Wednesday, September 14, 2005

Maknai Cinta

Cinta. Do you know what love is? Itu kata sebuah lagu. Sebenarnya siapa sih yang tahu persis apa arti cinta. Saya pernah membaca, bahwa ada perbedaan tingkatan antara nafsu, cinta dan kasih. Nafsu menuntut pemuasan, pemenuhan, dia menuntut. Cinta akan memberi, tetapi dia masih meminta imbal balik atas pemberiannya itu sebesar cinta yang diberikan atau lebih besar lagi. Sedangkan kasih hanya memberi, memberi, dan memberi…. Jadi cinta adalah nafsu yang telah berkembang, dan kasih adalah puncak dari cinta.

Bagaimana kita memaknai cinta? Dalam kehidupan sehari-hari cinta yang umum dikenal adalah cinta nafsu, atau paling tinggi cinta saja. Untuk waktu yang lama, pikiran dan perilaku orang tertanam dengan apa yang namanya ‘take and give’ – memberi dan menerima. Ya cinta itu tadi.
Dengan pola seperti itu gampang sekali memang untuk jatuh pada nafsu saja, tanpa cinta. Karena kita cenderung meminta (baca: menerima) hak saja dan melupakan kewajiban. Jadi kita meminta saja dan lupa memberi. Atau kita meminta atas nama cinta. Adalah tidak umum dengan konsep kasih, yang hanya memberi. Dalam bahasa kasarnya mungkin dibilang ‘tidak ada untungnya’.

Ketika berbicara tentang cinta, memang seharusnya tidak lagi berbicara masalah untung rugi. Tapi begitulah masalah orang dewasa. Grownups loves figures. Orang dewasa suka angka. Begitulah yang saya baca dari buku The Little Prince karangan Antoine de Saint Exupery. Dan ternyata memang begitulah adanya. Segala sesuatu dikalkulasi agar mempunyai makna. Sehingga dengan kebiasaan semacam itu sulit sekali untuk mengembangkan cinta menjadi kasih. Secara kalkulasi, memberi tidak ada untungnya kan?

Sayangnya kita lupa bahwa cinta bukan matematika.Yang akan berlipat dengan sebuah perhitungan atau meningkat secara kelipatan tertentu, secara matematis. Bukan juga suku bunga, yang jika ditanam ditempat-tempat tertentu akan memberi pengembalian yang tinggi. Tidak. Cinta tidak seperti itu. Tanamlah cinta dimana saja, tanpa kau menghitungnya, maka dia akan memberi keuntungan berlipat ganda, dengan suku bunga tak terkira.

Tentu saja besarnya keuntungan tidak dapat diukur dengan angka. Hanya dengan rasa. Dengan kondisi kita saat ini yang sulit ‘merasa’ sulit pula untuk ‘mengukur’ cinta. Itulah, lagi-lagi karena kebiasaan orang dewasa yang suka angka tadi. Rasa bukan angka ukurannya, hingga sulit diterima. Mungkin kita harus merubah paradigma kita tentang ukuran. Paradigma kita tentang apa saja, karena cinta meliputi segala sesuatu.

Bicara tentang cinta dan kesukaan orang dewasa pada angka. Saya teringat tulisan saya kemarin kepada seorang teman yang berbunyi, “Saya mencintai alam semesta, tapi saya tidak tahu menyampaikannya dalam bahasa manusia”. Saya menuliskannya. Tapi lama setelah itu saya termenung memaknainya. Saya tentu saja percaya pada apa yang saya tulis. Tapi apa gerangan yang saya tulis itu, apa maksudnya? Tulisan itu adalah pikiran pertama saya tentang apa yang saya rasakan. Saya perlu waktu lama untuk memberi alasan logis kenapa saya menulis seperti itu. Yah, saya sudah cukup lama menjadi orang dewasa untuk mempunyai kebiasaan buruk seperti itu.

Sekarang saya tahu kenapa. Saya mencintai alam semesta. Artinya saya mencintai seluruh isi dalam alam ini, hidup atau mati. Mungkin akan lebih mudah bicara yang hidup. Saya menyukai binatang, saya punya binatang piaraan. Saya mencintainya. Tanpa kata. Tanpa ukuran. Dan saya menerima kembali cinta dari mereka, lagi dan lagi, dan lagi. Saya menyukai tanaman. Banyak tanaman di halaman rumah saya. Yang liar ataupun yang sengaja ditanam. Saya mencintai mereka, tanpa kata, tanpa ukuran. Dan mereka membalas cinta saya dengan memberi, memberi dan memberi.

Saya mencintai manusia di sekeliling saya. Tanpa kata, tanpa ukuran. Dan mereka tidak tahu! Pada manusia saya harus menyampaikan dengan kata-kata bahwa saya mencintai mereka. Itupun belum tentu mereka percaya. Mungkin mereka bingung. Kok mencintai saya. Bukankah seharusnya mencintai pasangan saja, atau mencintai anak saja, atau mencintai orang tua saja. Itupun cintanya masih dibeda-bedakan. Cinta pada pasangan lain, cinta pada anak lain, cinta pada orang tua lain.

Manusia memang aneh. Membingungkan. Dan tidak punya rasa. Betul kata Antoine de saint Exupery. Grownups like figures. Semua dilogikakan, dibuatkan ukuran (by figures). Karena itu sulit sekali bagi orang dewasa memahami dan memaknai cinta, apalagi memahami kasih.

Jadi apa itu cinta? Saya tidak tahu. Tapi alam disekeliling saya ternyata tahu. Binatang piaraan saya tahu, tanaman saya tahu. Tanah, batu di sekeliling rumah saya tahu. Anak-anak tahu. Orang dewasa? Mereka tidak tahu. Dan malang bagi anak-anak yang berangkat dewasa. Dari tahu mereka menjadi tidak tahu lagi karena begitu dewasa mereka jadi suka angka juga.
Kelihatannya kita harus belajar kembali pada alam. Belajar memahami tanpa kata. Belajar diam. Cuma diam dan mendengarkan. Ah…. kita ini terlalu berisik, sampai tidak mendengar apa-apa. Terlalu berisik sehingga rasa cinta dari sekeliling tidak bisa sampai pada kita. Begitu berisik ngomong sendiri sampai tidak mendengar suara nurani kita. Padahal itulah sesungguhnya cinta, --bukan, itulah kasih.

Mungkin inilah kesulitannya dalam Bahasa Indonesia. Sampai saat ini saja, saya pribadi merasa risih dengan kata cinta karena pertama kali tahu makna cinta dari orang dewasa adalah bahwa cinta itu adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang diwarnai nafsu tentu saja. Jadi bila bicara cinta untuk hal yang lain, selalu terhambat oleh definisi nafsu tadi. Bayangkan saja, bila belum apa-apa sudah terhambat dengan definisi cinta, bagaimana cinta dapat berkembang menjadi kasih? Dengan usaha keras saya dapat membuang stigma itu.

Sekarang saya dapat dengan suka cita berkata “Aku mencintaimu alam semesta seperti aku mencintai diriku sendiri” tanpa merasa aneh dengan maknanya. Itulah yang saya lakukan setiap hari, keluar rumah, dan berkata “Aku mencintaimu alam semesta’.

Semoga semua makhluk berbahagia.­

No comments: