Tuesday, November 23, 2010

Jangan Sakit

Beberapa hari yang lalu, aku menengok teman di rumah sakit. Informasi awal tidak jelas. Memang beberapa hari sebelumnya lagi temanku itu mengeluh perut kanannya sakit. Dia meringis sepanjang waktu. Jadi waktu ada kabar dia masuk rumah sakit, kupikir pastilah dia masuk rumah sakit karena sakitnya yang kemaren itu. Tetapi aku bingung karena dia menginap di kamar untuk pasien kebidanan. Tidak terbayang sama sekali apa penyakitnya hingga dia menjadi pasien di ruang kebidanan.

Pertanyaanku terjawab setelah bertemu. Ternyata ceritanya dia memang semula hendak memeriksakan keluhan sakit di perut kanannya itu. Sembari menunggu surat rujukan, dia memutuskan untuk memeriksa sekaligus mengganti spiral (KB) masih di rumah sakit yang sama. Tetapi entah bagaimana proses pengambilan spiralnya bermasalah. Spiralnya patah. Tertinggal di dalam sebagian. Rahimnya sempat diobok-obok --menurut keterangannya, sampai dia kesakitan-- dan bagian yang tertinggal di dalam ditemukan---separuhnya! Artinya masih ada separuh bagian lagi yang masih tertinggal. Dia akhirnya harus dioperasi untuk mengambil patahan yang tertinggal itu. Bukan main! Setelah menahan sakit luar biasa, masih menerima harus dioperasi, masih harus bayar lagi. Aduh! Perut kanannya yang sakit itu malah belum diapa-apakan.

Tidak. Aku tidak sedang ingin bercerita tentang rumah sakit atau ingin menjelek-jelekken rumah sakit atau apalah istilahnya. Aku hanya tercenung mendengar kisah temanku itu yang kesakitan rahimnya diobok-obok. Sakit lho itu!

Aku pernah hamil 3 kali. Dalam kondisi menjelang melahirkan dan harus menjalani pemeriksaan dalam untuk memperkirakan kelahiran saja aku selalu meringis nyeri. Belum lagi mendengar cerita mereka yang dikuret karena keguguran. Sakitnya...kata mereka. Semoga aku tidak mengalami. Membayangkannya saja bikin wajahku berkerenyit tidak karuan seperti sekarang ini.

Itulah yang ingin aku ceritakan. Aku merasa makin maju ilmu kedokteran, rasanya kok makin jauh dari kemanusiaan. Kalau mendengar kisah-kisah semacam ini aku tidak tahan. Mungkin memang harus ada orang-orang yang kuat, yang tega untuk melakukan hal-hal semacam itu seperti merawat orang yang terluka, menjahit, memasukkan kateter(yang pasti membuat si pasien mengerenyit menahan sakit, kadang sakitnya luar biasa), tetapi prosesnya itu kadang kaku sekali. Seakan si pasien ini cuma onggokan daging tidak bernyawa. Padahal si pasien kan manusia yang kenal rasa takut, cemas, sakit. Itulah yang ku maksud makin jauh dari kemanusiaan.

Atau ini cuma karena aku takut dengan segala hal yang berbau rumah sakit mungkin. Aku takut disuntik, ngeri melihat jarum suntik (makanya aku selalu kagum dengan diriku yang penakut ini ternyata tetap bisa punya anak sampai tiga, bayangkan saja prosesnya). Ngeri melihat alat-alat kedokteran yang lain yang ada di rumah sakit. Mungkin alat-alat kedokteran yang tidak kutakuti itu cuma stetoskop. Bahkan alat pengukur tekanan darah bisa membuatku takut karena kadang mereka memompa lengan kita terlalu kuat hingga tangan kita mati rasa.

Entahlah...yang pasti sudah hampir enam tahun ini aku tidak pernah ke dokter. Aku bersyukur penyakitku tidak ada yang berat. Kalau sakit masih bisa diatasi dengan istirahat yang cukup, makan yang banyak atau kadang ditambah sedikit obat umum yang dijual bebas.

Semoga sampai tua bisa kujaga kesehatan diriku dan keluargaku, jadi kalau harus ke dokterpun cukup untuk konsultasi saja, tidak usah sampai dirawat.

Dan temanku itu. Dia sudah pulang dari rumah sakit tapi masih akan kembali ke rumah sakit supaya perut kanannya itu dirawat. Pembengkakan empedu atau apa. Mau dilaser katanya. Entah bagaimana lagi prosesnya. Semoga dia cepat sembuh dari sakit apapun yang dideritanya.

Ah....

Wednesday, July 21, 2010

Mana Pemimpinku...??


Tulisan ini sebenarnya sudah punya kerangka sekitar sebulan yang lalu tetapi baru sekarang dapat dilanjutkan dan dituangkan dalam tulisan seperti seharusnya karena kemalasan yang tidak perlu (keluh!). Baik, mari kita mulai.

Tanggal 15/6 yang lalu saat aku sedang mencari-cari saluran TV yang acaranya enak ditonton, aku dihentikan oleh acara yang sedang disiarkan HBO. Entah apa judulnya. Aku menyaksikan Barack Obama yang presiden US itu tengah menyampaikan pidato kampanyenya sehari sebelum hari pemilihan presiden US tanggal 4 November 2008 di Charlotte,North Carolina. Aku berharap yang kutulis akurat, karena aku tidak menonton acara itu dari awal. Yang pasti, pidato kampanye itu disampaikan dalam suasana Obama sedang berkabung karena nenek yang menurut pernyataannya telah membesarkannya baru saja meninggal dunia pagi itu.

Dalam kondisi seperti itu Obama tetap menyampaikan pidatonya yang terasa tulus dan tetap penuh semangat, penuh energi. Sesuatu yang jarang sekali kita temui dalam pidato pemimpin-pemimpin kita di Indonesia.

Dalam tayangan itu, aku menyaksikan mereka yang mendengarkan dan mengikuti pidato Obama ikut tergetar hatinya, di antara mereka ada yang pelan-pelan mengusap air mata. Betapa isi pidato itu telah membangkitkan semangat pendengar. Mereka yang mengikuti pidato itu paham akan arti memiliki suatu bangsa. Di situ terlihat jelas kepedulian seorang pemimpin kepada rakyatnya. Hal itu dapat kita simpulkan dalri kalimat sederhana seperti," Tadi pagi nenek saya yang telah membesarkan saya meninggal dunia. Dia bukan siapa-siapa, Tidak ada yang mengenalnya. Dia hanya di rumah mengurus keluarganya, anak-anaknya, cucu-cucunya. Tapi dengan begitu, dia telah melakukan pengorbanan yang bisa dia lakukan untuk negara ini. Banyak sekali orang-orang seperti dia. Orang-orang yang telah melakukan pengorbanan untuk negara, tetapi tidak dikenal oleh banyak orang.....".

Bisakah Anda membayangkan efek ucapan semacam itu dengan intonasi, mimik, ketulusan dan semangat yang sungguh-sungguh bagi para pendengar kampanyenya? Aku saja yang bukan warga US, hanya menonton dari TV, terlambat lagi, karena itu kejadian hampir dua tahun yang lalu, masih merasa tergetar. Pidato itu turut membuatku merasa berarti, berharga sebagai wanita, walau 'hanya' bertugas mengurus keluarga, membesarkan anak-anak di rumah. Menyadari bahwa itu adalah suatu pengorbanan besar. Itu adalah pekerjaan besar yang hasilnya bisa mngubah wajah dunia. Obama telah melihat itu, dan menggunakan itu untuk menarik simpati pemilihnya.

Tetapi sekali lagi, pidato itu begitu tulus dan bersemangat. Aku yakin dia sungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.

Suamiku bilang, hanya (presiden) Soekarno yang pidatonya bisa menggetarkan hati seperti itu. Aku belum pernah mendengarkan pidato Soekarno. Sekarang jadi pengin mendengar juga jadinya.

Setelah kupikir-pikir selepas acara Obama ini selesai, sesungguhnya aku rindu menunggu kemunculan pemimpin-pemimpin semacam ini di Indonesia. Bukan hanya 'seolah-olah' pemimpin seperti yang ada sekarang ini, pandainya membuat berita yang membuat rakyatnya menjadi hopeless. syukur-syukur kalau nggak sampai muntah darah.

Bahkan dalam pidato-pidato mereka, jika disimak ada saja kejanggalan-kejanggalan pernyataannya di sana-sini. Boro-boro bisa menggetarkan hati. Jauh......
Contoh paling gres setelah heboh dana aspirasi untuk anggota dewan bulan Juni lalu adalah TDL (tarif dasar listrik) naik lagi (akibatnya sudah tahu sendirikan saking seringnya naik), pemilihan calon tunggal gubernur BI yang mengantongi sekian banyak kasus, dan masih banyak laaagi saudara-saudara, jika harus disebutkan satu persatu. Lebih baik Anda menonton Metro TV untuk mengetahui hal itu dan saksikanlah para pemimpin Indonesia bersilat lidah tanpa malu dan empati untuk rakyat.

Duh Gusti....!

Friday, May 21, 2010

My Name is Khan


Film ini dibintangi Kajool dan Shah Rukh Khan, dua bintang India favoritku.
Setelah lama tidak melihat mereka berdua main film bersama setelah “Kuch Kuch Hota Hai” yang fenomenal, film ini mengobati kerinduan penggemarnya untuk melihat mereka bersama lagi. Chemistry keduanya itu lho yang luar biasa. (Shah Rukh Khan is so cute and Kajool is sooooooo …..beautiful, and I love them so much)

Aku sebenarnya bukan penggemar film India. Tapi aku suka sekali dengan lagu-lagu dan koreografi tarian dalam film-filmnya. Dulu lagu-lagu dan tarian-tariannya itulah yang menarik perhatianku. Tapi bila kutelusuri lebih jauh, mungkin ketidaksukaanku itu disebabkan olok-olok yang sering kuterima saat kecil aku menonton film India. Orang-orang sekitarku sering berkomentar tentang film India dengan nada mencemooh. Film India tidak realistislah karena jagoannya nggak mati-mati meski ditembak berapa kali, jagoannya pasti menang di akhir film jadi tidak ada unsur kejutan, mau sedih mau senang nyanyi terus joget terus. Dan komentar lainnya yang membuat aku merasa malu nonton film India. Kayak nggak bisa milih film bagus gitu deh.

Yah.dengan mindset yang dibikin begitu, aku betul-betul malu hati sendiri kalau mau nonton film India. Kesannya kok ah…filmnya gitu-gitu doang…belum lagi masalah air mata yang menetes setiap kali nonton, karena ada saja adegan yang menguras air mata (padahal kalo nonton film bule ataupun film awak, mau pemerannya nangis menjerit-jerit tertunduk-tunduk nggak bisa juga bikin aku nangis).

Kurasa itu justru menjadi kekuatan film India, mereka hampir selalu berhasil mengharu biru perasaan penonton. Jadi kalau menonton film India bersiaplah dengan minuman dan snack (karena durasi filmnya yang panjang lebih dari 2,5 jam) dan sekotak tissue (untuk diam-diam mengelap air mata yang netes. Duh!)

Tapi tunggu dulu. Apakah semua orang yang nonton film India bisa nangis? Tidak lho. Atau jangan ngomong film India deh. Apakah semua orang kalau nonton film yang ceritanya sedih bisa nangis? Ternyata tidak. Ada orang yang dengan berbagai alasan tidak tergetar hatinya hingga menangis atau berpura-pura tidak tergetar dan setengah mati menyembunyikan tangis atau ada juga yang menolak tergetar untuk menangis.

Yang pasti, setelah bertahun-tahun aku merenung-renung dan merasa-rasakan, ternyata hanya apabila hati kita lembab, jiwa kita lembab barulah kita bisa tergetar saat menonton atau melihat sesuatu yang menyedihkan atau menyakitkan. Sebenarnya kita bersikap emosional begitu dan menjadi ‘cengeng’ justru karena jiwa kita bisa berempati pada orang lain. Dalam kasus yang lebih besar bisa dikatakan kita bisa merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain seakan itu penderitaan dan kesulitan kita sendiri. Ini sungguh sulit. Seharusnyalah kalau kita bisa begitu kita tidak perlu malu, menutup-nutupinya, atau bersikap sok tegar.

Anakku yang kedua, usia 8 tahun, dan mengalami hambatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Agak sulit menerangkan sesuatu hal yang sederhana padanya bila tidak ada contoh nyata yang bisa dilihat atau dirasakan. Mulanya aku berpikir dia mengalami kesulitan dalam memahami film juga. Ternyata tidak.

Ini adalah kali kedua aku mengajaknya nonton film (India) bersama, dan ternyata saat scene sedih, dia ikut meneteskan air mata meskipun dia berusaha agar air matanya tidak terlihat oleh siapapun. Dia malu menangis. Hehehe…..lucu memang. Tapi jadinya kupikir dia faham dong dengan jalan ceritanya. Mengejutkan! Wah...tapi paragraf ini nggak ada hubungannya sama tulisan ini. Ok deh.

Bagaimanapun sepertinya 10 tahun terakhir ini perfilman India maju pesat. Film-filmnya sudah ‘terasa’ seperti film Hollywood. Action pemainnya, shoot-shoot gambarnya, tempo filmnya, ceritanya dengan setting mendunia. Perfilman Indonesia? Jauh dah….!

Dalam My Name is Khan ciri khas film India yaitu nyanyi dan joget masih ada meskipun tidak seperti kebanyakan filmnya yang lain. Dalam film ini lagu-lagu hanya menjadi sound track, tidak dinyanyikan oleh pemerannya. Mungkin itu polesan dari kerjasamanya dengan FOX studio Hollywood jadi ada sedikit perbedaan dibanding film India lainnya.

In short, My Name is Khan ok-lah…Anda penggemar Shah Rukh Khan dan Kajool harus nonton. Meskipun ini film serius, SRK masih sempat melucu dalam beberapa scene. Serius tapi lucu gitu loh. Kangen juga sih dengan kekonyolannya yang selama ini menjadi trade mark SRK.

Selamat menonton!

Saturday, April 24, 2010

Ghost Town


Film ini sedang diputar di HBO mulai tanggal 18 April yang lalu. Mungkin akan diputar selama 1 minggu. Dan setelah 3 hari mencoba menemukan jam tayangnya, baru hari ini aku punya kesempatan menonton film ini tuntas dari awal sampai akhir. Ya…3 hari ini aku sudah mencoba menonton, tapi pemutarannya selalu pas pada saat aku harus mengerjakan sesuatu juga, jadi cuma bisa kulihat bagian awalnya, tengahnya, atau akhirnya. Syukurlah akhirnya hari ini aku bisa menonton hingga usai.

Dibintangi actor Inggris Ricky Gervais yang entah kenapa kupikir pas sekali dengan tokoh dokter gigi yang diperankannya (kalaupun ada yang mengganggu hanya gigi taringnya yang kelihatan runcing saat dia tertawa). Juga Greg Kinear dan Tea Leoni yang kusenangi sejak filmnya Family Man bersama Nicolas Cage.

Cerita film ini sederhana, seperti yang juga sering diangkat oleh film-film sejenis yang lain, yaitu tentang let it go, tentang merelakan seseorang yang telah meninggal dunia. Bahwa intinya seseorang menjadi roh gentanyangan, menjadi hantu, itu bukan karena mereka mati penasaran (dalam beberapa kasus memang begitu ya?) tetapi sebagian besar karena yang hiduplah yang tidak merelakan kematian mereka. Urusan mereka belum tuntas dengan yang di dunia. Begitu yang di dunia, yang masih hidup menyadari hal itu, dan sedikit saja tumbuh kerelaan, maka yang mati langsung dapat melanjutkan perjalanannya. Kemana? Wah…di film ini tidak diceritakan dan aku juga tidak ingat pengalaman matiku jadi tidak bisa bercerita di sini…

Tetapi apa yang disampaikan dalam film ini benar adanya. Memang begitulah keadaannya. Bahwa sebenarnya bersama-sama kita hidup sekarang ini juga berkeliaran roh-roh yang belum tuntas urusannya dengan dunia. Hanya kita tidak bisa merasakan keberadaannya. Kecuali mereka yang cukup peka. Dan masalah peka ini, aku punya pengalaman pribadi.

Sewaktu ibuku meninggal karena gagal ginjal 10 tahun yang lalu, aku didera rasa bersalah yang luar biasa karena merasa: adalah kesalahanku tidak bisa mencarikan biaya untuk pengobatan ibuku maka ibuku menjadi meninggal. Karena dihantui rasa bersalah itu, aku juga dapat merasakan roh ibuku disekitarku, dan perasaan itu bukanlah perasaan yang nyaman. Setahun kemudian barulah aku memahami duduk perkara masalahku ini. Segera setelah kesadaran itu timbul, kerelaan muncul dihatiku, aku yang tidak bisa tidur setahun terakhir, hari itu tidur nyenyak untuk pertama kalinya. Saat itu aku tahu, ibuku telah dapat melanjutkan perjalanannya karena aku telah merelakannya. Jadi aku benar-benar paham cerita yang disampaikan film ini karena mengalaminya sendiri.

Kembali pada film ini, inti cerita pada film Ghost Town ini demikianlah. Yang pasti film ini menyelipkan humor ala British yang garing. Seperti pada bagian dr Pincus (Ricky Gervais) bertanya pada rekannya dr Prashar terjadi dialog lucu yang sulit dipahami banyak orang tapi menggelikan buatku.

dr Pincus: Anda berasal dari daerah yang mengerikan itu bukan?
dr Prashar : (dengan ekspresi sebal tapi maklum dengan sifat rekannya) Saya dari India
dr Pincus : Ah ya..maksudku Anda bukan orang Kristen seperti kami.
dr Prashar : Bukan, saya seorang Hindu.
dr Pincus : Yeah..um...Bagaimana cara orang Hindu mengorek keterangan dari musuhnya?
dr Prashar : (sambil tersenyum) Well...sebagai seorang Hindu ...kami akan bertanya dengan sopan....

Hahahaha……Lucu ? Atau nggak paham? …Nggak apa-apa…buat saya tetap lucu.

Atau dibagian lain saat dr Pincus berusaha menjelaskan duduk perkara tentang merelakan yang mati pada Gwen (Tea Leoni), bukannya membahas duduk perkaranya mereka malah membahas masalah penis mumi yang disimpan dalam toples.

dr Pincus : ………….mengapa orang mati harus dikuburkan dengan perhiasan, dengan binatang peliharaan, mengapa harus diperlakukan seperti itu, mereka bahkan menyimpan penisnya dalam toples besar…maksudku mengapa? ...mengapa mereka melakukan itu?.
Gwen : (dengan wajah tidak percaya) kau lihat sendiri penisnya, mana muat kalau ditaruh dalam toples kecil…
drg Pincus : (dengan wajah bingung, tidak percaya dsb) kenapa harus dimasukkan ke dalam toples? …. Ouh….Bukan ini masalahnya ..untuk apa semua itu? ………..…..

Hahahaha……
Aku suka humor semacam ini. Maksudku bukan humor tentang penis ya. Tapi bagaimana dari suatu keadaan biasa yang serius kalau kita lihat dari sudut lain malah terasa lucu.

Yah…dari film sederhana ini macam ini tetap ada pelajaran yang bisa diambil jika kita mau jeli sedikit melihatnya dan tidak menganggap sebuah film murni hanya hiburan semata.

Selamat menonton juga bagi Anda. Siapa tahu ada yang berminat dengan humor garing macam ini seperti saya.

Samarinda 21 April 2010