Monday, August 29, 2005

Quo Vadis Demokrasi Indonesia

Kemarin saya ngobrol dengan teman saya tentang luasnya penggunaan kata iler dan ngiler. Menurut teman saya, iler artinya adalah air liur yang menetes tanpa disadari, umumnya terjadi ketika sedang tidur pada posisi tertentu. Sedangkan ngiler adalah 1. proses berlangsungnya keluarnya iler 2. keinginan yang luar biasa untuk memiliki sesuatu. Jadi kalau seseorang sedang tidur, kemudian ada air liur yang keluar dari sudut mulutnya itu pasti iler, dia sedang ngiler. Tapi kalau orang melihat wanita cantik kemudian mulutnya membuka dan tidak sadar sekelilingnya lagi, itu ngiler, tidak selalu disertai iler. Lalu kalau ada sekelompok orang berkelahi untuk memperebutkan kursi, pastilah mereka semua sedang ngiler ingin duduk di kursi itu. Dalam hal ini mereka malu kalau ilernya sampai kelihatan.
Lalu apakah ada hubungan antara iler, ngiler dan demokrasi? Tidak ada, saya cuma mau cerita kok.

Lalu kenapa saya ajukan pertanyaan di atas ? Mari kita lihat. Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, telah dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang dianut berubah-ubah sesuai wajah parlemennya. Sampai pada yang terakhir ada istilah demokrasi Pancasila. Demokrasi model itulah yang saya ingat sampai sekarang Waktu saya sekolah dulu saya hapal dengan istilah itu meskipun tidak tahu persis bagaimana cara kerjanya. Saya hanya tahu bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas berdasarkan pada Pancasila. Dulu saya berpikir bahwa saya mengerti sekali tentang demokrasi Pancasila ini. Saya hapal diluar kepala. Tapi sekarang, terus terang, apalagi setelah reformasi, dan katanya Indonesia telah lebih demokrasi, saya jadi tidak mengerti apa yang dimaksud demokrasi sesungguhnya. Jadi seperti biasa. Saya kembali ke buku sakti saya. Kamus Bahasa Indonesia.

Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan yang segenap rakyatnya turut serta memerintah melalui wakil-wakilnya di parlemen. Arti yang lain adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama terhadap setiap anggota masyarakat sebagai warga negara.

Pada era sebelum reformasi dulu, katanya demokrasi tidak dijalankan penuh karena meskipun ada wakil rakyat yang duduk di parlemen, tapi suara rakyat ‘diarahkan’ ke hasil tertentu. Ingat, namanya kan khusus, demokrasi Pancasila. Meskipun seyogyanya tidaklah begitu. Setelah reformasi semua terbuka. Semua orang menuntut untuk diberi hak (sayang kewajibannya sering terlupakan) dan perlakuan yang sama. Wakil-wakil rakyat dipilih secara lebih demokratis, karena dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan presidennya pun dipilih langsung. Mungkin dari sisi pemerintahan (=politik) saya sebagai orang awam melihat, yah demokrasi sudah dijalankan secara lebih tepat seperti definisinya.

Bagaimana dengan sisi-sisi kehidupan lainnya? Bagaimana pengaruh demokrasi dalam kehidupan berbangsa, kehidupan pers dan media, kehidupan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat kita? Hmm, perubahan sistem demokrasi dapat dikatakan juga berimbas pada semua sisi kehidupan. Saya juga tidak tahu apa sistem demokrasi kita sekarang punya nama baru, atau sedang mencari bentuk, kelihatannya sih seperti yang saya sebut terakhir ini. Mengapa? Karena kita semua gelagapan dengan alam demokrasi yang baru ini. Kalau tidak ingin dibilang nyaris tenggelam (kebablasan?).

Mari kita lihat satu-persatu. Pertama kehidupan berbangsa. Kita bangsa Indonesia yang merdeka. Saat ini para wakil rakyat dan orang-orang yang duduk di atas sana, sedang mencari formula yang tepat untuk kehidupan berbangsa. Begitulah pemahaman saya yang sederhana ini. Kita serba ragu. Tidak punya pendirian. Tidak punya sikap. Di bawah pemerintahan yang lebih demokrasi ini rasa kebangsaan kita digugat, dan semua bingung bagaimana harus bersikap. Mari lihat kasus Timor, Aceh, pulau Sipadan, dan sekarang yang masih hangat Ambalat. Saya sebagai bagian kecil sekali dari rakyat Indonesia tidak bisa melihat dengan jelas kemana sih Indonesia mau di bawa? Saya merasa tidak aman. Kelihatannya sewaktu-waktu kedaulatan Indonesia bisa digoncang, entah dari dalam, entah dari luar. Bagaimana sikap pemerintah, apa yang akan dilakukan? Kedua kehidupan pers dan media. Semua orang bersorak, akhirnya kungkungan lepas. Sekarang semua bisa bersuara bebas, mengeluarkan pendapat, ide dan kreasi, bahkan sampai lupa diri. Semua informasi yang tadinya hanya beriak di bawah sekarang naik ke permukaan. Bebas lepas tanpa saringan. Sayangnya juga sering tanpa tanggung jawab. Tidak ada yang peduli dengan akibat yang timbul dari apa yang ditulis, diungkap, ditayangkan, disiarkan.

Apakah keadaan seperti itu yang dimaksud dengan kebebasan pers dan media ? Mestinya, setelah puluhan tahun terkungkung, kita juga sadar dan mengerti bagaimana kebebasan yang bertanggung jawab itu. Yah, setidaknya informasi yang disampaikan tidak bias, informasi yang sebenarnya tidak bercampur dengan gosip, informasi kejadian nyata tidak dicampur dengan yang fiktif, materi dewasa tidak dicampur dengan materi untuk anak-anak. Misalnya saja, sekarang hampir semua stasiun TV menyiarkan acara yang pemeran utamanya adalah hantu. Untuk urusan ini terkadang dilakukan siaran langsung. Tapi apakah informasi yang disampaikan benar? Dapat dipertanggung jawabkan? Dapat dibuktikan? Atau, apakah masayarakat kita memang suka pada informasi yang bias, yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya?

Memang, tentang urusan berita ini tidak melulu menjadi tanggung jawab pers dan media. Bagaimanapun masyarakat juga dituntut untuk lebih dewasa dalam berpikir agar dapat memilih dan memilah informasi yang diterima. Untuk menjadi dewasa kita memang perlu waktu, baik itu pihak pers dan media, masyarakat dan juga pemerintah.

Ketiga, kehidupan kebudayaan. Demokrasi berarti juga kebebasan informasi. Saking bebasnya, semua informasi dan budaya dari luar hampir seluruhnya terserap ke sini. Sebenarnya bukan seluruhnya terserap. Yang terserap sebagian saja, tapi kebudayaan kita sendirilah yang tenggelam. Jadinya yang terlihat hanya budaya dari luar atau budaya kontemporer saja. Mana budaya warisan leluhur? Kalau ada yang membicarakannya paling-paling dianggap kuno, tidak modern. Lucu sekali. Sampai saya membayangkan kelak kita harus belajar kebudayaan Indonesia dari orang luar yang mempelajari budaya Indonesia. Sementara anak negeri lebih suka budaya impor untuk mengejar prestise yang entah bagaimana diasosiasikan dengan dunia di ‘luar’ sana . Kata orang itulah budaya massa. Sekali lagi itu pengaruh informasi yang bebas diberi dan diterima. Kita memang tidak bisa menghalangi kemajuan semacam ini, tapi bagaimana agar kita bijak menyikapinya?

Keempat, kehidupan sosial masyarakat. Apa yang bisa saya tulis disini? Masyarakat berubah seperti halnya kehidupan yang setiap harinya terus berubah. Saat kita membicarakan sosial masyarakat, hal itu tidak terlepas dari pengaruh informasi dan kebudayaan. Perubahan informasi mengubah pola sosial masyarakat. Sekarang masyarakat lebih kritis, lebih pintar --walau banyak yang kelihatan apatis, lebih terbuka, dan lebih konsumtif. Karena lebih konsumtif, lantas masyarakat kita jadi tidak kreatif untuk berinovasi dan akibatnya jadi tidak produktif.
Jangan lupa, para pelaku, pemeran utama baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya kita umumnya masih didominasi oleh orang-orang produk dari orde baru. Tidaklah mudah bagi mereka untuk mengubah pola yang telah lama terbentuk menjadi perspektif baru yang sesuai dengan perubahan yang serba cepat. Sedangkan mereka yang lahir mulai tahun 1980-an masih dapat dikatakan sebagai fresh brand new, yang tidak terlalu paham (atau tidak peduli?) akan carut marut kesulitan yang dihadapi oleh bangsa yang sedang menggeliat mendapat kebebasan baru ini. Diluar kedua kelompok itu masih banyak orang-orang seperti saya yang terbengong-bengong melihat perubahan jaman. Kadang terhipnotis dengan kenyamanan masa lalu tapi juga bergairah mengharap hal yang baik akan datang di dalam perubahan.
Lalu akan kemana kita di bawa?

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah buku yang aslinya dalam bahasa Itali berjudul Va dov’e ti porta il cuore – pergilah kemana hati membawamu. Ah seandainya semudah itu jugalah kita bisa menjawab masalah bangsa ini. Teman saya di atas bilang, apa yang saya tulis ini terlalu berat untuk saya tuangkan, karena saya tidak menguasai bidang ini. Saya setuju dengannya. Tapi saya tak setuju untuk tidak menulisnya. Dan inilah yang tersisa, hanya pertanyaan, apakah hubungan iler dengan demokrasi? --Oh bukan, bukan, maafkan pikiran saya yang sederhana ini jadi melantur. Maksud saya, benar topik ini terlalu berat, mari kita kembali ke permasalahan. Jadi akan kemana kita di bawa? Demokrasi macam apa yang kita inginkan, yang cocok dengan jiwa bangsa kita? Mari kita renungkan bersama.

No comments: