Monday, April 21, 2008

Arabisasi dan Religiusitas yang Keblinger:

Bila kau ingin melihat sekelilingmu berwarna hijau, jangan jadi bodoh! Tak perlu semua orang dipaksa berpakaian hijau, semua benda dicat hijau. Pakai saja kaca mata dengan lensa berwarna hijau. Maka duniamu seketika akan berwarna hijau.

Ini obrolan teman-temanku di kantor : Ada pemirsa TV yang protes kenapa penayangan acara Mama Mia (tahu nggak acara di TV mana tuh?) bertepatan dengan adzan maghrib? Sambil bercanda teman-temanku berkomentar begini : “Dia itu pengin nonton Mama Mia tapi kok pas adzan. Harus sholat tapi pengin nonton. Makanya orang yang dimarahi kenapa menayangkan acaranya kok pas adzan”

Ini cerita sepele yang sering terjadi. Tahu implikasinya jika protes kecil ini dituruti oleh pengelola stasiun TV : arogansi dari orang Islam bertambah, dia bisa mengatur orang lain agar semua kegiatan sesuai jadwal ibadahnya. Padahal seharusnya ya dia yang harus memilih mau nonton atau ibadah. Mau ibadah kok orang dipaksa menyesuaikan diri dengan ibadahnya? Tetapi hal ini akan didukung oleh kaum fundamentalis. Kenapa? Karena dengan cara ini perlahan-lahan orang bisa dikekang dengan aturan-aturan sesuai hukum Islam (baca:yang mereka inginkan)

Tahu film AAC (Ayat Ayat Cinta)? Film itu dibuat berdasarkan novel dengan judul yang sama. Isinya : tentang sang tokoh yang poligami. Bagian menariknya : Presiden RI dan Ketua MPR RI merasa perlu menonton film ini. Di tingkat daerah, para calon yang akan maju pada pilkada mengadakan acara nonton AAC bareng. Sebenarnya ada apa? Tanya kenapa? (Belakangan aku membaca di koran sedang diadakan audisi untuk mencari 5 pemeran pada film baru yang akan dibuat berdasarkan novel-novel sejenis. Tanya lagi, kenapa?)

Instruksi Wali Kota Padang, 7 Maret 2005 menyebabkan seluruh siswa mulai SD – SMA mengenakan jilbab baik muslim maupun non muslim. Mekipun Walikotanya berkelit dengan menyatakan itu hanya ‘himbauan’ kenyataannya hal ini telah berlangsung 3 tahun hingga sekarang sebagai suatu kewajiban. Suara minoritas tidak didengar. Yang minoritas tidak berani juga bersuara lantang karena merasa terancam bila mengungkapkan keberatan secara terbuka. Sayang sekali seorang pemimpin mempunyai sikap mental seperti itu. Sayang juga masyarakat Padang tidak sadar dengan akibat jangka panjang dari sikap diam mereka ini. Belum lagi perda yang mewajibkan siswa pandai baca tulis Al Qur’an. Lucu sekali.

Arabisasi? Ya, iyalah.

Disadari atau tidak, itulah yang sedang terjadi. Religiusitas kita sudah keblinger. Yang disentuh kulitnya saja.


Bangun woi….bangun!

Friday, April 18, 2008

The Trouble with Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith

Itu judul buku yang baru selesai kubaca hari ini. Judul Indonesianya Beriman Tanpa Rasa Takut, diterbitkan oleh Nun Publisher --akhirnya. Penulisnya Irshad Manji seorang jurnalis yang kolom-kolomnya muncul secara teratur di New York Times, Wall Street Journal, Times of London, Al-Arabiya.net dan sejumlah sumber berita besar lainnya. Dia juga penulis tetap feature untuk Globe and Mail Canada.

Irshad juga seorang pendiri Project Ijtihad, yaitu sebuah usaha untuk memperbaharui cara berpikir kritis, berdebat dan berpikir alternatif (baca:berbeda) dalam tradisi Islam. Seorang Senior Fellow dalam European Foundation for Democracy Director of the Moral Courage Project pada New York University yang bertujuan untuk mengembangkan pemimpin-pemimpin yang akan menantang perubahan dalam sikap politik yang baik dan sehat (political correctness), intellectual conformity dan self-censorship (kemampuan memilah dan memilih serta melakukan koreksi diri) . Dalam semangat terbaik dari pendidikan bebas, the Moral Courage Project mengajarkan bahwa hak datang bersamaan dengan tanggung jawab, bahwa kita adalah sebuah warga masyarakat bukan anggota dari suku-suku dan bahwa keberagaman hanya berarti apabila tidak hanya identitas tetapi perbedaan ide juga diterima.

Buku ini adalah buku yang kuimpikan. Aku membacanya dengan rakus, sampai pundak dan mataku tegang. Emosiku mengharu biru. Inilah dia segala hal yang selama ini ingin kusampaikan.

Semula dengan menulis ini aku ingin menulis ‘tentang’ buku ini. Tetapi setelah aku selesai membacanya aku rasa aku tidak akan bisa menuliskan dengan lebih jelas lagi duduk permasalahannya, lebih baik orang-orang membaca buku ini sendiri. Irshad telah berbaik hati menyediakan terjemahan Bahasa Indonesia dalam websitenya http://www.irshadmanji.com/indonesian-edition . Jadi ku ajak Anda semua yang sudah muak dengan keadaan kita sekarang untuk melihat lebih dekat apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekitar kita.

- Kenapa tiba-tiba pelajaran Budi Pekerti hilang dan istilahnya diganti dengan ‘akhlak’?

- Kenapa banyak sekolah negeri yang lebih mirip madrasah-madrasah yang disubsidi pemerintah dari pada sekolah umum biasa untuk seluruh rakyat?

- Kenapa di seluruh instansi pemerintah pemandangan yang kita temui nyaris seragam: :perempuan berjilbab? (bahkan seniman Dede Yusuf yang baru terpilih minggu ini jadi wakil gubernur Jawa Barat berpose dengan istrinya yang mengenakan kerudung)

- Kenapa begitu banyak muatan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri?

- Kenapa anak perempuan di sekolah-sekolah negeri pun di paksa berjilbab (dengan cara halus maupun kasar)?

- Kenapa banyak daerah-daerah tiba-tiba menuntut penerapan syariah Islam (yang sayangnya sudah terjadi di beberapa tempat)?

- Kenapa orang Islam bertambah arogan, munafik dan makin jauh dari makna ISLAM?

- Kenapa kaum fundamentalisme bisa berkembang subur?

- Kenapa sekarang sulit sekali mengucapkan selamat suka cita maupun duka cita pada tetangga kita yang berlainan iman?

- Kenapa orang Islam umumnya membenci Yahudi?

- Apakah Islam agama yang benar sementara ajarannya juga menghalalkan darah orang lain untuk dibunuh (lihatlah para penjahat yang melakukan pengeboman dimana-mana dengan berlindung pada ayat Al Qur’an juga) ?

- Apakah negara yang berdasar Islam lantas menjadikan masyarakatnya benar-benar makmur, aman, terlindungi bukannya malah tambah miskin dan teraniaya terutama kaum wanitanya?

- Apakah benar bahwa Islam adalah satu-satunya solusi seperti yang sering didengung-dengungkan partai Islam atau kelompok-kelompok Islam garis keras?

- Apakah untuk menerapkan Islam secara benar kita harus kembali ke masa permulaan Islam, sehingga harus juga menerapkan hukum yang berlaku di padang pasir di tengah-tengah orang jahil pula? (saking jahilnya sampai-sampai hukuman untuk mereka adalah rajam, potong tangan, penggal kepala, dikubur hidup-hidup, di mana letak kemanusiaannya bila ingin diterapkan pada manusia masa kini yang kecerdasan dan kesadarannya lebih maju beberapa abad, apalagi ingin diterapkan di Indonesia, yang bodohnya mereka tidak tahu kalau leluhurnya telah berbudaya tinggi, bermoral tinggi dan memahami hidup dan kehidupan lebih dari mereka yang sekedar membaca Al Quran)?

Masih banyak kenapa-kenapa dan apakah-apakah yang lain. Untuk sementara cukuplah itu. Di buku ini dibeberkan masalahnya. Duduk perkaranya hingga akhirnya kini keadaan bermuara seperti yang kita lihat saat ini.

Intinya adalah saat ini sebenarnya yang terjadi adalah ARABISASI, bukan Islamisasi. Sayangnya banyak orang tidak menyadari dan secara sistematis yang telah sadar pun dibuat tidak menyadarinya lagi.

Sialnya mereka yang tidak sadar itulah yang rajin cuap-cuap di media baik koran, majalah, radio, TV, internet dan dengan sombong berkoar-koar tentang Islam dan hukum Islam yang mereka hanya tahu kulitnya.

Kalau ada orang yang berpikir atau mencoba berpikir, bertanya, mempertanyakan –contohnya hal-hal di atas--di katakan menuhankan pikiran. Aku pernah mengalaminya sendiri. Waktu ku balik dia dengan pertanyaan sebenarnya dari mana kelompoknya mendapat dana untuk berdakwah kesana kemari mencari pengikut dan bisa sibuk seharian hanya bicara dan berdebat menyuruh orang agar berhenti bertanya dan berpikir, dia membisu.

Kata menuhankan pikiran adalah cara ala Indonesia untuk secara sistematis membuat orang tidak ingin berpikir lagi. Menjadi taqlid. Sehingga apapun yang dikatakan imamnya, yang dikatakan kyai, ustadz, yang dikatakan MUI, akan diikuti dengan keyakinan penuh. Berani mati!


Dan Ijtihad pun mati!

Apabila tidak ada lagi yang berijtihad, maka akan lahirlah penguasa-penguasa baru yang berjubah kebesaran agama sebagai penafsir satu-satunya yang benar dan di diridhoi. Ingin tahu ujungnya? Ujung yang satu : kekuasaan. Ujung satunya lagi : duit.


Jadi saudara-saudaraku , siapapun juga yang membaca tulisan ini. Cobalah kunjungi Irshad Manji. Dengarlah apa yang disampaikannya. Cerna!. Dia memiliki pengalaman yang jauh lebih baik dan banyak dari kita yang mudah-mudahan tetap dapat hidup damai di Indonesia dan dia pandai pula menceritakannya kepadamu.

Aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah kau berjalan bersamaku?


Salam dan Semoga engkau diberkati!

Wednesday, April 09, 2008

Antara Fitna dan YouTube

Geertz Wilders seorang anggota parlemen Belanda membuat film pendek berjudul Fitna. Pertama ditayangkan oleh liveleak.com. Dalam waktu singkat telah membuat kegemparan dunia Islam di seluruh dunia. Terutama Indonesia, kali ye….yang katanya mempunyai penduduk dengan jumlah muslim terbanyak di dunia.

Film itu sempat saya tonton separoseparonya lagi nggak ditonton karena sudah nggak minat. Bukan karena muak dengan isinya, tapi karena udah tahu isinya. Ya begitulah Islam di mata umumnya orang non Islam. Berdarah-darah, egois, haus kekuasaan. Jauh…jauh dari arti kata Islam yang sebenarnya.

Kalau mau nonton filmnya, mungkin sudah nggak bisa karena sudah di ban dari internet (meskipun technically, internet tidak bisa di ban bo! Akan ada saja orang yang bisa nonton dan share ke orang lain). Tapi kalau mau tahu ceritanya boleh tengok ke alamat blog http://www.sorayacity.blogspot.com. Disana dituliskan rinci isi film itu.

Sekali lagi, adakah yang luar biasa? Tidak ada. Banyak anak negeri ini yang mengeluarkan statement yang mirip-mirip dengan isi film itu dengan dampak yang tidak kalah berbahayanya . Tapi aman-aman saja.

Bahkan Abu Bakar Baasyir jelas-jelas mengeluarkan statement semodel itu dalam Sarasehan bertajuk Kepemimpinan Umat, di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jum’at(16/11/07).

“Orang Islam haram hidup di negeri kafir, itu tidak boleh. Orang Islam harus menjadi warga negara di negara Islam, itulah ketetapan dan perintah Allah, ”ujarnya. (Ini bagian dari Islam masa kini yang haus kekuasaan dan egois)

Kalimat yang lain oleh pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo itu:

“….Tidak boleh sendiri-sendiri. Kalau belum internasional namanya daulah, tapi kalau sudah internasional namanya Khilafah. Jadi berdasarkan ayat ini, hidupnya umat Islam haram kalau tidak di bawah kepemimpinan Ulil Amri, Daulah Islam itu bukan sunnah tapi wajib, keterangan saya ini yang ditakuti oleh Yahudi…... ”

(dalam keterangan sumber bacaan saya Baasyir berseloroh, bagi saya ini bukan seloroh tapi kalimat bersayap yang mengancam integrasi bangsa dan penafsiran dangkal dari ayat yang bersifat konstektual, yah persis sama seperti isi film Fitna itulah, comot ayat sana sini untuk pembenaran tindakan anarki dan pemenuhan nafsu berkuasa).

Sehingga dalam kaitan ini jika dihubungkan dengan Indonesia yang mayoritas muslim, Baasyir menyarankan agar sistem negara Indonesia dirubah menjadi negara Islam. Nah lo ketahuan kan maksudnya!

Menanggapi film Fitna, SBY berang dan langsung membuat pernyataan. Tapi atas pernyataan Baasyir beliau adem ayem aja. Sayang sekali, pengecut!

Din Syamsuddin Sekretaris Umum MUI dan juga ketua Umum PP Muhammadiyah bersama dengan Hidayat Nur Wahid Ketua MPR RI dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam mengadakan dialog soal film Fitna dengan ormas-ormas Islam dan duta besar dari negara-negara Islam untuk Indonesia di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (7/4/08). Karena menurut apa yang disampaikan Din Syamsuddin, langkah yang dilakukan Wilders (membuat film Fitna itu) sudah merugikan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat Belanda serta membahayakan bagi perdamaian dunia Islam dan Barat. Tapi tidak ada komentar atas pernyataan Baasyir di atas.

Thus, tidak ada juga penjelasan kembali tentang isi film Fitna itu. Menyampaikan pada khalayak bahwa Islam itu agama yang sejuk, yang toleran, yang damai. Bahwa Islam tidak diajarkan dengan cara seperti dalam film itu. Tidak ada. Yang diungkit hanya bahwa Fitna telah menyinggung umat Islam. (Ha… tersinggung lagi kan? Tapi tidak berkaca kenapa orang luar sampai melihat Islam seperti itu. Padahal hasil dari apa yang ditampilkan dalam Fitna sudah jelas, itu bom teror sana-sini, fundamentalisme meningkat, fanatisme. Tapi kok masih nggak sadar ya…Mana figur pemimpin Islam yang waras dan sadar dan berani menyampaikan kebenaran sebenar-benarnya, bukan kebenaran yang dipelintir untuk kepentingan sendiri seperti Baasyir? Atau Din sendiri?)

Yang lebih menyedihkan dari kasus Fitna ini, YouTube di ban karena Fitna ada dalam contentnya. Nah!

Ada yang mengumpamakan kasus ini seperti mau membunuh tikus seekor di lumbung padi, tapi lumbungnya dibakar sekalian.

Yang sedih dan gumun dengan kasus YouTube di ban banyak sekali, termasuk saya,-- Pengguna YouTube setia yang sangat banyak merasakan manfaat darinya. Tidak sekedar untuk berekspresi, tapi belajar. Belajar apa saja yang terpikir oleh kita. Melukis, menari, mengecat rumah, yoga, fitness, main skate board, seni melipat kertas, apa saja yang terpikir olehmu. YouTube adalah terobosan besar dalam menyebar informasi, pengetahuan, pendidikan, lintas negara, lintas benua. Waktu dan tempat bukan penghalang.

Tapi sama seperti api, mau dipakai untuk hal berguna seperti memasak, atau untuk membakar rumah sebagai protes karena tuntutannya tidak dipenuhi ya bisa juga. Bukan berarti kita lantas dilarang menggunakan api kan? Logika konyol yang bahkan akan ditertawakan oleh anak SD. Seharusnya apa? Gunakanlah api untuk hal yang berguna secara bijaksana. Itu baru bener!

Tapi itulah yang terjadi.

Sekali lagi kita bisa melihat, bahwa para pemimpin kita, para pemuka agama kita semuanya itu orang ‘dewasa cilik’. Maksudnya yang dewasa cuma fisiknya, tapi tingkat kesadarannya masih seperti anak cilik. Logika yang dipakai ya logika bocah. Yang menderita, rakyat kebanyakan yang waras.

Tidak percaya? Waktu Fitna pertama kali diributkan di media, teman-teman saya yang orang biasa seperti saya, heboh ingin melihatnya. Maka kami cari di internet (waktu itu masih bisa), kami tonton, dan seperti yang sudah saya tulis di atas, kami hanya menonton separuh saja. Separuhnya lagi sudah nggak minat. Teman-teman saya pada ngeloyor pergi sambil berkata,” Kok bisa-bisanya agama diartikan seperti itu. Kasihan orang-orang itu, sudah nggak ngerti agama, sing ngandhani pada ngawure--- yang memberitahu sama nggak ngertinya—jadi bubrah.Wis ora usah ditonton—sudah, ndak usah dilihat--”.

Kalau rakyat biasa bisa mempunyai penilaian seperti itu, kenapa para pemimpin agamanya malah kebakaran jenggot? Umatnya lebih pandai bersikap dewasa dalam melihat suatu keadaan, kejadian, para pemimpinnya hanya sibuk memikirkan kekuasaan, dan sudah dari jaman dahulu kala, agama selalu dipolitisasi untuk meraih kekuasaan.

Jadi apakah Fitna membahayakan bagi perdamaian dunia Islam dan Barat? Hanya bagi mereka yang tidak punya hati nurani dan tidak punya kesadaraan, dan dibiasakan untuk taqlid (mengikut tanpa berpikir).

Bagi sebagian besar orang tidak. Banyak sekali manusia di bumi ini, banyak sekali umat Islam di Indonesia yang masih bisa berpikir jernih, mempunyai hati nurani, berbudaya dan berkesadaran tinggi yang bisa memilah dan memilih apa-apa yang baik dari segala yang diperolehnya. Mereka diam memang, tidak ribut seperti kelompok-kelompok yang sering melakukan tindakan buruk dengan mengatasnamakan umat Islam itu.

Tulisan ini mewakili mereka yang diam itu. Kini mereka tidak diam lagi. Kami rakyat biasa ini mampu berpikir. Kami dewasa. Kami punya kesadaran tinggi. Kami punya hati nurani. Kami tahu yang benar. Dan sekarang kami akan mulai menyampaikan kebenaran itu.

Itulah. Jadi Fitna mau di ban atau tidak. Nggak ngaruh!. Yang memberi pengaruh itu justru keputusan-keputusan konyol yang dihasilkan pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini yang dari hari ke hari hanya tambah menyengsarakan rakyat, menggerogoti kekayaan negara, kekayaan alam. Itu yang ngaruh! Itu yang harus dipikirkan pemecahannya. Itu juga seharusnya yang dibahas, didialogkan oleh para pemuka agama dan pemimpin bangsa itu!

Omong-omong saya masih bisa akses YouTube. Dengan bantuan mereka-mereka yang paham teknologi. Terima kasih pada mereka yang mau membantu membagi pengetahuannya, sehingga proses belajar yang saya lakukan tidak berhenti.

Itulah gunanya teknologi!

Samarinda, 9 April 2008