Saturday, September 10, 2005

Moralitas dan Keagamaan

Akhir-akhir ini banyak sekali pihak yang membicarakan tentang moralitas. Kelompok yang satu mengklaim dirinya memiliki moralitas yang lebih baik dibanding yang lain. Sampai-sampai ada kelompok yang kesannya memaksakan moralitasnya pada yang lain. Hal ini membuat saya berpikir kembali mengenai moralitas.

Apakah sebenarnya moralitas itu? Siapa yang dapat menentukan moralitas seseorang? Parameter apa yang digunakan? Apakah agama, atau nilai-nilai yang dianut masyarakat? Darimana nilai-nilai yang dianut masyarakat itu? Sebagai hasil perenungan mendalam tentang kehidupan atau ada intervensi luar seperti, kembali lagi --intervensi agama? Apakah nilai itu baku? Kalau seseorang dikatakan bermoral baik menurut penilaian masyarakat apakah dia akan selalu berbuat baik? Kemudian apa pula yang dinamakan akhlak itu? Apakah akhlak sama dengan moral?

Akhlak = Moral
Menurut kamus Bahasa Indonesia, akhlak artinya kelakuan, tabiat, tingkah laku. Jadi akhlak yang baik berarti kelakuan, tabiat, atau tingkah laku yang baik. Sedangkan moral artinya akhlak atau budi pekerti. Jadi berdasarkan definisi ini akhlak sama dengan moral. Untuk selanjutnya saya akan menggunakan istilah moral.

Moral = Religi?
Seperti judul tulisan ini di atas, apakah moral sama dengan religi? Menurut saya tidak. Religi berarti agama, kepercayaan (akan adanya kekuasaan yang mahatinggi di atas kekuasaan manusia). Secara umum bila kita bicara tentang religi, itu berarti kita bicara tentang lembaga agama, bukan agama itu sendiri. Karena bila kita bicara tentang isi agama, tentang jiwa agama, maka kita akan menyebutnya spirituality. Spirituality atau spiritualitas diartikan sebagai bersifat rohani, kejiwaan. Jadi bila kita bicara ‘agama’, maka akan ada sejumlah perbedaan pada macam-macam agama yang ada, karena memang lembaganya berbeda, tata caranya berbeda. Tapi kalau kita bicara inti agama, inti sari spiritual-nya, maka semua akan sama. Sayang sekali banyak yang tidak memahami hal ini dan menyamaratakan antara spirituality dan religiosity.

Dengan pemahaman bahwa spritualitas sama dengan religiositas maka terjadilah kesalahpahaman di atas. Sama halnya seperti saat kita bicara budi pekerti (baca: moral) maka sepertinya selalu dikaitkan dengan agama. Padahal tidak begitu.

Budi pekerti adalah tingkah laku. Jadi seyogyanya dia tumbuh, lahir dari kebiasaan, adat istiadat yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, menjadi nilai-nilai umum yang berlaku dan berguna untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam masyarakat. Dan nilai-nilai umum yang berlaku itu umumnya sama dengan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama. Dari sinilah semua kerancuan ini bermula.

Pada akhirnya setelah melewati beberapa masa, nilai-nilai yang diajarkan agama ini bergeser menjadi apa saja yang dibawa oleh agama itu. Jadi bukan ‘isi’ atau ‘jiwa’ agama lagi yang dipakai tapi seluruh ‘tradisi’ tempat dimana agama tadi lahir. Tradisi ini yang kemudian diadopsi dan dianggap sebagai nilai-nilai, dan menjelma menjadi nilai-nilai agama. Dan itu terjadi pada hampir semua agama.

Kaum fundamentalis (penganut gerakan keagamaan yang keras dan fanatik serta reaksioner) berkembang, dan masyarakat mendua dalam kebingungan antara paham yang disebar oleh kaum fundamentalis, dengan kesadaran yang masih tersisa atas nilai-nilai budaya yang telah lebih dahulu dimilikinya.

Parameter Moralitas?
Adakah parameter moralitas? Saya yakin seharusnya tidak ada karena moral adalah hati nurani. Hati nurani sendiri, sejatinya adalah sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam diri setiap manusia. Tetapi sayangnya dengan latihan, kebiasaan atau kejadian yang berulang-ulang, hati nurani ini dapat dikelabui oleh akal pikiran. Jadilah hati nurani seseorang nilainya akan berbeda dari yang lainnya, karena perbedaan cara berpikir atau keyakinan.

Sedangkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, baik berasal dari kristalisasi pandangan hidup, budaya yang diwariskan leluhur ataupun yang diambil berdasarkan tuntunan agama, tetaplah bukan parameter satu-satunya. Lagi pula siapakah yang berwenang mengukur moralitas dan siapa yang diukur? Apakah mereka yang menentukan parameter tersebut sudah pasti mempunyai moral yang baik? Rasanya tidak, sangat sulit, selama kita masih disebut manusia. Kita punya kebiasaan buruk berlindung dibalik kata “khilaf” jika sewaktu-waktu melanggar parameter yang bahkan kita tentukan sendiri.

Tetapi yang kita lihat saat ini adalah betapa begitu mudahnya seseorang menghakimi yang lainnya, lembaga ini mengecam lembaga itu, atau kelompok ini mengharamkan yang itu. Apakah yang menjadi subjek sudah bermoral baik? Mungkin sudah, menurut ukurannya sendiri. Tapi apakah ukuran yang sama secara otomatis dapat diterima oleh yang lainnya?

Apakah dengan mengatakan orang lain tidak bermoral itu akan menunjukkan kita sudah bermoral? Pada saat kita mampu mengecam yang lain, pada saat itu pula kita menjadi tidak bermoral. Saat ini saya tidak bermoral karena juga mengecam kan? Sepenuhnya saya menyadari hal itu. Jadi mohon maaf, saya hanya berusaha menjelaskan pandangan saya.

Jadi kalau kita kembali pada pertanyaan di atas, apakah seseorang yang bermoral baik akan melakukan perbuatan yang baik, ya jawabannya bisa benar, dalam tanda kutip. Di luar tanda kutip jawaban itu tidak tepat karena siapakah yang dapat menilai dan menentukan moral yang baik itu? Apabila kita mematok moralitas berdasarkan nilai agama, agama yang mana, agama siapa? Jika kita memaksakan hal ini akan terjadi ketidakseimbangan, karena sifat masyarakat kita yang sangat beragam. Lagi pula pemaksaan adalah suatu tindakan tidak bermoral yang tidak diinginkan oleh siapapun, termasuk yang mematok moralitas. Alam selalu menuju keseimbangan, jadi sesuatu yang dipaksakan hasilnya akan tidak baik.

Saya tidak dapat mengemukakan seluruh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas secara lengkap. Saya tidak dapat membahasnya secara keilmuwan. Saya hanya berharap bahwa apa yang saya sampaikan ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Mari kita renungkan apakah kita cukup bermoral untuk mampu menilai moralitas diri sendiri maupun orang lain ?

1 comment:

Anonymous said...

I agree with U