Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Pak Harto!

Kemarin, 27 Januari 2008 pukul 13.30 WIB, telah berpulang Bpk HM Soeharto, mantan presiden RI ke-2. Seluruh stasiun TV memberitakan hal ini secara serentak Ada yang disela iklan, ada yang tidak, ada yang sudah diselipi acara bincang-bincang, ada yang sekilas saja diulas, ada yang mengulang-ulang berita sampai pendengar bosan. Ada yang mengumpat, ada yang menyesali, ada yang sedih, ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang tidak peduli. Itulah ekspresi yang diperlihatkan masyarakat atas kepergian Pak Harto.

Bagaimana denganku?

Terus terang aku pernah tidak suka dengan rezim Soeharto as they say he was a dictator(?). Tapi ternyata setelah reformasi yang terjadi tahun 1998, yang katanya melepaskan segenap rakyat dari kediktatoran Soeharto, keadaan Indonesia tidak bertambah baik. Yang kurasakan kemudian hanyalah perasaan tidak aman, tidak tentram, tidak sejahtera, masyarakat kehilangan etika, kita kehilangan jati diri, anak-anak muda kebingungan mencari panutan. Kalaupun ada kualitas yang berbeda hanyalah kini orang lebih bebas bersuara, meskipun kebebasan ini masih dibatasi dalam hal-hal tertentu, dalam arti suara mayoritas tetaplah yang berkuasa.

Secara umum keadaan masyarakat Indonesia tidak menjadi lebih baik. Yang merasakan perubahan berarti tetaplah lingkaran dalam kekuasaan. Kini bahkan semua orang berebut masuk ke lingkaran dalam sehingga saling sikut, tingkah laku tanpa etika terjadi setiap hari. Terutama di kalangan mereka yang mengaku dirinya intelek, terpelajar, pejuang atas nama rakyat, politikus, pengusaha, in short people who stand on top of pyramid. If they don't stand on top, they try hard to get there with all their might, good or bad. Tidak ada yang menegur. Tidak ada yang berteriak. Semua orang bingung, lupa jati diri. Kalaupun ada yang menegur, mereka tidak mendengarkan.

Dulu pernah terjadi, niat baik Pak Harto dengan 'memasyarakatkan Pancasila'nya dimentahkan, dicibir dan dijalankan dengan rasa muak. Tetapi kini, kala segala hal yang berbau rezim Soeharto dibersihkan, orang-orang bingung mencari pegangan baru. Melepas yang lama masih ragu, mau pegangan baru, tapi tidak punya, tidak bisa, tidak tahu. Orang-orang berteriak menolak Soeharto tapi mereka bahkan tidak tahu dirinya sendiri. Lupa akarnya sendiri.

Masyarakat bingung. Terbelah dalam ketidaktahuan.
Sungguh.
Ignorance is a curse. But curse should be vanished.
Where do we start?
Maybe from now on. Lets make this losing of someone great like him as a new start for our consciousness. Our national consciousness.
Why don't we take lesson from him. It should be.

Sayangnya yang terjadi malah orang lebih brutal dari Soeharto, seandainya kekuatan militer dapat terpegang, boleh jadi mereka yang membenci Soeharto akan lebih jahat dan brutal dari pada tindakan yang dilakukan oleh orang yang dibencinya ini. Ini bukan omong kosong. Dalam skala kecil kita di Indonesia sudah melihat dan merasakan hal-hal semacam itu. Kecuali bagi mereka yang sudah terlanjur bebal dan kehilangan akal budi dan nurani, mungkin merasa tidak apa-apa. Semua baik-baik saja.

Back to Soeharto, dia pernah kuidolakan.
Setelah mendengar sana-sini, membaca ini-itu, aku sempat pula sebal kepadanya. But it won't take long.
Saat aku berpaling ke dalam diriku sendiri, aku sadar aku tidak bisa begitu. Aku tidak boleh begitu. Kita tidak bisa menilai orang lain seperti itu.

Seperti kata pepatah, sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Begitulah orang mengingat Soeharto. Kesalahan dia punya, pasti (siapa yang tidak selama kita masih bernama manusia?) dan jelas tidak setitik. Itulah yang merusak seluruh kebaikannya. Tapi kita tidak bisa menerima Soeharto dari sisi baiknya saja. Kita harus menerima keduanya. Sisi baiknya dan sisi buruknya. Dan rakyat kecil akan bilang Soeharto lebih banyak sisi baiknya. Mungkin mereka bahkan tidak tahu sisi buruknya.

Tapi mereka kelas elite akan bilang, oh no....he was evil. Bahkan saat Soeharto sakit parah menjelang ajal, mereka masih bisa bilang begini: sebagai sesama manusia saya bisa memaafkan Soeharto, tetapi proses hukum tetap harus berjalan....bla...bla...bla.... (Itu mah tidak memaafkan namanya).

Dan masyarakat belajar dari sana. Oh ... ternyata kita boleh 'memaafkan dengan syarat' seperti itu.

Keadaan ini begitu membingungkan. Begitu menyedihkan. Sampai aku tidak bisa menulis dengan lebih terstruktur, dengan lebih baik.
Mungkin bila dituliskan, dibahas satu persatu akan menjadi sebuah buku. Padahal di awal menulis ini aku hanya ingin mengucapkan:

'Selamat jalan Pak Harto. Seharusnyalah engkau termasuk salah satu putra terbaik bangsa ini. Tidak bisa tidak. Lepas dari semua hasil buruk dari pilihan-pilihan yang telah kau lakukan, kau telah memberi banyak pada bangsa ini. Hal-hal baik tentang budaya Indonesia dan akar masyarakat yang sesungguhnya. Sayangnya tidak tuntas. Atau kau menggunakan metode yang tidak tepat, tidak mengena, atau memang kami rakyatmu yang belum paham sepenuhnya maksudmu.
Selamat jalan Pak Harto. Semoga Cahaya Keberadaan menyertaimu. Dan Damai besertamu selalu'.

Samaarinda, 28 Januari 2008

Wednesday, January 16, 2008

Success

"'Success?' Well, I don't know quite what you mean by success. Material success? Worldly success? Personal, emotional success? The people I consider successful are so because of how they handle their responsibilities to other people, how they approach the future, people who have a full sense of the value of their life and what they want to do with it. I call people 'successful' not because they have money or their business is doing well but because, as human beings, they have a fully developed sense of being alive and engaged in a lifetime task of collaboration with other human beings - their mothers and fathers, their family, their friends, their loved ones, the friends who are dying, the friends who are being born."

Parade (March 9, 1997)

This is a quote from Ralph Fiennes. I got it from ralph-fiennes.net and I agree for what he said what success about. That is the real succcess mean -- in my opinion. But unfortunately many people measured success as only material success. Not many people appreciate the successful as ‘you are and your world that give you happiness’ only. They just simplify it by material success.

According to that, I am not the successful person either. I am not really happy, I am not really engaged with my environment, my family, my friends. I am alienated, at least I feel alienated all the times. So … successful is far away from me.

Luckily, Ralph had show me what succesful is. And maybe I should take backward a few step and stop to think what I’ve been doing wrong. Start evaluating my relationship to other people around me, my kids, my spouse, my (very few) friends, my brother and sisters. Take a few breaks. Take a deep breath.

I think if we can live the life to the fullest, we can live here and now, mean every single word we say, then we can be called as success people.

Is it? Or is this just a hopeless thought of a person who feel really unsuccessful?

Wednesday, January 02, 2008

Va' Dove Ti Porta Il Cuore


Kemarin aku membaca ulang buku ini. Karya Sussana Tamaro, penulis Italia yang memilih menyendiri untuk membaktikan diri sepenuhnya pada menulis. Buku ini selalu kutuliskan menjadi salah satu buku favoritku, tetapi aku sendiri sudah lupa apa yang telah membuatnya menjadi favoritku. Jadi untuk mengingat, kubaca sekali lagi. Dan cukup membaca pengantarnya saja aku sudah ingat kembali kenapa buku ini selalu menjadi favoritku.
Va' dove ti porta il cuore – pergilah kemana hati membawamu. Sebuah kalimat yang biasa saja kecuali… kau berhenti sejenak dan memahami maknanya. Inilah petunjuk hidup yang sesungguhnya. Inilah rambu besar jalan kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia. Lucunya rambu sebesar itu sering kali tidak terlihat atau sengaja tidak dilihat atau malah ada yang tidak tahu kalau rambu itu ada.
Sebenarnya apa yang dia tuliskan di buku ini telah banyak juga dituliskan orang lain. Tulisan-tulisan yang sama yang telah lama pula coba kuhayati, kupahami. Tetapi di buku ini apa yang dituliskan itu memiliki rasa berbeda karena dituliskan dengan begitu indah. Dengan sepenuh hati, dengan kedalaman makna dan kehalusan bahasa.
Aku hanya membaca buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan sudah dapat merasakan keindahannya. Seandainya aku mampu membacanya dalam bahasa aslinya –Italia- mungkin keindahan yang kurasakan akan terasa lebih lagi.Tapi aku tidak bisa mendapatkan dalam versi aslinya. Jadi inilah.
Cobalah ini:
Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus
kau ambil, janganlah memilihnya dengan
asal saja, tetapi duduklah dan
tunggulah sesaat. Tariklah napas
dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan.
Seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apa pun mengalihkan
perhatianmu, tunggulah dan tunggulah
lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening,
dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah,
dan pergilah kemana hati membawamu’
Atau yang ini:
‘Ketika jalanmu bercabang kau berpapasan dengan kehidupan lainnya. Berkenalan atau tidak dengan mereka, terlibat dengan mereka atau membiarkan mereka lewat begitu saja, semua itu tergantung semata-mata pada keputusan sesaat. Meskipun mungkin kau tidak mengetahuinya, hidupmu dan hidup orang-orang yang dekat denganmu dipertaruhkan saat kau memilih, entah berjalan lurus atau berbelok’ (va' dove ti porta il cuore hal 77)

Kadang tulisannya sangat feminin seperti ini:
‘Hubungan antara dirimu dan rumah dan apapun di dalam dan di sekitarnya adalah salah satu hal yang hanya dapat dipahami setelah kau mencapai usia tertentu. Pada usia enam atau tujuh puluh kau tiba-tiba sadar bahwa rumah dan kebunmu lebih dari sekedar kebun dan rumah tempat kau hidup nyaman, entah karena kebetulan atau karena tempat itu indah. Tapi itu rumahmu, kebunmu, mereka milikmu sama seperti rumah kerang adalah milik kerang yang hidup di dalamnya. Cairan-cairanmu telah membentuk kulit kerang itu, sejarahmu ada di antara garis-garisnya, rumah kerangmu membungkusmu, dan mungkin kehadiranmu, kebahagiaan dan kegetiran yang kaurasakan di sana, akan terus hidup di sana bahkan setelah kau tiada’ (va' dove ti porta il cuore hal 49)

Kadang tulisannya membuatku merasa seolah-olah waktu berhenti, seperti ini:
‘Di rumah masa kecilku ada pohon ek. Pohon itu begitu besarnya hingga diperlukan dua orang untuk bisa memeluk batangnya. Sejak berusia empat atau lima tahun, aku suka sekali mendatanginya. Aku duduk di sana, merasakan kelembaban rerumputan di bawah tempatku duduk. Aku menarik napas dalam-dalam dan tahu ada tatanan yang lebih tinggi atas segala sesuatu dan bahwa aku serta semua yang kulihat termasuk di dalamnya. Meskipun aku tidak mengerti musik, sesuatu dalam diriku bernyanyi. Aku tak tahu melodi macam apakah itu, bukan lagu melainkan lebih mirip melodi yang lahir dari hembusan napas di dekat hatiku; dan hembusan ini membungkusku, raga dan pikiran, bersinar bagai cahaya dan mengalun bagai musik. Hidup membuatku bahagia, dan tak ada apapun yang mengisi benakku selain kebahagiaan itu’ (va' dove ti porta il cuore hal 80)

experiencing God?
Aku tidak tahu.
Membaca baris-baris kalimat itu membuatku kembali merasakan perasaan yang selalu tidak dapat kukatakan dengan tepat. Rasa seperti bila kau duduk tenang di atas perahu yang bergerak pelan dihanyutkan riak sungai atau seperti sebatang kayu pasrah terapung mengikuti arus air.
Perasaan hanyut yang menyenangkan, dihanyutkan tapi kau tidak hanyut. Rasa indah yang dalam, jauh di jurang hati. Ceruk jiwamu seperti dibasuh dengan embun. Seperti kau duduk di taman yang kau kenal tapi kau tidak ingat dimana taman itu berada. Perasaan damai menyelimuti dan mengisi rongga dadamu dengan napas baru. Perasaan indah yang universal, mendalam dan membuatmu ingin lagi dan lagi kembali ke sana.
Hanya membaca bukunya saja aku merasa bahagia. Aku merasa dekat dengan tokohnya :sang nenek Olga. Aku belum menjadi nenek dalam kehidupanku ini, tapi dalam melihat dan menimbang suatu peristiwa, aku menemukan kedekatan dengan sang nenek seolah kami adalah orang yang sama.
Aneh.
Tapi seperti kata pengantar yang diberikan oleh Prof. Ostelio Remi, Direktur Pusat Kebudayaan Italia, Atase Kebudayaan Kedutaan Italia, Jakarta, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang memberikan ruang bagi hati untuk membuat pilihan dan ruang bagi perasaan dalam hubungan antar manusia.
And for sure, this is one my favorite books