Wednesday, August 31, 2005

Formalisasi Syariat : Anti Demokrasi ?

Saya baru saja membaca berita, tepatnya tulisan dari seorang teman bahwa di kota Padang, diberlakukan pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005. Maksud perda ini jelas, setiap orang Islam wajib berbusana islami dan berjilbab, yang non Islam dianjurkan –pada prakteknya saya dengar juga ada kesan pemaksaan-- untuk juga memakainya. Ini satu hal.

Hal lain yang lebih dekat dengan kita di sini, yaitu Kabupaten Banjar. Di sana ada Perda Jum’at Khusyuk yang baru disosialisasikan pada masyarakatnya, dan sebelumnya juga ada Perda Ramadhan yang sudah dijalankan sejak tahun yang lalu. Dan sudah memakan korban.
Perda Jum’at Khusyuk katanya bermaksud untuk mendorong umat Islam melaksanakan ibadah sholat Jum’at di mesjid-mesjid dengan menciptakan ketenangan dan suasana batin yang khusyuk, juga untuk menciptakan rasa saling menghargai antara sesama umat seagama maupun antar umat beragama. Perda yang menurut saya isinya lucu, masak untuk bisa khusyuk beribadah orang lain yang disuruh tenang. Apakah pemerintah dan masyarakat Banjar, dalam beribadah sudah mencapai tahap ‘tertentu’ sehingga pikiran mereka begitu liar, sampai-sampai mereka tidak dapat melakukan ibadah jika ada kendaraan yang melintas di jalan raya? Lantas bagaimana tercipta rasa saling menghargai kalau orang-orang dipaksa harus melakukan sesuatu? Hal yang mungkin terjadi hanyalah timbulnya rasa ketidakadilan, keberpihakan dan bibit kebencian yang mulai bersemi di hati.

Sedangkan untuk Perda Ramadhan isinya tentang larangan makan minum termasuk merokok di tengah keramaian/tempat umum terbuka pada siang hari selama bulan suci Ramadhan. Berlaku untuk siapa saja (muslim/non muslim). Hebat bukan, siapa yang puasa siapa pula yang disuruh menahan diri. Puasanya enak betul ya? Kok tidak malu ya membuat peraturan seperti itu? Itu kalau diibaratkan, sama dengan cerita ini, ada anak yang belajar menyetir mobil dan akan tes menyetir mobil di jalan raya. Orang tua yang khawatir sekali dengan anaknya, tidak percaya dengan kemampuan anaknya, lantas menyuruh semua orang di jalan raya tanpa kecuali untuk minggir, mengosongkan jalan raya supaya jalanan sepi dan anaknya bisa menyetir dengan tenang dan lulus ujian. Lucu bukan? Dengan analogi yang sama begitu juga untuk kasus di atas.
Kalau tentang pewajiban jilbab kalau tidak salah juga diikuti oleh Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, dan yang paling dekat dengan kita adalah Kotamadya Bontang. Semua ini adalah formalisasi syariat Islam. Untuk melengkapi ironi di atas, masih banyak lagi daerah yang melakukan formalisasi Syariat Islam seperti itu dalam kadarnya masing-masing, diantaranya adalah Cianjur, Sukabumi dan Pamekasan.


Terus terang saya tidak suka membaca berita-berita semacam ini sehingga tidak pernah mengingat dengan lebih seksama mengenai dasar hukumnya. Reaksi yang timbul pada diri saya hanyalah rasa ngeri. Akan jadi apa bangsa ini? Kalau saya ingat, hal ini terjadi justru setelah reformasi, yang katanya mendorong tegaknya demokrasi, sehingga salah satu hasilnya setiap daerah berhak mengatur dirinya sendiri. Sayangnya beberapa daerah berkembang seperti di atas (menterjemahkan arti otonomi secara berlebihan?). Kekuasaan yang timbul akibat otonomi daerah kemudian sangat diwarnai oleh sentimen keagamaan sehingga mengaburkan kembali makna demokrasi tadi. Saya berharap sekali semoga jajaran pemerintahan dan anggota dewan yang terhormat, di Samarinda khususnya dan di Kalimantan Timur umumnya, cukup waras untuk tidak ikut-ikutan menetapkan aturan yang sangat bersifat provinsial, sangat berpihak dan sektarian seperti itu. Tolong diingat bahwa masyarakat kita sangat majemuk, jadi tidak pada tempatnya jika ada aturan yang hanya mengakomodir salah satu golongan saja.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja menulis tentang pluralisme. Indahnya persatuan dalam keberagaman. Betapa iklim demokrasi yang baik itu memerlukan semangat pluralisme yang baik pula. Tetapi membaca berita-berita ini sungguh sangat menyedihkan dan menciutkan hati nurani saya, sekali lagi.

Baiklah sekarang mari kita lihat kenapa hal semacam itu timbul dan tumbuh ‘liar’ dalam waktu singkat –dimulai sejak reformasi, jadi baru sekitar 8 tahun-- seperti ini. Sekali lagi seperti yang sudah sering saya tulis disini, saya orang biasa, jadi pembahasan inipun dari sudut pandang yang biasa saja.

Sederhananya, saya melihat perda-perda atau instruksi atau apapun dasar hukum sebuah formalisasi atau legitimasi syariat (Islam) seperti itu adalah kendaraan politik bagi penguasa. Saya yang sederhana ini tidak melihat itu sebagai suatu pandangan penuh semangat kebangsaan, atau semangat persatuan, atau semangat untuk mensejahterakan masyarakat, atau semangat untuk kemaslahatan umum –kalau saya tidak salah kutip kata—tetapi hanya untuk mengamankan posisi, bargaining politik, di atas sana. Mereka melihat siapa masyarakat mayoritas di sana, dan menggunakan itu sebagai tunggangan, yakin seluruh tindakannya akan di-amin-i karena semua orang toh masih gagap dengan warna demokrasi yang baru. Ceritanya mungkin seperti itu. Saya tidak tahu persis bagaimana permainannya, kelihatannya rumit, karena yang duduk di pemerintahan dan dewan kita yang terhormat (meminjam istilah yang digunakan Harry Roesli, alm) pastilah orang-orang pintar, yang terbukti bisa memelintir kata, melanggar hak azasi manusia tapi tetap dapat membuat khalayak mengangguk-angguk setuju tanpa suara karena takut dicap tidak taat pada penguasa, atau takut dibilang rendah kadar keagamaannya atau malah takut terdepak ke luar arena.

Padahal idealnya penguasa (=pemerintahan dan dewan yang terhormat) harus dapat memandang keseluruhan permasalahan yang dihadapinya dan terlepas dari kotak-kotak sempit yang mengurung keputusannya. Apapun judul kotak itu. Bukan malah menyediakan kotak-kotak baru, lebih sempit lagi. Dalam kasus di atas kotaknya adalah kotak agama.
Seharusnya keputusan yang dibuat itu mengakomidir kebutuhan seluruh elemen masyarakat, tidak bersifat khusus, sektarian, dan juga tidak mengikat tetapi membebaskan. Bebas dari apa? Bebas dari rasa tidak nyaman, tidak aman, tidak tentram.

Sekali lagi masyarakat kita majemuk. Jadi keputusan apapun yang diambil mengenai hal apapun haruslah keputusan yang tepat, adil, berimbang, dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Untuk itu kan kita memilih orang-orang pintar untuk duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat? Saya sangat yakin bahwa beliau-beliau yang duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat bukanlah sekumpulan orang idiot, yang sibuk mencari dalil agama untuk pembenaran tindakan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, berkerudung moralis berbasis fasisme. Bukan begitu.

Mengapa saya katakan fasisme? Praktek (pemberlakuan perda-perda diatas) semacam itu menurut saya adalah praktek pemerintahan yang diwarnai fasisme. Semangat otoriter. Demokrasinya mana? Sepertinya mereka blunder (maaf saya tidak menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia) sendiri dengan euforia demokrasi yang sedang bergulir sehingga menghasilkan perda-perda lucu semacam itu. Karena yang di atas blunder, masyarakat bawah yang waraspun jadi terpaksa blunder. Apa mereka sadar, kalau aturan-aturan itu hanya menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan mereka sendiri. Kalau mau dicarikan alasan yang lebih masuk akal, aturan-aturan tersebut bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, alinea ke-2 (tentang berperi kemanusiaan dan peri keadilan) dan ke-4 (tentang persatuan dan kesatuan, dan kehidupan sosial). Sekali lagi saya berharap kita di sini tidak ikut-ikutan blunder.

Sebentar lagi kita menghadapi pilkada. Saya berharap sangat, siapapun pemimpin Samarinda nantinya mampu melihat masalah ini dengan jernih. Mampu memahami, menterjemahkan, cerita di atas dan mengambil tindakan yang benar. Jangan sampai kecenderungan fasisme yang bernafsu untuk menyeragamkan dan mendisiplinkan corak berpikir dan bertindak dalam masyarakat merasuki para calon pemimpin kita nantinya. Seharusnyalah seorang pemimpin sensitif akan pluralitas masyarakatnya dan menghargainya.
Lagipula bukankah kecenderungan fasisme itu akan mengalahkan identitas ke-Indonesia-an kita yang bhinneka. Jadi tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena meng-atasi hukum di atasnya. Hukum Pancasila sebagai dasar negara. Yang sila keduanya mengatakan kemanusiaan yang adil dan beradab (bukan menurut ajaran agama tertentu). Fasisme itu bagi saya tidak berperikemanusiaan. Tidak menghargai manusia sebagai manusia tapi sebagai objek yang seragam, tidak boleh berpikir dan bereskpresi. Jadi bagi saya itu adalah pelanggaran, pelanggaran HAM. Dan adalah salah apabila sebagai warga negara saya hanya berdiam diri, jika penguasa mengarah pada tindakan yang tidak benar seperti itu.
Harapan saya yang lain adalah untuk kita semua memahami dengan jelas apa demokrasi itu. Tidak hanya di mulut, tapi di hati. Sehingga kita tidak cuma bisa berkoar-koar tentang demokrasi tapi juga diwujudkan dalam tindakan. Saya tahu biasanya orang lain itu cuma pintar mengkritik, tapi tidak pandai mengerjakannya sendiri. Mungkin saya termasuk orng yang seperti itu. Tapi saya yakin orang-orang pilihan kita di jajaran pemerintahan dan parlemen tidak begitu.

Untuk itulah artikel ini saya tulis. Semoga anda membaca tulisan saya, dan kita semua dapat sepaham bahwa seperti tulisan Franz Magnis Suseno dalam Kompas (31/08) hari ini, mengutip ucapan Nurcholish Madjid, bahwa suatu agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi menjadi ‘aparat’ kekuasaan negara. Peran agama adalah sebagai pembawa nilai-nilai, sebagai suara profetis yang menagih kemanusiaan, kejujuran, keadilan, solidaritas yang tidak membiarkan pragmatisme politik melindas harkat moralitas. Begitulah.

Seandainya para pemimpin kita, ditingkat lokal dan tingkat pusat, adalah negarawan sekelas Cak Nur almarhum, tentu saat ini kita sudah merasa aman tentram dan nyaman. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran dalam melakukan pekerjaan, dalam kehidupan sosial dan dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat yang berbeda suku, agama dan golongan.

Jadi, mengapa kita sekarang tidak mencoba berubah, dan sekaligus menyiapkan kondisi agar kita dapat melahirkan generasi baru yang lebih terbuka, humanis, pluralis serta demokratis.

No comments: