Thursday, January 25, 2007

Bedanya Tahu dan Paham

Aku baru menonton film Sixth Sense kemaren sore di saluran HBO. Film dengan alur bertutur yang lambat dan meloncat-loncat tapi membangkitkan rasa ingin tahu. Jadi aku bertahan menonton sampai habis. Meskipun tidak tepat juga dikatakan begitu karena aku menontonnya dari pertengahan saja, tidak dari awal. Rasa-rasanya aku harus menonton film ini dari awal sekali lagi.

Dari tontonannya yang sepotong itu aku menyimpulkan bahwa film ini menceritakan tentang seorang anak yang bisa melihat hantu. Menariknya film ini tidak lantas menjadi film hantu yang menyeramkan (seperti biasanya film Indonesia..:), sebaliknya film ini malah menjelaskan tentang hantu itu sendiri.

Aku telah ‘tahu’ sejak……. katakanlah dua tahun yang lalu, bahwa saat kita meninggal apabila kita meninggal dalam keadaan tidak sadar atau kita tidak ikhlas, maka itu akan menimbulkan keterikatan dengan dunia ini, dan menyebabkan kita terkatung-katung di alam sebelah. Ya lantas orang bilang hantu tadi. Tidak bisa melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan yang ditinggalkan. Bila mereka ada seorang saja yang tidak ikhlas melepas kepergian orang yang dikasihinya akan membuat yang meninggal tadi terikat dengan dunia. Jadi baik yang meninggal maupun yang ditinggalkan kedua-duanya harus ikhlas agar perjalanan yang meninggal lancar. Inilah juga yang diceritakan oleh film Sixth Sense ini. Aku seperti mendapat konfirmasi. Sekali lagi.

Tadi pagi, sehabis yoga seperti biasa. Aku rileksasi, savasana. Dan seperti biasanya juga saat rileksasi seperti inilah aku mendapat ‘pencerahan-pencerahan kecil’. Tadi pagi pencerahanku tentang hantu tadi. Bukan hal yang baru. Pemahamannya tetap sama. Bedanya ya di ‘paham’ itu tadi. Dua tahun yang lalu aku ‘tahu’ tentang hal itu. Tahu dari pengetahuan, dari bacaan, dari cerita orang. Sekarang aku ‘paham’. Dari kesadaranku sendiri. Rasanya memang lega. Reaksi yang keluar cuma, ooohh….. lalu manggut-manggut sendiri. Begitu saja memang rupanya kalau orang paham itu.

Aku cerita pada suamiku. Reaksinya juga cuma, “Naah…sudah pahamkan”. Jawaban standarnya yang kadang-kadang menyebalkan, tapi memang mengandung kebenaran.

Label

Kali ini aku ingin menulis tentang hobi kita memberi label pada segala sesuatu. Pada segala sesuatu dari kita, dari segala entity di sekeliling kita. Seperti makanan, hewan, tumbuhan. Benda yang tidak bergerak seperti batu, gunung, sungai. Juga benda yang tidak dapat dilihat seperti amuba, bakteri, virus, sel. Dan seterusnya dan sebagainya.
Kita juga tidak lupa memberi label pada diri kita sendiri. Orang kaya, orang miskin, artis, peneliti, pemerhati, professor, tukang bakso, tukang kayu. Pokoknya semua harus diberi label. Semua harus ada namanya. Ada sebutannya.
Bahkan tidak puas dengan sebutan yang luas, harus ada sebutan yang khusus, yang spesial, istimewa. Seperti profesi penulis akan ada prosais, novelis, cerpenis, penulis cerita anak, penulis essai, pemerhati bla bla bla. Bagaimana kalau dia bisa menulis segala macam itu semua? Maka tetap harus ada label baru : penulis serba bisa.
Profesi yang lain, misal dokter. Ada dokter mata, dokter kandungan, dokter syaraf, dokter jantung, dokter anak, dokter kulit, dokter bla bla bla. Bagaimana dengan dokter yang tahu semuanya? Labelnya adalah dokter umum.
Tetap harus ada label. Dan ikutannya harus ada ranking. Mana yang lebih hebat, lebih prestisius, atau sekedar lebih indah kedengaran di telinga. Sebenarnya kalau mau jujur kita akan berkata bahwa yang hebat itu ya yang bisa semua. Untuk kedua contoh di atas yang hebat adalah penulis serba bisa dan dokter umum.
Tetapi kenyataannya yang terjadi adalah anggapan yang mengatakan bahwa kalau serba umum maka pengetahuannya tentang hal itu sedikit, alias yang umum-umum juga. Jadi kalau mau yang lebih ahli, yang bisa membahas lebih mendalam, kita harus merujuk kepada para spesialis tadi.
Pertanyaannya sekarang benarkah demikian?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bisa ya dan tidak.
Jawaban Ya
Ya umumnya seperti itu. Karena begitu kita mendalami sesuatu secara khusus, secara intens, tentunya pengetahuan kita tentang hal itu bertambah. Ada memang hal-hal yang harus dikuasai secara khusus oleh orang-orang dan mereka menjadi sangat ahli disana. Seperti umumnya peneliti, ahli komputer, atau dalam contoh di atas adalah dokter. Umumnya apabila disana dituntut keahlian yang bersifat teknis.
Jawaban Tidak
Tidak, karena kemampuan manusia tidak terbatas. Selama dia mau belajar dia bisa menjadi apa saja. Sekarang hal itu sudah mulai banyak ditemui. Misalnya dokter gigi yang penyanyi, artis film yang penulis, wartawan yang juga artis, agamawan yang penulis. Apakah mereka lantas tidak bisa memberi analisa yang mendalam, atau kurang penghayatan pada masing-masing jenis pekerjaan itu? Tidak, tapi perhatikan biasanya satu jenis adalah pekerjaan teknis, yang satu pekerjaan seni. Yang satu otak kanan, yang satu otak kiri.
Jawaban Ya dan Tidak
Ya dan Tidak. Untuk satu orang jawabannya bisa jadi ya. Tapi untuk orang lain bisa juga tidak. Hal ini sungguh relatif. Karena setiap dari manusia adalah unik. Jadi kedua jawaban bisa diterima. Sulitnya kita tidak biasa menerima banyak jawaban yang benar untuk banyak kemungkinan. Kita terbiasa menerima hanya satu jawaban benar. Di situlah masalahnya.

Sebenarnya siapa yang dapat memberi jawaban pasti di dunia ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang nilai-nilainya selalu berubah sesuai jaman, sesuai kemajuan/kemunduran teknologi, yang pendapatnya bisa disetir (baca:dibentuk) oleh media massa. Apa yang benar dan berlaku pada sepuluh tahun yang lalu, bisa jadi malah sebaliknya di jaman sepuluh tahun kemudian. Dulu tabu, sekarang terbuka, dulu dilarang sekarang boleh. Dulu rukun sekarang ribut. Dulu dan sekarang memang berbeda. Bahkan untuk waktu yang singkatpun.
Dan kesukaan memberi label adalah salah satu nilai-nilai masyarakat itu. Kita perlu memberi identitas diri. Untuk menunjukkan bahwa kita adalah sesuatu, bahwa kita ada. Karena kita ada maka kita akan di dengar. Supaya terdengar sampai jauh maka label kita harus yang hebat. Makin hebat label, makin dipercaya orang, makin diakui bahwa kita ada.
Akibatnya banyak hal yang kita lakukan sebetulnya adalah hal yang lucu dan kadang-kadang tidak etis, kadang melanggar hukum. Tapi demi label, kita berjuang untuk mendapatkannya. Pernah dengar tentang praktek pembelian gelar sarjana. Nah itu adalah salah satu contohnya. Apakah mereka yang melakukannya salah? Itu relatif lagi jawabannya. Mereka hanya berusaha mendapatkan identitas tadi. Mungkin mereka perlu embel-embel kesarjanaan agar mereka didengar, agar orang percaya mereka memang bonafide.
Mungkin bisa dikatakan kita ini krisis identitas. Kita tidak puas menjadi diri kita sendiri saja. Tanpa embel-embel dibelakangnya. Kita tidak puas mejadi Polan saja atau Anu saja. Kita harus menjadi Prof Polan, atau Anu sang selebrity. Atau Polan si kaum urban, atau Anu sang peneliti. Kita merasa harus mengidentifikasikan diri kita pada sesuatu.
Tetapi tindakan dan sikap semacam itu yang lahir dari masing-masing pribadi adalah juga nilai-nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Karena setiap individu mengikuti selera masyarakat, didukung oleh media massa maka nilai-nilai itu menjadi benar dan berlaku.
Seandainya ada orang yang biasa-biasa saja, katakanlah penjual es cendol di pinggir jalan, berbicara tentang sebab kemelut negeri ini, dengan bahasanya yang sederhana, siapa yang akan mendengarkan? Bahkan jika teori dia tidak salah. Paling-paling yang mendengarkan adalah para pembelinya sendiri. Yang mau tidak mau harus mendengarkan sampai pembeliannya selesai dilayani. Atau teman-teman sesama penjual es cendol yang mendengarkan sambil manggut-manggut dan tersenyum-senyum geli melihat seorang penjual es cendol mencemaskan nasib negeri. Mungkin sekali oleh sebagian teman dan pembelinya dia akan dianggap aneh berbicara seperti itu. Syukur-syukur tidak dianggap gila.
Ceritanya akan lain kalau yang bicara itu seorang pengamat ekonomi. Mungkin analisanya sama, tetapi yang disampaikan sang pengamat ekonomi akan menghiasi head line koran utama, dan dikutip seluruh media massa. Bahasanya canggih, orang awam tidak mengerti. Tapi justru disitulah letak kehebatannya, ke-ekslusifannya. Sekalipun sebenarnya yang disampaikannya intinya sama saja dengan yang disampaikan si penjual es cendol.
Intinya kita harus menjadi “sesuatu” dahulu agar kita didengar orang lain. Dan untuk menjadi “sesuatu” kita harus memiliki label yang menyertai kita. Segala kesibukan dan upaya kita dalam kehidupan sehari-hari semua mengarah kepada pencarian label tadi. Pencarian identitas diri. Identitas yang spesifik. Lalu apa kesimpulan dari tulisan ini? Sepertinya tidak ada. Hanya pemaparan kenyataan yang ada. Begitulah kondisi kita. Sakit. Keberadaan kita sebagai manusia tidak cukup. Kita harus manusia yang sudah mencapai ini dan itu. Harga manusia sudah jauh dibawah imaginary value yang kita ciptakan sendiri. Kita berada dalam matriks ciptaan kita sendiri. Dan kita juga yang tersiksa di sana. Menunggu Neo sang pembebas datang. Atau Neo itu adalah kita sendiri, yang belum bisa memilih akan mengambil pil merah atau pil biru di hadapannya?(***)