Friday, December 28, 2007

Use Your Brain...Use Your Brain!

Koran Kaltim Post kemarin halaman pertama: hujan lebat rendam pulau Jawa. Karanganyar, Solo, Wonogiri, Trenggalek, Madiun dan Blitar. Tanah longsor akibat hujan lebat terus menerus menjadi bencana ikutannya.

Akibat global warming? You bet!
But do you know what I read on the next page of the same newspaper :MUI Nunukan desak perda tempat maksiat. Juga meminta perda untuk mengatur penarikan zakat dan pengawasan orang yang tidak berpuasa (wua hah..ahahaha..) yang katanya berlaku khusus untuk umat Islam. Pengaturan tempat penampungan TKI agar tidak bercampur pria dan wanita. Peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama di masyarakat terutama pelajar dengan cara .......betul sekali! Mari kita tambah jam pelajaran agama di semua jenjang pendidikan. Plok..plok...plok.....plok.....hebat!

Read all of those lines,I don't know what to say.Speechless. Like we're living on another planet.

Knock..knock... wake up men!
We are dying and you talk about morality and other religion rules measured by YOU!
Give me a break!

Siapa sih orang-orang ini? Sadarkah mereka apa yang sedang mengancam semua umat manusia di muka bumi?

Sebagian kecil orang telah sadar, sebagian kecil lainnya lagi baru sadar apa itu global warming -pemanasan global-.

Sebagian besar orang lainnya belum tahu, tidak tahu, bahkan ada yang tidak peduli. Celakanya bagian yang besar ini bukannya mendapat penjelaskan bagaimana manusia dan alam terhubung dalam suatu lingkaran, biasanya malah dijejali infomasi bahwa semua bencana itu adalah UJIAN dari Tuhan. Cobaan. Tes kesabaran.

Tidak ada penjelasan bahwa alam dan manusia mempunyai hubungan sangat erat. Bahwa manusia sangat tergantung pada alam. Bahwa aksi pengrusakan alam oleh manusia mengakibatkan reaksi alam untuk menyeimbangkan keadaan. Aksi buruk manusia membuat alam tidak seimbang, jadi reaksi alam yang manusia terima buruk pula dalam usaha membuat alam kembali seimbang.

Masalah siapa yang membuat kerusakan adalah masalah lain lagi. Katakanlah keserakahan barat telah membuat nasib seluruh umat manusia terancam, tingkat konsumsi barat yang tinggi telah memperburuk keadaan bumi dari masa ke masa, lalu apa? Menyalahkan barat? Menyuruh barat bertanggung jawab?

Begitulah seharusnya. Tetapi itu tidak mengubah keadaan bahwa kita semua harus menanggung akibatnya. Bahwa ada yang harus kita lakukan untuk mengatasi akibat buruk ini dan mengusahakan keselamatan seluruh umat manusia dengan tidak menambah kerusakan baru di muka bumi.

Prioritas utama kita sekarang adalah meningkatkan kesadaran setiap manusia untuk lebih bertanggung jawab pada dirinya, pada alam sekitarnya. Tidak usah berusaha untuk bertanggung jawab pada seluruh dunia, cukup diri sendiri dan alam sekitarnya. Itu sudah cukup untuk membuat perubahan.

Tidak usah dipusingkan masalah moral, masalah pencampuran pria wanita, masalah tempat maksiat. Kalau pulau-pulau di Indonesia tenggelam karena peningkatan tinggi permukaan air laut, siapa yang bisa buka tempat maksiat, siapa yang masih perlu tempat maksiat, siapa yang bisa berzakat saat tak ada lagi tempat untuk berusaha, mencari makan, mencari hidup. Use your brain! Use your brain!

Belajarlah bertanggung jawab. Itu cukup untuk menjawab seluruh masalah moral, etika dan budi pekerti. Semua masalah yang ingin dibuat perda seperti yang ditulis di atas itu berawal dari tindakan-tindakan pribadi-pribadi yang tidak bertanggung jawab.

Jadi penyelesaian masalahnya hanyalah: jadilah orang yang bertanggung jawab. Jangan terbiasa melemparkan kesalahan pada orang lain, atau yang lebih buruk menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam.

Daripada meributkan perda-perda yang ujung-ujungnya untuk pemenuhan kebutuhan akan kekuasaan, lebih baik melakukan tindakan nyata, misalnya membuat hijau tanah pekarangan dengan menanami pohon, tidak menutup habis lahan yang dimiliki untuk menambah luas rumah.

Mengelola sampah, mengurangi pemakaian AC, pemakaian kresek, tissue, pemborosan kertas. Menghemat air. Mengurangi pemakaian deterjen. Belajar, mencari tahu bagaimana mengolah air laut yang asin agar layak minum dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.

God! Banyak yang dapat kita lakukan sebelum kita sendiri yang mendapat amukan bencana. Sampai saat ini Kalimantan umumnya tidak mendapat musibah sebanyak penduduk di P Jawa. Mungkin karena relatif di Kalimantan masih lebih banyak hutan (kita mau bertahan sampai kapan? sementara tidak ada orang MUI yang juga berdiri di barisan Green Revolution, meskipun mereka memakai warna hijau untuk keperluan apa saja. Mereka bilang itu mah bukan urusan agama. Pathetic!).

Sudahkah aku memberi solusi. Sudahkah? Karena tidak ada gunanya mengeluh. Kita harus bertindak sekarang. Tindakan kecil pun berarti banyak.

Saturday, December 15, 2007

Tebar Qurban?

'Tebar Qurban 2007 bla...bla..bla....' begitulah bunyi tulisan di salah satu spanduk yang terpampang di pertigaan jalan Kemakmuran, jalan Pelita dan jalan ........... di kotaku. Spanduk dengan latar warna hijau dan tulisan hitam, berkibar gagah di seberang mesjid yang cukup besar di pojok jalan itu. Ya...ya...ya.... tanggal 20 Desember ini adalah hari Idul Adha. Hari raya Qurban, sebagian orang menyebutnya dan menurutku juga tidak salah. Betul-betul banyak yang di-qurban-kan pada hari itu, dan yang melakukannya ria bahagia. (Aku menangis dalam hati membaca spanduk itu, bayangkan : Tebar Qurban?).

Dalam pemahamanku kini aku sungguh tidak ingin lagi berqurban hewan seperti itu bahkan atas nama Tuhan. Aku sungguh hanya kasihan pada hewan-hewan yang diqurbankan, sementara manusianya sendiri tidak ada mengalami perubahan. Hanya menjadi semakin keras, kaku, alot. Bagaimana tidak? Setiap tahun paling tidak sekali menyaksikan 'penjagalan suci' seperti ini yang apapun nama pembungkusnya tetaplah pembunuhan. Itu belum dihitung dengan penjagalan setiap hari yang terjadi di setiap pasar, atau setiap rumah makan, restoran. Setiap rumah tangga. Dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan naluriahnya - m a k a n! -. Manusia telah terlalu banyak membunuh.

Tapi dia hanya membunuh yang di luar dirinya. Dia lupa membunuh dirinya. Sehingga manusia dari masa ke masa semakin sombong, angkuh, arogan, beku, dan mati rasa. Seandainya qurban di sini dimaknai sebagai pembunuhan nafsu hewan dalam dirinya, maka manusia akan menjadi lebih baik, dari masa ke masa.

Nafsu hewan yang bagaimana?

Kejam, serakah, licik, tidak mau berbagi, hanya memikirkan perut dan kelamin, hei..hei..hei... bahkan setiap jenis hewan hanya memiliki satu sifat yang buruk saja. Misalnya serigala terkenal licik, babi kalau kawin lama, tikus suka mengorek-ngorek yang kotor, harimau kejam (kelihatannya) memangsa hewan lainnya dst dst. Dan hewan hanya kawin pada musimnya saja.
Manusia ? - dalam diri satu manusia segala macam sifat buruk tadi bisa ada. Kawin kapan saja, bisa dengan siapa saja, tak puas bila hanya satu saja, serakah, tamak, curang, loba, licik, kejam, sadis dll dll. Itulah hasil perkembangan evolusi manusia yang sangat menakjubkan, saudara-saudara. Padahal jika kita mempelajari perilaku hewan lebih jauh, kita akan menemukan bahwa mereka adalah makhluk beradab dan tunduk pada kehendak alam. Mereka sangat selaras dengan alam. Tak mampu merusak. Hanya bertindak sesuai garis yang ditentukan baginya. Sesungguhnya manusia kini lebih binatang daripada binatang.

Lalu ada yang marah padaku.

'Kau tidak paham', katanya, 'dengan ajaran agama'.
'Aku memang tidak paham', kataku. 'Karena ajaran itu tidak lagi bisa kuterima'.
Seharusnya diri manusia bertumbuh, berkembang dari masa ke masa. Ada aku membaca, evolusi fisik pada diri manusia mungkin sudah mencapai puncaknya. Kini energi yang ada seharusnya digunakan untuk evolusi bathinnya. Seharusnya.

Jadi jika kau bersikeras menterjemahkan agamamu secara lahiriah bahwa qurban adalah jagal hewan. Demikianlah pemahamanmu.

Aku memahaminya seperti yang kupahami. Dan inilah pemahamanku. Jagal-lah hewan yang bersemayam di dalam dirimu, dalam pikiranmu, dalam ucapanmu, dalam tindak-tandukmu!


Semoga semua makhluk berbahagia
Damailah diriku
Damai di bumi, damai di langit, damai di alam semesta

Monday, November 26, 2007

Tut Wuri Handayani

Judul di atas adalah penggalan dari kalimat panjang yang terkenal dari Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa, bapak pendidikan kita, yang baris terakhirnya juga menjadi bagian dari logo Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia : Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Maknanya lebih kurang : di depan memberi teladan, ditengah membimbing (memotivasi, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif) dan dibelakang mendorong (dukungan moral).

Kalimat itu menjadi rujukan saat bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik, memberi tuntunan bagaimana seharusnya seorang pemimpin atau seorang guru (yang digugu dan ditiru) bertindak.

Ketiga kalimat itu berulang-ulang ditulis, dibahas, diingat kemudian dilupakan. As usual, idelisnya kita sampai di mulut saja. Begitu turun ke perut yang serba idealis tadi akan menguap ke atas dan masuk kembali ke kepala dalam sebentuk angan-angan tentang suatu hal yang ideal. Keluar lagi lewat mulut, begitu turun ke perut menguap lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. (Do you catch me?)

Kalimat itu begitu sering diucapkan, dibaca, dibahas sampai si pendengar atau si pembaca lupa untuk memahami, belum sampai taraf menghayati, apalagi mengamalkan. Untuk sampai ke tahap paham saja sulit. Sebab umumnya begitu tahu, sudah puas. Berhenti, dan mengira dirinya sudah hebat.

Ing Ngarso Sun Tuladha
Di depan memberi teladan. Duh susahnya menjadi teladan. Menjadi teladan itu artinya si pemberi teladan harus senantiasa sadar, aware terhadap pikiran, perkataan dan tindakannya. Melakukan segala sesuatu secara benar. Memberi contoh yang baik. Itu sulit. Alamiahnya manusia itu selalu mondar-mandir di dua kutub. Mana bisa menjadi baik terus. Seharusnya juga tidak buruk terus.
Menyeimbangkan dua kutub itu adalah perjuangan seumur hidup. Lalu kalau untuk seimbang saja harus berjuang seumur hidup, sewaktu-waktu bisa tergelincir jatuh, bagaimana memberi teladan? Ya dengan menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tetap seimbang itu tadi. Saat kita senantiasa sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, tidak perlu repot-repot memikirkan apa teladan yang baik, sebenarnya kita sudah memberi teladan.

Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah memotivasi, menggugah semangat, kemauan dan niat. Ini juga sulit. Bagaimana membuat situasi yang kondusif untuk orang lain agar bisa berkembang, menggugah semangat untuk terus meraih kemajuan itu sulit. Apalagi kita dihadapkan pada masalah internal diri kita sendiri dan masalah eksternal dengan lingkungan kita. Tidak bisa? Oh bisa. Yang diperlukan hanya niat baik untuk melakukannya. Asal paham lakonnya hidup, baris yang inipun pasti akan dilakukan orang-orang dengan senang hati. (Bagaimana lakonnya hidup? berdiamlah --maka kau akan tahu!).

Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi dorongan moral. Nah ini dia. Katanya seorang pemimpin atau guru atau orang yang lebih pandai, lebih tahu-- saat membimbing orang lainnya harus bersikap sebagai among (ini bahasa Jawa, bukan Inggris!). Pengemong. Pengasuh. Jadi yang menjadi fokus adalah yang diasuh. Karena itu saat yang di asuh merasa lemah, merasa tidak mampu, pengemong akan maju memberi dorongan semangat, dukungan moral. Dengan kata-kata, dengan sikap perbuatan. Dengan hati yang penuh cinta. (iya penuh cinta, karena tanpa yang satu ini, tidak akan pernah bisa ada tindakan tut wuri handayani).

Jadi kesimpulannya apa yang coba disampaikan KH Dewantoro itu adalah : sadarlah pada pikiran, perkataan dan tindakan kita, pahami hidup dan kembangkan cinta kasih. Inilah pemahaman saya tentang Ing Ngarsa Sun tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Tetapi, masih ada tetapi. Saya bukan penutur asli bahasa Jawa. Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Jawa. Saya tidak tinggal cukup lama di pulau Jawa. Jadi, bisa jadi pemahaman saya tentang kalimat KH Dewantoro ini mengalami distorsi makna karena ketidaktahuan saya. Karena dari pengalaman saya, setiap kata bahkan huruf, dalam bahasa Jawa selalu punya makna. Tidak ada kata yang sia-sia. Seperti halnya hidup, tidak ada hidup yang sia-sia. Tidak ada kejadian yang sia-sia. Semua bermakna. Pandaikah kita merangkai makna dan mengambil pelajaran darinya?

That's why we live.

one that could implement this into action in daily life, he must has a big heart.

Samarinda, 26 Nov 2007

Saturday, September 29, 2007

Give and Give and Give Things

Beberapa hari terakhir ini aku dilanda kebimbangan untuk memutuskan apakah aku akan masuk menjadi member Asian Brain IMC yang dikomandoi Anne Ahira -internet marketer- terkenal dari Indonesia itu atau tidak. Aku sudah berlangganan news dari mereka tapi sudah hampir 2 minggu ini tidak kunjung dapat memutuskan apakah akan bergabung atau tidak.

Beberapa waktu yang lalu aku juga mendapat kiriman paket 'motivation course' atau somekind like that lah... dari seorang teman. Aku baca. Dan .......... there's nothing new for me.
I knew it before. I understood and try to do it day by day all this time. But that's not the problem.

The problem is : I feel funny about those 'motivation things'.
Weird.
I feel like a donkey.
Don't laugh at me.
I mean it.

I am not sure about how I feel or how to tell you about this. Saat aku menerima email yang isinya kalimat-kalimat untuk memotivasi itu, aku lantas merasa dungu. Aku merasa seperti salesman jalanan yang harus diberi semangat dengan berteriak lantang setiap pagi dalam meeting harian sebelum berkeliling menawarkan barang. Aku merasa malu -mungkin- karenanya.

Pertanyaannya adalah : Mengapa malu? Bukankah setiap dari kita memang harus pandai menjual? (itu inti bisnis kan? bisnis apa saja. kau bisa menjual barang, menjual jasa, menjual ide, menjual visi, menjual diri ..ops, yah pokoknya menjual, apa saja)

No sales, no action, no money, no profit, no-thing.

Aku berhari-hari merenungkan hal ini. Mungkin sampai hari ini aku belum menemukan jawabnya. Aku hanya meraba-raba jawaban. Seperti ini: saat kita mulai belajar mengenal diri kita sendiri, saat itu kita belajar tentang dunia di sekitar kita. Satu persatu, sedikit demi sedikit kita melihat dengan lebih jelas, memahami dengan lebih baik segala sesuatu. Saat itu tiba, teori motivasi itu menjadi lelucon yang lucu sekali. Karena pada saat kita memahami diri sendiri, maka hal-hal yang disebutkan dalam teori motivasi itu terlampaui. Bila masih ngotot memposisikan diri di sana, akan ada perasaan malu yang terbit di sanubari.

Teori tentang positive thinking dan teori motivasi itu mirip. Aku masih bisa membaca dengan tenang apabila ada orang menulis tentang postive thinking. Tetapi membaca tentang motivasi, rasanya jadi lucu sekali. Gambarannya itu seperti keledai yang diumpan dengan buah yang digantung di depannya. Dia akan dilecut untuk jalan, dengan harapan dapat menggapai umpan tadi yang tentu saja tak akan pernah didapatnya, karena seiring dengan langkahnya, umpannya akan bergerak menjauh juga. Very funny! dan menyedihkan juga.

Tapi apakah teori motivasi dan positive thinking itu buruk. Tidak. Tentu saja tidak. Ada orang yang memang membutuhkannya. Masih banyak orang yang membutuhkannya.

Aku tidak berani berkata lantang bahwa aku tidak membutuhkannya. Pada kenyataannya aku tetap membutuhkan motivasi dan berpikir positip untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dan, sampai saat ini pun uang mungkin adalah motivasi yang paling kuat. Lalu kenapa ada penolakan halus yang kurasakan?

Aku belum paham. Dan aku masih setia membaca news letter dari Asian Brain. Anne Ahira orang yang hebat. Dan dia mau berbagi, itu juga hebat. Hal yang langka di Indonesia. Aku bersyukur Indonesia memiliki orang seperti dia. Hanya saja, sepertinya aku tidak bisa ikut dalam rombongannya. Tidak saat ini.

Tapi Anda yang membaca tulisan ini, boleh tuh masuk ke Asian Brain. Berkunjunglah dan lihat, apakah Anda tertarik untuk ikut dan meraih keberhasilan di sana. Dan berbagilah setelah itu. Not share the money you get;), but share what you've experienced, share about how you doin' it, share the 'tip', share the chance.

I remember something right now. Maybe I'm suck with this "take and give thing" but naturally that's how it goes.
Maybe on my secret mind, deep down inside, I think, why not "give, and give, and give only"
May be......

Wednesday, August 22, 2007

Agustusan - Bende Mataram!

Samarinda, 22 Agustus 2007

"Tahun ini tidak diadakan lomba-lomba dalam menyambut Hari Kemerdekaan, jadi tidak akan ada pula sumbangan dan lain sebagainya. Harap menjadi perhatian warga RT ..." begitulah bunyi selebaran yang kudapat dari Pak RT-ku.
Di komplek perumahan tempat kutinggal perayaan 17 Agustus berlalu seperti hari-hari biasa lainnya. Nothing special.
Sambil tercenung membaca selebaran itu aku sendiri bertanya-tanya dalam hati, apakah memang masih tersisa rasa nasionalisme di dada setiap warga negara Indonesia saat ini? Atau rasa itu sudah hilang lebur dalam kesulitan perjuangan hidup sehari-hari. Sehingga kemerdekaan maknanya tereduksi menjadi sekadar lomba bola volley atau panjat pinang dan balap karung saja.
Aku merasa menemukan jawabannya seminggu kemudian.
Kemarin suamiku pagi-pagi sekali memutar lagu. Awalnya hanya terdengar musik orkestra yang indah. Setelah masuk intro baru aku tahu kalau itu lagu Indonesia Pusaka. Sambil melakukan postur yoga seperti biasa kulakukan setiap pagi aku mendengarkan lagu itu. Dan lagu berikutnya dan lagu berikutnya. Ada Maju Tak Gentar, Bangun Pemudi Pemuda, Rayuan Pulau Kelapa, Syukur, Bagimu Negeri, Berkibarlah Benderaku, Mars Pancasila, Indonesia Raya, Hari Merdeka. Total ada 10 lagu.
Dadaku terasa bergemuruh, mataku panas berkaca-kaca. Ah..ah... aku rindu tanah airku. Agak aneh memang. Aku belum pernah bepergian jauh meninggalkan tanah airku -phisically- tapi aku sudah rindu padanya. Pertanda apa ini?
Dan aku tambah terharu sewaktu kutanya suamiku dari mana dia dapat lagu-lagu itu? Jawabannya : dari FSU - Florida State University. Aku bengong! Aku terkejut! Ndak salah nih........?
Aku tidak mencari tahu lebih jauh apakah itu hanya direkam di sana, atau dibuat mahasiswa Indonesia yang ada di sana, atau bagaimanalah ceritanya. Aku hanya heran dan merasa miris.
Aku berpikir tidak adakah komposer kita yang tergugah untuk mengolah dan meng-compose lagu-lagu (wajib) itu menjadi lagu yang indah dan merdu di dengar tidak hanya untuk diperdengarkan pada bulan Agustus saja (seperti halnya rekaman yang kudapat ini -penyanyinya suaranya indah dan musiknya bagus-). Tidak adakah stasiun TV kita yang tergerak untuk membuat acara yang dapat menggugah rasa kebangsaan dan kebanggaan seseorang terhadap negeranya daripada membuat sinetron konyol yang sama sekali tidak lucu dan tidak mendidik itu (tapi menghasilkan banyak uang sih.....).
Aku memutar lagu yang sama di komputerku di kantor keesokan harinya. Reaksi yang kudapat juga membuatku terharu. Teman-temanku ternyata juga rindu mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka malah membawa cerita lain lagi. Bagaimana putra-putrinya yang bersekolah di SD, SMP dan SMA malah ada yang tidak hafal dengan lagu-lagu ini, boro-boro untuk menjiwai, kenal aja udah syukur. Nah lho....!
Kelihatannya pendidikan bela bangsa yang selama ini masuk kurikulum pengajaran selama bertahun-tahun telah gagal total. Sekarang yang tumbuh subur di sekolah-sekolah adalah sikap fanatisme yang diajarkan kepada murid melalui pendidikan agama. Budi pekerti direduksi menjadi berpakaian seperti salah satu ajaran agama (mayoritas tentu......!) membangun banyak tempat ibadah (agama mayoritas tentu....) dan merasa sudah berbuat baik dan sudah punya kavling di surga karena hal itu. Padahal fanatisme yang sama juga yang akan menggoyang rasa kebangsaan dan kebanggaan bernegara karena arahnya sudah jelas bo..... bahkan di beberapa email yang kuterima ada berita mengenai upaya yang dilakukan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara islam indonesia.
Sedih...sedih....
Apa yang dapat kulakukan? Kenapa Presiden SBY diam saja? Takut kehilangan kekuasaan? Takut dicap tidak beriman? Atau yang lebih cilaka lagi nih orang-orang yang punya akses pada kekuasaan, yang mengatur orang banyak, pada ndak sadar ya... sudah diperalat pihak asing agar mereka dapat menguasai Indonesia, merampas, menjarah dan memperkosa Ibu Pertiwi. Dengan dalih agama sih..... makanya pada takut dibilang tidak beriman, kafir sesat tuh.....! Apalgi kalau diancam bakal masuk neraka..... wah...wah....
Jadinya malah pada menjelma jadi anak durhaka, bilang ibu pertiwinya tidak berbudaya, tidak berpakaian yang pantas sehingga harus dikerudungi dari atas sampai bawah. Mengira mereka yang paling bijaksana dan beruntung menista budaya nenek moyang yang adi luhung. Aduh Bunda..... semoga Kau memberkati mereka....
Dan karena lama tidak menulis, tulisanku jadi melantur.....kesana kemari.....pikiranku berseliweran menaburkan kepedihan hati.....memahat kata dengan keras melawan kemalasan diri untuk bersuara dan membela ibu pertiwi. Terlau banyak yang ingin disampaikan hingga tanganku tak kuasa untuk mengikuti.
Cukup sampai disini. Sembah sujudku untuk Ibu Pertiwi.

Bende Mataram !

Friday, May 04, 2007

Life Summary

Prolog
Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menulis 3 bulan yang lalu. Aneh rasanya memulai menulis lagi. Sepertinya terlalu banyak hal yang harus kuendapkan dulu dengan sungguh-sungguh sebelum bisa kutuangkan dengan baik. Sulitnya, aku tidak tahu persis apa yang baru.
Meskipun kenyataannya banyak sekali kejadian yang telah kulewati. Tetapi sepertinya lewat begitu saja. Kalaupun ada yang bisa dicatat mungkin adalah kesadaran bahwa selama ini aku sangat tidak percaya diri.
Kepercayaan diriku menguap begitu saja. Sesaat ada, sesaat tiada. Aku memerlukan disiplin diri yang kuat untuk terus berlatih agar kepercayaan diriku tetap terjaga. Aneh!
Bagian 1
Aku merasa diriku jauh dari lingkunganku karena perbedaan pola pikirku. Tentu saja bila hal itu menyangkut pekerjaan atau hal-hal rutin lainnya semua bisa dikerjakan seperti biasanya. Tetapi segala hal yang menyangkut hubungan sosial jadi terasa aneh karena aku menemukan bahwa nilai-nilai yang kuanut ‘terasa’ berbeda dengan lingkunganku berada. Aku juga seringkali merasa SAAT INI lebih mudah melihat mana orang yang tidak percaya diri (artinya orang itu sangat tidak percaya diri, karena aku sendiri tidak pd-an), mana yang sombong, mana yang hanya bisa berbual (kelompok orang yang menyebalkan), mana yang sok berkuasa tapi sejatinya tidak tahu apa-apa (kelompok yang paling menyebalkan), mana orang yang ‘berisi’, orang lugu, orang sederhana, orang awam, dll, dsb.
Seperti biasa, aku memperhatikan, mempelajari, memahami dan …..ah aku belum cerah!
Bagian 2
Aku berkeliling mencari sekolah untuk anakku yang kedua- Chitta. Aku ingin dia masuk TK Budi Bhakti. Yang punya yayasan Budha. Aku senang dengan kurikulumnya (di sana tidak diajarkan agama! tetapi diajarkan budi pekerti dan kasih sesama ), senang dengan kelasnya, senang dengan lingkungannya, senang dengan guru-gurunya, ………..tetapi rupanya mereka semua tidak senang dengan anakku.
Mereka keberatan menerima Chitta. Alasannya tidak jelas bagiku, jawabannya berputar-putar, belakangan malah menyuruhku ke psikolog untuk tes mencari kelebihan dan kekurangan anakku (yang kemudian aku tahu tempat psikolog itu praktek lebih banyak menangani kasus anak autis).
Aku tersentak!
Stress dan
Depressi
Untuk beberapa jam lamanya.
(Kalau depressi jangan lama-lama;)
Kemudian aku bergerak cepat mencari semua informasi yang bisa kudapat tentang autis dengan seluruh spektrumnya, PDD NOS, Speech Delay dan beberapa istilah lain yang sulit kuingat. Membaca bahan-bahannya, memasuki semua ruang diskusi di internet yang membahas/berkaitan dengan hal itu.
Dan setelah 7 hari mempelajari, menelaah, membandingkan, mengukur, mengingat-ingat, aku dengan pasti bisa mengatakan bahwa anakku bukanlah seorang anak autis (seperti dugaan guru-guru di TK Budi Bhakti, berdasarkan gambaran tentang perilaku Chitta yang kuberikan pada mereka juga. Dasar akunya dogol!)
Chitta mengalami keterlambatan bicara, ya. Tetapi bukan autis!
Tetapi tidak ada kejadian kebetulan bukan? Tidak ada yang terjadi tanpa suatu maksud. Jadi sampai hari ini aku masih bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan Chitta tidak bisa masuk ke sekolah yang aku idam-idamkan sejak lama untuknya. Atau Chitta memang tidak ingin masuk sana. Kenapa?
Belakangan aku dan suamiku –setelah mencari beberapa hari- memutuskan Chitta masuk TK Fransiskus Asisi punya yayasan Katolik.
Aneh..aneh….aneh….. Karena sejak lama aku berusaha menghindari kontak dengan segala macam yayasan yang bernaung di bawah 2 agama besar ini, tapi kok ya aku harus masuk ke salah satunya.
Sampai hari ini aku belum tahu maksudnya.

Bagian 3
Aku selalu merasa ada yang kurang dengan apa yang kupelajari selama ini. Aku selalu merasa ada yang kurang dengan Islam yang kupelajari selama ini. Aku berusaha mencari tahu KEKURANGAN itu. Tapi hingga hari ini aku belum mendapat berkah untuk menemukan sumber yang terpercaya. Ada teman diskusi dan sumber informasi yang cukup mengasyikan sebenarnya, tapi terhalang oleh perbedaan cara berkomunikasi, kesulitan berbahasa dan perbedaan latar belakang sehingga apa yang ingin kutahu tidak bisa ditangkap secara tepat olehnya sehingga jawaban yang diberikan juga menjadi tidak tepat.
Tanya kenapa?
Mungkin belum waktunya.
Atau mungkin bukan dari sumber yang ini aku harus mendapatkannya.
Aku akan menunggu.
(beberapa hari yang lalu aku mendapat email dari seorang teman yang isinya menceritakan bahwa Nabi Muhammad itu tidaklah buta huruf seperti yang selama ini diketahui dan diajarkan. Aku tertawa terbahak-bahak….. yah…baru ini aku mendengar lagi ada penjelasan rasional tentang hal itu. Meniru ucapan temanku…. Ya..iyalah….. Rasanya konyol memang kalau Nabi adalah seorang yang buta huruf. Katakanlah memang demikian, masih tidak masuk diakalku kalau Nabi ini sampai akhir hayatnya membiarkan dirinya buta huruf. He…he…he……manusia-manusia ini memang konyol….)
Bagian 4
Anakku yang besar Pragyaa, tahun ini masuk SMA. Aku bingung juga. Sekolah yang mana yang akan dia masuki. Kalau ingat gayanya yang slow motion, apa adanya, tidak punya keinginan apa-apa, trus gimana?
Aku tanya dia, dia sebut satu sekolah. Bukan yang terbaik, tapi termasuk yang banyak diminati. Rasa-rasanya sekali ini keinginannya akan kuikuti. Karena aku kasihan padanya. Selama dia SMP memang dia berhasil masuk SMP terbaik, masuk di kelas bilingual (angkatan dia adalah yang pertama untuk kelas bilingual dan SMPnya adalah satu-satunya SMP di Kaltim yang membuka kelas itu, katanya sih program ASEAN atau gimana gitu!) dengan prestasi sedang-sedang saja, kadang malah nyerempet rangking terbawah di kelasnya. Tapi OK-lah….
Masalahnya dia tidak punya teman selama SMP ini. Olala…. Aku tidak ingin dia mengulang kesengsaraan tidak punya teman 3 tahun lagi hanya karena mamanya ingin dia masuk sekolah terbaik. Tidak-tidak.
Entahlah apa yang salah pada Pragyaa hingga dia tidak punya teman dekat di SMP ini yang sekelas dengannya. Kalau ada yang berteman dengannya kayaknya hanya karena terpaksa deh, atau karena mereka memang sedang memerlukan dia. Pokoknya kalau nggak kepepet kayaknya nggak ada yang mau berurusan dengannya.
Repotnya Pragyaa ini cuek sekali. Jadi dia tidak repot juga dengan keadaan itu. Nggak ditemenin ya udahlah.
Oh God!.
Karena itu aku berharap keputusanku membebaskan dia ingin sekolah dimana adalah keputusan yang baik untuknya. Karena kalau dia kusuruh masuk SMA terbaik lagi di kota ini, ada kemungkinan dia akan diterima tetapi dia akan bertemu dengan orang-orang yang sama lagi, temannya yang itu-itu juga. Karena hampir separuh kelasnya telah diterima di SMA terbaik itu tanpa tes. (Pragyaa tidak diterima tanpa tes karena gagal di nilai rata-ratanya yang tidak rata;-) Dia hanya akan pindah kelas dan pindah sekolah saja. Kebetulan pula sekolahnya bertetangga. Betul-betul cuma geser sedikit kan?
Tidak! Kurasa kali ini aku ingin dia mendapat pengalaman yang berbeda. Jadi aku berharap keputusanku ini tidak salah.
Semoga!
Samarinda, 3 Mei 2007

Thursday, January 25, 2007

Bedanya Tahu dan Paham

Aku baru menonton film Sixth Sense kemaren sore di saluran HBO. Film dengan alur bertutur yang lambat dan meloncat-loncat tapi membangkitkan rasa ingin tahu. Jadi aku bertahan menonton sampai habis. Meskipun tidak tepat juga dikatakan begitu karena aku menontonnya dari pertengahan saja, tidak dari awal. Rasa-rasanya aku harus menonton film ini dari awal sekali lagi.

Dari tontonannya yang sepotong itu aku menyimpulkan bahwa film ini menceritakan tentang seorang anak yang bisa melihat hantu. Menariknya film ini tidak lantas menjadi film hantu yang menyeramkan (seperti biasanya film Indonesia..:), sebaliknya film ini malah menjelaskan tentang hantu itu sendiri.

Aku telah ‘tahu’ sejak……. katakanlah dua tahun yang lalu, bahwa saat kita meninggal apabila kita meninggal dalam keadaan tidak sadar atau kita tidak ikhlas, maka itu akan menimbulkan keterikatan dengan dunia ini, dan menyebabkan kita terkatung-katung di alam sebelah. Ya lantas orang bilang hantu tadi. Tidak bisa melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan yang ditinggalkan. Bila mereka ada seorang saja yang tidak ikhlas melepas kepergian orang yang dikasihinya akan membuat yang meninggal tadi terikat dengan dunia. Jadi baik yang meninggal maupun yang ditinggalkan kedua-duanya harus ikhlas agar perjalanan yang meninggal lancar. Inilah juga yang diceritakan oleh film Sixth Sense ini. Aku seperti mendapat konfirmasi. Sekali lagi.

Tadi pagi, sehabis yoga seperti biasa. Aku rileksasi, savasana. Dan seperti biasanya juga saat rileksasi seperti inilah aku mendapat ‘pencerahan-pencerahan kecil’. Tadi pagi pencerahanku tentang hantu tadi. Bukan hal yang baru. Pemahamannya tetap sama. Bedanya ya di ‘paham’ itu tadi. Dua tahun yang lalu aku ‘tahu’ tentang hal itu. Tahu dari pengetahuan, dari bacaan, dari cerita orang. Sekarang aku ‘paham’. Dari kesadaranku sendiri. Rasanya memang lega. Reaksi yang keluar cuma, ooohh….. lalu manggut-manggut sendiri. Begitu saja memang rupanya kalau orang paham itu.

Aku cerita pada suamiku. Reaksinya juga cuma, “Naah…sudah pahamkan”. Jawaban standarnya yang kadang-kadang menyebalkan, tapi memang mengandung kebenaran.

Label

Kali ini aku ingin menulis tentang hobi kita memberi label pada segala sesuatu. Pada segala sesuatu dari kita, dari segala entity di sekeliling kita. Seperti makanan, hewan, tumbuhan. Benda yang tidak bergerak seperti batu, gunung, sungai. Juga benda yang tidak dapat dilihat seperti amuba, bakteri, virus, sel. Dan seterusnya dan sebagainya.
Kita juga tidak lupa memberi label pada diri kita sendiri. Orang kaya, orang miskin, artis, peneliti, pemerhati, professor, tukang bakso, tukang kayu. Pokoknya semua harus diberi label. Semua harus ada namanya. Ada sebutannya.
Bahkan tidak puas dengan sebutan yang luas, harus ada sebutan yang khusus, yang spesial, istimewa. Seperti profesi penulis akan ada prosais, novelis, cerpenis, penulis cerita anak, penulis essai, pemerhati bla bla bla. Bagaimana kalau dia bisa menulis segala macam itu semua? Maka tetap harus ada label baru : penulis serba bisa.
Profesi yang lain, misal dokter. Ada dokter mata, dokter kandungan, dokter syaraf, dokter jantung, dokter anak, dokter kulit, dokter bla bla bla. Bagaimana dengan dokter yang tahu semuanya? Labelnya adalah dokter umum.
Tetap harus ada label. Dan ikutannya harus ada ranking. Mana yang lebih hebat, lebih prestisius, atau sekedar lebih indah kedengaran di telinga. Sebenarnya kalau mau jujur kita akan berkata bahwa yang hebat itu ya yang bisa semua. Untuk kedua contoh di atas yang hebat adalah penulis serba bisa dan dokter umum.
Tetapi kenyataannya yang terjadi adalah anggapan yang mengatakan bahwa kalau serba umum maka pengetahuannya tentang hal itu sedikit, alias yang umum-umum juga. Jadi kalau mau yang lebih ahli, yang bisa membahas lebih mendalam, kita harus merujuk kepada para spesialis tadi.
Pertanyaannya sekarang benarkah demikian?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bisa ya dan tidak.
Jawaban Ya
Ya umumnya seperti itu. Karena begitu kita mendalami sesuatu secara khusus, secara intens, tentunya pengetahuan kita tentang hal itu bertambah. Ada memang hal-hal yang harus dikuasai secara khusus oleh orang-orang dan mereka menjadi sangat ahli disana. Seperti umumnya peneliti, ahli komputer, atau dalam contoh di atas adalah dokter. Umumnya apabila disana dituntut keahlian yang bersifat teknis.
Jawaban Tidak
Tidak, karena kemampuan manusia tidak terbatas. Selama dia mau belajar dia bisa menjadi apa saja. Sekarang hal itu sudah mulai banyak ditemui. Misalnya dokter gigi yang penyanyi, artis film yang penulis, wartawan yang juga artis, agamawan yang penulis. Apakah mereka lantas tidak bisa memberi analisa yang mendalam, atau kurang penghayatan pada masing-masing jenis pekerjaan itu? Tidak, tapi perhatikan biasanya satu jenis adalah pekerjaan teknis, yang satu pekerjaan seni. Yang satu otak kanan, yang satu otak kiri.
Jawaban Ya dan Tidak
Ya dan Tidak. Untuk satu orang jawabannya bisa jadi ya. Tapi untuk orang lain bisa juga tidak. Hal ini sungguh relatif. Karena setiap dari manusia adalah unik. Jadi kedua jawaban bisa diterima. Sulitnya kita tidak biasa menerima banyak jawaban yang benar untuk banyak kemungkinan. Kita terbiasa menerima hanya satu jawaban benar. Di situlah masalahnya.

Sebenarnya siapa yang dapat memberi jawaban pasti di dunia ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang nilai-nilainya selalu berubah sesuai jaman, sesuai kemajuan/kemunduran teknologi, yang pendapatnya bisa disetir (baca:dibentuk) oleh media massa. Apa yang benar dan berlaku pada sepuluh tahun yang lalu, bisa jadi malah sebaliknya di jaman sepuluh tahun kemudian. Dulu tabu, sekarang terbuka, dulu dilarang sekarang boleh. Dulu rukun sekarang ribut. Dulu dan sekarang memang berbeda. Bahkan untuk waktu yang singkatpun.
Dan kesukaan memberi label adalah salah satu nilai-nilai masyarakat itu. Kita perlu memberi identitas diri. Untuk menunjukkan bahwa kita adalah sesuatu, bahwa kita ada. Karena kita ada maka kita akan di dengar. Supaya terdengar sampai jauh maka label kita harus yang hebat. Makin hebat label, makin dipercaya orang, makin diakui bahwa kita ada.
Akibatnya banyak hal yang kita lakukan sebetulnya adalah hal yang lucu dan kadang-kadang tidak etis, kadang melanggar hukum. Tapi demi label, kita berjuang untuk mendapatkannya. Pernah dengar tentang praktek pembelian gelar sarjana. Nah itu adalah salah satu contohnya. Apakah mereka yang melakukannya salah? Itu relatif lagi jawabannya. Mereka hanya berusaha mendapatkan identitas tadi. Mungkin mereka perlu embel-embel kesarjanaan agar mereka didengar, agar orang percaya mereka memang bonafide.
Mungkin bisa dikatakan kita ini krisis identitas. Kita tidak puas menjadi diri kita sendiri saja. Tanpa embel-embel dibelakangnya. Kita tidak puas mejadi Polan saja atau Anu saja. Kita harus menjadi Prof Polan, atau Anu sang selebrity. Atau Polan si kaum urban, atau Anu sang peneliti. Kita merasa harus mengidentifikasikan diri kita pada sesuatu.
Tetapi tindakan dan sikap semacam itu yang lahir dari masing-masing pribadi adalah juga nilai-nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Karena setiap individu mengikuti selera masyarakat, didukung oleh media massa maka nilai-nilai itu menjadi benar dan berlaku.
Seandainya ada orang yang biasa-biasa saja, katakanlah penjual es cendol di pinggir jalan, berbicara tentang sebab kemelut negeri ini, dengan bahasanya yang sederhana, siapa yang akan mendengarkan? Bahkan jika teori dia tidak salah. Paling-paling yang mendengarkan adalah para pembelinya sendiri. Yang mau tidak mau harus mendengarkan sampai pembeliannya selesai dilayani. Atau teman-teman sesama penjual es cendol yang mendengarkan sambil manggut-manggut dan tersenyum-senyum geli melihat seorang penjual es cendol mencemaskan nasib negeri. Mungkin sekali oleh sebagian teman dan pembelinya dia akan dianggap aneh berbicara seperti itu. Syukur-syukur tidak dianggap gila.
Ceritanya akan lain kalau yang bicara itu seorang pengamat ekonomi. Mungkin analisanya sama, tetapi yang disampaikan sang pengamat ekonomi akan menghiasi head line koran utama, dan dikutip seluruh media massa. Bahasanya canggih, orang awam tidak mengerti. Tapi justru disitulah letak kehebatannya, ke-ekslusifannya. Sekalipun sebenarnya yang disampaikannya intinya sama saja dengan yang disampaikan si penjual es cendol.
Intinya kita harus menjadi “sesuatu” dahulu agar kita didengar orang lain. Dan untuk menjadi “sesuatu” kita harus memiliki label yang menyertai kita. Segala kesibukan dan upaya kita dalam kehidupan sehari-hari semua mengarah kepada pencarian label tadi. Pencarian identitas diri. Identitas yang spesifik. Lalu apa kesimpulan dari tulisan ini? Sepertinya tidak ada. Hanya pemaparan kenyataan yang ada. Begitulah kondisi kita. Sakit. Keberadaan kita sebagai manusia tidak cukup. Kita harus manusia yang sudah mencapai ini dan itu. Harga manusia sudah jauh dibawah imaginary value yang kita ciptakan sendiri. Kita berada dalam matriks ciptaan kita sendiri. Dan kita juga yang tersiksa di sana. Menunggu Neo sang pembebas datang. Atau Neo itu adalah kita sendiri, yang belum bisa memilih akan mengambil pil merah atau pil biru di hadapannya?(***)