Monday, September 18, 2006

Masih Samakah INDONESIA-ku dengan INDONESIA-mu ?

Samarinda, Sept 15th 2006

Ada sebuah toko alat memancing di Samarinda yang secara kreatif membuat iklan di depan tokonya. Mungkin maksudnya ingin meniru iklan A Mild. Jadi iklannya pun berganti tema sebulan sekali. Pernah dia membuat gambar monyet dengan tulisan, ”Sulitnya jadi manusia”. Lain waktu tulisannya berbunyi, “Jika ingin kedamaian, belok sini”. Atau “ Seandainya semua orang senang memancing, dunia akan lebih tenang”. Pokoknya kalimat-kalimatnya seru, unik dan lucu juga jika kita perhatikan.

Tetapi di antara semua iklan yang dipasang mereka selama ini, iklan yang terakhir dan masih terpasang sampai hari inilah yang sangat menggelitikku. Bunyinya,” Masih samakah INDONESIAMU dengan INDONESIAKU?”

Kebetulan setiap kali aku pergi kuliah, aku harus melewati toko itu. Jadi tulisan itu terbaca lagi. Sejak awal, tulisan itu sudah membuatku merenung. Ya. Masih samakah Indonesiaku dengan Indonesiamu?

Kelihatannya saat ini, Indonesia, negara ini, bangsa ini punya arti banyak bagi setiap orang. Kalau kau katakan bahwa segala sesuatu pasti punya arti berbeda bagi setiap orang, pernyataan itu memang benar. Jadi misalnya, pohon kayu sangat berarti bagiku, tetapi mungkin kurang berarti bagimu yang lebih suka mengutak-atik mesin-mesin. Mungkin malah pohon kayu itu hanya akan menjadi bahan percobaan untuk mesin-mesinmu. Sama halnya denganku. Mesin-mesinmu itupun tak berarti bagiku. Jadi jika mesin-mesinmu ada disekelilingku bisa jadi kusingkirkan jauh-jauh saja supaya tidak menggangguku. Ya, itu benar.

Masalahnya Indonesia adalah tanah air bagi kita berdua yang punya kesukaan dan minat berbeda ini. Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku? Jika aku menganggap Indonesia tanah kelahiranku, udara dan air kehidupanku, api semangatku dan tempat tinggalku, apakah kau juga menganggapnya seperti itu ?

Seharusnya ya, sama. Seharusnya kau juga menganggapnya seperti itu. Seharusnya setiap orang Indonesia mengakui Indonesia seperti itu. sebagai Ibu yang melahirkan setiap jiwa yang tumbuh di sini. Seharusnya!

Sayangnya sekarang tidak begitu yang terjadi.

Dulu waktu aku kecil, aku tahu aku cinta dengan negara ini. Aku cinta Indonesia sepenuh-penuhnya. Sewaktu ada gerakan Aku Cinta Indonesia dengan wujud gerakan untuk selalu membeli dan memakai barang Indonesia sendiri, aku masih berumur belasan tahun dan merasa terheran-heran. Kenapa harus ada gerakan seperti itu? Bukankah suatu hal yang wajar kalau kita mencintai produk kita sendiri. Itu biasa saja. Rupanya akulah yang belum paham dunia. Seiring dengan pertambahan usia, seiring dengan perubahan lingkungan pergaulan, bacaan, pertambahan pengetahuan lingkungan, barulah aku mulai memahami kenapa waktu itu ada gerakan Aku Cinta Indonesia.

Aku merasa dalam dua dekade terakhir ini, rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air, rasa bangga memiliki Ibu Pertiwi seperti Indonesia itu luntur dari dada setiap orang Indonesia. Sebagian orang menyalahkan sistem Orba yang menjejalkan P4 sejak kecil hingga kita dewasa sebagai penyebabnya sehingga kita jenuh dengan hal-hal bela bangsa. Tetapi menurutku bukan itu penyebabnya.

Bukan penataran P4 yang salah. Malah sekarang setelah penataran P4 dihapuskan orang makin tidak kenal dengan Pancasila, kristalisasi jiwa bangsa ini. Bahkan anak sekolahpun belum tentu tahu dan hapal sila-sila Pancasila, apalagi memahaminya. Bukan. Bukan itu.

Menurutku yang salah itu adalah para pemimpin bangsa ini, juga anggota dewan yang terhormat, entah dewan tinggi dan dewan rendah, para pejabat juga para hakim yang mulia yang tidak memberi contoh pada masyarakatnya, bagaimana mencintai tanah air. Ya, mereka tidak bisa memberi contoh karena mereka tidak cinta tanah air, mereka sibuk berdagang, memperdagangkan tanah air. Tetapi anehnya, orang-orang selalu menyalahkan sistemnya. Kalau ada yang tidak beres jalannya, sistem disalahkan. Padahal sebagus apapun sistem yang dimiliki kalau manusianya tidak beres ya tidak akan pernah bisa berjalan baik.

Jadi sebenarnya, seandainya pertanyaan “Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku?” , kalau diajukan dikalangan akar rumput, jawabannya akan sama. Ya tentu saja. Ini tempat tinggalku, tanah airku, tumpah darahku. Indonesia adalah tempat tinggal kita, tanah air kita, dan tumpah darah kita. Tetapi kalau diajukan kepada pejabat-pejabat itu jawaban yang akan kita temui seandainya mereka berani jujur mungkin, “Hmm…….Indonesia adalah tempat usahaku dan istana kekuasaanku. Tumpah darahku? Ndak la yau…….”

Tetapi karena mereka-merekalah yang dilihat setiap hari oleh rakyat kecil dilayar kaca, mereka juga yang menjadi berita yang dibaca di koran dan majalah. Bahkan banyak lagi rakyat kecil yang merasakan secara langsung akibat perbuatan mereka--jiwa-jiwa pedagang pemimpin bangsa ini--, rakyat juga menjadi kebal. Dan bebal. Orang-orang mulai meninggalkan nuraninya untuk bertahan hidup. Ada yang untuk memperbaiki taraf hidup. Orang-orang berpikir pendek, opportunist dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang menjadi egois, tidak sensitif bahkan apatis. Ya sesuai kata pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.

Jadi, jika ingin jawaban ya untuk pertanyaan awal tadi, sepertinya kita harus membersihkan petinggi-petinggi negara dari orang-orang bermental tempe semacam ini. Ya. Bermental tempe. Para pejabat itulah yang bermental tempe. Orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan orang yang lemah, tidak punya pendirian, gampang ciut nyalinya. Rasanya itulah gambaran yang tepat buat petinggi-petinggi bangsa kita sekarang ini. Bisa koar-koar doang tentang mensejahterakan rakyat, tapi saat disuruh kerja hasilnya yang untuk rakyat adalah nol besar. Yang nyata hanya kerusakan yang makin dalam, makin besar dan makin luas yang dirasakan Ibu Pertiwi, tanah air kita tercinta ini.

Jika dipersonifikasikan, Ibu Pertiwi kita ini sudah dilucuti perhiasannya, ditelanjangi tubuhnya, digores, dilukai, diperkosa, oleh orang asing, anak-anaknya malah hanya menonton saja, tidak membantu sang Ibu, alih-alih malah membantu si orang asing menyiksa Ibunya sendiri. Begitulah yang terjadi.

Lalu jika ada yang bertanya, ini salah siapa? Jawabnya ya salah kita semua, kenapa diam saja. Kenapa memilih wakil-wakil yang memimpin negara ini orang-orang yang tidak becus. Kenapa kita tidak memberdayakan diri kita sendiri. Memberdayakan lingkungan kita. Agar kita berani. Bukan berani berperang, atau berani membunuh orang yang tidak sepaham, bukan begitu. Tetapi berani karena kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Berani karena kita percaya diri bahwa kita mampu. Berani berkata tidak pada pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari keberadaan kita. Berani karena yakin bahwa Indonesiaku adalah Indonesiamu, adalah Indonesia kita semua.

Aku cinta tanah airku
Aku merasa yakin kini bahwa aku mencintai tanah airku
Meskipun kadang aku malu dengan keadaan Ibu-ku
Meskipun kadang aku malu melihat kelakuan anak-anak Ibu-ku
Tapi juga aku adalah bagian dari anak-anak itu
Aku harus mengubah kelakuanku
Hingga aku pantas menghirup udara Ibu-ku
Hingga layak aku bersimpuh di kakimu Ibu
Hingga aku mampu mempercantik Ibu-ku
Terima kasih padamu Ibu Pertiwi - Indonesiaku

Buat Anak Kok Coba-coba ?

Samarinda, September 2nd 2006

Anakku keduaku Chitta, sekarang berumur 4 tahun 8 bulan. Di usianya yang sekarang ini dia belum bisa berkomunikasi dengan baik. Dia kenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia, beberapa kata dalam bahasa Inggris, beberapa kata dalam bahasa Spanyol. Bukan. Bukan aku yang mengajarnya. Dia belajar dari video Dora, Baby Einstein dan semua video kartun yang ditontonnya. Yang membuatku kesal, dia suka belajar sendiri, tidak mau diajari. Jadi sulit sekali mengarahkannya. Dia berkembang sesuai keinginan hatinya.

Kemampuan verbalnya yang lemah itu tertutup dengan kemampuan motoriknya yang luar biasa. Chitta punya kelenturan tubuh yang menakjubkan seperti umumnya anak kecil. Dia sering menirukan postur-postur yoga yang sulit seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Tetapi dia menolak kalau kuajak yoga bersama. Dia gesit, cekatan dan kuat. Tukang urut langgananku sampai menyebutnya ‘duralex’ karena dia tidak pernah lagi keseleo kalau jatuh atau loncat-loncat. Hanya kejadian luar biasa yang bisa membuat dia keseleo lagi.

Dia juga punya daya pikir yang kuat, kemampuan analisa yang bagus, dan ingatan yang hebat. Dia cukup melihat sekali, setelah itu dia bisa menirunya. Atau dia melihat berkali-kali, sampai dia yakin dia bisa mengerjakannya. Tapi, tetap saja dia tidak mau diajari. Komputer sudah jadi mainannya sehari-hari tanpa pernah diajari. Dia hanya perlu melihat. Games-games komputer, malah tidak perlu diinstall, semua bisa dia lakukan sendiri dan tunggu saja beberapa waktu, dia pasti sudah ahli memainkannya. Cara dia menangani komputer mengalahkan kemampuanku. Rasanya begitu dia bisa ngomong, baca, tulis, habis sudah. Aku kalah darinya!

Dia juga suka menyanyi, lagu pilihannya bo….. Josh Groban atau Kitaro. Untuk sementara hanya dua itu. Tapi dia tidak menolak kalau harus mendengarkan Enya atau Sacred Aria-nya Andrea Bocelli atau Charlotte Church. Dia tidak suka lagu pop. Tapi lagu klasik anak-anak dia suka. Musik klasik juga ok.

Chitta jarang makan. Kalau dia makan satu hari sekali itu sudah luar biasa. Dia makan sesuai keinginan hatinya. Tahun pertama dia hanya minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan sedikit (sekali) bubur instan. Tahun kedua dia masih minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan keju. Tahun ketiga, dia minum sedikit susu formula, keju dan creepes. Dia suka sekali creepes. Kebetulan waktu itu Yogen Creepes baru buka outlet di Samarinda. Jadilah aku langganan setianya. Tahun keempat dia minum sedikit susu formula, coklat dan mulai makan nasi sekali sehari sepiring dengan telur dadar. Sampai sekarang. Sesekali dia mau makan kentang rebus disiram saus kacang. Atau nasi goreng, atau mie goreng. Hanya sesekali dan sangat menyenangkanku. Kesimpulanku dia makan apa yang dia butuhkan, dan dia tahu yang sedang dia butuhkan. Aku tidak pernah khawatir pada apa yang dia makan, sehingga dia tetap tumbuh sehat dengan segala (baca : sedikit) yang dia makan itu.

Itulah yang ingin kukatakan.
Aku membiarkannya tumbuh sesuai keinginannya. Semua tersedia, tapi dia memilih sendiri apa yang diinginkannya. Aku hanya memantau. Sejauh perkembangan dan pertumbuhannya dalam batas normal, aku biarkan. Tidak ada intervensi. Dan dia tetap tumbuh secara luar biasa.

Aku sering mendengar obrolan teman-temanku tentang anak-anak mereka yang tidak mau makan. Mereka coba ini itu, beri ini itu, vitamin ini itu, susu ini itu. Hasilnya : sebagian tidak berhasil, sebagian lagi malah berak-berak, muntah dan sakit. Di lingkunganku aku belum mendengar mereka yang mencemaskan anaknya itu ada yang berhasil membuat anaknya bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Aku malah kasihan sama anaknya, kok jadi percobaan. Buat anak kok coba-coba?

Tapi setiap orang kan punya pendapat masing-masing. Jadi pastilah menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri.

Aku sendiri tetap yakin dengan pendapatku bahwa sesungguhnya setiap dari kita, sejak kecil, sejak bayi, tahu apa yang kita butuhkan dan seberapa banyak kita membutuhkannya. Sewaktu kita kecil, hal itu memang hanya berhubungan dengan kebutuhan dasar makan dan minum. Tetapi seiring pertambahan usia, pengetahuan itu sebenarnya tetap ada. Tetapi seringkali pengetahuan naluriah seperti itu tertutup oleh informasi yang kita terima kemudian. Begitu banyaknya informasi yang masuk bertumpuk-tumpuk sehingga naluri kita menjadi tumpul. Kemudian kita mulai bersandar pada hal-hal di luar diri, pada dokter, pada para ahli, pada majalah-majalah pengetahuan terkini. Padahal orang yang paling ahlipun tidak pernah berhenti belajar lagi, belajar lagi dan menemukan hal yang baru lagi dari waktu ke waktu. Yang tadinya berupa kebenaran, bisa menjadi tidak benar lagi sekarang.

Tetapi begitulah manusia. Umumnya tidak percaya diri. Jadi kalau tidak sama pendapatnya dengan orang lain, atau tidak sama yang dia lakukan dengan orang lain, apalagi dengan para ahli, dia merasa yang dia lakukan tidak benar. Kita sulit menjadi diri sendiri, kalau terus mengutip apa kata orang. Kalau kita terus-terusan meniru apa yang dilakukan orang. Padahal setiap dari kita adalah pribadi yang unik, tidak ada yang menyamai kita. Padahal lagi, segala sesuatu pengetahuan itu harus kita temukan sendiri untuk mendapatkan pelajaran sepenuhnya dari sana.

Aku belajar banyak dari Chitta. Dan aku masih belajar terus darinya. Meskipun sesungguhnya dengan membiarkan dia tumbuh sesuai kehendaknya sendiri itu, artinya akupun sedang melakukan percobaan pada anakku.

Nah, buat anak kok coba-coba :0)

Friday, September 01, 2006

Padamu Ibu Pertiwi

Samarinda, September 1st 2006

Hari ini, tanggal 1 September adalah hari Bakti Ibu Pertiwi. Penetapan tanggal 1 September sebagai hari Bakti Ibu Pertiwi telah dilakukan oleh Menhan Juwono Sudarsono tahun lalu dalam acara Simposium Kebangsaan “Bagimu Ibu Pertiwi”. Simposium yang diadakan oleh National Integration Movement ini bertujuan untuk memperat persatuan dan menghilangkan segala bentuk ancaman disintegrasi , terutama dalam konteks sosial yang disebabkan oleh fanatisme kelompok yang berlebihan.

Sebagai ungkapan rasa cinta dan bakti bagi Ibu Pertiwi, hari ini aku dan suamiku memasang bendera MERAH PUTIH di halaman rumah kami. Sebuah tindakan yang mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang lain karena 17 Agustus –yang kita wajib pasang bendera—sudah berakhir. Tapi kami bangga melakukannya.

Kupikir, bagus juga kalau ada yang bertanya. Karena aku bisa menjawab, menjelaskan tentang pentingnya simbolisme semacam ini. Simbol yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah air. Hal yang sudah langka di jaman serba cepat dan materialistis seperti sekarang ini. Di mana sudah sedikit orang yang memahami makna dibalik simbol-simbol, makna dibalik setiap tindakan.

Aku mencintaimu Alam Semesta !
Aku mencintaimu Indonesia !
Indonesia Pasti Jaya !