Monday, July 11, 2011

Al mamatir

Beberapa waktu yang lalu, sepulang dari bertandang ke rumah Mangku Kardi di L2, berjarak sekitar 20 km dari Samarinda, seperti biasa aku duduk di boncengan motor suamiku beserta kedua anakku. Maklum deh belum punya mobil. Waktu itu siang menjelang sore. Sekitar jam 2 siang, tapi hari masih terasa panas membentang. Sinar matahari terasa pedas membakar kulit.


Sudah memasuki wilayah Samarinda, sewaktu untuk pertama kalinya dalam perjalanan pulang itu kami harus berhenti di lampu merah. Sambil dahi dan mata terus mengerenyit merasakan panas terik membakar kulit, aku sebisanya menutupi Kavyaa yang duduk di pangkuanku agar tidak kepanasan. Dia tidur. “Syukurlah,” batinku. Nah, waktu itulah aku membaca tulisan itu.

Al Mamatir. Tulisan itu terpampang pada papan reklame sebuah penjahit. Tulisannya antara lain, “Menerima Seragam Perusahaan, Kantor, Jas, Safari, PDU, Al mamatir,Dll”.

Aku tercenung. Al mamatir?

Aku bingung. Baju model apa lagi ini. Kalau menilik istilahnya pastilah baju ini masih bersaudara dengan baju model gamis dan sejenisnya. Tidak cukupkah Indonesia sudah dijajah dengan model baju gamis dan sejenisnya, sampai harus ditambah dengan baju model Al mamatir ini?

Aku masih terbingung-bingung, sambil merutuki lampu merah yang tidak kunjung berubah hijau. Sementara di kepalaku masih terngiang-ngiang Al mamatir, Al mamatir. Aku sudah tidak bengong lagi memandangi papan reklamenya. Tapi tulisan Al mamatir, Al mamatir masih terus tertancap di kepalaku. Diputar ulang, diputar ulang.

Tepat saat lampu berubah menjadi hijau, aku mendapat pencerahan. Ah…….!
Almamater maksudnya. Baju almamater.

Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Untung Kavyaa tidak sampai bangun mendengar ketawaku. Suamiku sampai kaget, menoleh ke belakang. “Kenapa?” tanyanya.

“Baca tidak tulisan Al mamatir tadi?”

Suamiku langsung terbahak-bahak juga sampai motor kami oleng-oleng.

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah langsung balik bertanya,“Sudah paham sekarang?”

“Iya,” kubilang.

“Pasti penjahitnya orang Banjar (suku Banjar) dan yang mengerjakan papan reklame juga orang Banjar, sehingga terjadi kesalahan seperti itu”.

Sepanjang sisa perjalanan hingga tiba di rumah, aku masih saja sesekali tersenyum mengingat baju model baru --Al mamatir-- ini.

Kesalahan konyol yang hampir selalu termakan olehku. Karena aku ingat aku pernah bengong juga sewaktu berniat antri bensin di pom bensin, juga bersama suamiku (bagaimana mau antri sendiri, nyatanya aku tidak bisa mengendarai motor ^-^). Saat itu sepi sekali pom bensinnya, hanya ada aku dan satu buah mobil di jalur sebelah. Aku dibuat bengong, saat supir mobil itu begitu membuka pintu mobilnya berteriak ,”Sapi banar”. Lalu dia mengangguk kepadaku.

Aku tersenyum aneh pastinya. Kaget karena mendengar dia memaki-maki dengan kata sapi barusan. Sebelum sejurus kemudian aku sadar. Sepi, maksudnya. Sepi sekali. Halah…. Capek deh…

Masih ada sekali kejadian lagi. Aku pulang kerja waktu itu. Karena suamiku tidak bisa menjemput, aku harus naik angkot. Di hadapanku duduk seorang ibu yang bercerita panjang lebar tanpa diminta tentang anak semata wayangnya pada penumpang yang duduk disebelahnya dengan penuh kebanggaan. Aku yang duduk di hadapannya ikut mengangguk sambil tersenyum menanggapi ceritanya. Sampai ketika dia berkata,” Anakku umpat tis”. Waktu itulah aku blank. Apa itu tis?

Aku malu ingin bertanya.

Omong-omong aku ini orang Banjar. Aku lahir di Banjarmasin. Abahku orang Banjar asli. Aku masih mengerti bahasa Banjar. Gengsi ah tanya tis. Jadi sambil tetap berpura-pura paham ceritanya aku terus mengangguk-angguk dan tersenyum. Sementara itu aku terus berusaha merangkai-rangkai ceritanya. Dan akhirnya, aha…..ketemu. Maksudnya tes. Anaknya ikut tes pegawai negeri. Halah…….

Lagi lagi…..capek deh….

By the way, cerita tentang penjahit di atas tidak ada hubungannya dengan kualitas jahitannya lho ya. Kalau tidak salah suamiku dapat juga baju seragam kantor yang dijahitkan pada penjahit itu, dan hasilnya oke-oke saja. Maksudku cerita ini tidak bermaksud mendiskreditkan penjahit tersebut. Ini hanya kekonyolan pikiranku sendiri. (Idih...takut nih sama UU ITE....wkwkwkkk)

Jadi kalau pendaftaran sapi, coba-cobalah ikut tis penerimaan mahasiswa baru. Supaya kalau sudah tamat nanti bisa pakai baju Al mamatir.

Smile.

Monday, June 13, 2011

Kebaya, Bagaimana Nasibmu Kini?


Tadi malam (13/6/11) aku browsing mencari informasi tentang kebaya. Apa saja deh. Pola kebaya. Orang yang menjual kebaya online. Gambar-gambar kebaya. Pokoknya semua tentang kebaya. Sebenarnya aku ingin menjahitkan kebaya. Tapi tahu tidak? Di kotaku tidak ada penjahit kebaya yang bisa membuat kebaya yang enak di badan. Kebanyakan hasilnya adalah blouse model kebaya. Bukan kebaya. Masak sih aku harus pergi ke Bali menjahitkan kebaya supaya bisa memakai kebaya yang nyaman. Ih…rasanya kok berlebihan.

Aku ingat lebih kurang dua tahun yang lalu, kalau mencari kebaya online yang paling menarik ada di blog punya orang Bali. Sayang aku lupa nama blognya waktu itu. Kini dia sudah punya website. Namanya balikebaya.com

Related imageSekitar dua tahun yang lalu itu, jika kita gunakan mesin search, maka blog balikebaya ini akan muncul di baris pertama. Bukti bahwa dia paling banyak dikunjungi dan dijadikan rujukan maupun tujuan. Kini tidak lagi. Baris-baris awal yang muncul di mesin search paman Google adalah dua website milik pengusaha jiran—Malaysia. Mereka menawarkan aneka model kebaya yang kebanyakan model kebaya panjang agar mudah dikenakan mereka yang mengenakan baju muslim.

Dan hatiku tergelitik hingga ingin ‘mengoceh’ tentang hal ini. Why oh why ? Mengapa oh mengapa? Mengapa orang Indonesia tidak memiliki website yang besar, komplit baik tentang informasi, gallery sekaligus pemesanan ataupun penjualan kebaya ready to wear untuk melayani mereka yang ingin memakai kebaya? Untuk keperluan itu sementara ini hanya ada satu yang lumayan; balikebaya.com. Mana yang lain? Kemana kebaya Indonesia?

Di Indonesia perempuan muslim kebanyakan memakai baju model gamis yang diadopsi dari model pakaian di Timur Tengah. Mungkin bukan sepenuhnya salah mereka. Pasar hanya menyediakan model semacam itu. Tetapi mengapa pasar Malaysia (yang hampir semua wanita muslimnya berpakaian muslim) bisa mengangkat budaya Melayu berupa baju model kebaya menjadi baju muslim sehingga mendongkrak pengusaha mereka (sekaligus membuat ragu-ragu sebenarnya kebaya ini milik siapa?), sedangkan di Indonesia kebaya ditinggalkan?

Kebaya hanya dipertontonkan sebagai olok-olok kaum feodal yang tinggi hati tetapi kikir dan goblok dalan sitkom di layar kaca. Atau pakaian yang dikenakan orang-orang tertentu pada special occasion karena kebayanya sangat sexy, penuh bordiran dan kadang-kadang penuh taburan permata. Betul-betul tidak nyaman untuk dipakai harian. Dan betul-betul mahal untuk kebanyakan orang. Bahkan baju kurung dari Minang maupun Aceh seolah lenyap dikalahkan dengan pakaian model gamis dari Timur Tengah itu. Padahal baju muslim model gamis ini juga tidak murah lho..!! Tapi sekali lagi, mengapa budaya sendiri ditinggalkan?

Oh jawabannya tentu saja jelas.

Dengan ketidakbecusan, ke-plin-plan-an pemerintah sekarang ini, sudah terang-terangan kelompok-kelompok Islam mengikrarkan ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam. Sala satu caranya adalah mempengaruhi umat Islam Indonesia yang jumlahnya buueessaar ini untuk melupakan sejarahnya, melupakan tradisinya, melupakan adat istiadatnya. Dengan alasan semua itu bertentangan dengan ajaran agama. Tidak Islami—katanya.

Yang Islami yang berasal dari Arab. Cocok atau tidak cocok dengan kondisi geografis, dengan latar belakang budaya, dengan tradisi semula, maupun kondisi ekonomi,-- tidak peduli. Yang penting dari sono.

Padahal sejarah telah membuktikan berkali-kali. Siapa saja yang melupakan akarnya, siapa saja yang melupakan jati dirinya, melupakan asal usulnya, melupakan sejarahnya, akan musnah di telan jaman. Ini Kebenaran. Tetapi sepertinya masyarakat Indonesia sudah lupa dengan semua ini. Tidak mau berkaca. Menutup mata, baik yang lahir maupun yang batin. Hingga buta. Tidak bisa melihat pertanda. Tidak bisa melihat jauh ke depan. Maka hanya ada kehancuran yang menanti.

Jadi, jangan salahkan kalau suatu hari nanti orang akan mencari kebaya ke Malaysia atau bertanya pada pengusaha Singapura. Jangan heran kalau anak cucu kita mengira kebaya itu berasal dari negeri jiran. Jangan sedih kalau kita semua mengalami nasib buruk sebagai bangsa. Karena kita semua telah durhaka kepada Ibu Pertiwi.

Ah….ini baru soal kebaya. Belum soal lain-lainnya.

Oh oh……kapan jaman akan berganti. Semoga aku tetap diberi kekuatan untuk mengarungi jaman ini hingga waktuku nanti.

Semoga ada yang terketuk dengan tulisan ini dan mulai mencintai kebaya sebagai salah satu pakaian asli kita sebagai orang Indonesia. Semoga yang terketuk itu memiliki channel, memiliki kesempatan, jadi bisa mulai mencari pengrajin-pengrajin penghasil bordir, atau sutera, atau tenun. Lalu bisa menemukan atau melatih bila perlu-- penjahit yang bisa menjahit kebaya. Lalu mulai membuat kebaya yang harganya dapat terjangkau untuk segala lapisan masyarakat dan mulai memasarkannya. Menciptakan mode. Menciptakan demand untuk mendukung industri ini. Menciptakan gaya hidup. Sehingga suatu hari nanti industri kebaya akan menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di Indonesia.

Begitulah seharusnya kita memperlakukan budaya kita. Dengan menghargainya. Mengenakannya. Melestarikannya. Sambil meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dari advantage yang kita miliki ini. Bukan membuangnya. Bukan menyingkirkannya. Bukan memandangnya dengan sebelah mata.

Oh oh… semoga impian ini menjadi nyata. Semoga impian ini menjadi nyata.

Samarinda 14 Juni 2011