Monday, May 29, 2006

Yogya Berduka

Hello,
Lama tidak menulis di sini. Langsung.
Ada yang tanya lukisan siapa yang terakhir di posting. Well, tentu saja itu lukisan saya sendiri. Memang kekanak-kanakan. Look like.

Tapi begitulah, baru belajar. Pertama dengan crayon. On paper. Berikutnya saya melukis di atas canvas dengan acrylic. Still learning, though. Belum sempat posting. Berikutnya saya akan belajar melukis dengan cat minyak lagi. Akan diposting lagi nantinya. Just want to share my happiness to you.

Saya baru sadar kalau saat-saat membaca, menulis mengungkapkan perasaan hati, dan melukis, adalah saat-saat yang sangat membahagiakan bagi saya. Saya tidak peduli dengan hasilnya. Bagus sekali jika hasilnya memang bagus, jika tidak, bagus juga. Saya tetap bahagia.

Hanya saja waktu untuk online seperti ini agak terbatas sekarang terhalang kewajiban-kewajiban yang lain yang harus dilakukan.

Ditambah lagi dengan mendengar, membaca dan melihat apa yang terjadi pada negeri ini membuat saya sedih, kadang putus asa, kadang menangis berharap hal yang baik akan muncul. Kadang saya pasrah menerima keadaan ini seperti begini garisnya, tapi semua itu mempengaruhi intensitas saya menulis.

Saya tidak ingin menulis dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga hari ini. Paling banter buat puisi. Sekarang saya sedih. Dan hanya ingin diam. Merenung. Berusaha mencari makna dari setiap kejadian yang menimpa negeri.

Terima kasih pada Tuhan. Saya tidak mengalami musibah-musibah yang terjadi hampir sepanjang tahun ini. Terima kasih lagi karena saya tidak juga melihat langsung demo-demo membabi buta yang dilakukan orang-orang dengan tidak sadar. Demo-demo anarkis yang mengakibatkan lebih banyak lagi masalah alih-alih menyelesaikannya.
Tapi saya membaca, mendengar, sesekali melihat di televisi. Dan saya berduka.

Saya sedih Yogya berduka. Saya sedih melihat begitu banyak orang yang menderita. Saya sedih Candi Prambanan rusak parah. Saya sedih keraton Yogya ikut terkena bencana, hingga Bangsal Traju yang merupakan lambang keadilan dan pertimbangan raja rata dengan tanah. Saya sedih.

Banyak yang menyumbang. Mungkin bisa dikatakan sumbangan datang dengan seketika. Tetapi sampaikah sumbangan itu kepada yang membutuhkannya. Orang kita tidak pandai mengelola.
Saya termasuk orang "kita". Dan saya sadar sepenuhnya kalau "kita" sering pandai berencana saja, tapi tidak pandai melaksanakan, terutama melaksanakan dengan setulus hati, sepenuh kasih.
Tetapi saya pun tidak melakukan apa-apa.

Saya tidak melakukan apa-apa.
Apa yang harus saya lakukan?