Monday, September 26, 2005

Bisakah Kita Berpikir

Membaca buku ‘Bisakah Orang Asia Berpikir’ karya Kishore Mahbubani membuat saya begitu terhenyak dengan isinya. Pertama karena saya punya ketertarikan yang besar dengan temanya. Kedua saya sendiri kemudian melakukan penilaian atas kebenaran tulisannya itu dihubungkan dengan keadaan kita di Indonesia. Keadaan orang Indonesia sebagai bagian dari Asia.

Bisakah orang Indonesia berpikir? Bisakah kita berpikir? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, bisa juga mungkin. Persis seperti yang dikatakan oleh Mahbubani dalam bukunya. Seperti halnya dia, saya juga akan menguraikan kenapa ada tiga macam jawaban seperti itu.

Pertama jawaban ya. Tentu saja orang Indonesia bisa berpikir. Melihat kembali sejarah kelahiran bangsa Indonesia, dengan posisi geografis kaya sekaligus ‘sulit’ semacam ini, memerlukan suatu kerangka berpikir awal yang koheren, holistik dan bervisi maju ke depan. Kenyataan bahwa para pendiri Indonesia pada jamannya mampu meletakkan dasar yang kuat bagi negara ini. Rumusan ideologi dan filosofi yang menaungi seluruh kebudayaan di kepulauan nusantara merupakan bukti konkrit bahwa orang Indonesia bisa berpikir.

Jika menengok sejarah yang lebih maju, terjadinya revolusi tahun 1965 tidak menurunkan kemampuan berpikir masyarakat kita. Pertumbuhan pembangunan setelah masa revolusi sampai akhir tahun 90-an menunjukan pencapaian yang sangat baik untuk sebuah negara yang baru 5 dekade merdeka.

Era reformasi yang terjadi pada dekade ke-6 setelah kemerdekaan bangsa kita membawa begitu banyak perubahan, baik dalam pemerintahan maupun dalam berkehidupan kebangsaan. Setelah terjadi reformasi, para penganut paham demokrasi murni menyebut bahwa pemerintahan sebelumnya adalah pemerintahan yang otoriter. Pemerintah baru lalu berusaha untuk menerapkan sistem demokrasi yang lebih baik. Pada masa ini kita kembali mengalami masa-masa sulit dalam usaha mencari format yang pas untuk diterapkan. Kita sedang melakukan trial and error dalam penerapan demokrasi. Situasi yang agak chaos ini timbul dari kegagapan dalam memahami arti demokrasi secara utuh. Adanya usaha trial and error ini menunjukkan bahwa orang Indonesia masih berpikir, tetap berpikir. Jadi dalam konteks kenegaraan dan kehidupan kebangsaan proses berpikir ini masih berlangsung.

Kedua jawaban tidak. Tidak bisa berpikir jika melihat satu persatu perjalanan yang dilalui oleh bangsa ini sampai mencapai titik puncaknya pada reformasi yang pecah tahun 1998 yang lalu. Sebagian pihak menyalahkan kondisi sistem pemerintahan sebelumnya yang otoriter sebagai penyebab terbelenggunya kebebasan pers sehingga masyarakat tidak belajar dan berpikir kreatif dan rasional. Segala sesuatu sudah dibuatkan aturan main dan koridornya oleh pemerintah sehingga masyarakat tinggal menjalankannya saja tanpa perlu memikirkannya lagi. Mungkin itu satu-satunya alasan kenapa orang Indonesia tidak berpikir di masa itu.
Tetapi bagaimana dengan masa setelah reformasi. Kembali ternyata tidak bisa berpikir karena tiba-tiba semua orang dihadapkan pada sekian banyak pilihan yang menyebabkan kebingungan. Membuang nilai lama dan mengambil yang baru membutuhkan suatu usaha keras yang ternyata tidak mudah.

Contoh paling mudah mungkin pers. Dulu berita suatu kerusuhan di suatu tempat di Indonesia, katakanlah Timor Timur, tidak pernah terekspos secara nasional dan tidak mengakibatkan kebingungan pada sebagian besar masyarakat yang lain. Sekarang dengan kemajuan teknologi komunikasi dan kebebasan pers untuk mengurai fakta, setiap rumah di pelosok desa seluruh Indonesia bisa melihat ketegangan yang terjadi di Poso atau Aceh misalnya. Fakta yang disampaikan adalah kejadian nyata yang sedang terjadi, tetapi fakta yang sama juga turut menyebarkan kegelisahan pada bagian masyarakat yang lain. Sayangnya kondisi ini kurang disadari dengan alasan transparansi dan kebebasan tadi. Kita lupa berpikir secara menyeluruh pada akibatnya pada kondisi negara ini, apakah masyarakat kita sudah mampu menyerap berita semacam itu dan menyikapi secara bijaksana dan tepat.

Contoh lain yang lucu adalah tingkah polah eksekutif kita. Entah sudah berapa kali kita menonton dagelan di layar kaca perseteruan antara golongan, partai atau fraksi di lembaga tinggi negara (baca: Dewan Perwakilan Rakyat). Hal itu sekali lagi secara nyata hanya menunjukkan bahwa orang Indonesia tidak bisa berpikir. Meskipun masalahnya memang tidak terlalu sederhana, karena mungkin sekali ketidakmampuan berpikir ini dipicu oleh hal-hal yang ‘extra ordinary’. Misalnya sikap yang lahir karena adanya tekanan pihak luar. Tekanan yang timbul karena ikatan hutang yang luar biasa besarnya, mengakibatkan pemerintah kita sulit untuk menghindari intervensi asing. Sayangnya sampai saat ini kita belum memiliki pemimpin yang berani melakukan perubahan dan berkata TIDAK pada intervensi asing (apapun resikonya). Menggunakan logika sederhana, orang tidak bisa memaksa kita, kalau kita memang tidak mau. Artinya kalau dikatakan tidak bisa berpikir, sebenarnya hal ini perlu ditelaah lebih seksama apa penyebab ketidakmampuannya. Lagi pula yang dimaksud berpikir dalam hal ini adalah berpikir untuk kepentingan umum, secara menyeluruh, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan saja.

Ketiga, jawaban mungkin. Dan ini jugalah jawaban yang secara pribadi saya berikan. Adalah mungkin orang Indonesia itu berpikir. Saya katakan demikian karena yang saya lihat saat ini, meskipun kita menggunakan segala sesuatu yang kita serap dari barat --teknologi, ide demokrasi atau ide yang sedang hangat –HAM, hiburan dan sebagainya, kita tetap menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kemakmuran kita, yang pada gilirannya kemakmuran yang dicapai itu akan kita gunakan kembali untuk mempelajari nilai-nilai kita sendiri.

Lalu dimana letak kemungkinan berpikirnya? Yaitu pada kemampuan untuk belajar dari kejadian yang kita alami secara langsung di negara ini, kemampuan untuk memilih dan memilah teknologi yang cocok, demokrasi yang cocok, seni hiburan yang cocok dengan kondisi bangsa kita sendiri. Karena budaya dan nilai-nilai kita berbeda. Peradaban kita berbeda, dan kita sudah memiliki peradaban sebelumnya. Hanya saja peradaban itu tenggelam, sehingga dalam hitungan abad kita kehilangan identitas diri. Meski demikian, upaya-upaya untuk kembali pada nilai-nilai budaya yang tenggelam itu mulai tumbuh seiring dengan adanya peningkatan kemampuan secara ekonomi.

Memang sulit untuk memberi contoh yang lebih konkrit karena saat ini kita sedang dalam proses pencarian. Kita sedang dalam proses berpikir, dalam proses memilih dan memilah. Ambil yang baik, singkirkan yang buruk. Lalu kombinasikan dengan yang sudah kita miliki, itulah yang akan menjelma menjadi identitas Indonesia baru. It takes time. Dan mahal biayanya!
Dan karena kita bicara bangsa, tentu hal ini tidak akan terjadi dalam hitungan tahun saja, tetapi mungkin dalam hitungan dekade atau bahkan abad, tergantung dari seberapa bagus kita mendayagunakan pikiran kita. Seberapa baik pemahaman kita akan nilai-nilai kita sendiri dan seberapa kuat daya lentur kita atas proses globalisasi dunia yang menyebabkan dunia mengecil seperti saat ini.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari jawaban konkrit terhadap pertanyaan di atas, tetapi lebih sebagai sebuah refleksi diri. Kalau kita mau jujur, carut marut keadaan negara yang saat ini sedang terjadi diantaranya karena kita tidak bisa berpikir. Tidak bisa berpikir jauh ke depan demi kepentingan dan kemakmuran bangsa. Karena itu tulisan Kishore Mahbubani begitu meresap dalam pikiran saya dan membuat saya menulis ini.

Sebagai penutup, ada hal yang menarik yang ingin saya sampaikan. Setelah saya membicarakan tulisan ini dengan seorang teman, dia hanya berkata bahwa menurutnya saat ini orang Indonesia yang bisa berpikir itu justru mereka yang memiliki stempel rakyat biasa dan seniman atau sastrawan. Mereka itulah yang punya pikiran waras, karena mereka bisa tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri tetapi lebih jauh, bangsa ini. Hanya saja mereka tidak punya cukup sarana dan kekuatan untuk melakukan perubahan. Ungkapan yang sangat menarik, mungkin kelak akan ada ahli yang membahas hal ini.

Tetapi demikianlah, tidak ada kesimpulan yang dapat digarisbawahi, hanya sikap optimis yang dapat saya sampaikan bahwa mungkin kita bisa berpikir, apabila kita tetap dapat menghargai diri kita sebagai bangsa yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya dan kita dapat menggali kembali nilai-nilai kebangsaan yang telah kita miliki sejak dulu sebagai bangsa yang beradab.
Jadi kalau ada orang bertanya, “Can Indonesians think?”, maka kita akan dapat menjawab dengan lantang, “Yes we can. We do can!”.

No comments: