Thursday, September 22, 2005

Kalsel Sebuah Catatan

Tanggal 17/09 yang lalu saya melakukan perjalanan singkat selama 3 hari ke Banjarmasin. Ini kunjungan saya yang kedua. Saya menempuh perjalanan darat, seperti halnya yang saya lakukan 5 tahun yang lalu dalam kunjungan pertama saya. Pada waktu itu saya mencatat beberapa hal dari apa yang saya sebut tradisi dan ‘model’ Kalimantan Selatan. Sekarang setelah 5 tahun berlalu, apa yang catat waktu itu ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti.

Apa gerangan yang menjadi catatan saya waktu itu? Pertama kondisi jalan dan yang kedua banyaknya sumbangan pembangunan mesjid yang saya jumpai sepanjang perjalanan.

Catatan pertama tentang kondisi jalan. Dulu saya mencatat bahwa mulai masuk daerah perbatasan Kaltim-Kalsel jalan mulai menyempit, dengan lebar 4 m. Kerusakan jalan pada waktu itu yang terasa hanya di daerah Rantau. Kini mulai masuk Kabupaten Tabalong, jalan tidak hanya mulai sempit tetapi ditambah lagi dengan kerusakan jalan. Kondisi jalan berlubang setiap 50 -100 m, menyebabkan waktu yang digunakan untuk menempuh jarak yang sama lebih panjang. Kerusakan jalan itu terus berlangsung dengan derajat kerusakan masing-masing dan baru habis menjelang masuk wilayah Kabupaten Banjar, Martapura. Kondisi itu masih ditambah dengan polusi debu. Sungguh menjadikan perjalanan menjadi tidak nyaman.

Belakangan saya tahu bahwa yang memberi andil rusaknya kondisi jalan itu terutama dari banyaknya tambang batu bara di Kalsel saat ini. Tambang kecil dan terbuka kelihatannya, kalau melihat polusi udara yang dihasilkan. Memang, kebetulan pada hari keberangkatan itu saya bertemu dengan konvoi truk –ternyata truk batubara, dengan muatan total 10-15 ton. Sungguh tidak sepadan dengan lebarnya badan jalan juga beban yang dapat dipikul jalan. Lagi pula truk semacam itu bukan teman perjalanan yang menyenangkan. Karena jalan yang sempit, badan truk sudah menutupi pandangan ke depan, sehingga cukup sulit bagi pengemudi yang tidak lihai untuk menyalipnya. Ini penyebab lamanya waktu tempuh yang kedua.

Berbicara tentang tambang batu bara –yang rupanya marak sekitar 3 tahun terakhir ini karena mudahnya mendapat ijin usaha pertambangan, sungguh disayangkan karena dari penglihatan saya sepintas, para pengusaha tambang batu bara itu tidak sempat memikirkan mengenai comdev –community development. Amdal dan kewajiban untuk konservasi lingkungan sesudahnya apakah sudah dipikirkan dengan seksama? Kelihatannya tidak. Karena dari informasi sepintas yang saya dengar, masyarakat sekitar merasa sangat dirugikan dengan adanya pertambangan ini. Memang ada usaha-usaha untuk kompensasi atas ketidaknyamanan semacam ini dari perusahaan tambang, seperti bantuan air bersih dan ‘uang debu’ –begitulah yang saya dengar, yang menurut saya tidak sepadan dengan kerusakan pada komunitas dan ekosistem yang ditimbulkannya.

Saya menguraikan permasalahan di atas berdasarkan apa yang saya alami dan lihat. Semoga pihak terkait dengan adanya tulisan ini dapat lebih memberi perhatian pada masalah ini dan dapat menindaklanjuti dengan cara semestinya.

Catatan yang kedua adalah tentang sumbangan pembangunan mesjid yang banyak ditemui sepanjang perjalanan. Sesungguhnya saya tidak yakin apakah tradisi meminta sumbangan pada pengendara mobil dan atau motor di jalan hanya ‘milik’ orang Kalsel saja. Karena sesungguhnya saya mulai melihat hal yang sama di Kaltim. Tidak sebanyak yang saya temui di sini. Tapi budaya semacam ini memang bisa menular. Yang menjadi perhatian adalah mengapa? Mengapa harus meminta sumbangan di jalan raya.

Bagi saya hal itu sangat mengganggu dan berbahaya. Terlepas dari keyakinan bahwa menyumbang itu perbuatan yang baik. Hal itu tetap mengganggu pengendara yang melintas jalan. Bayangkan saja, jalan 4 m dibelah dua dengan diberi bangku, kayu, sebagai pembatas sepanjang lebih kurang 10-15 m, dimana mereka berdiri persis di tengahnya untuk menunggu sumbangan itu. Saya telah menemui hal semacam ini 5 tahun yang lalu. Dan sekarang masih ada. Sehingga saya menyimpulkan itu telah menjadi tradisi. Saya berusaha memahami alasannya. Mungkin sulit mengumpulkan dana dari kalangan sendiri, atau juga sulit mendapat bantuan dari pemerintah jadi diputuskanlah untuk meminta sumbangan dari luar. Berpegang pada konsep menyumbang, apalagi menyumbang untuk pembangunan mesjid adalah pahala, maka cara-cara minta sumbangan di jalanan pun dilakoni.

Saya tidak mencela mereka yang meyakini hal itu. Tapi sepenuhnya hanya melihat dari ‘mata orang lain’. Terus terang saja saya pernah juga mendengar nada miring dengan kebiasaan sumbang-menyumbang ini. Seperti komentar, kenapa tidak menunda dulu pembangunannya kalau memang belum mampu, tunggu sampai dana terkumpul cukup, jadi tidak mengganggu orang lain. Ada komentar yang bunyinya lebih miring lagi. Saya tidak akan tulis. Tapi pesannyalah yang ingin saya sampaikan. Kenapa harus sampai meminta sumbangan di jalanan?

Saya mencoba menjawab ini. Ini opini. Saya pikir ini kembali ke masalah konsep tadi. Konsep bahwa menyumbang apalagi untuk pembangunan mesjid –rumah ibadah, adalah perbuatan yang menghasilkan pahala. Itu dari sudut pandang agama. Tetapi akibatnya itu menjadi budaya pada saat diterjemahkan dalam perilaku. Seperti contoh di atas. Budaya untuk sedikit-sedikit minta sumbangan. Ada perlu dana sedikit, tanpa memikirkan cara-cara yang lain lagi, langsung diputuskan untuk minta sumbangan. Sehingga tidak kreatif jadinya, dan tidak konstruktif.

Karena merupakan budaya, seiring dengan berlalunya waktu, selama pola pikirnya tidak berubah, akan tertanam kuat dan menjadi nilai-nilai. Community value. Sehingga hal itu menjadi biasa dan benar. Sangat disayangkan bila nilai-nilai ini menurun pada generasi yang lebih muda. Seperti yang saya tulis sebelumnya. Ke-tidak kreatifan-nya akan menurun, menjadi destruktif dan secara massa akan menjadi kemalasan umum. Saya tidak bisa menyebut istilah yang lebih tepat. Tetapi hal itu membuat masyarakat menjadi malas untuk berpikir dan menjadi kreatif. Dan kalau hal itulah yang menjadi nilai-nilai, tentu dapat berimbas pada hal yang lain, bukan?

Secara umum itulah yang senyatanya saya lihat. Tidak kreatif dalam segala hal. Mungkin apa yang saya tulis ini bunyinya pesimis. Tapi tidak, saya hanya menaruh perhatian saja. Tentu hal ini kembali pada masyarakat sendiri apakah memang ingin mempertahankan nilai-niali ini atau tidak.

Bagaimanapun seperti halnya banyak propinsi lain di Indonesia, Kalimantan Selatan menyimpan potensi yang besar untuk maju. Kekayaan alamnya yang sudah terbukti menarik banyak invenstor untuk mengambilnya, sungai-sungainya dan tradisi dan budaya yang hanya dimiliki oleh masyarakat yang hidup dan kehidupannya senapas dengan aliran sungai tentu merupakan aset yang luar biasa. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat bersama-sama dengan para pemimpin daerah mengarahkan pembangunan –manusia dan lingkungannya ke arah yang kondusif bagi kemajuan orang Kalsel sendiri.

No comments: