tidak sepaham, bukan begitu. Tetapi berani karena kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Berani karena kita percaya diri bahwa kita mampu. Berani berkata tidak pada pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari keberadaan kita. Berani karena yakin bahwa Indonesiaku adalah Indonesiamu, adalah Indonesia kita semua.

Aku cinta tanah airku
Aku merasa yakin kini bahwa aku mencintai tanah airku
Meskipun kadang aku malu dengan keadaan Ibu-ku
Meskipun kadang aku malu melihat kelakuan anak-anak Ibu-ku
Tapi juga aku adalah bagian dari anak-anak itu
Aku harus mengubah kelakuanku
Hingga aku pantas menghirup udara Ibu-ku
Hingga layak aku bersimpuh di kakimu Ibu
Hingga aku mampu mempercantik Ibu-ku
Terima kasih padamu Ibu Pertiwi - Indonesiaku

Buat Anak Kok Coba-coba ?

Samarinda, September 2nd 2006

Anakku keduaku Chitta, sekarang berumur 4 tahun 8 bulan. Di usianya yang sekarang ini dia belum bisa berkomunikasi dengan baik. Dia kenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia, beberapa kata dalam bahasa Inggris, beberapa kata dalam bahasa Spanyol. Bukan. Bukan aku yang mengajarnya. Dia belajar dari video Dora, Baby Einstein dan semua video kartun yang ditontonnya. Yang membuatku kesal, dia suka belajar sendiri, tidak mau diajari. Jadi sulit sekali mengarahkannya. Dia berkembang sesuai keinginan hatinya.

Kemampuan verbalnya yang lemah itu tertutup dengan kemampuan motoriknya yang luar biasa. Chitta punya kelenturan tubuh yang menakjubkan seperti umumnya anak kecil. Dia sering menirukan postur-postur yoga yang sulit seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Tetapi dia menolak kalau kuajak yoga bersama. Dia gesit, cekatan dan kuat. Tukang urut langgananku sampai menyebutnya ‘duralex’ karena dia tidak pernah lagi keseleo kalau jatuh atau loncat-loncat. Hanya kejadian luar biasa yang bisa membuat dia keseleo lagi.

Dia juga punya daya pikir yang kuat, kemampuan analisa yang bagus, dan ingatan yang hebat. Dia cukup melihat sekali, setelah itu dia bisa menirunya. Atau dia melihat berkali-kali, sampai dia yakin dia bisa mengerjakannya. Tapi, tetap saja dia tidak mau diajari. Komputer sudah jadi mainannya sehari-hari tanpa pernah diajari. Dia hanya perlu melihat. Games-games komputer, malah tidak perlu diinstall, semua bisa dia lakukan sendiri dan tunggu saja beberapa waktu, dia pasti sudah ahli memainkannya. Cara dia menangani komputer mengalahkan kemampuanku. Rasanya begitu dia bisa ngomong, baca, tulis, habis sudah. Aku kalah darinya!

Dia juga suka menyanyi, lagu pilihannya bo….. Josh Groban atau Kitaro. Untuk sementara hanya dua itu. Tapi dia tidak menolak kalau harus mendengarkan Enya atau Sacred Aria-nya Andrea Bocelli atau Charlotte Church. Dia tidak suka lagu pop. Tapi lagu klasik anak-anak dia suka. Musik klasik juga ok.

Chitta jarang makan. Kalau dia makan satu hari sekali itu sudah luar biasa. Dia makan sesuai keinginan hatinya. Tahun pertama dia hanya minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan sedikit (sekali) bubur instan. Tahun kedua dia masih minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan keju. Tahun ketiga, dia minum sedikit susu formula, keju dan creepes. Dia suka sekali creepes. Kebetulan waktu itu Yogen Creepes baru buka outlet di Samarinda. Jadilah aku langganan setianya. Tahun keempat dia minum sedikit susu formula, coklat dan mulai makan nasi sekali sehari sepiring dengan telur dadar. Sampai sekarang. Sesekali dia mau makan kentang rebus disiram saus kacang. Atau nasi goreng, atau mie goreng. Hanya sesekali dan sangat menyenangkanku. Kesimpulanku dia makan apa yang dia butuhkan, dan dia tahu yang sedang dia butuhkan. Aku tidak pernah khawatir pada apa yang dia makan, sehingga dia tetap tumbuh sehat dengan segala (baca : sedikit) yang dia makan itu.

Itulah yang ingin kukatakan.
Aku membiarkannya tumbuh sesuai keinginannya. Semua tersedia, tapi dia memilih sendiri apa yang diinginkannya. Aku hanya memantau. Sejauh perkembangan dan pertumbuhannya dalam batas normal, aku biarkan. Tidak ada intervensi. Dan dia tetap tumbuh secara luar biasa.

Aku sering mendengar obrolan teman-temanku tentang anak-anak mereka yang tidak mau makan. Mereka coba ini itu, beri ini itu, vitamin ini itu, susu ini itu. Hasilnya : sebagian tidak berhasil, sebagian lagi malah berak-berak, muntah dan sakit. Di lingkunganku aku belum mendengar mereka yang mencemaskan anaknya itu ada yang berhasil membuat anaknya bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Aku malah kasihan sama anaknya, kok jadi percobaan. Buat anak kok coba-coba?

Tapi setiap orang kan punya pendapat masing-masing. Jadi pastilah menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri.

Aku sendiri tetap yakin dengan pendapatku bahwa sesungguhnya setiap dari kita, sejak kecil, sejak bayi, tahu apa yang kita butuhkan dan seberapa banyak kita membutuhkannya. Sewaktu kita kecil, hal itu memang hanya berhubungan dengan kebutuhan dasar makan dan minum. Tetapi seiring pertambahan usia, pengetahuan itu sebenarnya tetap ada. Tetapi seringkali pengetahuan naluriah seperti itu tertutup oleh informasi yang kita terima kemudian. Begitu banyaknya informasi yang masuk bertumpuk-tumpuk sehingga naluri kita menjadi tumpul. Kemudian kita mulai bersandar pada hal-hal di luar diri, pada dokter, pada para ahli, pada majalah-majalah pengetahuan terkini. Padahal orang yang paling ahlipun tidak pernah berhenti belajar lagi, belajar lagi dan menemukan hal yang baru lagi dari waktu ke waktu. Yang tadinya berupa kebenaran, bisa menjadi tidak benar lagi sekarang.

Tetapi begitulah manusia. Umumnya tidak percaya diri. Jadi kalau tidak sama pendapatnya dengan orang lain, atau tidak sama yang dia lakukan dengan orang lain, apalagi dengan para ahli, dia merasa yang dia lakukan tidak benar. Kita sulit menjadi diri sendiri, kalau terus mengutip apa kata orang. Kalau kita terus-terusan meniru apa yang dilakukan orang. Padahal setiap dari kita adalah pribadi yang unik, tidak ada yang menyamai kita. Padahal lagi, segala sesuatu pengetahuan itu harus kita temukan sendiri untuk mendapatkan pelajaran sepenuhnya dari sana.

Aku belajar banyak dari Chitta. Dan aku masih belajar terus darinya. Meskipun sesungguhnya dengan membiarkan dia tumbuh sesuai kehendaknya sendiri itu, artinya akupun sedang melakukan percobaan pada anakku.

Nah, buat anak kok coba-coba :0)

Friday, September 01, 2006

Padamu Ibu Pertiwi

Samarinda, September 1st 2006

Hari ini, tanggal 1 September adalah hari Bakti Ibu Pertiwi. Penetapan tanggal 1 September sebagai hari Bakti Ibu Pertiwi telah dilakukan oleh Menhan Juwono Sudarsono tahun lalu dalam acara Simposium Kebangsaan “Bagimu Ibu Pertiwi”. Simposium yang diadakan oleh National Integration Movement ini bertujuan untuk memperat persatuan dan menghilangkan segala bentuk ancaman disintegrasi , terutama dalam konteks sosial yang disebabkan oleh fanatisme kelompok yang berlebihan.

Sebagai ungkapan rasa cinta dan bakti bagi Ibu Pertiwi, hari ini aku dan suamiku memasang bendera MERAH PUTIH di halaman rumah kami. Sebuah tindakan yang mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang lain karena 17 Agustus –yang kita wajib pasang bendera—sudah berakhir. Tapi kami bangga melakukannya.

Kupikir, bagus juga kalau ada yang bertanya. Karena aku bisa menjawab, menjelaskan tentang pentingnya simbolisme semacam ini. Simbol yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah air. Hal yang sudah langka di jaman serba cepat dan materialistis seperti sekarang ini. Di mana sudah sedikit orang yang memahami makna dibalik simbol-simbol, makna dibalik setiap tindakan.

Aku mencintaimu Alam Semesta !
Aku mencintaimu Indonesia !
Indonesia Pasti Jaya !

Thursday, August 31, 2006

Lepas(kan) Beban

Samarinda, August 31th 2006

Minggu terakhir bulan September adalah awal bulan Ramadhan. Bulan puasa. Salah seorang temanku kemarin mengatakan bahwa di Balikpapan sudah keluar peraturan bahwa THM akan tutup selama sebulan penuh itu. Samarinda kelihatannya sama saja. Akan begitu juga.

Yang aku heran, kok bisa ya agama dipelintir begitu rupa. Untuk mengeluarkan aturan-aturan seenaknya. Mungkin benar saja sih ajarannya. Karena di THM bisa terjadi segala macam hal yang buruk. Tetapi carikan dong solusinya. Bagaimana dengan nasib ribuan orang yang menggantungkan diri di dunia itu. mungkin pemilik THM masih bisa bernapas, kalau ditutup usahanya dia banting usaha lain dulu untuk sebulan, bagaimana dengan orang-orang kecil yang terpaksa bekerja di lahan itu. Tidak punya pilihan yang lebih baik. Mau makan apa mereka, mau kemana. Itulah yang selalu kulihat. Kalau urusan sepida—selangkangan, pinggang, dada-- Islam itu care banget, sampe ndak peduli orang mau hidup atau mati. Tapi kalau urusan sosial, urusan kemiskinan, urusan kasih pada sesama nanti-nanti dululah…… Kebiasaan buruknya yang makin menjadi-jadi di era demokrasi ini ya itu, larang ini larang itu, bakar ini bakar itu, tapi habis itu ndak kasih solusi. Dibiarkan begitu saja. Disuruh pasrah. Orang pasrah ya mati juga kalau lapar. Solusinya lho, ndak ada. Cari kambing hitam aja yang pinter. Menggunakan demokrasi, kebebasan berekspresi untuk merepressi orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Kalau sudah sepaham semua, baru demokrasinya diberangus lagi. Prakteknya sudah jelas. Hanya orang-orang yang terlibat dalam proses itu yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Gila !

***

Setiap kali masuk bulan Ramadhan, hatiku terasa berat. Kalau orang lain mengatakan bahwa bulan ini adalah ‘bulan yang penuh berkah’, bagiku Ramadhan adalah ‘bulan yang penuh beban’.

Bagaimana tidak? Pertama, hatiku terbebani karena setiap hari akan melihat jalanan macet dimana-mana ditutup oleh orang yang berjualan ‘hidangan berbuka’. Sekitar 5-10 tahun yang lalu, lokasinya hanya di satu dua tempat. Sejak tahun kemaren lokasinya dimana saja ada tempat. Bahkan di halaman masjid. Yang dijual juga tidak lagi hidangan berbuka. Tapi juga pakaian dan perlengkapan untuk menyambut ‘pesta’ Lebaran. Melihat itu aku teringat kisah nabi Isa yang marah-marah pada pedagang yang berjualan di bait Allah. Tahun kemarin di sini sudah terulang kejadian itu. Bukan. Bukan kejadian nabi Isa marah-marah, tapi kejadian para pedagang berjualan di bait Allah. Aku hanya bisa menarik napas panjang, berusaha meringankan beban hatiku sendiri. History repeat itself.

Yang kedua hatiku terbebani lagi oleh kewajiban bangun jam 2 malam, menghangatkan makanan, membangunkan seluruh anggota keluarga untuk makan sahur bersama. Eiits…. Pasti ada yang marah atau mencibir. Apa-apaan ini, dasar murtad kafir. Tidak mau menjalankan perintah agamanya!

He he he… terus terang saja, aku pernah bilang sama suamiku. Aku tidak merasa berbahagia dengan puasa Ramadhan ini. Karena aku terpaksa. Aku terpaksa menjalankan ‘perintah agama’ supaya dinilai orang baik, supaya tidak dimarahi, dicibir, dihina diam-diam ataupun terang-terangan. Kalau terpaksa begini dimana lagi nilai ibadahnya. Tapi lalu ada yang bilang, “Kalau begitu yang ikhlas donk, dipahami apa arti puasa bla bla bla….”
Tapi sampai umurku yang segini, aku kok tidak paham-paham ya maksud puasa yang diajarkan Islam. Meskipun nglothok sih di kepalaku tentang puasa, ramadhan, malam seribu bulan, berkah, pahala, dll, dll, tapi semua itu kehilangan makna begitu menghadapi sekian banyak orang yang mengaku Islam sejati tetapi tingkah lakunya munafik, sok suci, merasa benar sendiri, sok membela agama tapi menzalimi hak orang lain, menyalah-nyalahkan orang, pokoknya kelakuannya jauh deh dari isi ajarannya. Belum lagi sekian banyak orang yang berpengetahuan agama tapi ya sekedar tahu saja, isi kitab hapal nglothok dia, tapi saat aplikasi nol besar. Pengetahuannya tentang berbagai kitab itu hanya digunakan untuk pembenaran atas setiap tindakan yang dilakukan, hati nurani ditinggalkan untuk berpedoman pada petunjuk yang sudah usang, ayat-ayat, hadits-hadits dipelintir seenaknya. Siapa juga yang tahu ?

Lalu puasa tahun ini bagaimana ya ? Hm….. gampang deh….
 
Tapi aku masih punya beban ketiga. Ini lho acara TV yang isinya religius semua. Tapi makna religius itu begini, pakaian tertutup rapat, pokoknya model koko sama jilbab. Lalu berbau-bau mistis, berdarah, agak menjijikkan (ada binatang-binatang melatanya, hiiii….), tampar-tamparan, tokoh jahatnya jahat banget, yang baik goblok banget, ada yang ngomongnya yang manis-manis yang baik-baik, sampai menangis, tapi rasanya kok yang ngomong itu nggak ngerti sama yang diomonginnya. Pokoknya keren modal pertama. Jadi itu tuh maksudnya religius! Dalam hal ini, orang-orang media itulah yang punya andil besar dalam pembodohan masyarakat. Yang terlibat di dalamnya sih juga, dengan alasan masing-masing. Lalu Ramadhan ini ? Oh mati aku, makin bertebaranlah acara-acara berlabel religius. Rasanya aku harus cukup berpuas diri dengan kaset dvd anakku saja, dora atau baby einstein, atau kartun-kartun lainnya saja.
Sekali lagi, Gila !
***


Dengan begini, aku lepaskan semua bebanku tentang Ramadhan.
Sampai jumpa bulan depan
Dengan semangat tinggi
Memperingati hari bakti Ibu Pertiwi

Semoga semua makhluk berbahagia

Tuesday, August 29, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 7

Samarinda, August 29th 2006

Aku merasa akhir-akhir ini egoku cepat sekali ‘naik’. Aku cepat marah. Cepat tersinggung. Aku tidak sepenuhnya paham dengan penyebabnya. Aku menduga-duga saja. Apakah karena latihan-latihan yang kulakukan, atau karena sisa-sisa kemarahanku beberapa waktu yang lalu itu saja.

Aku sendiri tidak merasa nyaman dengan keadaan ini. Aku berusaha. Kukatakan sekali lagi, aku berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi hatiku tidak mau dibohongi. Aku sulit berpura-pura baik kalau aku tidak ingin baik. Aku tahu aku lebih jujur pada diriku sendiri sekarang, tetapi ada efek buruknya juga. Aku juga lebih jujur pada orang lain. Termasuk kalau aku sedang marah pada mereka.
***

Tulisanku yang lalu tentang Sabdo Palon, juga banyak mendapat komentar. Ada yang ngajak diskusi, ada yang berkomentar saja. Ada yang sekedar berkomentar, ada yang menguji, ada yang menilai-nilai, ada yang menyalah-nyalahkan. Aku sempat berpikir kemungkinan tulisan itu kutarik saja dari blogku ini. Karena aku tidak ingin memancing keributan yang tidak ‘nggenah’. Orang nggak ngerti ribut, kan nggak nggenah ributnya. Tapi kemudian suamiku bilang, sebanyak apa orang yang ribut membaca itu, mungkin lebih banyak lagi yang malah mendapat pemahaman baru. Karena tiap orang menyikapi sesuatu secara berbeda. Banyak yang suka ribut, lebih banyak lagi yang diam. Tetapi karena diam, bukan berarti mereka tidak mengerti.

Jadi meskipun aku masih merasa sangsi, aku membatalkan niatku semula. Tulisan itu kubiarkan di blog ini. Aku merasa lebih baik aku cepat memulihkan keadaan diriku agar dapat berkarya yang lain lagi.
***

Sudah hampir enam minggu ini aku dan suamiku mengerjakan latihan ‘olah tenaga dalam’. Dalam upaya membangun pertahanan diri dan memahami diri sendiri. Banyak hal kualami selama enam minggu ini. Banyak pemahaman baru. Terlalu banyak pemahaman baru hingga aku tidak tahu lagi bagaimana menuliskannya. Mungkin harus kuendapkan dulu beberapa waktu, baru mutiara-mutiaranya terkuak dengan jelas.

Meskipun ada hal yang lucu dalam hal ini. Sehubungan dengan ‘pelajaran’ yang kudapatkan. Biasanya orang kalau berguru itu mengejar gurunya kemana-mana. Sejauh apapun. Kalau aku tidak. Gurunya yang datang. Aku syukuri itu sebagai berkah. Karena kalau aku wajib mengejar guru, mungkin aku tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Aku bisa kemana? Tapi karena aku hanya perlu meyiapkan diri, guruku akan datang sendiri, segalanya menjadi lebih mudah bagiku.

Kurasa sebenarnya cara kerjanya memang begitu. Kita hanya perlu menyiapkan diri. Maka GURUmu akan segera muncul, tepat di depan hidungmu. Tapi kalau kita belum siap, mau kita kejar sampai ke Himalaya juga gurunya tidak akan muncul.

Ada yang berkomentar itu padaku. Bahwa kita harus ‘berguru’ agar tidak tersesat setan. Begitulah intinya. Aku menolak pendapatnya. Dan aku menolak itu dengan penuh keyakinan. Karena aku tahu apa yang kukatakan. Karena aku tahu atas dasar pengalaman, pengalamanku sendiri. Aku bisa berguru pada siapa saja, pada apa saja. Pada saatnya aku perlu ‘seseorang’ untuk membimbingku, maka aku akan bertemu dengan ‘guruku’, dengan seseorang itu. Yang perlu kulakukan hanya menyiapkan diri, be reseptive. Contemplative. Dan Semesta akan menyiapkan segala sesuatunya untukmu, tepat takaran sesuai yang kau butuhkan. Bersiaplah!
***

Tadi pagi sambil bergurau suamiku bilang, bahwa kami ini orang yang sangat rasional tetapi apa yang kami kerjakan tidak rasional menurut kebanyakan orang. Aku sempat berkeras pada kata ‘rasional’. Bahwa aku – kami memang masih rasional. Tetapi kemudian aku sadar bahwa memang benar, apa saja yang telah kami lakukan kebanyakan hal-hal yang tidak rasional – menurut kebanyakan orang. Kami percaya takhyul, percaya fengshui, percaya hal ghaib dan mistis, tentu semua dengan pemahaman kami. Tetapi kami sangat rasional karena kami tahu alasan-alasan untuk mempercayai semua itu. kami kini tahu cara kerjanya. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa jika diukur dengan ukuran orang kebanyakan maka pernyataan yang tepat adalah, “kami orang yang ‘rasional’, tapi di saat yang sama kami juga berikap ‘irrasional’.

Isn’t that weird?

Tuesday, July 25, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 6

Samarinda, July 24th 2006

Hari ini aku pergi urut ke tempat mBak Jeblik. Aku tidak tahu nama sebenarnya. Hanya dia biasa di panggil begitu. Sampai saat ini dialah seorang yang bisa memperbaiki salah urat, otot keplintir, perut turun dan lain-lain yang menurutku paling manjur di Samarinda. Aku bersyukur telah mengenalnya (atau memang aku harus mengenalnya?), karena aku punya banyak masalah dengan kondisi tubuhku. Pokoknya kalau ke dokter kita sudah divonis harus bedah, kalau ke mBak Jeblik biasanya bisa beres. Apalagi kalau kita yakin dengannya, pasti ketemu dia --berjodoh orang bilang, dan akan berhasil pengobatannya.

Seperti biasa saat mengurutku, dia banyak bercerita tentang keadaan dirinya saat ini. Seperti juga aku yang tak henti dirundung santet, mBak Jeblik pun begitu.Sedihnya yang nyantet dia ndak jauh-jauh, masih keluarga sendiri, bertetangga pula. Aku kenal mBak Jeblik waktu umurku 18 tahun. Sekarang usiaku 35 tahun, dan cerita yang kudengar masih sama. Tentu saja kisah penderitaan yang dialaminya berbeda-beda. Kadang-kadang intensitasnya tinggi. Kadang rendah. Aku senang kalau dia terlihat sehat. Begitu juga orang-orang yang sering datang untuk urut padanya. Seringkali saat mendengar ceritanya disakiti seperti itu, aku kagum karena dia mampu bertahan dan sabar tidak membalas. Tapi secara umum aku lebih banyak jadi pendengar, merenungi apa yang disampaikan, membayangkan penderitaan yang dia rasakan dan keluhkan. Aku sering merasa bodoh karena tidak tahu kata-kata apa yang bisa kuucapkan.

Dulu, aku memilih jadi pendengar yang baik saja. Kini, kadang aku ingin menyampaikan sesuatu padanya. Tapi rasanya kok terlalu panjang lebar, terlalu jauh, aku merasa akan terlalu mengejutkan baginya. Rasanya aku masih harus menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan menyampaikan pemahamanku padanya.

Tadi siang percakapanku dengannya sangat menarik. Dia bilang, dia heran kenapa dia yang selama ini selalu berusaha sabar, berbuat baik dan selalu berusaha tidak melakukan suatu kesalahan apapun pada saudaranya itu tidak henti diuji, dicoba, difitnah, disakiti. Sedangkan saudaranya yang jelas-jelas salah, kok dipercaya orang, tidak pernah sakit, tidak pernah dirundung kesusahan. Hampir saja aku iseng menjawab, “Kan persis cerita sinetron. Nanti kalau tokoh jahatnya jadi baik, ceritanya habis. Tamat,” Tapi untung aku tidak sampai keceplosan begitu.

Aku ingin sekali menjawab, menerangkan padanya bahwa hal itu berkaitan dengan karma seseorang. Bahwa seseorang itu jahat atau baik hanya sekedar menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Bahwa yang terlihat jahat belum tentu jahat, yang terlihat baik belum tentu baik. Yang disakiti bukan berarti dibenci. Yang menyakiti tidak berarti dia bahagia. Tetapi aku bingung bagaimana menjelaskan padanya. Bahwa bisa jadi dia di masa kehidupan sebelum ini mungkin sekali sangat jahat, sehingga dia harus membayar kejahatannya itu di masa kehidupan sekarang. Bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita bukannya tanpa makna. Hanya karena kita tidak bisa melihat gambaran besarnya kita tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi. Intinya semua yang kita lakukan pada dasarnya akan kembali pada diri kita sendiri. Meskipun kita mengira kita telah dijahati sepanjang hidup kita, bisa jadi kalau kita mengetahui kenyataan yang sebenarnya, ternyata hal itu bukanlah apa-apa.

Hal itu sulit diterima oleh orang beragama yang penuh dengan doktrin-doktrin keagamaan yang kuat. Yang terbiasa menyalahkan pihak lain atas perbuatan yang dilakukan. Tetapi sungguh aku ingin sekali mencoba menerangkan hal itu padanya. Berharap agar ketegangan pikiran yang dialaminya karena merasa dizalimi berkurang banyak, yang ada hanya usaha untuk sadar, mempertahankan kewarasan, kesehatan dan keselamatan diri di kehidupan sekarang untuk mampu melakukan hal baik bagi dirinya sendiri.

Keinginan itu untuk sementara kutelan dulu sampai aku punya waktu yang pas untuk menyampaikan.

Hal lain yang menarik, dia tadi juga bercerita bahwa setiap dia sakit akibat santet-santet itu, dia akan berupaya kesana kemari mencari pengobatan. Kadang karena jasa dia juga dibutuhkan banyak orang, pasien dia yang semula berniat urut padanya malah ikut sibuk mencarikan penyembuhan baginya. Tetapi akhir-akhir ini setelah bertahun-tahun lelah disantet, dia bilang seringkali justru dia sembuh setelah dia mencoba mengobati dirinya sendiri. Kadang cuma diusap-usap, kadang diurut perlahan, kadang dia buat air putih untuk dirinya sendiri. Dan dia sembuh.

Setelah mendengar hal itu, aku langsung merasa mendapat konfirmasi. Jadi aku segera mendorongnya untuk meyakini hal itu, untuk percaya akan kemampuan dirinya mengobati dirinya sendiri.

Aku percaya bahwa tidak ada kejadian kebetulan. Baru beberapa hari yang lalu aku mendapatkan keyakinan seperti itu dan sekarang aku merasa mendapat konfirmasi sekali lagi. Bahwa setiap dari kita mampu menyembuhkan diri sendiri. Dan kuncinya pada keyakinan. Pengetahuan untuk penyembuhan diperlukan, tetapi keyakinanlah kunci penyembuhan itu.

Terakhir yang menjadi renunganku adalah saat pikiranku mengembara pada karma, pada perbuatan diriku, pada perbuatan orang lain pada diriku, pada perbuatan orang lain. Aku tiba-tiba teringat pada doa yang sering kuucapkan. “Semoga semua makhluk berbahagia”.

Ah, ah, tiba-tiba aku ingat kalau aku tidak pernah mendoakan “musuhku”. Lalu pikiranku berkata, “Ah doamu kan sudah untuk seluruh makhluk yang ada. Lalu hatiku menjawab, “Ya, tapi kaukan tidak pernah sungguh-sungguh berdoa untuk musuhmu, tidak pernah mengasihi mereka”.

Dan aku tersentak.

Kesadaran itu menohokku dalam sekali. Sambil meringis menahan sakit diurut mBak Jeblik, aku mengiyakan kata hatiku. Ya, aku belum pernah mengasihi musuhku. Aku berharap mereka berubah. Aku berharap mereka sadar dan berhenti menimbulkan gangguan pada diriku. Aku memahami bahwa penderitaan yang kuterima adalah karma yang harus kuterima dalam kehidupan ini, aku memahami bahwa musuhku pun hanya melakukan apa yang harus dilakukannya dalam hidupnya ini. Aku memahami fakta itu. Aku berharap musuhku sadar dan berubah, aku berharap mereka berubah. Tetapi ternyata aku tidak berubah. Kejadian-kejadian itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Aku belum memahami Kasih.

Kurasa itulah yang seharusnya kulakukan, mengasihi musuhku, dengan cara memaafkan setulusnya. Tidak dengan gerutuan, tapi dengan keikhlasan. Sehingga doa yang kuucapkan mewujud dalam kenyataan. Sehingga tidak ada lagi musuh, yang ada adalah kawan seperjalanan.

Apa yang telah kulakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. Aku tahu kesalahan bisa diperbaiki. Aku berterima kasih pada Tuhan karena aku sekarang dapat menyadarinya lewat percakapanku dengan mBak Jeblik siang ini.

Ah….lega rasanya

Friday, July 21, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 5

Samarinda, July 21th 2006

Tadi malam untuk kesekian kalinya aku “diobati” Bapak. Dalam kurun waktu 14 tahun sejak aku pertama kali tinggal di Samarinda ini, tak putus aku dirundung santet. He..he..he.. lucu rasanya mengatakan “dirundung santet”. Tapi itulah yang terjadi.

Tahun 1999 aku mulai melakukan perjalanan ke dalam diri. Memulai, belajar sana belajar sini, tabrak sana tabrak sini. Sampai saat ini aku tidak dapat sungguh-sungguh menilai diriku sendiri. Rasanya aku mengalami perkembangan, secara spiritual. Ya, aku berkembang. Tetapi karena aku berjalan langsung di jalan spiritual, aku tidak sempat bersentuhan dengan gula-gula spiritual.

Tidak, bukan tidak sempat bersentuhan, mungkin aku bersentuhan, mungkin aku sudah mengantongi gula-gula itu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Aku bahkan tidak tahu kalau aku pun memilikinya sebagai bonus perjalananku itu.

Selama aku memulai perjalananku, sedikit demi sedikit aku mulai melepaskan diri dari ketergantunganku dengan Bapak. Meskipun terasa sekali bahwa Bapak tidak mau melepaskanku. Aku sedih. Aku merasa heran kenapa Bapak tidak melihat perubahanku. Padahal perubahan-perubahan yang kualami banyak. Bapak selalu melihatku sama seperti dia melihatku pertama kali 14 tahun yang lalu.

Tadi malam, untuk pertama kali dalam enam bulan terakhir ini, aku ikut sesi meditasi bersama suamiku dan teman-temannya. Biasanya aku hanya mendengar cerita saja tentang apa yang dialami, didiskusikan, apa hal-hal yang baru didapat dari sesi meditasi itu. Atau kadang-kadang aku melihat dan mengetahui apa yang terjadi selama mereka meditasi sementara aku tidur. Kadang-kadang, hanya untuk hal-hal khusus saja. Tapi tadi malam, aku menyengaja ikut.

Keputusan itu dari hasil pemikiran dan perenungan, dan perenungan, dan perenungan, yang telah kulakukan berhari-hari, berbulan-bulan. Ditambah dengan sesi pengobatan yang Bapak lakukan terakhir ini, membuat aku bertambah mantap untuk kembali intens berlatih.

Untuk pertama kalinya setelah 14 tahun, saat diobati Bapak hatiku merasa hampa. Kehilangan keyakinan, diselimuti keraguan. Selama bulan-bulan terakhir ini aku memang telah sampai pada kesimpulan, bahwa entah kapan dimulainya sebenarnya aku telah melakukan banyak hal untuk mengobati diriku sendiri, melakukan banyak hal untuk mempertahankan diri apabila diserang. Melakukan banyak hal untuk kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan diriku. Tetapi aku tidak pernah yakin akan kemampuan diriku karena setiap kali aku bertemu Bapak, Bapak akan mengatakan bahwa itu adalah hasil dari pengobatannya, karena aku dipantau terus-menerus olehnya.

Setiap kali mendengar hal itu dari Bapak, aku kembali diselimuti keraguan akan kemampuan diriku sendiri. Semula yakin, tetapi kemudian ragu lagi. Begitu terus sampai aku lelah dengan santet-santet ini, aku lelah meragukan diriku sendiri. Aku merasa aku harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri hal ini. Mengakhiri ketergantunganku pada Bapak, mengakhiri keraguan pada kemampuan diriku sendiri. Dan, terima kasih Tuhan, aku mendapat berkah kekuatan untuk yakin tadi malam.

Sesi meditasiku lancar. Aku heran. Biasanya tidak seperti itu. Aku masih takut. Tapi semua lancar, aku tidak menimbulkan gangguan pada yang lainnya, aku merasa nyaman. Hal lain yang membuat aku merasa bahagia hingga hari ini, Mas Nur bilang ada Babaji turut hadir disana, saat kami bermeditasi, dan meninggalkan pesan bahwa apa yang telah kami bicarakan malam itu benar adanya. Itulah jalan yang harus ditempuh. Aku tidak menyadari kehadiran Babaji. Tapi aku tahu itu Babaji dari deskripsi yang diberikan Mas Nur tentang orang itu. Aku yakin. Dan aku merasa bahagia. Pertama, tentu saja karena ada orang suci yang berkenan datang dalam acara meditasi kami. Kedua, pesan yang ditinggalkannya. Meskipun tidak langsung kepadaku, aku menjadi yakin dengan apa yang telah kuputuskan malam itu.

Sebelum meditasi, kami memang telah mendiskusikan hal ini. Tentang gula-gula spiritual. Dan kami sampai pada kesimpulan, bahwa jalan yang aku dan suamiku telah tempuh selama ini tidak salah. Hanya saja kami telah melewatkan begitu saja tentang gula-gula spritual ini. Kami punya, tapi tidak tahu menggunakannya. Bahkan tidak tahu kalau kami punya. Itu akan kami pelajari sekarang, sebagai bekal agar memahami sepenuhnya gula-gula itu, paham bila ada orang yang menawarkan atau melempar gula-gula pada kami, paham agar kami tidak lagi terobsesi dan turun lagi suatu saat nanti.

Itulah, pencerahan yang kualami. Yang kami ingat-ingat sekali adalah bahwa apapun yang akan kami pelajari dan dapatkan ini adalah gula-gula. Kami tidak boleh lupa dengan tujuan kami semula. Dalam bahasa Mas Nur, Kanuragan dan Ilmu sejati haruslah berjalan seiring agar tidak pincang. Jangan keasyikan dengan ilmu kanuragan, tetapi itu turut menjadi senjata dalam menempuh perjalanan.

Tentang Bapak, bagaimanapun, he is my foster father. Dan aku tetap menghargainya sebagai orang tua. Aku tetap akan mendengarkan kata-katanya. Mengikutinya bila sejalan dengan keyakinanku, cukup mengiyakan bila ternyata bersilang jalan dengan keyakinanku. Tetapi hari ini aku yakin bahwa aku dapat melepaskan diri dan tidak bergantung lagi padanya. Aku yakin dengan kemampuan yang kumiliki yang dapat kukembangkan. Tetapi aku harus berlatih dan disiplin dengan latihanku.

Lucu juga, biasanya orang belajar gula-gula ini dulu kemudian melangkah ke jalan spiritual. Tapi aku sudah di jalan spiritual, kelaur lagi mencari gula-gula. Tapi aku yakin dengan pesan yang Babaji sampaikan. Jalan kami tidak salah. Kami harus berhati-hati agar tidak tergelincir karena ego kami. Tetapi ini tidak salah.

Monday, July 17, 2006

Pencerahan Kecil Setiap Hari 4

Samarinda, July 17th 2006

Akhir minggu yang lalu aku membaca buku Sabdo Palon dan Naya Genggong karangan Drs. Sigit Hariyadi MA. Meskipun buku itu ditulis dengan cara yang acakadut, tapi bagaimanapun masih ada yang dapat diperoleh dari buku itu. Hal-hal penting malah, yang selama ini tidak banyak orang yang tahu. Untuk lebih tepatnya mungkin bisa dikatakan orang hanya tahu versi yang lain dari cerita itu. Kukatakan acakadut karena terjemahan dari bahasa Jawa yang ditulis begitu saja, diterjemahkan kata per kata, tanpa editing agar pas dan nyaman dibaca dalam bahasa Indonesia. Tetapi penulis juga memberikan versi bahasa Jawanya dibuku tersebut. Jadi bagi yang mahir berbahasa Jawa akan lebih mudah lagi memahaminya. Pembahasannya pun minim, sulit dipahami apa maunya penulis. Tetapi diluar kekurangan tersebut, buku ini berani mengungkap hal-hal yang sama sekali berbeda dari apa yang dipahami orang selama ini.

Sebelum ini aku sudah pernah membaca Sabdo Palon. Waktu itu hanya buku photo copy-an dari teman. Isinya pun sudah diringkas. Tetapi saat membaca buku Sabdo Palon ini lagi, aku teringat lagi dengan photo copy-an yang pernah kubaca itu. Isinya sama. Hanya saja yang ini lebih lengkap.

Inti cerita dari buku Sabdo Palon ini adalah percakapan antara Ki Kalamwadi dengan muridnya Dharmo Gandul tentang cerita seputar keruntuhan Majapahit, peng-Islaman Majapahit dan pulau Jawa. Cerita yang selama ini didapat dari buku-buku sejarah bahwa Islam disebarkan secara damai adalah bohong besar !

Islam disebar di pulau Jawa dengan cara berdarah, penuh intrik, perebutan kekuasaan dan pemaksaan. Tidak berbeda dengan Islam yang dikenal sekarang. Berdarah-darah dan berbau perebutan kekuasaan. Begitulah. Orang bijak bilang, jika kita belum dapat memetik pelajaran dari pengalaman yang kita peroleh maka sejarah akan berulang. History will repeat itself.

Dari buku ini kita akan mengetahui, betapa jahatnya para Sunan yang disebut Wali Sanga itu. (Wali itu artinya walikan- Jawa, yang harusnya baik malah jahat). Pertama yang paling jahat tentulah Sunan Bonang, kemenakan dari istri Sang Prabu -- putri dari Cempa. Dialah yang menghasut Raden Patah, anak Prabu Brawijaya dari istri yang lain (putri Cina) yang tinggal di Palembang untuk menyerang ayahandanya sendiri. Dia juga yang mengerahkan para bupati lainnya dan sunan-sunan yang lain untuk memberontak dan menyerang Majapahit dengan dalih memperbaiki Masjid Demak. Dia juga yang memerintahkan Sunan Giri untuk membunuh Seikh Siti Jenar karena tidak mau ikut dalam pemberontakan ini. Hebat bukan? Bukankah sekarang cara-cara yang sama dipakai kembali untuk merebut kekuasaan, orang-orang dihasut melakukan hal-hal buruk, kejahatan, pembunuhan, anarki dengan dalih agama untuk mendapat surga.

Dari percakapan antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya (Rajanya Demit) misalnya, kita malah dapat melihat yang waras dan pengasih, jauh dari ego diri justru sang Buta Locaya. Sedangkan Sunan yang katanya aliran putih malah hanya mementingkan ego diri sendiri, akibatnya menyengsarakan manusia dengan mengeluarkan kutukan sembarangan. Menghancurkan patung-patung di hutan, tanpa memahami makna sebenarnya yang terkandung dengan keberadaan patung-patung itu. Sungguh seorang yang sangat buruk. Makanya sungguh mengherankan dia dapat bergelar Sunan. Buta Locaya juga menyampaikan pengetahuannya tentang daerah asal sang sunan --yang bernama asli Sayid Rahmad sebagai daerah yang tanahnya panas, air sulit, tidak ada tumbuhan dapat hidup, dan bahwa dia seorang penjahat di negerinya sendiri. Sungguh memalukan apabila kita setelah mengetahui kebenaran ini masih menganggap para Sunan-sunan itu sebagai orang suci.

Hal lain yang dapat diketahui adalah bahwa setelah Majapahit dapat direbut, maka seluruh kitab-kitab agama Budha yang ada di kerajaan dimusnahkan, seluruh buku-buku yang ada di tangan orang perorang juga dimusnahkan, yang tidak mau masuk Islam dibunuh sedangkan yang mau masuk Islam diberi kedudukan dan kekayaan. Seluruh buku-buku yang memuat cerita tentang leluhur kita musnah pada masa itu. Lihatlah bukankah sama dengan perilaku Taliban sewaktu berkuasa di Afganishtan, merusak patung Budha, memusnahkan segala bentuk seni budaya leluhur, mengekang kebebasan pribadi. Apakah itu kita inginkan terjadi di Indonesia. Tidak. Tidak. Tentu saja tidak. Aku akan berupaya dengan segala dayaku untuk itu.

Begitu banyak hal yang kuperoleh dari membaca ulang Sabdo Palon ini. Begitu banyak, sehingga berseliweran di kepalaku tidak tersusun rapi. Begitu banyak pencerahan yang kualami. Keyakinan ku peroleh. Pemahaman. Satu hal yang pasti -- aku merasa arahku semakin jelas.

Selama beberapa bulan terakhir ini banyak hal yang kulakukan bersama suamiku yang semuanya berujung pada pencarian akar, pencarian jati diri. Selama ini pula aku bertanya-tanya, ada apa? Di sini aku menemukan salah satu puzzle itu. Aku harus bangga dengan diriku sendiri. Dengan keluhuran nenek moyangku. Mungkin aku tidak tahu keluhuran mereka seperti apa. Tetapi melihat dan mengetahui pemahaman mereka tentang kehidupan ini aku seharusnya bersujud pada mereka. Aku tidak perlu berguru ke Arab untuk memperoleh pengetahuan, tidak perlu berguru ke Cina, tidak perlu ke Thailand, tidak perlu ke India. Aku cukup berada di sini. Mendengar nenek moyangku berkata. Dan yang akan kuperoleh tidak hanya pengetahuan, tetapi budi, rasa.

Mungkin sejarah itu terputus. Tetapi aku yakin, ada cara untuk menemukan sambungannya.

Pangeran Karang Gayam, salah satu murid Syeikh Siti Jenar beberapa kali mampir pada sesi meditasi bersama di rumah. Sayang suamiku tidak dapat menyadari kehadirannya. Berdasar hal itu aku yakin, kami dapat menemukan sambungannya. Kami dapat belajar kearifan hidup dari nenek moyang sendiri. Yang diperlukan hanya persiapan yang cukup. If the student is ready, the teacher is up here !

Mungkin akan lebih mudah bila kutuliskan pemahaman-pemahaman baru dan keyakinan-keyakinan yang kuperoleh dari buku Sabdo Palon ini :
1. Para Sunan itu tidaklah orang suci, mereka dapat gula-gula kebenaran dan menggunakannya untuk memuaskan ego diri seperti haus pemujaan, haus kekuasaan, dan mau menang sendiri.
2. Agama Budha dapat hidup ribuan tahun di wilayah yang sekarang bernama Indonesia karena agama itu yang paling dekat dengan agama yang di anut oleh nenek moyang bangsa Indonesia, dimanapun wilayah mereka berada, yaitu agama Budi. Apapun nama agama setempat, inti ajaran mereka adalah tetap dengan cara hidup serasi dengan alam, menghormati alam, menghormati segala bentuk kehidupan di alam.
3. Kita bisa hancur apabila kita plin plan, ikut-ikutan, tidak punya keyakinan diri, tidak punya harga diri, ragu-ragu dan tidak waspada. Itulah hal yang bisa dipetik dari peristiwa runtuhnya Majapahit ini. (Kebaikan hati sang Prabu dengan memberi tempat tinggal dan perlindungan juga kebebasan untuk menyebar agama, dibalas dengan kejahatan oleh para Sunan dengan cara menyerang dan meruntuhkan Majapahit)
4. Jangan sampai kehilangan jati diri. Putusnya sejarah harus membuat kita giat mencari jati diri kita. Serat Babad Tanah Jawa di tulis pada masa runtuhnya Majapahit ini. Jadi isinya tentu tidak dapat seluruhnya menggambarkan kemulyaan dan kejayaan nenek moyang kita. Itulah yang harus kita gali dengan cara instrospeksi, kontemplasi, eling dan mengembangkan Budi.
5. Keruntuhan Majapahit hanyalah salah satu gambaran dari apa yang dialami oleh wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Agama nenek moyang digantikan oleh para pendatang dengan cara pemaksaan kalau perlu dengan berdarah-darah, padahal agama nenek moyang mengajarkan hal yang lebih tinggi dari agama-agama yang baru masuk itu. Ketidaktahuan kita telah membuat kita menjadi anak durhaka. Kini saatnya untuk taubat -- sadar dan berubah.

Pemahaman-pemahaman lain :
- Patung-patung besar yang dibangun oleh nenek moyang itu adalah salah satu cara untuk hidup berdampingan dengan bangsa lain yang hidup bersama pada saat yang sama tetapi di alam yang berbeda. Mereka makanannya wewangian. Karena tanah dan pohon diambil manusia untuk tempat tinggal maka dibuatlah patung-patung itu untuk tempat tinggal mereka dan diberi wewangian(sajen)-lah disana oleh nenek moyang kita yang memahami hal ini. Jadi dua makhluk di dua alam dapat hidup bersama dalam damai.
- Sebenarnya saat aku membeli buku Sabdo Palon ini aku sedang mencari buku Melampaui Tenaga Dalam karangan Agung Webe. Buku yang kucari tidak ada, dan aku malah mendapat hal-hal baru Melampaui Keyakinan dari membaca Sabdo Palon.
- Al Quran atau Al Kitab adalah kisah sejarah. Tuhan berjanji untuk menjaga kemurnian Al Quran bukanlah Quran dalam bentuk fisik terdiri dari sekian ayat. Yang dimaksud adalah inti ajaran Qur’an yaitu Kebenaran. Sehingga kalau membaca cerita tentang Manik Maya akan diketahui bahwa tidak ada cerita Adam di usir dari surga. Itu hanyalah metafora. Puzzle lain yang aku belum bisa lihat dengan jelas.

Rasanya itu dulu untuk hari ini. Tetapi dari semua yang telah kutulis, apa yang paling besar artinya dari semua pemahamanku itu adalah bahwa : aku yakin pada jalan yang kutempuh. Aku yakin pada diriku sendiri. Aku siap menghadapi setiap resiko atas keputusanku ini.

Thursday, June 22, 2006

Pencerahan Kecil Setiap Hari 3

June, 21th 2006

Kemarin Mas Nanang temanku di kantor bercerita dengan bangga tentang keponakannya yang berhasil diterima di SMP 1, SMP yang ternama di Samarinda ini. Keponakannya, bukan anaknya -- karena dia belum punya anak. Hanya masuk kelas reguler, bukan kelas unggulan, kelas akselerasi ataupun kelas koalisi. Reguler. Tapi bayangkan, bahkan untuk keponakannya saja dia bisa sebangga itu.

Padahal aku, anakku juga di SMP itu bahkan masuk kelas Koalisi, dimana pengantar pengajaran menggunakan bahasa Inggris, tidak punya kebanggaan sebesar itu. Bagiku dan suamiku hal itu biasa saja karena kami merasa kami bisa lebih baik dari dia.

That is the real problem!

Saat itu aku baru dapat menyadari hal ini. Kejadian seperti yang sering kulihat di film atau baca di buku. Bagaimana anak seorang tokoh terkenal mati-matian berusaha membuktikan dirinya untuk dinilai lebih baik daripada orang tuanya. Bagaimana si anak berusaha keras untuk menjadi lebih baik dari orang tuanya. Tetapi sering kali bagaimanapun besarnya usaha si anak, jarang mereka mendapat penghargaan yang mereka harapkan. Bahkan untuk sekedar mendapat tepukan kecil di pundak sekalipun.

Terakhir film yang kutonton yang membuktikan hal ini adalah film Fahrenheit 9/11 yang terselip cerita didalamnya tentang George Bush junior yang selalu berusaha keras menyaingi prestasi Bapaknya George Bush senior. Akibatnya see….. dia menimbulkan kerusakan pada lingkungannya dan dunia untuk menunjukkan egonya ini.

Still,……. Dia tetap tidak bisa menyaingi keberhasilan bapaknya.

Kenapa ?

Karena setiap orang berbeda. Lingkungan setiap orang berbeda. Tantangan yang dihadapi setiap orang berbeda. Kemampuan setiap orang berbeda. Kepintaran, keteguhan, keuletan, keberuntungan setiap orang berbeda. Sehingga tidak benar kalau kita dapat membandingkan siapa yang lebih berhasil dari siapa, karena tidak ada seorangpun yang dapat dijadikan standar pembanding untuk orang lainnya.

So for years, I’ve made a mistake to my son. We’ve made mistakes about this thing.

Aku seharusnya selalu dapat memberi penghargaan kepada anakku itu untuk sekecil apapun pencapaiannya. Untuk sesederhana apapun keberhasilannya. Kami harus berhenti membandingkan kemampuan dan keberhasilan kami dengan kemampuan dan keberhasilannya. That’s the point.

Dan aku – kami – akan mencoba.