Thursday, September 29, 2005

Altruisme vs Egoisme

Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang kepentingan umum dan pribadi, hampir dapat dipastikan akan menjumpai ungkapan klise semacam, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Ungkapan itu telah diterima sebagai kebenaran umum selama beberapa dekade. Bahkan sampai sekarang. Hal itu masih dianggap sebagai hal yang ideal.

Kenyataannya seiring dengan kemajuan teknologi informasi (baca: internet), sekarang ini kita dengan mudah dapat memperoleh informasi apapun dari belahan bumi manapun yang kita inginkan. Bersamaan dengan itu kita juga menerima hal-hal baru yang ikut serta berupa nilai-nilai, yang sifatnya kebalikan dari apa yang telah kita yakini sejak awal. Secara umum di dalam setiap buku atau film yang dihasilkan oleh barat, tampak bahwa mereka lebih egois dibanding masyarakat timur pada umumnya. Hal ini berarti kebalikan dari premis awal yang kita pahami sebelumnya -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.

Dalam situasi dunia yang serasa semakin mengecil karena kemudahan dalam mendapat informasi, dan kesadaran yang timbul bahwa sebagai warga dunia kita saling bergantung, nilai-nilai yang umum berlaku di suatu kawasan juga ikut mengalami penyebaran. Keadaan ini kemudian menimbulkan clash. Di satu sisi, ajaran lama untuk mendahulukan kepentingan umum masih melekat di alam bawah sadar, di sisi lain kita cenderung menunjukkan bahwa kita lebih mendahulukan kepentingan pribadi.

Mari kita tengok ke belakang, kalimat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi bahkan tercantum dalam UUD 45, dasar negara kita. Jadi secara resmi sikap itulah yang mempunyai nilai baik dan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi lihat saja, apakah keadaan seperti itu yang terjadi saat ini? Mungkin jawabannya adalah Ya, tetapi hanya terjadi pada masyarakat kecil saja. Mereka inilah yang masih ingat untuk bersikap mendahulukan kepentingan umum. Misalnya untuk alasan pembangunan sering kali masyarakat harus rela mengorbankan hak miliknya -dengan dalih mendahulukan kepentingan umum tadi, diambil negara, tanpa atau hanya dengan penggantian yang sekedarnya.

Dibandingkan dengan mereka, bagaimanakah perilaku para elite negara ini. Kelihatannya jauh, bahkan sangat jauh dari sikap itu. Para elite kita umumnya lebih mendahulukan agenda-agenda yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau golongan mereka daripada kepentingan rakyat banyak (yang seharusnya mereka wakili, fasilitasi dan lindungi)

Apakah lantas hal itu terjadi karena kita salah pilih orang? Sepertinya tidak. Ini adalah masalah nilai-nilai yang saat ini sudah berlaku umum. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa seandainya kita yang menjadi elite negara (eksekutif/legislatif/yudikatif), maka kita akan punya kecenderungan yang sama.

Akan saya coba jelaskan. Saat kita membaca buku -pengarang luar, saat kita menonton film -lebih banyak film luar, atau kita membuka atau mencari tahu segala macam informasi di internet -disediakan oleh orang luar, secara tidak langsung pola pikir, nilai-nilai, terutama yang tersirat di buku atau film atau informasi-informasi tersebut ikut meresap dalam benak kita. Dan setiap kali saya katakan luar apa boleh buat itu berasosiasi dengan barat (baca: Amerika Utara dan Eropa). Jadi sikap mereka yang rasional dan praktis yang tercermin dalam buku-buku dan film itu terserap oleh kita. Kadang-kadang hal itu terselubung dalam satu istilah modern. Jika kita dapat berpikir rasional dan praktis itu menjadi ukuran bahwa kita sudah modern.

Padahal, suka atau tidak, pada saat kita menerapkan pola pikir rasional dan praktis, kita cenderung akan egois. Sifat egois -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, lahir dari sikap rasional dan praktis. Padahal kembali lagi, sikap rasional dan praktis itulah yang modern. Sehingga terjadi kontradiksi di sini. Melihat susunan piramida masyarakat, tentulah para elite yang berada di atas. Mereka yang punya kemampuan lebih banyak untuk mengakses informasi semacam itu, mereka pula yang kemudian terlebih dahulu mampu untuk berpikir rasional dan praktis, dan kemudian menjadi egois. Tidak heran kan kalau tindakan mereka banyak yang menjadi egois? Sekali lagi saya katakan, bahwa seandainya kita yang menjadi elite, kitapun mungkin akan begitu.

Sebenarnya hal itu tidak selalu berarti buruk. Dalam ukuran yang tepat kita memang harus egois. Ada pepatah yang berbunyi, sebelum bisa menyelamatkan orang lain, selamatkan dirimu sendiri. Persis begitu keadaannya. Bila ditabrakkan dengan nilai-nilai kita, kedengaran tidak menyenangkan bukan? Wah memikirkan diri sendiri. Tapi kalau kita telaah lebih lanjut memang harus begitu yang terjadi. Contohnya apabila kita semua hampir tenggelam di laut karena kapal yang kita tumpangi karam, kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu baru kita bisa menolong orang lain. Apakah ini egois? Tidak. Rasional, ya. Tapi kesan yang ditangkap bila diukur dengan nilai-nilai kita? Ya, itu egois.

Inilah yang ingin saya kemukakan. Benturan antara modernitas plus pemikiran rasional dan praktisnya di satu sisi dengan nilai-nilai lama kita untuk selalu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Saya tidak bermaksud melakukan pembenaran atas apa yang sering kita lihat -tingkah polah eksekutif kita yang sering dituding hanya mementingkan golongannya atau mencari keuntungan pribadi, tetapi hanya mengajak untuk melihat hal ini dari kaca mata yang lain.

Mungkin kita harus mendefinisikan ulang tentang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi ini atau istilah kerennya altruisme. Dalam konteks apa sifat altruisme ini dikembangkan. Dalam konteks apa pula mau tidak mau kita harus egois. Ini bertabrakan, tidak ketemu. Itulah sebabnya kita juga bingung. Maunya bersikap altruis, tapi kalau dinalar baik-baik tindakan kita akan jadi egois. Apa yang harus kita lakukan?

Lets wait and think. Tunggu dan berpikirlah. Supaya dapat melihat situasi yang yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat berpikir lebih jernih. Sehingga kita dapat memilih tindakan yang tepat untuk dilakukan. Jangan terjebak dengan permainan kata altruis atau egois. Ini tidak mudah. Tapi kita betul-betul tidak dapat mematok ukuran suatu sikap sebagai sikap yang paling tepat. Semua akan tepat pada situasi yang tepat.

Kita semua sedang menggeliat mencari sikap yang paling tepat untuk menggabung dua kepentingan ini, menjaga kepentingan umum tetap dipenuhi tapi juga tidak mengabaikan kepentingan pribadi.

Karena bila hanya salah satu sikap yang kita ambil, akan ada ruang yang kosong dalam diri kita yang minta diisi. Seperti halnya segala sesuatu terdiri atas 2 sisi, begitupun sifat manusia. Ada altruis, ada egois. Tidak perlu menonjolkan salah satu sampai yang lain tenggelam. Cukup seimbangkan. Begitu seimbang, keduanya akan lenyap. Tidak ada altruis yang berlebihan, tidak ada egois yang menyakitkan. Kapan hal itu datang? Saat kita lebih tenang. Dan ketenangan itu harus diusahakan, karena alaminya kita sulit untuk tenang.

Bagaimanapun, bila kita melihat gejala yang sekarang ini tumbuh, di barat sendiri mereka mulai belajar mengembangkan sifat altruis dan mereka belajar dari timur. Sementara kita yang di timur, selalu bercermin ke barat sebagai tolok ukur keberhasilan. Menarik sekali bukan? Bahkan dunia kita pun sedang mencari keseimbangan. Mari gunakan kesadaran ini untuk menyeimbangkan diri kita sendiri, dulu. Sehingga pada gilirannya kita dapat membantu menyeimbangkan dunia.(*)

No comments: