'Tebar Qurban 2007 bla...bla..bla....' begitulah bunyi tulisan di salah satu spanduk yang terpampang di pertigaan jalan Kemakmuran, jalan Pelita dan jalan ........... di kotaku. Spanduk dengan latar warna hijau dan tulisan hitam, berkibar gagah di seberang mesjid yang cukup besar di pojok jalan itu. Ya...ya...ya.... tanggal 20 Desember ini adalah hari Idul Adha. Hari raya Qurban, sebagian orang menyebutnya dan menurutku juga tidak salah. Betul-betul banyak yang di-qurban-kan pada hari itu, dan yang melakukannya ria bahagia. (Aku menangis dalam hati membaca spanduk itu, bayangkan : Tebar Qurban?).
Dalam pemahamanku kini aku sungguh tidak ingin lagi berqurban hewan seperti itu bahkan atas nama Tuhan. Aku sungguh hanya kasihan pada hewan-hewan yang diqurbankan, sementara manusianya sendiri tidak ada mengalami perubahan. Hanya menjadi semakin keras, kaku, alot. Bagaimana tidak? Setiap tahun paling tidak sekali menyaksikan 'penjagalan suci' seperti ini yang apapun nama pembungkusnya tetaplah pembunuhan. Itu belum dihitung dengan penjagalan setiap hari yang terjadi di setiap pasar, atau setiap rumah makan, restoran. Setiap rumah tangga. Dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan naluriahnya - m a k a n! -. Manusia telah terlalu banyak membunuh.
Tapi dia hanya membunuh yang di luar dirinya. Dia lupa membunuh dirinya. Sehingga manusia dari masa ke masa semakin sombong, angkuh, arogan, beku, dan mati rasa. Seandainya qurban di sini dimaknai sebagai pembunuhan nafsu hewan dalam dirinya, maka manusia akan menjadi lebih baik, dari masa ke masa.
Nafsu hewan yang bagaimana?
Kejam, serakah, licik, tidak mau berbagi, hanya memikirkan perut dan kelamin, hei..hei..hei... bahkan setiap jenis hewan hanya memiliki satu sifat yang buruk saja. Misalnya serigala terkenal licik, babi kalau kawin lama, tikus suka mengorek-ngorek yang kotor, harimau kejam (kelihatannya) memangsa hewan lainnya dst dst. Dan hewan hanya kawin pada musimnya saja.
Manusia ? - dalam diri satu manusia segala macam sifat buruk tadi bisa ada. Kawin kapan saja, bisa dengan siapa saja, tak puas bila hanya satu saja, serakah, tamak, curang, loba, licik, kejam, sadis dll dll. Itulah hasil perkembangan evolusi manusia yang sangat menakjubkan, saudara-saudara. Padahal jika kita mempelajari perilaku hewan lebih jauh, kita akan menemukan bahwa mereka adalah makhluk beradab dan tunduk pada kehendak alam. Mereka sangat selaras dengan alam. Tak mampu merusak. Hanya bertindak sesuai garis yang ditentukan baginya. Sesungguhnya manusia kini lebih binatang daripada binatang.
Lalu ada yang marah padaku.
'Kau tidak paham', katanya, 'dengan ajaran agama'.
'Aku memang tidak paham', kataku. 'Karena ajaran itu tidak lagi bisa kuterima'.
Seharusnya diri manusia bertumbuh, berkembang dari masa ke masa. Ada aku membaca, evolusi fisik pada diri manusia mungkin sudah mencapai puncaknya. Kini energi yang ada seharusnya digunakan untuk evolusi bathinnya. Seharusnya.
Jadi jika kau bersikeras menterjemahkan agamamu secara lahiriah bahwa qurban adalah jagal hewan. Demikianlah pemahamanmu.
Aku memahaminya seperti yang kupahami. Dan inilah pemahamanku. Jagal-lah hewan yang bersemayam di dalam dirimu, dalam pikiranmu, dalam ucapanmu, dalam tindak-tandukmu!
Semoga semua makhluk berbahagia
Damailah diriku
Damai di bumi, damai di langit, damai di alam semesta
They say I very childish, ah..it only in my soul. They say I not polite, ah..i just square outspoken. They say I should be ignored, never mind ... I just saturnian,
Saturday, December 15, 2007
Monday, November 26, 2007
Tut Wuri Handayani
Judul di atas adalah penggalan dari kalimat panjang yang terkenal dari Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa, bapak pendidikan kita, yang baris terakhirnya juga menjadi bagian dari logo Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia : Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Maknanya lebih kurang : di depan memberi teladan, ditengah membimbing (memotivasi, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif) dan dibelakang mendorong (dukungan moral).
Kalimat itu menjadi rujukan saat bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik, memberi tuntunan bagaimana seharusnya seorang pemimpin atau seorang guru (yang digugu dan ditiru) bertindak.
Ketiga kalimat itu berulang-ulang ditulis, dibahas, diingat kemudian dilupakan. As usual, idelisnya kita sampai di mulut saja. Begitu turun ke perut yang serba idealis tadi akan menguap ke atas dan masuk kembali ke kepala dalam sebentuk angan-angan tentang suatu hal yang ideal. Keluar lagi lewat mulut, begitu turun ke perut menguap lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. (Do you catch me?)
Kalimat itu begitu sering diucapkan, dibaca, dibahas sampai si pendengar atau si pembaca lupa untuk memahami, belum sampai taraf menghayati, apalagi mengamalkan. Untuk sampai ke tahap paham saja sulit. Sebab umumnya begitu tahu, sudah puas. Berhenti, dan mengira dirinya sudah hebat.
Ing Ngarso Sun Tuladha
Di depan memberi teladan. Duh susahnya menjadi teladan. Menjadi teladan itu artinya si pemberi teladan harus senantiasa sadar, aware terhadap pikiran, perkataan dan tindakannya. Melakukan segala sesuatu secara benar. Memberi contoh yang baik. Itu sulit. Alamiahnya manusia itu selalu mondar-mandir di dua kutub. Mana bisa menjadi baik terus. Seharusnya juga tidak buruk terus.
Menyeimbangkan dua kutub itu adalah perjuangan seumur hidup. Lalu kalau untuk seimbang saja harus berjuang seumur hidup, sewaktu-waktu bisa tergelincir jatuh, bagaimana memberi teladan? Ya dengan menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tetap seimbang itu tadi. Saat kita senantiasa sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, tidak perlu repot-repot memikirkan apa teladan yang baik, sebenarnya kita sudah memberi teladan.
Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah memotivasi, menggugah semangat, kemauan dan niat. Ini juga sulit. Bagaimana membuat situasi yang kondusif untuk orang lain agar bisa berkembang, menggugah semangat untuk terus meraih kemajuan itu sulit. Apalagi kita dihadapkan pada masalah internal diri kita sendiri dan masalah eksternal dengan lingkungan kita. Tidak bisa? Oh bisa. Yang diperlukan hanya niat baik untuk melakukannya. Asal paham lakonnya hidup, baris yang inipun pasti akan dilakukan orang-orang dengan senang hati. (Bagaimana lakonnya hidup? berdiamlah --maka kau akan tahu!).
Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi dorongan moral. Nah ini dia. Katanya seorang pemimpin atau guru atau orang yang lebih pandai, lebih tahu-- saat membimbing orang lainnya harus bersikap sebagai among (ini bahasa Jawa, bukan Inggris!). Pengemong. Pengasuh. Jadi yang menjadi fokus adalah yang diasuh. Karena itu saat yang di asuh merasa lemah, merasa tidak mampu, pengemong akan maju memberi dorongan semangat, dukungan moral. Dengan kata-kata, dengan sikap perbuatan. Dengan hati yang penuh cinta. (iya penuh cinta, karena tanpa yang satu ini, tidak akan pernah bisa ada tindakan tut wuri handayani).
Jadi kesimpulannya apa yang coba disampaikan KH Dewantoro itu adalah : sadarlah pada pikiran, perkataan dan tindakan kita, pahami hidup dan kembangkan cinta kasih. Inilah pemahaman saya tentang Ing Ngarsa Sun tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Tetapi, masih ada tetapi. Saya bukan penutur asli bahasa Jawa. Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Jawa. Saya tidak tinggal cukup lama di pulau Jawa. Jadi, bisa jadi pemahaman saya tentang kalimat KH Dewantoro ini mengalami distorsi makna karena ketidaktahuan saya. Karena dari pengalaman saya, setiap kata bahkan huruf, dalam bahasa Jawa selalu punya makna. Tidak ada kata yang sia-sia. Seperti halnya hidup, tidak ada hidup yang sia-sia. Tidak ada kejadian yang sia-sia. Semua bermakna. Pandaikah kita merangkai makna dan mengambil pelajaran darinya?
That's why we live.
one that could implement this into action in daily life, he must has a big heart.
Samarinda, 26 Nov 2007
Kalimat itu menjadi rujukan saat bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik, memberi tuntunan bagaimana seharusnya seorang pemimpin atau seorang guru (yang digugu dan ditiru) bertindak.
Ketiga kalimat itu berulang-ulang ditulis, dibahas, diingat kemudian dilupakan. As usual, idelisnya kita sampai di mulut saja. Begitu turun ke perut yang serba idealis tadi akan menguap ke atas dan masuk kembali ke kepala dalam sebentuk angan-angan tentang suatu hal yang ideal. Keluar lagi lewat mulut, begitu turun ke perut menguap lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. (Do you catch me?)
Kalimat itu begitu sering diucapkan, dibaca, dibahas sampai si pendengar atau si pembaca lupa untuk memahami, belum sampai taraf menghayati, apalagi mengamalkan. Untuk sampai ke tahap paham saja sulit. Sebab umumnya begitu tahu, sudah puas. Berhenti, dan mengira dirinya sudah hebat.
Ing Ngarso Sun Tuladha
Di depan memberi teladan. Duh susahnya menjadi teladan. Menjadi teladan itu artinya si pemberi teladan harus senantiasa sadar, aware terhadap pikiran, perkataan dan tindakannya. Melakukan segala sesuatu secara benar. Memberi contoh yang baik. Itu sulit. Alamiahnya manusia itu selalu mondar-mandir di dua kutub. Mana bisa menjadi baik terus. Seharusnya juga tidak buruk terus.
Menyeimbangkan dua kutub itu adalah perjuangan seumur hidup. Lalu kalau untuk seimbang saja harus berjuang seumur hidup, sewaktu-waktu bisa tergelincir jatuh, bagaimana memberi teladan? Ya dengan menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tetap seimbang itu tadi. Saat kita senantiasa sadar dan berusaha menyeimbangkan diri, tidak perlu repot-repot memikirkan apa teladan yang baik, sebenarnya kita sudah memberi teladan.
Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah memotivasi, menggugah semangat, kemauan dan niat. Ini juga sulit. Bagaimana membuat situasi yang kondusif untuk orang lain agar bisa berkembang, menggugah semangat untuk terus meraih kemajuan itu sulit. Apalagi kita dihadapkan pada masalah internal diri kita sendiri dan masalah eksternal dengan lingkungan kita. Tidak bisa? Oh bisa. Yang diperlukan hanya niat baik untuk melakukannya. Asal paham lakonnya hidup, baris yang inipun pasti akan dilakukan orang-orang dengan senang hati. (Bagaimana lakonnya hidup? berdiamlah --maka kau akan tahu!).
Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi dorongan moral. Nah ini dia. Katanya seorang pemimpin atau guru atau orang yang lebih pandai, lebih tahu-- saat membimbing orang lainnya harus bersikap sebagai among (ini bahasa Jawa, bukan Inggris!). Pengemong. Pengasuh. Jadi yang menjadi fokus adalah yang diasuh. Karena itu saat yang di asuh merasa lemah, merasa tidak mampu, pengemong akan maju memberi dorongan semangat, dukungan moral. Dengan kata-kata, dengan sikap perbuatan. Dengan hati yang penuh cinta. (iya penuh cinta, karena tanpa yang satu ini, tidak akan pernah bisa ada tindakan tut wuri handayani).
Jadi kesimpulannya apa yang coba disampaikan KH Dewantoro itu adalah : sadarlah pada pikiran, perkataan dan tindakan kita, pahami hidup dan kembangkan cinta kasih. Inilah pemahaman saya tentang Ing Ngarsa Sun tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Tetapi, masih ada tetapi. Saya bukan penutur asli bahasa Jawa. Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Jawa. Saya tidak tinggal cukup lama di pulau Jawa. Jadi, bisa jadi pemahaman saya tentang kalimat KH Dewantoro ini mengalami distorsi makna karena ketidaktahuan saya. Karena dari pengalaman saya, setiap kata bahkan huruf, dalam bahasa Jawa selalu punya makna. Tidak ada kata yang sia-sia. Seperti halnya hidup, tidak ada hidup yang sia-sia. Tidak ada kejadian yang sia-sia. Semua bermakna. Pandaikah kita merangkai makna dan mengambil pelajaran darinya?
That's why we live.
one that could implement this into action in daily life, he must has a big heart.
Samarinda, 26 Nov 2007
Saturday, September 29, 2007
Give and Give and Give Things
Beberapa hari terakhir ini aku dilanda kebimbangan untuk memutuskan apakah aku akan masuk menjadi member Asian Brain IMC yang dikomandoi Anne Ahira -internet marketer- terkenal dari Indonesia itu atau tidak. Aku sudah berlangganan news dari mereka tapi sudah hampir 2 minggu ini tidak kunjung dapat memutuskan apakah akan bergabung atau tidak.
Beberapa waktu yang lalu aku juga mendapat kiriman paket 'motivation course' atau somekind like that lah... dari seorang teman. Aku baca. Dan .......... there's nothing new for me.
I knew it before. I understood and try to do it day by day all this time. But that's not the problem.
The problem is : I feel funny about those 'motivation things'.
Weird.
I feel like a donkey.
Don't laugh at me.
I mean it.
I am not sure about how I feel or how to tell you about this. Saat aku menerima email yang isinya kalimat-kalimat untuk memotivasi itu, aku lantas merasa dungu. Aku merasa seperti salesman jalanan yang harus diberi semangat dengan berteriak lantang setiap pagi dalam meeting harian sebelum berkeliling menawarkan barang. Aku merasa malu -mungkin- karenanya.
Pertanyaannya adalah : Mengapa malu? Bukankah setiap dari kita memang harus pandai menjual? (itu inti bisnis kan? bisnis apa saja. kau bisa menjual barang, menjual jasa, menjual ide, menjual visi, menjual diri ..ops, yah pokoknya menjual, apa saja)
No sales, no action, no money, no profit, no-thing.
Aku berhari-hari merenungkan hal ini. Mungkin sampai hari ini aku belum menemukan jawabnya. Aku hanya meraba-raba jawaban. Seperti ini: saat kita mulai belajar mengenal diri kita sendiri, saat itu kita belajar tentang dunia di sekitar kita. Satu persatu, sedikit demi sedikit kita melihat dengan lebih jelas, memahami dengan lebih baik segala sesuatu. Saat itu tiba, teori motivasi itu menjadi lelucon yang lucu sekali. Karena pada saat kita memahami diri sendiri, maka hal-hal yang disebutkan dalam teori motivasi itu terlampaui. Bila masih ngotot memposisikan diri di sana, akan ada perasaan malu yang terbit di sanubari.
Teori tentang positive thinking dan teori motivasi itu mirip. Aku masih bisa membaca dengan tenang apabila ada orang menulis tentang postive thinking. Tetapi membaca tentang motivasi, rasanya jadi lucu sekali. Gambarannya itu seperti keledai yang diumpan dengan buah yang digantung di depannya. Dia akan dilecut untuk jalan, dengan harapan dapat menggapai umpan tadi yang tentu saja tak akan pernah didapatnya, karena seiring dengan langkahnya, umpannya akan bergerak menjauh juga. Very funny! dan menyedihkan juga.
Tapi apakah teori motivasi dan positive thinking itu buruk. Tidak. Tentu saja tidak. Ada orang yang memang membutuhkannya. Masih banyak orang yang membutuhkannya.
Aku tidak berani berkata lantang bahwa aku tidak membutuhkannya. Pada kenyataannya aku tetap membutuhkan motivasi dan berpikir positip untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dan, sampai saat ini pun uang mungkin adalah motivasi yang paling kuat. Lalu kenapa ada penolakan halus yang kurasakan?
Aku belum paham. Dan aku masih setia membaca news letter dari Asian Brain. Anne Ahira orang yang hebat. Dan dia mau berbagi, itu juga hebat. Hal yang langka di Indonesia. Aku bersyukur Indonesia memiliki orang seperti dia. Hanya saja, sepertinya aku tidak bisa ikut dalam rombongannya. Tidak saat ini.
Tapi Anda yang membaca tulisan ini, boleh tuh masuk ke Asian Brain. Berkunjunglah dan lihat, apakah Anda tertarik untuk ikut dan meraih keberhasilan di sana. Dan berbagilah setelah itu. Not share the money you get;), but share what you've experienced, share about how you doin' it, share the 'tip', share the chance.
I remember something right now. Maybe I'm suck with this "take and give thing" but naturally that's how it goes.
Maybe on my secret mind, deep down inside, I think, why not "give, and give, and give only"
May be......
Beberapa waktu yang lalu aku juga mendapat kiriman paket 'motivation course' atau somekind like that lah... dari seorang teman. Aku baca. Dan .......... there's nothing new for me.
I knew it before. I understood and try to do it day by day all this time. But that's not the problem.
The problem is : I feel funny about those 'motivation things'.
Weird.
I feel like a donkey.
Don't laugh at me.
I mean it.
I am not sure about how I feel or how to tell you about this. Saat aku menerima email yang isinya kalimat-kalimat untuk memotivasi itu, aku lantas merasa dungu. Aku merasa seperti salesman jalanan yang harus diberi semangat dengan berteriak lantang setiap pagi dalam meeting harian sebelum berkeliling menawarkan barang. Aku merasa malu -mungkin- karenanya.
Pertanyaannya adalah : Mengapa malu? Bukankah setiap dari kita memang harus pandai menjual? (itu inti bisnis kan? bisnis apa saja. kau bisa menjual barang, menjual jasa, menjual ide, menjual visi, menjual diri ..ops, yah pokoknya menjual, apa saja)
No sales, no action, no money, no profit, no-thing.
Aku berhari-hari merenungkan hal ini. Mungkin sampai hari ini aku belum menemukan jawabnya. Aku hanya meraba-raba jawaban. Seperti ini: saat kita mulai belajar mengenal diri kita sendiri, saat itu kita belajar tentang dunia di sekitar kita. Satu persatu, sedikit demi sedikit kita melihat dengan lebih jelas, memahami dengan lebih baik segala sesuatu. Saat itu tiba, teori motivasi itu menjadi lelucon yang lucu sekali. Karena pada saat kita memahami diri sendiri, maka hal-hal yang disebutkan dalam teori motivasi itu terlampaui. Bila masih ngotot memposisikan diri di sana, akan ada perasaan malu yang terbit di sanubari.
Teori tentang positive thinking dan teori motivasi itu mirip. Aku masih bisa membaca dengan tenang apabila ada orang menulis tentang postive thinking. Tetapi membaca tentang motivasi, rasanya jadi lucu sekali. Gambarannya itu seperti keledai yang diumpan dengan buah yang digantung di depannya. Dia akan dilecut untuk jalan, dengan harapan dapat menggapai umpan tadi yang tentu saja tak akan pernah didapatnya, karena seiring dengan langkahnya, umpannya akan bergerak menjauh juga. Very funny! dan menyedihkan juga.
Tapi apakah teori motivasi dan positive thinking itu buruk. Tidak. Tentu saja tidak. Ada orang yang memang membutuhkannya. Masih banyak orang yang membutuhkannya.
Aku tidak berani berkata lantang bahwa aku tidak membutuhkannya. Pada kenyataannya aku tetap membutuhkan motivasi dan berpikir positip untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dan, sampai saat ini pun uang mungkin adalah motivasi yang paling kuat. Lalu kenapa ada penolakan halus yang kurasakan?
Aku belum paham. Dan aku masih setia membaca news letter dari Asian Brain. Anne Ahira orang yang hebat. Dan dia mau berbagi, itu juga hebat. Hal yang langka di Indonesia. Aku bersyukur Indonesia memiliki orang seperti dia. Hanya saja, sepertinya aku tidak bisa ikut dalam rombongannya. Tidak saat ini.
Tapi Anda yang membaca tulisan ini, boleh tuh masuk ke Asian Brain. Berkunjunglah dan lihat, apakah Anda tertarik untuk ikut dan meraih keberhasilan di sana. Dan berbagilah setelah itu. Not share the money you get;), but share what you've experienced, share about how you doin' it, share the 'tip', share the chance.
I remember something right now. Maybe I'm suck with this "take and give thing" but naturally that's how it goes.
Maybe on my secret mind, deep down inside, I think, why not "give, and give, and give only"
May be......
Wednesday, August 22, 2007
Agustusan - Bende Mataram!
Samarinda, 22 Agustus 2007
"Tahun ini tidak diadakan lomba-lomba dalam menyambut Hari Kemerdekaan, jadi tidak akan ada pula sumbangan dan lain sebagainya. Harap menjadi perhatian warga RT ..." begitulah bunyi selebaran yang kudapat dari Pak RT-ku.
Di komplek perumahan tempat kutinggal perayaan 17 Agustus berlalu seperti hari-hari biasa lainnya. Nothing special.
Sambil tercenung membaca selebaran itu aku sendiri bertanya-tanya dalam hati, apakah memang masih tersisa rasa nasionalisme di dada setiap warga negara Indonesia saat ini? Atau rasa itu sudah hilang lebur dalam kesulitan perjuangan hidup sehari-hari. Sehingga kemerdekaan maknanya tereduksi menjadi sekadar lomba bola volley atau panjat pinang dan balap karung saja.
Aku merasa menemukan jawabannya seminggu kemudian.
Kemarin suamiku pagi-pagi sekali memutar lagu. Awalnya hanya terdengar musik orkestra yang indah. Setelah masuk intro baru aku tahu kalau itu lagu Indonesia Pusaka. Sambil melakukan postur yoga seperti biasa kulakukan setiap pagi aku mendengarkan lagu itu. Dan lagu berikutnya dan lagu berikutnya. Ada Maju Tak Gentar, Bangun Pemudi Pemuda, Rayuan Pulau Kelapa, Syukur, Bagimu Negeri, Berkibarlah Benderaku, Mars Pancasila, Indonesia Raya, Hari Merdeka. Total ada 10 lagu.
Dadaku terasa bergemuruh, mataku panas berkaca-kaca. Ah..ah... aku rindu tanah airku. Agak aneh memang. Aku belum pernah bepergian jauh meninggalkan tanah airku -phisically- tapi aku sudah rindu padanya. Pertanda apa ini?
Dan aku tambah terharu sewaktu kutanya suamiku dari mana dia dapat lagu-lagu itu? Jawabannya : dari FSU - Florida State University. Aku bengong! Aku terkejut! Ndak salah nih........?
Aku tidak mencari tahu lebih jauh apakah itu hanya direkam di sana, atau dibuat mahasiswa Indonesia yang ada di sana, atau bagaimanalah ceritanya. Aku hanya heran dan merasa miris.
Aku berpikir tidak adakah komposer kita yang tergugah untuk mengolah dan meng-compose lagu-lagu (wajib) itu menjadi lagu yang indah dan merdu di dengar tidak hanya untuk diperdengarkan pada bulan Agustus saja (seperti halnya rekaman yang kudapat ini -penyanyinya suaranya indah dan musiknya bagus-). Tidak adakah stasiun TV kita yang tergerak untuk membuat acara yang dapat menggugah rasa kebangsaan dan kebanggaan seseorang terhadap negeranya daripada membuat sinetron konyol yang sama sekali tidak lucu dan tidak mendidik itu (tapi menghasilkan banyak uang sih.....).
Aku memutar lagu yang sama di komputerku di kantor keesokan harinya. Reaksi yang kudapat juga membuatku terharu. Teman-temanku ternyata juga rindu mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka malah membawa cerita lain lagi. Bagaimana putra-putrinya yang bersekolah di SD, SMP dan SMA malah ada yang tidak hafal dengan lagu-lagu ini, boro-boro untuk menjiwai, kenal aja udah syukur. Nah lho....!
Kelihatannya pendidikan bela bangsa yang selama ini masuk kurikulum pengajaran selama bertahun-tahun telah gagal total. Sekarang yang tumbuh subur di sekolah-sekolah adalah sikap fanatisme yang diajarkan kepada murid melalui pendidikan agama. Budi pekerti direduksi menjadi berpakaian seperti salah satu ajaran agama (mayoritas tentu......!) membangun banyak tempat ibadah (agama mayoritas tentu....) dan merasa sudah berbuat baik dan sudah punya kavling di surga karena hal itu. Padahal fanatisme yang sama juga yang akan menggoyang rasa kebangsaan dan kebanggaan bernegara karena arahnya sudah jelas bo..... bahkan di beberapa email yang kuterima ada berita mengenai upaya yang dilakukan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara islam indonesia.
Sedih...sedih....
Apa yang dapat kulakukan? Kenapa Presiden SBY diam saja? Takut kehilangan kekuasaan? Takut dicap tidak beriman? Atau yang lebih cilaka lagi nih orang-orang yang punya akses pada kekuasaan, yang mengatur orang banyak, pada ndak sadar ya... sudah diperalat pihak asing agar mereka dapat menguasai Indonesia, merampas, menjarah dan memperkosa Ibu Pertiwi. Dengan dalih agama sih..... makanya pada takut dibilang tidak beriman, kafir sesat tuh.....! Apalgi kalau diancam bakal masuk neraka..... wah...wah....
Jadinya malah pada menjelma jadi anak durhaka, bilang ibu pertiwinya tidak berbudaya, tidak berpakaian yang pantas sehingga harus dikerudungi dari atas sampai bawah. Mengira mereka yang paling bijaksana dan beruntung menista budaya nenek moyang yang adi luhung. Aduh Bunda..... semoga Kau memberkati mereka....
Dan karena lama tidak menulis, tulisanku jadi melantur.....kesana kemari.....pikiranku berseliweran menaburkan kepedihan hati.....memahat kata dengan keras melawan kemalasan diri untuk bersuara dan membela ibu pertiwi. Terlau banyak yang ingin disampaikan hingga tanganku tak kuasa untuk mengikuti.
Cukup sampai disini. Sembah sujudku untuk Ibu Pertiwi.
Bende Mataram !
"Tahun ini tidak diadakan lomba-lomba dalam menyambut Hari Kemerdekaan, jadi tidak akan ada pula sumbangan dan lain sebagainya. Harap menjadi perhatian warga RT ..." begitulah bunyi selebaran yang kudapat dari Pak RT-ku.
Di komplek perumahan tempat kutinggal perayaan 17 Agustus berlalu seperti hari-hari biasa lainnya. Nothing special.
Sambil tercenung membaca selebaran itu aku sendiri bertanya-tanya dalam hati, apakah memang masih tersisa rasa nasionalisme di dada setiap warga negara Indonesia saat ini? Atau rasa itu sudah hilang lebur dalam kesulitan perjuangan hidup sehari-hari. Sehingga kemerdekaan maknanya tereduksi menjadi sekadar lomba bola volley atau panjat pinang dan balap karung saja.
Aku merasa menemukan jawabannya seminggu kemudian.
Kemarin suamiku pagi-pagi sekali memutar lagu. Awalnya hanya terdengar musik orkestra yang indah. Setelah masuk intro baru aku tahu kalau itu lagu Indonesia Pusaka. Sambil melakukan postur yoga seperti biasa kulakukan setiap pagi aku mendengarkan lagu itu. Dan lagu berikutnya dan lagu berikutnya. Ada Maju Tak Gentar, Bangun Pemudi Pemuda, Rayuan Pulau Kelapa, Syukur, Bagimu Negeri, Berkibarlah Benderaku, Mars Pancasila, Indonesia Raya, Hari Merdeka. Total ada 10 lagu.
Dadaku terasa bergemuruh, mataku panas berkaca-kaca. Ah..ah... aku rindu tanah airku. Agak aneh memang. Aku belum pernah bepergian jauh meninggalkan tanah airku -phisically- tapi aku sudah rindu padanya. Pertanda apa ini?
Dan aku tambah terharu sewaktu kutanya suamiku dari mana dia dapat lagu-lagu itu? Jawabannya : dari FSU - Florida State University. Aku bengong! Aku terkejut! Ndak salah nih........?
Aku tidak mencari tahu lebih jauh apakah itu hanya direkam di sana, atau dibuat mahasiswa Indonesia yang ada di sana, atau bagaimanalah ceritanya. Aku hanya heran dan merasa miris.
Aku berpikir tidak adakah komposer kita yang tergugah untuk mengolah dan meng-compose lagu-lagu (wajib) itu menjadi lagu yang indah dan merdu di dengar tidak hanya untuk diperdengarkan pada bulan Agustus saja (seperti halnya rekaman yang kudapat ini -penyanyinya suaranya indah dan musiknya bagus-). Tidak adakah stasiun TV kita yang tergerak untuk membuat acara yang dapat menggugah rasa kebangsaan dan kebanggaan seseorang terhadap negeranya daripada membuat sinetron konyol yang sama sekali tidak lucu dan tidak mendidik itu (tapi menghasilkan banyak uang sih.....).
Aku memutar lagu yang sama di komputerku di kantor keesokan harinya. Reaksi yang kudapat juga membuatku terharu. Teman-temanku ternyata juga rindu mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka malah membawa cerita lain lagi. Bagaimana putra-putrinya yang bersekolah di SD, SMP dan SMA malah ada yang tidak hafal dengan lagu-lagu ini, boro-boro untuk menjiwai, kenal aja udah syukur. Nah lho....!
Kelihatannya pendidikan bela bangsa yang selama ini masuk kurikulum pengajaran selama bertahun-tahun telah gagal total. Sekarang yang tumbuh subur di sekolah-sekolah adalah sikap fanatisme yang diajarkan kepada murid melalui pendidikan agama. Budi pekerti direduksi menjadi berpakaian seperti salah satu ajaran agama (mayoritas tentu......!) membangun banyak tempat ibadah (agama mayoritas tentu....) dan merasa sudah berbuat baik dan sudah punya kavling di surga karena hal itu. Padahal fanatisme yang sama juga yang akan menggoyang rasa kebangsaan dan kebanggaan bernegara karena arahnya sudah jelas bo..... bahkan di beberapa email yang kuterima ada berita mengenai upaya yang dilakukan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara islam indonesia.
Sedih...sedih....
Apa yang dapat kulakukan? Kenapa Presiden SBY diam saja? Takut kehilangan kekuasaan? Takut dicap tidak beriman? Atau yang lebih cilaka lagi nih orang-orang yang punya akses pada kekuasaan, yang mengatur orang banyak, pada ndak sadar ya... sudah diperalat pihak asing agar mereka dapat menguasai Indonesia, merampas, menjarah dan memperkosa Ibu Pertiwi. Dengan dalih agama sih..... makanya pada takut dibilang tidak beriman, kafir sesat tuh.....! Apalgi kalau diancam bakal masuk neraka..... wah...wah....
Jadinya malah pada menjelma jadi anak durhaka, bilang ibu pertiwinya tidak berbudaya, tidak berpakaian yang pantas sehingga harus dikerudungi dari atas sampai bawah. Mengira mereka yang paling bijaksana dan beruntung menista budaya nenek moyang yang adi luhung. Aduh Bunda..... semoga Kau memberkati mereka....
Dan karena lama tidak menulis, tulisanku jadi melantur.....kesana kemari.....pikiranku berseliweran menaburkan kepedihan hati.....memahat kata dengan keras melawan kemalasan diri untuk bersuara dan membela ibu pertiwi. Terlau banyak yang ingin disampaikan hingga tanganku tak kuasa untuk mengikuti.
Cukup sampai disini. Sembah sujudku untuk Ibu Pertiwi.
Bende Mataram !
Friday, May 04, 2007
Life Summary
Prolog
Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menulis 3 bulan yang lalu. Aneh rasanya memulai menulis lagi. Sepertinya terlalu banyak hal yang harus kuendapkan dulu dengan sungguh-sungguh sebelum bisa kutuangkan dengan baik. Sulitnya, aku tidak tahu persis apa yang baru.
Meskipun kenyataannya banyak sekali kejadian yang telah kulewati. Tetapi sepertinya lewat begitu saja. Kalaupun ada yang bisa dicatat mungkin adalah kesadaran bahwa selama ini aku sangat tidak percaya diri.
Kepercayaan diriku menguap begitu saja. Sesaat ada, sesaat tiada. Aku memerlukan disiplin diri yang kuat untuk terus berlatih agar kepercayaan diriku tetap terjaga. Aneh!
Bagian 1
Aku merasa diriku jauh dari lingkunganku karena perbedaan pola pikirku. Tentu saja bila hal itu menyangkut pekerjaan atau hal-hal rutin lainnya semua bisa dikerjakan seperti biasanya. Tetapi segala hal yang menyangkut hubungan sosial jadi terasa aneh karena aku menemukan bahwa nilai-nilai yang kuanut ‘terasa’ berbeda dengan lingkunganku berada. Aku juga seringkali merasa SAAT INI lebih mudah melihat mana orang yang tidak percaya diri (artinya orang itu sangat tidak percaya diri, karena aku sendiri tidak pd-an), mana yang sombong, mana yang hanya bisa berbual (kelompok orang yang menyebalkan), mana yang sok berkuasa tapi sejatinya tidak tahu apa-apa (kelompok yang paling menyebalkan), mana orang yang ‘berisi’, orang lugu, orang sederhana, orang awam, dll, dsb.
Seperti biasa, aku memperhatikan, mempelajari, memahami dan …..ah aku belum cerah!
Bagian 2
Aku berkeliling mencari sekolah untuk anakku yang kedua- Chitta. Aku ingin dia masuk TK Budi Bhakti. Yang punya yayasan Budha. Aku senang dengan kurikulumnya (di sana tidak diajarkan agama! tetapi diajarkan budi pekerti dan kasih sesama ), senang dengan kelasnya, senang dengan lingkungannya, senang dengan guru-gurunya, ………..tetapi rupanya mereka semua tidak senang dengan anakku.
Mereka keberatan menerima Chitta. Alasannya tidak jelas bagiku, jawabannya berputar-putar, belakangan malah menyuruhku ke psikolog untuk tes mencari kelebihan dan kekurangan anakku (yang kemudian aku tahu tempat psikolog itu praktek lebih banyak menangani kasus anak autis).
Aku tersentak!
Stress dan
Depressi
Untuk beberapa jam lamanya.
(Kalau depressi jangan lama-lama;)
Kemudian aku bergerak cepat mencari semua informasi yang bisa kudapat tentang autis dengan seluruh spektrumnya, PDD NOS, Speech Delay dan beberapa istilah lain yang sulit kuingat. Membaca bahan-bahannya, memasuki semua ruang diskusi di internet yang membahas/berkaitan dengan hal itu.
Dan setelah 7 hari mempelajari, menelaah, membandingkan, mengukur, mengingat-ingat, aku dengan pasti bisa mengatakan bahwa anakku bukanlah seorang anak autis (seperti dugaan guru-guru di TK Budi Bhakti, berdasarkan gambaran tentang perilaku Chitta yang kuberikan pada mereka juga. Dasar akunya dogol!)
Chitta mengalami keterlambatan bicara, ya. Tetapi bukan autis!
Tetapi tidak ada kejadian kebetulan bukan? Tidak ada yang terjadi tanpa suatu maksud. Jadi sampai hari ini aku masih bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan Chitta tidak bisa masuk ke sekolah yang aku idam-idamkan sejak lama untuknya. Atau Chitta memang tidak ingin masuk sana . Kenapa?
Belakangan aku dan suamiku –setelah mencari beberapa hari- memutuskan Chitta masuk TK Fransiskus Asisi punya yayasan Katolik.
Aneh..aneh….aneh….. Karena sejak lama aku berusaha menghindari kontak dengan segala macam yayasan yang bernaung di bawah 2 agama besar ini, tapi kok ya aku harus masuk ke salah satunya.
Sampai hari ini aku belum tahu maksudnya.
Bagian 3
Aku selalu merasa ada yang kurang dengan apa yang kupelajari selama ini. Aku selalu merasa ada yang kurang dengan Islam yang kupelajari selama ini. Aku berusaha mencari tahu KEKURANGAN itu. Tapi hingga hari ini aku belum mendapat berkah untuk menemukan sumber yang terpercaya. Ada teman diskusi dan sumber informasi yang cukup mengasyikan sebenarnya, tapi terhalang oleh perbedaan cara berkomunikasi, kesulitan berbahasa dan perbedaan latar belakang sehingga apa yang ingin kutahu tidak bisa ditangkap secara tepat olehnya sehingga jawaban yang diberikan juga menjadi tidak tepat.
Tanya kenapa?
Mungkin belum waktunya.
Atau mungkin bukan dari sumber yang ini aku harus mendapatkannya.
Aku akan menunggu.
(beberapa hari yang lalu aku mendapat email dari seorang teman yang isinya menceritakan bahwa Nabi Muhammad itu tidaklah buta huruf seperti yang selama ini diketahui dan diajarkan. Aku tertawa terbahak-bahak….. yah…baru ini aku mendengar lagi ada penjelasan rasional tentang hal itu. Meniru ucapan temanku…. Ya..iyalah….. Rasanya konyol memang kalau Nabi adalah seorang yang buta huruf. Katakanlah memang demikian, masih tidak masuk diakalku kalau Nabi ini sampai akhir hayatnya membiarkan dirinya buta huruf. He…he…he……manusia-manusia ini memang konyol….)
Bagian 4
Anakku yang besar Pragyaa, tahun ini masuk SMA. Aku bingung juga. Sekolah yang mana yang akan dia masuki. Kalau ingat gayanya yang slow motion, apa adanya, tidak punya keinginan apa-apa, trus gimana?
Aku tanya dia, dia sebut satu sekolah. Bukan yang terbaik, tapi termasuk yang banyak diminati. Rasa-rasanya sekali ini keinginannya akan kuikuti. Karena aku kasihan padanya. Selama dia SMP memang dia berhasil masuk SMP terbaik, masuk di kelas bilingual (angkatan dia adalah yang pertama untuk kelas bilingual dan SMPnya adalah satu-satunya SMP di Kaltim yang membuka kelas itu, katanya sih program ASEAN atau gimana gitu!) dengan prestasi sedang-sedang saja, kadang malah nyerempet rangking terbawah di kelasnya. Tapi OK-lah….
Masalahnya dia tidak punya teman selama SMP ini. Olala…. Aku tidak ingin dia mengulang kesengsaraan tidak punya teman 3 tahun lagi hanya karena mamanya ingin dia masuk sekolah terbaik. Tidak-tidak.
Entahlah apa yang salah pada Pragyaa hingga dia tidak punya teman dekat di SMP ini yang sekelas dengannya. Kalau ada yang berteman dengannya kayaknya hanya karena terpaksa deh, atau karena mereka memang sedang memerlukan dia. Pokoknya kalau nggak kepepet kayaknya nggak ada yang mau berurusan dengannya.
Repotnya Pragyaa ini cuek sekali. Jadi dia tidak repot juga dengan keadaan itu. Nggak ditemenin ya udahlah.
Oh God!.
Karena itu aku berharap keputusanku membebaskan dia ingin sekolah dimana adalah keputusan yang baik untuknya. Karena kalau dia kusuruh masuk SMA terbaik lagi di kota ini, ada kemungkinan dia akan diterima tetapi dia akan bertemu dengan orang-orang yang sama lagi, temannya yang itu-itu juga. Karena hampir separuh kelasnya telah diterima di SMA terbaik itu tanpa tes. (Pragyaa tidak diterima tanpa tes karena gagal di nilai rata-ratanya yang tidak rata;-) Dia hanya akan pindah kelas dan pindah sekolah saja. Kebetulan pula sekolahnya bertetangga. Betul-betul cuma geser sedikit kan ?
Tidak! Kurasa kali ini aku ingin dia mendapat pengalaman yang berbeda. Jadi aku berharap keputusanku ini tidak salah.
Semoga!
Samarinda, 3 Mei 2007
Thursday, January 25, 2007
Bedanya Tahu dan Paham
Aku baru menonton film Sixth Sense kemaren sore di saluran HBO. Film dengan alur bertutur yang lambat dan meloncat-loncat tapi membangkitkan rasa ingin tahu. Jadi aku bertahan menonton sampai habis. Meskipun tidak tepat juga dikatakan begitu karena aku menontonnya dari pertengahan saja, tidak dari awal. Rasa-rasanya aku harus menonton film ini dari awal sekali lagi.
Dari tontonannya yang sepotong itu aku menyimpulkan bahwa film ini menceritakan tentang seorang anak yang bisa melihat hantu. Menariknya film ini tidak lantas menjadi film hantu yang menyeramkan (seperti biasanya film Indonesia..:), sebaliknya film ini malah menjelaskan tentang hantu itu sendiri.
Aku telah ‘tahu’ sejak……. katakanlah dua tahun yang lalu, bahwa saat kita meninggal apabila kita meninggal dalam keadaan tidak sadar atau kita tidak ikhlas, maka itu akan menimbulkan keterikatan dengan dunia ini, dan menyebabkan kita terkatung-katung di alam sebelah. Ya lantas orang bilang hantu tadi. Tidak bisa melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan yang ditinggalkan. Bila mereka ada seorang saja yang tidak ikhlas melepas kepergian orang yang dikasihinya akan membuat yang meninggal tadi terikat dengan dunia. Jadi baik yang meninggal maupun yang ditinggalkan kedua-duanya harus ikhlas agar perjalanan yang meninggal lancar. Inilah juga yang diceritakan oleh film Sixth Sense ini. Aku seperti mendapat konfirmasi. Sekali lagi.
Tadi pagi, sehabis yoga seperti biasa. Aku rileksasi, savasana. Dan seperti biasanya juga saat rileksasi seperti inilah aku mendapat ‘pencerahan-pencerahan kecil’. Tadi pagi pencerahanku tentang hantu tadi. Bukan hal yang baru. Pemahamannya tetap sama. Bedanya ya di ‘paham’ itu tadi. Dua tahun yang lalu aku ‘tahu’ tentang hal itu. Tahu dari pengetahuan, dari bacaan, dari cerita orang. Sekarang aku ‘paham’. Dari kesadaranku sendiri. Rasanya memang lega. Reaksi yang keluar cuma, ooohh….. lalu manggut-manggut sendiri. Begitu saja memang rupanya kalau orang paham itu.
Aku cerita pada suamiku. Reaksinya juga cuma, “Naah…sudah pahamkan”. Jawaban standarnya yang kadang-kadang menyebalkan, tapi memang mengandung kebenaran.
Dari tontonannya yang sepotong itu aku menyimpulkan bahwa film ini menceritakan tentang seorang anak yang bisa melihat hantu. Menariknya film ini tidak lantas menjadi film hantu yang menyeramkan (seperti biasanya film Indonesia..:), sebaliknya film ini malah menjelaskan tentang hantu itu sendiri.
Aku telah ‘tahu’ sejak……. katakanlah dua tahun yang lalu, bahwa saat kita meninggal apabila kita meninggal dalam keadaan tidak sadar atau kita tidak ikhlas, maka itu akan menimbulkan keterikatan dengan dunia ini, dan menyebabkan kita terkatung-katung di alam sebelah. Ya lantas orang bilang hantu tadi. Tidak bisa melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan yang ditinggalkan. Bila mereka ada seorang saja yang tidak ikhlas melepas kepergian orang yang dikasihinya akan membuat yang meninggal tadi terikat dengan dunia. Jadi baik yang meninggal maupun yang ditinggalkan kedua-duanya harus ikhlas agar perjalanan yang meninggal lancar. Inilah juga yang diceritakan oleh film Sixth Sense ini. Aku seperti mendapat konfirmasi. Sekali lagi.
Tadi pagi, sehabis yoga seperti biasa. Aku rileksasi, savasana. Dan seperti biasanya juga saat rileksasi seperti inilah aku mendapat ‘pencerahan-pencerahan kecil’. Tadi pagi pencerahanku tentang hantu tadi. Bukan hal yang baru. Pemahamannya tetap sama. Bedanya ya di ‘paham’ itu tadi. Dua tahun yang lalu aku ‘tahu’ tentang hal itu. Tahu dari pengetahuan, dari bacaan, dari cerita orang. Sekarang aku ‘paham’. Dari kesadaranku sendiri. Rasanya memang lega. Reaksi yang keluar cuma, ooohh….. lalu manggut-manggut sendiri. Begitu saja memang rupanya kalau orang paham itu.
Aku cerita pada suamiku. Reaksinya juga cuma, “Naah…sudah pahamkan”. Jawaban standarnya yang kadang-kadang menyebalkan, tapi memang mengandung kebenaran.
Label
Kali ini aku ingin menulis tentang hobi kita memberi label pada segala sesuatu. Pada segala sesuatu dari kita, dari segala entity di sekeliling kita. Seperti makanan, hewan, tumbuhan. Benda yang tidak bergerak seperti batu, gunung, sungai. Juga benda yang tidak dapat dilihat seperti amuba, bakteri, virus, sel. Dan seterusnya dan sebagainya.
Kita juga tidak lupa memberi label pada diri kita sendiri. Orang kaya, orang miskin, artis, peneliti, pemerhati, professor, tukang bakso, tukang kayu. Pokoknya semua harus diberi label. Semua harus ada namanya. Ada sebutannya.
Bahkan tidak puas dengan sebutan yang luas, harus ada sebutan yang khusus, yang spesial, istimewa. Seperti profesi penulis akan ada prosais, novelis, cerpenis, penulis cerita anak, penulis essai, pemerhati bla bla bla. Bagaimana kalau dia bisa menulis segala macam itu semua? Maka tetap harus ada label baru : penulis serba bisa.
Profesi yang lain, misal dokter. Ada dokter mata, dokter kandungan, dokter syaraf, dokter jantung, dokter anak, dokter kulit, dokter bla bla bla. Bagaimana dengan dokter yang tahu semuanya? Labelnya adalah dokter umum.
Tetap harus ada label. Dan ikutannya harus ada ranking. Mana yang lebih hebat, lebih prestisius, atau sekedar lebih indah kedengaran di telinga. Sebenarnya kalau mau jujur kita akan berkata bahwa yang hebat itu ya yang bisa semua. Untuk kedua contoh di atas yang hebat adalah penulis serba bisa dan dokter umum.
Tetapi kenyataannya yang terjadi adalah anggapan yang mengatakan bahwa kalau serba umum maka pengetahuannya tentang hal itu sedikit, alias yang umum-umum juga. Jadi kalau mau yang lebih ahli, yang bisa membahas lebih mendalam, kita harus merujuk kepada para spesialis tadi.
Pertanyaannya sekarang benarkah demikian?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bisa ya dan tidak.
Jawaban Ya
Ya umumnya seperti itu. Karena begitu kita mendalami sesuatu secara khusus, secara intens, tentunya pengetahuan kita tentang hal itu bertambah. Ada memang hal-hal yang harus dikuasai secara khusus oleh orang-orang dan mereka menjadi sangat ahli disana. Seperti umumnya peneliti, ahli komputer, atau dalam contoh di atas adalah dokter. Umumnya apabila disana dituntut keahlian yang bersifat teknis.
Jawaban Tidak
Tidak, karena kemampuan manusia tidak terbatas. Selama dia mau belajar dia bisa menjadi apa saja. Sekarang hal itu sudah mulai banyak ditemui. Misalnya dokter gigi yang penyanyi, artis film yang penulis, wartawan yang juga artis, agamawan yang penulis. Apakah mereka lantas tidak bisa memberi analisa yang mendalam, atau kurang penghayatan pada masing-masing jenis pekerjaan itu? Tidak, tapi perhatikan biasanya satu jenis adalah pekerjaan teknis, yang satu pekerjaan seni. Yang satu otak kanan, yang satu otak kiri.
Jawaban Ya dan Tidak
Ya dan Tidak. Untuk satu orang jawabannya bisa jadi ya. Tapi untuk orang lain bisa juga tidak. Hal ini sungguh relatif. Karena setiap dari manusia adalah unik. Jadi kedua jawaban bisa diterima. Sulitnya kita tidak biasa menerima banyak jawaban yang benar untuk banyak kemungkinan. Kita terbiasa menerima hanya satu jawaban benar. Di situlah masalahnya.
Sebenarnya siapa yang dapat memberi jawaban pasti di dunia ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang nilai-nilainya selalu berubah sesuai jaman, sesuai kemajuan/kemunduran teknologi, yang pendapatnya bisa disetir (baca:dibentuk) oleh media massa. Apa yang benar dan berlaku pada sepuluh tahun yang lalu, bisa jadi malah sebaliknya di jaman sepuluh tahun kemudian. Dulu tabu, sekarang terbuka, dulu dilarang sekarang boleh. Dulu rukun sekarang ribut. Dulu dan sekarang memang berbeda. Bahkan untuk waktu yang singkatpun.
Dan kesukaan memberi label adalah salah satu nilai-nilai masyarakat itu. Kita perlu memberi identitas diri. Untuk menunjukkan bahwa kita adalah sesuatu, bahwa kita ada. Karena kita ada maka kita akan di dengar. Supaya terdengar sampai jauh maka label kita harus yang hebat. Makin hebat label, makin dipercaya orang, makin diakui bahwa kita ada.
Akibatnya banyak hal yang kita lakukan sebetulnya adalah hal yang lucu dan kadang-kadang tidak etis, kadang melanggar hukum. Tapi demi label, kita berjuang untuk mendapatkannya. Pernah dengar tentang praktek pembelian gelar sarjana. Nah itu adalah salah satu contohnya. Apakah mereka yang melakukannya salah? Itu relatif lagi jawabannya. Mereka hanya berusaha mendapatkan identitas tadi. Mungkin mereka perlu embel-embel kesarjanaan agar mereka didengar, agar orang percaya mereka memang bonafide.
Mungkin bisa dikatakan kita ini krisis identitas. Kita tidak puas menjadi diri kita sendiri saja. Tanpa embel-embel dibelakangnya. Kita tidak puas mejadi Polan saja atau Anu saja. Kita harus menjadi Prof Polan, atau Anu sang selebrity. Atau Polan si kaum urban, atau Anu sang peneliti. Kita merasa harus mengidentifikasikan diri kita pada sesuatu.
Tetapi tindakan dan sikap semacam itu yang lahir dari masing-masing pribadi adalah juga nilai-nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Karena setiap individu mengikuti selera masyarakat, didukung oleh media massa maka nilai-nilai itu menjadi benar dan berlaku.
Seandainya ada orang yang biasa-biasa saja, katakanlah penjual es cendol di pinggir jalan, berbicara tentang sebab kemelut negeri ini, dengan bahasanya yang sederhana, siapa yang akan mendengarkan? Bahkan jika teori dia tidak salah. Paling-paling yang mendengarkan adalah para pembelinya sendiri. Yang mau tidak mau harus mendengarkan sampai pembeliannya selesai dilayani. Atau teman-teman sesama penjual es cendol yang mendengarkan sambil manggut-manggut dan tersenyum-senyum geli melihat seorang penjual es cendol mencemaskan nasib negeri. Mungkin sekali oleh sebagian teman dan pembelinya dia akan dianggap aneh berbicara seperti itu. Syukur-syukur tidak dianggap gila.
Ceritanya akan lain kalau yang bicara itu seorang pengamat ekonomi. Mungkin analisanya sama, tetapi yang disampaikan sang pengamat ekonomi akan menghiasi head line koran utama, dan dikutip seluruh media massa. Bahasanya canggih, orang awam tidak mengerti. Tapi justru disitulah letak kehebatannya, ke-ekslusifannya. Sekalipun sebenarnya yang disampaikannya intinya sama saja dengan yang disampaikan si penjual es cendol.
Intinya kita harus menjadi “sesuatu” dahulu agar kita didengar orang lain. Dan untuk menjadi “sesuatu” kita harus memiliki label yang menyertai kita. Segala kesibukan dan upaya kita dalam kehidupan sehari-hari semua mengarah kepada pencarian label tadi. Pencarian identitas diri. Identitas yang spesifik. Lalu apa kesimpulan dari tulisan ini? Sepertinya tidak ada. Hanya pemaparan kenyataan yang ada. Begitulah kondisi kita. Sakit. Keberadaan kita sebagai manusia tidak cukup. Kita harus manusia yang sudah mencapai ini dan itu. Harga manusia sudah jauh dibawah imaginary value yang kita ciptakan sendiri. Kita berada dalam matriks ciptaan kita sendiri. Dan kita juga yang tersiksa di sana. Menunggu Neo sang pembebas datang. Atau Neo itu adalah kita sendiri, yang belum bisa memilih akan mengambil pil merah atau pil biru di hadapannya?(***)
Kita juga tidak lupa memberi label pada diri kita sendiri. Orang kaya, orang miskin, artis, peneliti, pemerhati, professor, tukang bakso, tukang kayu. Pokoknya semua harus diberi label. Semua harus ada namanya. Ada sebutannya.
Bahkan tidak puas dengan sebutan yang luas, harus ada sebutan yang khusus, yang spesial, istimewa. Seperti profesi penulis akan ada prosais, novelis, cerpenis, penulis cerita anak, penulis essai, pemerhati bla bla bla. Bagaimana kalau dia bisa menulis segala macam itu semua? Maka tetap harus ada label baru : penulis serba bisa.
Profesi yang lain, misal dokter. Ada dokter mata, dokter kandungan, dokter syaraf, dokter jantung, dokter anak, dokter kulit, dokter bla bla bla. Bagaimana dengan dokter yang tahu semuanya? Labelnya adalah dokter umum.
Tetap harus ada label. Dan ikutannya harus ada ranking. Mana yang lebih hebat, lebih prestisius, atau sekedar lebih indah kedengaran di telinga. Sebenarnya kalau mau jujur kita akan berkata bahwa yang hebat itu ya yang bisa semua. Untuk kedua contoh di atas yang hebat adalah penulis serba bisa dan dokter umum.
Tetapi kenyataannya yang terjadi adalah anggapan yang mengatakan bahwa kalau serba umum maka pengetahuannya tentang hal itu sedikit, alias yang umum-umum juga. Jadi kalau mau yang lebih ahli, yang bisa membahas lebih mendalam, kita harus merujuk kepada para spesialis tadi.
Pertanyaannya sekarang benarkah demikian?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bisa ya dan tidak.
Jawaban Ya
Ya umumnya seperti itu. Karena begitu kita mendalami sesuatu secara khusus, secara intens, tentunya pengetahuan kita tentang hal itu bertambah. Ada memang hal-hal yang harus dikuasai secara khusus oleh orang-orang dan mereka menjadi sangat ahli disana. Seperti umumnya peneliti, ahli komputer, atau dalam contoh di atas adalah dokter. Umumnya apabila disana dituntut keahlian yang bersifat teknis.
Jawaban Tidak
Tidak, karena kemampuan manusia tidak terbatas. Selama dia mau belajar dia bisa menjadi apa saja. Sekarang hal itu sudah mulai banyak ditemui. Misalnya dokter gigi yang penyanyi, artis film yang penulis, wartawan yang juga artis, agamawan yang penulis. Apakah mereka lantas tidak bisa memberi analisa yang mendalam, atau kurang penghayatan pada masing-masing jenis pekerjaan itu? Tidak, tapi perhatikan biasanya satu jenis adalah pekerjaan teknis, yang satu pekerjaan seni. Yang satu otak kanan, yang satu otak kiri.
Jawaban Ya dan Tidak
Ya dan Tidak. Untuk satu orang jawabannya bisa jadi ya. Tapi untuk orang lain bisa juga tidak. Hal ini sungguh relatif. Karena setiap dari manusia adalah unik. Jadi kedua jawaban bisa diterima. Sulitnya kita tidak biasa menerima banyak jawaban yang benar untuk banyak kemungkinan. Kita terbiasa menerima hanya satu jawaban benar. Di situlah masalahnya.
Sebenarnya siapa yang dapat memberi jawaban pasti di dunia ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang nilai-nilainya selalu berubah sesuai jaman, sesuai kemajuan/kemunduran teknologi, yang pendapatnya bisa disetir (baca:dibentuk) oleh media massa. Apa yang benar dan berlaku pada sepuluh tahun yang lalu, bisa jadi malah sebaliknya di jaman sepuluh tahun kemudian. Dulu tabu, sekarang terbuka, dulu dilarang sekarang boleh. Dulu rukun sekarang ribut. Dulu dan sekarang memang berbeda. Bahkan untuk waktu yang singkatpun.
Dan kesukaan memberi label adalah salah satu nilai-nilai masyarakat itu. Kita perlu memberi identitas diri. Untuk menunjukkan bahwa kita adalah sesuatu, bahwa kita ada. Karena kita ada maka kita akan di dengar. Supaya terdengar sampai jauh maka label kita harus yang hebat. Makin hebat label, makin dipercaya orang, makin diakui bahwa kita ada.
Akibatnya banyak hal yang kita lakukan sebetulnya adalah hal yang lucu dan kadang-kadang tidak etis, kadang melanggar hukum. Tapi demi label, kita berjuang untuk mendapatkannya. Pernah dengar tentang praktek pembelian gelar sarjana. Nah itu adalah salah satu contohnya. Apakah mereka yang melakukannya salah? Itu relatif lagi jawabannya. Mereka hanya berusaha mendapatkan identitas tadi. Mungkin mereka perlu embel-embel kesarjanaan agar mereka didengar, agar orang percaya mereka memang bonafide.
Mungkin bisa dikatakan kita ini krisis identitas. Kita tidak puas menjadi diri kita sendiri saja. Tanpa embel-embel dibelakangnya. Kita tidak puas mejadi Polan saja atau Anu saja. Kita harus menjadi Prof Polan, atau Anu sang selebrity. Atau Polan si kaum urban, atau Anu sang peneliti. Kita merasa harus mengidentifikasikan diri kita pada sesuatu.
Tetapi tindakan dan sikap semacam itu yang lahir dari masing-masing pribadi adalah juga nilai-nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Karena setiap individu mengikuti selera masyarakat, didukung oleh media massa maka nilai-nilai itu menjadi benar dan berlaku.
Seandainya ada orang yang biasa-biasa saja, katakanlah penjual es cendol di pinggir jalan, berbicara tentang sebab kemelut negeri ini, dengan bahasanya yang sederhana, siapa yang akan mendengarkan? Bahkan jika teori dia tidak salah. Paling-paling yang mendengarkan adalah para pembelinya sendiri. Yang mau tidak mau harus mendengarkan sampai pembeliannya selesai dilayani. Atau teman-teman sesama penjual es cendol yang mendengarkan sambil manggut-manggut dan tersenyum-senyum geli melihat seorang penjual es cendol mencemaskan nasib negeri. Mungkin sekali oleh sebagian teman dan pembelinya dia akan dianggap aneh berbicara seperti itu. Syukur-syukur tidak dianggap gila.
Ceritanya akan lain kalau yang bicara itu seorang pengamat ekonomi. Mungkin analisanya sama, tetapi yang disampaikan sang pengamat ekonomi akan menghiasi head line koran utama, dan dikutip seluruh media massa. Bahasanya canggih, orang awam tidak mengerti. Tapi justru disitulah letak kehebatannya, ke-ekslusifannya. Sekalipun sebenarnya yang disampaikannya intinya sama saja dengan yang disampaikan si penjual es cendol.
Intinya kita harus menjadi “sesuatu” dahulu agar kita didengar orang lain. Dan untuk menjadi “sesuatu” kita harus memiliki label yang menyertai kita. Segala kesibukan dan upaya kita dalam kehidupan sehari-hari semua mengarah kepada pencarian label tadi. Pencarian identitas diri. Identitas yang spesifik. Lalu apa kesimpulan dari tulisan ini? Sepertinya tidak ada. Hanya pemaparan kenyataan yang ada. Begitulah kondisi kita. Sakit. Keberadaan kita sebagai manusia tidak cukup. Kita harus manusia yang sudah mencapai ini dan itu. Harga manusia sudah jauh dibawah imaginary value yang kita ciptakan sendiri. Kita berada dalam matriks ciptaan kita sendiri. Dan kita juga yang tersiksa di sana. Menunggu Neo sang pembebas datang. Atau Neo itu adalah kita sendiri, yang belum bisa memilih akan mengambil pil merah atau pil biru di hadapannya?(***)
Saturday, November 25, 2006
SDA & Lingkungan, Sebuah Ajakan
Semester ini aku mendapat kuliah Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Suer…. 10 atau 15 tahun yang lalu mata kuliah ini pasti sangat tidak menarik bagiku. Tapi sekarang lain lagi. Aku sangat berminat. Tertarik. Dan kagum mendengar penjelasan dosenku tentang tanah, air, hutan. Tentang bermacam-macam sumber daya alam dengan segala sifat yang melekat padanya, dengan segala penggolongan menurut apa dan siapa yang menelitinya. Aku kagum mengetahui bahwa manusia sekarang ini telah begitu pintar sehingga dapat mempelajari susunan tanah, sifat tanah, jenis hutan, perilaku air, and so on and so forth tentang segala macam ilmu tentang lingkungan, tentang sumber daya alam yang semua sudah, masih dan akan terus dipelajari oleh manusia.
Aku juga menjadi tahu bahwa semua pengetahuan itu telah dicoba terapkan dengan menyusun peraturan, membuat strategi dan rencana yang baik sekali (sungguh kukatakan : BAIK SEKALI!) untuk mengatur pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa begitu banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Padahal sejak dulu sudah ada lembaga yang khusus menangani hal itu, di bawah kementerian lingkungan hidup.
Kita ingat bahwa untuk setiap pembangunan (baca: eksploitasi hasil alam, perumahan, pembukaan lahan, pembangunan industri) dalam skala yang mengakibatkan perubahan landscape itu harus memenuhi persyaratan AMDAL. Dengan adanya persyaratan AMDAL sebelum pembangunan dimulai itu masyarakat luas sebenarnya mempunyai suara untuk menyetujui atau menggugurkan suatu usulan pembangunan. Belum lagi kalau menyebut begitu banyak lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang berperan sebagai kontrol dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Tanggung Jawab Bersama
Mungkin jawabannya harus kita runut dengan seksama, satu persatu, step by step, case by case. Siapa yang bertanggung jawab : semua elemen, baik pemerintah (sebagai pengatur & pengelola) industri (pihak pemrakarsa, pembangun) dan masyarakat (sebagai konsumen dan yang terkena dampak lingkungan). Apakah semua elemen ini sudah menjalankan fungsinya? Jawabannya : TIDAK.
Pemerintah sering (atau malah selalu?) kongkalikong dengan pemrakarsa (baca : pengusaha) sehingga bisa jadi kita mendengar AMDAL yang disusulkan belakangan setelah pembangunan selesai, atau data AMDAL yang telah dimanipulasi. Karena hampir dapat dipastikan, sulit sekali bagi pengusaha untuk kucing-kucingan melanggar peraturan kalau tidak main mata dengan pemerintah sebagai pengawas pemanfaatan lingkungan.
Bagaimana dengan masyarakat ? Biasanya masyarakat itu tidak peduli selama dia belum merasa terganggu dengan suatu kegiatan pembangunan. Ada juga beberapa yang ribut, tapi hampir selalu tidak mendapat perhatian. Lebih banyak lagi yang protes setelah terjadi kerusakan parah dan membahayakan. Tapi pada akhirnya tetap saja keluhannya tidak mendapat respon yang positif baik dari pihak pengusaha maupun pemerintah. Intinya masyarakat selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dalam hal ini. Jadi dimulai dari sikap tidak peduli masyarakat – menjadi keluhan massal yang selalu tidak mendapat tanggapan – pada akhirnya lahir sikap apatis terhadap situasi di sekelilingnya.
Sebenarnya hal ini sangat menyedihkan. Tetapi tinggalkan dulu soal itu. Sekarang apa tindakan yang harus diambil ?
Jangka pendek tentu saja jawaban yang pasti adalah pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas harus introspeksi diri agar menjalankan fungsinya sesuai yang seharusnya. (Tetapi bagaimana ya…..umumnya orang-orang yang duduk di bagian ini di negara kita adalah orang-orang yang berjiwa pedagang dan opportunist. Semua tindakan berdasarkan perhitungan ekonomis. Untuk kepentingan pribadi, atau paling banter untuk golongannya sendiri. Jadi sulit sekali mengharapkan perubahan, walaupun kita tidak boleh berputus harapan).
Tindakan jangka panjang, nah ini dia PR bagi kita semua seluruh elemen bangsa ini. Yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran bahwa kita semua di timur di barat, di desa di kota, di gunung, di lembah adalah satu. Saling terkait dan bergantung dalam satu siklus kehidupan. Bahkan saling terkait antar kehidupan sebelum ini—apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita—kehidupan kita sekarang, dan kehidupan yang akan datang—generasi anak cucu kita. Kalau semua orang memahami ini, sebenarnya konyol sekali kalau masih ada yang ngotot mencari keuntungan sesaat. Karena pada waktunya nanti kekonyolannya itu pasti akan melahirkan kesulitan bagi dirinya sendiri.
Tapi memang sekarang ini pepatah, “Siapa yang menabur dia yang menuai” itu sudah tidak dianggap lagi. Dianggap hanya ungkapan indah peninggalan orang dulu. Tidak banyak lagi yang berusaha memahami makna dan kebenarannya. Karena itu banyak sekali ditemui orang-orang konyol sekarang ini yang menganggap kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita itu adalah cobaan, ujian dari Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa kebanyakan orang sungguh tidak paham akan siklus kehidupan yang sedemikian alami.
Jadi bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kembali ke rencana jangka pendek, ya gedorin orang-orang pemerintah terutama para pengambil keputusan agar melek mata pada apa yang sedang terjadi dan segera sadar dan tegas untuk mengambil tindakan koreksi. Lalu gedorin juga pihak pemrakarsa agar tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, uang, uang, dan uang saja. (Mungkin bisa dengan cara di suruh retreat ke alam terbuka dengan program khusus mempelajari dan belajar mencintai alam gitchu kali ye…..pokoknya diwajibkan ….he..he..he…..;)
Bagaimana dengan masyarakat? Oh kalau masyarakat itu proyek (yang ini proyek minus uang) jangka panjang. Karena sebenarnya menyadarkan masyarakat lebih gampang karena masyarakat yang paling terkena dampak, yang paling menderita kalau ada kerusakan lingkungan. Masyarakat ada di piramida paling bawah, jadi paling mudah diarahkan. Tetapi bukan berarti mudah dalam pelaksanaan. Karena harus dimulai sejak dini. Dini sekali sejak masih anak-anak.
Anak-anak yang masih polos, tanpa prasangka, tanpa tendensi apapun pada siapapun yang dihadapinya, kepada mereka itulah kita harus menanamkan pemahaman yang benar tentang peran PENTING lingkungan sebagai tempat kita tinggal, tumbuh dan berkembang. Kapan kita bisa mengambil manfaat, kapan kita harus berhenti, bagaimana cara beradab memperlakukan alam. Jangan jadi manusia tak tahu diri.
Pada masa ini harus sudah diajarkan pemahaman yang benar tentang keterkaitan antara segala sesuatu di alam ini. Ada keterkaitan dan ketergantungan yang begitu jelas di mata, ada yang tidak jelas hingga sulit membayangkannya.
(Tetapi bagaimana ya….. sekarang anak-anak makin jauh dari alam. Turun dari rumah gedongan, masuk gedong sekolah. Lepas dari sekolah masuk gedong mall, atau ambil les ini itu belajar lagi di dalam gedong, mungkin di daerah gedongan juga. Nanti akhirnya pulang masuk rumahnya yang gedongan lagi untuk tidur. Sementara yang tidak punya rumah gedongan sudah disodori bayangan enaknya tinggal di rumah gedongan dari tontonan yang non stop 24 jam. Jadi cita-citanya pun ya jadi orang gedongan. Lupa menikmati sejengkal halaman yang banyak tanaman. Jadi bagaimana mau cinta alam, mau kenal alam, kalau sejak lahir, tumbuh besar kemana-mana hanya masuk dalam sangkar gedong lagi?)
Action, action, action
Begitulah keadaan kita sekarang ini. Kalau kita lihat contoh garis besar kejadiannya:
- Pertama bencana terjadi di Indonesia (misal kebakaran hutan).
- Kenapa terjadi bencana? Karena tindakan manusia mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, atau bahasa kerennya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan (ceritanya mau bikin perkebunan, pH tanah tidak cocok dengan tanaman yang akan ditanami, jadi bakar dulu lokasi untuk meningkatkan pH tanah tadi).
- Siapa yang terkena bencana? Seluruh masyarakat, bisa di sekitar lokasi bisa juga jauh dari lokasi. (Ingat, kebakaran hutan di Indonesia, yang keasapan dan menuai penyakit selain Indonesia sendiri juga negara tetangga. Tetapi biasanya si pemrakarsa --dalam contoh ini yang membakar hutan-- tidak terkena dampak secara langsung, karena mereka berduitlah..)
- Kapan bencana terjadi ? Ada yang bisa diprediksi karena selalu berulang setiap tahun tapi tidak kunjung disadari dan diatasi. Ada bencana baru akibat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ada yang memang baru sama sekali. (Mungkin yang baru ini bisa dicontohkan bencana Lumpur Lapindo lah….)
Jadi apakah kita sudah mendapat jawaban dari pertanyaan kita di atas? Rasanya sudahlah yau….. Tinggal actionnya sekarang.
Saya mengajak Anda yang membaca tulisan ini, memberi sedikit sumbangan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan sekarang ini. Tapi tenang saja, saya tidak minta uang.
Saya hanya minta kesediaan Anda, Anda, dan Anda untuk sedikit melakukan perubahan setiap hari. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, kalau ada tanah sejengkal di halaman tanamilah dengan pepohonan, kalau ada kesempatan melakukan usaha/bisnis jangan sampai merusak lingkungan, sedapatnya membuat rumah yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan iklim tropis kita ini jadi tidak perlu pake AC, tidak perlu listrik untuk penerangan nonstop 24 jam lagi.
Bagi yang kerja kantoran sebisanya memanfaatkan kertas bekas sebelum benar-benar dibuang, mengurangi pemakaian kertas tissue, menaruh beberapa tanaman yang dapat menghisap racun di udara seperti tanaman Chinesse Evergreen (sejenis Sri Rejeki) atau Dracaena (yang ini saya lupa nama lokalnya) untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.
Bagi ibu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian diapers, lebih menyukai hasil kebun lokal daripada impor (kebun lokal biasanya kalah mutu sama produk luar. Kelihatannya dari daunnya yang bolong-bolong, berulat, jelek, cepat busuk karena cara pengemasan yang kurang ok. Tetapi itu juga indikasi pemakaian pestisida yang minim, jadi sayuran lebih sehat, tanah kebunnya juga lebih sehat. Efek selanjutnya kalau permintaan untuk barang lokal tinggi maka pasar bisa bergeser mengangkat produk lokal menjadi primadona, lalu petani untung, lahan kita juga selamat. Jauh sih hubungannya, tapi tetap ada jika ditelusuri lebih jauh)
Begitulah kira-kira. Anda pasti bisa menambah panjang daftar itu.
The point is: it must be started from ourselves. Semua harus kita mulai dari diri kita sendiri. Percayalah, tindakan-tindakan kecil ini akan membawa perubahan besar pada waktunya. Yang diperlukan hanya kemauan.
Sekarang!
Aku juga menjadi tahu bahwa semua pengetahuan itu telah dicoba terapkan dengan menyusun peraturan, membuat strategi dan rencana yang baik sekali (sungguh kukatakan : BAIK SEKALI!) untuk mengatur pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa begitu banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Padahal sejak dulu sudah ada lembaga yang khusus menangani hal itu, di bawah kementerian lingkungan hidup.
Kita ingat bahwa untuk setiap pembangunan (baca: eksploitasi hasil alam, perumahan, pembukaan lahan, pembangunan industri) dalam skala yang mengakibatkan perubahan landscape itu harus memenuhi persyaratan AMDAL. Dengan adanya persyaratan AMDAL sebelum pembangunan dimulai itu masyarakat luas sebenarnya mempunyai suara untuk menyetujui atau menggugurkan suatu usulan pembangunan. Belum lagi kalau menyebut begitu banyak lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang berperan sebagai kontrol dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Tanggung Jawab Bersama
Mungkin jawabannya harus kita runut dengan seksama, satu persatu, step by step, case by case. Siapa yang bertanggung jawab : semua elemen, baik pemerintah (sebagai pengatur & pengelola) industri (pihak pemrakarsa, pembangun) dan masyarakat (sebagai konsumen dan yang terkena dampak lingkungan). Apakah semua elemen ini sudah menjalankan fungsinya? Jawabannya : TIDAK.
Pemerintah sering (atau malah selalu?) kongkalikong dengan pemrakarsa (baca : pengusaha) sehingga bisa jadi kita mendengar AMDAL yang disusulkan belakangan setelah pembangunan selesai, atau data AMDAL yang telah dimanipulasi. Karena hampir dapat dipastikan, sulit sekali bagi pengusaha untuk kucing-kucingan melanggar peraturan kalau tidak main mata dengan pemerintah sebagai pengawas pemanfaatan lingkungan.
Bagaimana dengan masyarakat ? Biasanya masyarakat itu tidak peduli selama dia belum merasa terganggu dengan suatu kegiatan pembangunan. Ada juga beberapa yang ribut, tapi hampir selalu tidak mendapat perhatian. Lebih banyak lagi yang protes setelah terjadi kerusakan parah dan membahayakan. Tapi pada akhirnya tetap saja keluhannya tidak mendapat respon yang positif baik dari pihak pengusaha maupun pemerintah. Intinya masyarakat selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dalam hal ini. Jadi dimulai dari sikap tidak peduli masyarakat – menjadi keluhan massal yang selalu tidak mendapat tanggapan – pada akhirnya lahir sikap apatis terhadap situasi di sekelilingnya.
Sebenarnya hal ini sangat menyedihkan. Tetapi tinggalkan dulu soal itu. Sekarang apa tindakan yang harus diambil ?
Jangka pendek tentu saja jawaban yang pasti adalah pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas harus introspeksi diri agar menjalankan fungsinya sesuai yang seharusnya. (Tetapi bagaimana ya…..umumnya orang-orang yang duduk di bagian ini di negara kita adalah orang-orang yang berjiwa pedagang dan opportunist. Semua tindakan berdasarkan perhitungan ekonomis. Untuk kepentingan pribadi, atau paling banter untuk golongannya sendiri. Jadi sulit sekali mengharapkan perubahan, walaupun kita tidak boleh berputus harapan).
Tindakan jangka panjang, nah ini dia PR bagi kita semua seluruh elemen bangsa ini. Yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran bahwa kita semua di timur di barat, di desa di kota, di gunung, di lembah adalah satu. Saling terkait dan bergantung dalam satu siklus kehidupan. Bahkan saling terkait antar kehidupan sebelum ini—apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita—kehidupan kita sekarang, dan kehidupan yang akan datang—generasi anak cucu kita. Kalau semua orang memahami ini, sebenarnya konyol sekali kalau masih ada yang ngotot mencari keuntungan sesaat. Karena pada waktunya nanti kekonyolannya itu pasti akan melahirkan kesulitan bagi dirinya sendiri.
Tapi memang sekarang ini pepatah, “Siapa yang menabur dia yang menuai” itu sudah tidak dianggap lagi. Dianggap hanya ungkapan indah peninggalan orang dulu. Tidak banyak lagi yang berusaha memahami makna dan kebenarannya. Karena itu banyak sekali ditemui orang-orang konyol sekarang ini yang menganggap kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita itu adalah cobaan, ujian dari Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa kebanyakan orang sungguh tidak paham akan siklus kehidupan yang sedemikian alami.
Jadi bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kembali ke rencana jangka pendek, ya gedorin orang-orang pemerintah terutama para pengambil keputusan agar melek mata pada apa yang sedang terjadi dan segera sadar dan tegas untuk mengambil tindakan koreksi. Lalu gedorin juga pihak pemrakarsa agar tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, uang, uang, dan uang saja. (Mungkin bisa dengan cara di suruh retreat ke alam terbuka dengan program khusus mempelajari dan belajar mencintai alam gitchu kali ye…..pokoknya diwajibkan ….he..he..he…..;)
Bagaimana dengan masyarakat? Oh kalau masyarakat itu proyek (yang ini proyek minus uang) jangka panjang. Karena sebenarnya menyadarkan masyarakat lebih gampang karena masyarakat yang paling terkena dampak, yang paling menderita kalau ada kerusakan lingkungan. Masyarakat ada di piramida paling bawah, jadi paling mudah diarahkan. Tetapi bukan berarti mudah dalam pelaksanaan. Karena harus dimulai sejak dini. Dini sekali sejak masih anak-anak.
Anak-anak yang masih polos, tanpa prasangka, tanpa tendensi apapun pada siapapun yang dihadapinya, kepada mereka itulah kita harus menanamkan pemahaman yang benar tentang peran PENTING lingkungan sebagai tempat kita tinggal, tumbuh dan berkembang. Kapan kita bisa mengambil manfaat, kapan kita harus berhenti, bagaimana cara beradab memperlakukan alam. Jangan jadi manusia tak tahu diri.
Pada masa ini harus sudah diajarkan pemahaman yang benar tentang keterkaitan antara segala sesuatu di alam ini. Ada keterkaitan dan ketergantungan yang begitu jelas di mata, ada yang tidak jelas hingga sulit membayangkannya.
(Tetapi bagaimana ya….. sekarang anak-anak makin jauh dari alam. Turun dari rumah gedongan, masuk gedong sekolah. Lepas dari sekolah masuk gedong mall, atau ambil les ini itu belajar lagi di dalam gedong, mungkin di daerah gedongan juga. Nanti akhirnya pulang masuk rumahnya yang gedongan lagi untuk tidur. Sementara yang tidak punya rumah gedongan sudah disodori bayangan enaknya tinggal di rumah gedongan dari tontonan yang non stop 24 jam. Jadi cita-citanya pun ya jadi orang gedongan. Lupa menikmati sejengkal halaman yang banyak tanaman. Jadi bagaimana mau cinta alam, mau kenal alam, kalau sejak lahir, tumbuh besar kemana-mana hanya masuk dalam sangkar gedong lagi?)
Action, action, action
Begitulah keadaan kita sekarang ini. Kalau kita lihat contoh garis besar kejadiannya:
- Pertama bencana terjadi di Indonesia (misal kebakaran hutan).
- Kenapa terjadi bencana? Karena tindakan manusia mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, atau bahasa kerennya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan (ceritanya mau bikin perkebunan, pH tanah tidak cocok dengan tanaman yang akan ditanami, jadi bakar dulu lokasi untuk meningkatkan pH tanah tadi).
- Siapa yang terkena bencana? Seluruh masyarakat, bisa di sekitar lokasi bisa juga jauh dari lokasi. (Ingat, kebakaran hutan di Indonesia, yang keasapan dan menuai penyakit selain Indonesia sendiri juga negara tetangga. Tetapi biasanya si pemrakarsa --dalam contoh ini yang membakar hutan-- tidak terkena dampak secara langsung, karena mereka berduitlah..)
- Kapan bencana terjadi ? Ada yang bisa diprediksi karena selalu berulang setiap tahun tapi tidak kunjung disadari dan diatasi. Ada bencana baru akibat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ada yang memang baru sama sekali. (Mungkin yang baru ini bisa dicontohkan bencana Lumpur Lapindo lah….)
Jadi apakah kita sudah mendapat jawaban dari pertanyaan kita di atas? Rasanya sudahlah yau….. Tinggal actionnya sekarang.
Saya mengajak Anda yang membaca tulisan ini, memberi sedikit sumbangan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan sekarang ini. Tapi tenang saja, saya tidak minta uang.
Saya hanya minta kesediaan Anda, Anda, dan Anda untuk sedikit melakukan perubahan setiap hari. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, kalau ada tanah sejengkal di halaman tanamilah dengan pepohonan, kalau ada kesempatan melakukan usaha/bisnis jangan sampai merusak lingkungan, sedapatnya membuat rumah yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan iklim tropis kita ini jadi tidak perlu pake AC, tidak perlu listrik untuk penerangan nonstop 24 jam lagi.
Bagi yang kerja kantoran sebisanya memanfaatkan kertas bekas sebelum benar-benar dibuang, mengurangi pemakaian kertas tissue, menaruh beberapa tanaman yang dapat menghisap racun di udara seperti tanaman Chinesse Evergreen (sejenis Sri Rejeki) atau Dracaena (yang ini saya lupa nama lokalnya) untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.
Bagi ibu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian diapers, lebih menyukai hasil kebun lokal daripada impor (kebun lokal biasanya kalah mutu sama produk luar. Kelihatannya dari daunnya yang bolong-bolong, berulat, jelek, cepat busuk karena cara pengemasan yang kurang ok. Tetapi itu juga indikasi pemakaian pestisida yang minim, jadi sayuran lebih sehat, tanah kebunnya juga lebih sehat. Efek selanjutnya kalau permintaan untuk barang lokal tinggi maka pasar bisa bergeser mengangkat produk lokal menjadi primadona, lalu petani untung, lahan kita juga selamat. Jauh sih hubungannya, tapi tetap ada jika ditelusuri lebih jauh)
Begitulah kira-kira. Anda pasti bisa menambah panjang daftar itu.
The point is: it must be started from ourselves. Semua harus kita mulai dari diri kita sendiri. Percayalah, tindakan-tindakan kecil ini akan membawa perubahan besar pada waktunya. Yang diperlukan hanya kemauan.
Sekarang!
Friday, November 17, 2006
Dicari .......Penghargaan (yang Hilang)
Beberapa hari terakhir ini aku belusukan di dunia maya mencari bermacam-macam informasi tentang kepenulisan. Sebenarnya aku mencari contoh cover letter. Tapi entah aku yang mencarinya ditempat yang tidak tepat, aku tidak menemukannya.
Aku malah masuk ke dalam bermacam-macam milis penulis. Macam-macam namanya. Aku tidak ingat. Kalau mau cari langsung aja surfing pake kata kunci menulis, atau penulis, atau apa saja yang berkaitan dengan tulis menulis.
Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak menemukan contoh cover letter yang kuinginkan. Tetapi aku banyak mendapat informasi tentang penulisan, penerbitan, cara mengirim naskah, cara penulisan, semua hal yang bersangkutan dengan menulis, mengirim ke media atau menerbitkan buku. Beberapa malah mendapat masukan langsung dari editor suatu penerbitan, atau mendapat nasehat dari penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan.
Tapi dari sekian banyak informasi yang kudapat itu, aku mendapat kesan sedikit sekali yang mengajarkan tentang MENGHARGAI DIRI SENDIRI yang pada gilirannya berarti kita akan menghargai orang lain. Kesan yang kutangkap dari tanya jawab di milis-milis itu penerbit/editor maunya dihargai. Walaupun sebenarnya mereka tidak salah. (Tentu saja setiap orang inginnya dihargai dan sudah seharusnya kita menghargai orang lain. Tetapi kalau kita tidak pernah diajar untuk menghargai diri sendiri bagaimana kita bisa menghargai orang lain).
Jelasnya begini, dan ini tidak hanya terjadi dalam dunia penulisan saja, tetapi dalam bidang yang lain juga. Orang kita umumnya kalau sudah hebat sulit menghargai orang lain. Umumnya, orang kalau sudah hebat terus sikapnya mentang-mentang. Mau ini itu. Cerewet dan pemilih. Tetapi sering kali dengan sikapnya itu lantas dia tidak dapat lagi menghargai orang lain. Maunya dia saja yang dihargai. Kalau sama orang mikirnya “who do you think you are?”.
Tentu saja setiap orang bebas bersikap seperti yang dia inginkan. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Too high expectation. Hanya saja menurutku, seharusnya justru dalam forum seperti milis-milis seperti itu kita bisa menularkan sikap saling menghargai tadi.
Sederhananya seperti ini. Ada orang yang memang punya bakat. Dia hebat. Kita menghargainya karena kehebatannya. Tetapi ada orang yang tidak punya bakat. Dia berusaha hebat. Kita menghargainya. Ada lagi orang yang payah. Pokoknya nggak ada bagus-bagusnya deh. Hasil karyanya juga payah. Seharusnya kita tetap menghargainya. Menghargai usahanya, mencari yang terbaik dari yang buruk. Bukan bersikap, wah ini buruk, lewatkan saja.
Sebenarnya saat aku belusukan itu, aku menangkap pesannya. Ya pesannya sama. Bahwa seharusnya kita menghargai orang lain dengan berperilaku yang pantas sehingga orang juga akan menghargai kita. Tetapi banyak sekali kiranya orang kita yang tidak tahu cara berperilaku yang pantas penuh sopan santun, atau ada yang merasa terlalu hebat sehingga dia merasa tidak perlu lagi menghargai orang lain dengan sikap yang santun.
Tetapi justru --dalam hal ini karena berbicara tentang kepenulisan--, orang-orang yang berada dalam posisi menentukan bisa mendidik bagaimana bersikap yang santun dalam berperilaku dalam dunia kepenulisan ini.
Sayangnya dari hasil belusukanku kemarin, kelihatannya tidak begitu. Para penentu juga mengambil sikap yang sama dengan orang yang tidak santun dengan sama-sama bersikap tidak santun. Kalau begini kapan ada yang bersikap santun?
Lalu mereka memberitahu, kalau mau diperhatikan begini lho seharusnya bersikap sama orang. Seandainya orang yang tidak santun membaca, kemudian tahu, kemudian karena merasa perlu, dia mengikuti pemberitahuan itu untuk bersikap santun, mereka akan melakukannya selama mereka perlu saja. Begitu mereka punya ‘gigi’ ya balik lagi ke sikap asal, tidak santun. Hanya sekarang posisi mereka berubah. Mereka orang hebat sekarang, jadi berhak dong mendapat penghargaan lebih….. Lalu maunya orang lain saja yang bersantun-santun dengannya. Lalu kapan masyarakat kita sadar untuk bersikap santun. Padahal mereka yang bergerak dalam bidang media punya akses yang kuat untuk mempengaruhi orang lain dan menyebar pesan yang baik. (Menyebar pesan yang buruk juga bisa, so watch out!)
Yah ini cuma rasan-rasan. Aku heran. Kok ketika aku belusukan ke milis atau web nya orang luar bahasa yang mereka gunakan sangat menyenangkan. Mereka menghargai semua pelaku proses kreatif, baik yang hebat maupun yang sangat tidak hebat. Everyone is appreciated.
Yah, tapi bisa jadi rasan-rasan ini lahir dari kondisiku yang biasa-biasa saja dalam dunia kepenulisan ini. Bukan orang hebat. Jadinya gerundelan di belakang. Ha…ha…ha……
Samarinda, 17 November 2006
Aku malah masuk ke dalam bermacam-macam milis penulis. Macam-macam namanya. Aku tidak ingat. Kalau mau cari langsung aja surfing pake kata kunci menulis, atau penulis, atau apa saja yang berkaitan dengan tulis menulis.
Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak menemukan contoh cover letter yang kuinginkan. Tetapi aku banyak mendapat informasi tentang penulisan, penerbitan, cara mengirim naskah, cara penulisan, semua hal yang bersangkutan dengan menulis, mengirim ke media atau menerbitkan buku. Beberapa malah mendapat masukan langsung dari editor suatu penerbitan, atau mendapat nasehat dari penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan.
Tapi dari sekian banyak informasi yang kudapat itu, aku mendapat kesan sedikit sekali yang mengajarkan tentang MENGHARGAI DIRI SENDIRI yang pada gilirannya berarti kita akan menghargai orang lain. Kesan yang kutangkap dari tanya jawab di milis-milis itu penerbit/editor maunya dihargai. Walaupun sebenarnya mereka tidak salah. (Tentu saja setiap orang inginnya dihargai dan sudah seharusnya kita menghargai orang lain. Tetapi kalau kita tidak pernah diajar untuk menghargai diri sendiri bagaimana kita bisa menghargai orang lain).
Jelasnya begini, dan ini tidak hanya terjadi dalam dunia penulisan saja, tetapi dalam bidang yang lain juga. Orang kita umumnya kalau sudah hebat sulit menghargai orang lain. Umumnya, orang kalau sudah hebat terus sikapnya mentang-mentang. Mau ini itu. Cerewet dan pemilih. Tetapi sering kali dengan sikapnya itu lantas dia tidak dapat lagi menghargai orang lain. Maunya dia saja yang dihargai. Kalau sama orang mikirnya “who do you think you are?”.
Tentu saja setiap orang bebas bersikap seperti yang dia inginkan. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Too high expectation. Hanya saja menurutku, seharusnya justru dalam forum seperti milis-milis seperti itu kita bisa menularkan sikap saling menghargai tadi.
Sederhananya seperti ini. Ada orang yang memang punya bakat. Dia hebat. Kita menghargainya karena kehebatannya. Tetapi ada orang yang tidak punya bakat. Dia berusaha hebat. Kita menghargainya. Ada lagi orang yang payah. Pokoknya nggak ada bagus-bagusnya deh. Hasil karyanya juga payah. Seharusnya kita tetap menghargainya. Menghargai usahanya, mencari yang terbaik dari yang buruk. Bukan bersikap, wah ini buruk, lewatkan saja.
Sebenarnya saat aku belusukan itu, aku menangkap pesannya. Ya pesannya sama. Bahwa seharusnya kita menghargai orang lain dengan berperilaku yang pantas sehingga orang juga akan menghargai kita. Tetapi banyak sekali kiranya orang kita yang tidak tahu cara berperilaku yang pantas penuh sopan santun, atau ada yang merasa terlalu hebat sehingga dia merasa tidak perlu lagi menghargai orang lain dengan sikap yang santun.
Tetapi justru --dalam hal ini karena berbicara tentang kepenulisan--, orang-orang yang berada dalam posisi menentukan bisa mendidik bagaimana bersikap yang santun dalam berperilaku dalam dunia kepenulisan ini.
Sayangnya dari hasil belusukanku kemarin, kelihatannya tidak begitu. Para penentu juga mengambil sikap yang sama dengan orang yang tidak santun dengan sama-sama bersikap tidak santun. Kalau begini kapan ada yang bersikap santun?
Lalu mereka memberitahu, kalau mau diperhatikan begini lho seharusnya bersikap sama orang. Seandainya orang yang tidak santun membaca, kemudian tahu, kemudian karena merasa perlu, dia mengikuti pemberitahuan itu untuk bersikap santun, mereka akan melakukannya selama mereka perlu saja. Begitu mereka punya ‘gigi’ ya balik lagi ke sikap asal, tidak santun. Hanya sekarang posisi mereka berubah. Mereka orang hebat sekarang, jadi berhak dong mendapat penghargaan lebih….. Lalu maunya orang lain saja yang bersantun-santun dengannya. Lalu kapan masyarakat kita sadar untuk bersikap santun. Padahal mereka yang bergerak dalam bidang media punya akses yang kuat untuk mempengaruhi orang lain dan menyebar pesan yang baik. (Menyebar pesan yang buruk juga bisa, so watch out!)
Yah ini cuma rasan-rasan. Aku heran. Kok ketika aku belusukan ke milis atau web nya orang luar bahasa yang mereka gunakan sangat menyenangkan. Mereka menghargai semua pelaku proses kreatif, baik yang hebat maupun yang sangat tidak hebat. Everyone is appreciated.
Yah, tapi bisa jadi rasan-rasan ini lahir dari kondisiku yang biasa-biasa saja dalam dunia kepenulisan ini. Bukan orang hebat. Jadinya gerundelan di belakang. Ha…ha…ha……
Samarinda, 17 November 2006
How to ...........
Aku ini senang ngoceh, berpikir, bertanya tiada henti. Kadang-kadang begitu derasnya pikiran yang mengalir sampai tidak tertampung lagi dan aku tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Terhalang oleh kewajibanku untuk bekerja juga tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. I have to make my living. Jadi sampai sejauh ini bagiku menulis masih untuk bersenang-senang.
Karena itu juga tulisanku tidak fokus. Tergantung apa yang sedang menarik perhatian dan minatku. Atau aku sedang terganggu dengan hal apa. Jadinya kadang aku menulis tentang lingkungan, kadang tentang agama, kadang tentang politik, kadang tentang budaya. Apa saja yang terlintas di pikiranku. Aku menulis cerpen, cerita anak dan puisi. Aku melukis. Dan kegiatan itu semua menggunakan energi yang sama. Energi kreatif.
Aku menemui saat aku sedang ingin melukis dan dapat menghasilkan lukisan yang tidak memalukan untuk dipajang, aku stop menulis. Atau aku masih menulis, tapi menulis rubbish. Lain waktu aku lagi heboh bikin cerita anak, energiku terpusat di situ maka aku tidak bisa menghasilkan lukisan yang bagus--menurutku. Begitu juga dalam hal topik yang ditulis. Lagi menulis cerpen, yang lain ya stop. Aku tidak bisa berpikir kreatif secara simultan untuk beberapa hal yang berbeda. Lagipula, siapa juga yang bisa?
(Tapi ini di luar hal-hal rutin yang harus kukerjakan lho ya… seperti tugas rumah tangga, tugas kantor minus decision making. Hal rutin tidak memerlukan kreatifitas lagi, jadi bisa berjalan simultan dengan proses kreatif).
Pemahaman yang kudapat dari hal ini adalah kita tidak boleh serakah ingin mengerjakan semua dalam satu waktu. Everything has its own time and space. Jadi kerjakan satu per satu, langkah demi langkah, agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kita serakah ingin meraih semuanya, kita malah kehilangan semuanya.
Sejauh ini ternyata kelihatannya isi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan judulnya. Ini hal buruk lain yang sering kulakukan (Kalau ini bisa dibilang buruk. Karena sebenarnya nggak buruk-buruk amat, ndak cocok sama isi kan tinggal ganti judul).
Aku jarang membuat frame tulisan. Jadi begini deh melenceng dari jalur semula, meskipun hal yang kutulis diatas memang benar aku alami juga. Dan karena kurasa tidak ada yang keberatan dengan judul yang tidak cocok di atas. So……
Bye bye………(for now)
Samarinda, 17 November 2006
Karena itu juga tulisanku tidak fokus. Tergantung apa yang sedang menarik perhatian dan minatku. Atau aku sedang terganggu dengan hal apa. Jadinya kadang aku menulis tentang lingkungan, kadang tentang agama, kadang tentang politik, kadang tentang budaya. Apa saja yang terlintas di pikiranku. Aku menulis cerpen, cerita anak dan puisi. Aku melukis. Dan kegiatan itu semua menggunakan energi yang sama. Energi kreatif.
Aku menemui saat aku sedang ingin melukis dan dapat menghasilkan lukisan yang tidak memalukan untuk dipajang, aku stop menulis. Atau aku masih menulis, tapi menulis rubbish. Lain waktu aku lagi heboh bikin cerita anak, energiku terpusat di situ maka aku tidak bisa menghasilkan lukisan yang bagus--menurutku. Begitu juga dalam hal topik yang ditulis. Lagi menulis cerpen, yang lain ya stop. Aku tidak bisa berpikir kreatif secara simultan untuk beberapa hal yang berbeda. Lagipula, siapa juga yang bisa?
(Tapi ini di luar hal-hal rutin yang harus kukerjakan lho ya… seperti tugas rumah tangga, tugas kantor minus decision making. Hal rutin tidak memerlukan kreatifitas lagi, jadi bisa berjalan simultan dengan proses kreatif).
Pemahaman yang kudapat dari hal ini adalah kita tidak boleh serakah ingin mengerjakan semua dalam satu waktu. Everything has its own time and space. Jadi kerjakan satu per satu, langkah demi langkah, agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kita serakah ingin meraih semuanya, kita malah kehilangan semuanya.
Sejauh ini ternyata kelihatannya isi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan judulnya. Ini hal buruk lain yang sering kulakukan (Kalau ini bisa dibilang buruk. Karena sebenarnya nggak buruk-buruk amat, ndak cocok sama isi kan tinggal ganti judul).
Aku jarang membuat frame tulisan. Jadi begini deh melenceng dari jalur semula, meskipun hal yang kutulis diatas memang benar aku alami juga. Dan karena kurasa tidak ada yang keberatan dengan judul yang tidak cocok di atas. So……
Bye bye………(for now)
Samarinda, 17 November 2006
Telanjang = Birahi ??
Hari Kamis yang lalu aku mengambil cuti sehari khusus untuk melakukan hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain akan dilakukan olehku. Aku mewujudkan keinginanku untuk DIFOTO seperti seorang model.
Aku merasa diberkahi memperoleh suami yang bisa memahami keinginanku yang tidak biasa, mau membantu, memfasilitasi dengan ide-idenya yang luar biasa. Jadilah hari itu seharian aku dijepret sana sini sampai 400 kali. Just like the model!
Aku berdandan. Mengenakan bermacam-macam pakaian yang sulit aku kenakan di hari-hari biasa karena bisa-bisa mata orang melotot padaku karena dianggap tidak sopan. Memakai wig yang sudah kusimpan hampir setahun. Mencoba bermacam-macam gaya. Dari gaya bengong bego sampai gaya penari India. Dari gaya robot sampai postur yoga. Aku mencoba semuanya. And that was really fun!
Suamiku mengatur dekorasi, background, pencahayaan (yang masih sangat amatiran), memotret (terima kasih Tuhan kini sudah ada kamera digital, sangat membantu), mengarahkan gaya agar terlihat ciamik di kamera, termasuk menyiapkan konsumsi karena aku tidak masak seharian.
Anakku yang besar memilih main ke tempat temannya. Anakku yang kecil kutitipkan ke tempat penitipan biasa. Jadilah aku menikmati seharian itu menjadi seorang model tanpa gangguan, bergaya seperti model dan merasakan lelah dan sulitnya melakukan pemotretan semacam itu. Perlu energi, stamina yang oke, konsentrasi dan kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dari pengalaman ini juga aku menjadi lebih menghargai profesi seorang model dan fotografer. (Sssttt……..suamiku juga kelelahan, sampai 3 hari kemudian baru dia merasa fit lagi)
Tetapi hal yang paling asyik dari semua itu adalah aku sempat berpose persis seperti pose Sophia Latjuba di majalah Popular yang bikin heboh pada waktu itu (sudah berapa tahun yang lalu ya kejadiannya?). Foto bugil tapi tidak terlihat bugil (semoga tidak ada yang protes, karena aku difoto oleh suami sendiri, hasil fotonya untuk dinikmati sendiri, ini bukan untuk konsumsi umum!) – yang indah!
Setelah sesi pemotretan yang melelahkan itu tibalah saatnya aku dan suamiku memilih, menyortir hasil pemotretan hingga terkumpul sekitar 100-an foto yang cukup oke untuk fotografer dan model amatiran seperti kami. Termasuk foto ala Sophia Latjuba yang kusimpan rapi tersendiri dengan hati-hati (Tapi bangga bo! Aku bisa terlihat indah di usia yang sudah segini!)
Dari situlah diskusi ini bermula. Aku bertanya mengapa banyak orang (baca: laki-laki) yang tidak tahan memandang foto-foto semacam ini, sehingga bertebaranlah majalah atau koran atau media yang jualannya yah sekitar begituan lah. (Hukum ekonomi : ada permintaan –demand-- maka ada penawaran --supply. Kalau sekarang terlihat supply-nya lebih banyak, heboh, gegap gempita, itu karena mereka yang memberi supply tahu bahwa banyak sekali potential demand yang belum tergarap di luar sana! –termasuk orang-orang golongan PIKTOR LACI –PIKiran koTOR berLAgak suCI--)
Kesimpulannya hanyalah bahwa semua karena hal-hal yang indah ini telah disalahpahami. Bahwa ketelanjangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang alami. Bahwa keadaan alami manusia di masa sekarang ini selalu dikatakan sebagai hal yang mengundang malu atau birahi. Dan yang paling ngawur, adalah saat birahi kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menimbulkan dosa. Padahal misalnya, apabila dalam sebuah rumah tangga birahi tidak ada, hancurlah rumah tangga itu, dan bingunglah pasangan suami istri itu mencari solusi kemana-mana.
Jadi pada akhirnya semua hanya karena kesalahan proses berpikir, yang kebanyakan bermula dari doktrin agama yang dipahami keliru. Seperti misalnya; berpakaianlah yang sopan dan pantas, tapi kemudian dipahami sebagai --kalau bahunya terbuka itu artinya menggoda iman. Atau kalau memakai pakaian ketat artinya mengundang ke ranjang. Nah lo!
Seandainya orang melihat perempuan pakai kebaya cukup dinikmati saja, --oh indahnya. Atau lihat orang pakai bikini, maklum saja. Tidak marah-marah pada yang pakai bikini (karena biasanya yang marah-marah itu tidak mampu pakai bikini karena malu--gemuk, cacat dllsb). Yang laki-laki juga tidak perlu melotot lihat perempuan berbikini, saingi saja dengan memakai celana speedo. Selesai perkara!
Jadi apakah ketelanjangan mengundang birahi? Jawabannya relatif bagi setiap orang. Tapi tidak seharusnya seseorang menghakimi yang lain atau sekelompok orang memaksakan nilainya tentang hal itu pada yang lain.
Aku sendiri menikmati ketelanjanganku. Dan menerima keadaan diriku ini sepenuhnya. Begitu juga orang-orang yang mencintaiku.
Samarinda, 17 November 2006
Aku merasa diberkahi memperoleh suami yang bisa memahami keinginanku yang tidak biasa, mau membantu, memfasilitasi dengan ide-idenya yang luar biasa. Jadilah hari itu seharian aku dijepret sana sini sampai 400 kali. Just like the model!
Aku berdandan. Mengenakan bermacam-macam pakaian yang sulit aku kenakan di hari-hari biasa karena bisa-bisa mata orang melotot padaku karena dianggap tidak sopan. Memakai wig yang sudah kusimpan hampir setahun. Mencoba bermacam-macam gaya. Dari gaya bengong bego sampai gaya penari India. Dari gaya robot sampai postur yoga. Aku mencoba semuanya. And that was really fun!
Suamiku mengatur dekorasi, background, pencahayaan (yang masih sangat amatiran), memotret (terima kasih Tuhan kini sudah ada kamera digital, sangat membantu), mengarahkan gaya agar terlihat ciamik di kamera, termasuk menyiapkan konsumsi karena aku tidak masak seharian.
Anakku yang besar memilih main ke tempat temannya. Anakku yang kecil kutitipkan ke tempat penitipan biasa. Jadilah aku menikmati seharian itu menjadi seorang model tanpa gangguan, bergaya seperti model dan merasakan lelah dan sulitnya melakukan pemotretan semacam itu. Perlu energi, stamina yang oke, konsentrasi dan kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dari pengalaman ini juga aku menjadi lebih menghargai profesi seorang model dan fotografer. (Sssttt……..suamiku juga kelelahan, sampai 3 hari kemudian baru dia merasa fit lagi)
Tetapi hal yang paling asyik dari semua itu adalah aku sempat berpose persis seperti pose Sophia Latjuba di majalah Popular yang bikin heboh pada waktu itu (sudah berapa tahun yang lalu ya kejadiannya?). Foto bugil tapi tidak terlihat bugil (semoga tidak ada yang protes, karena aku difoto oleh suami sendiri, hasil fotonya untuk dinikmati sendiri, ini bukan untuk konsumsi umum!) – yang indah!
Setelah sesi pemotretan yang melelahkan itu tibalah saatnya aku dan suamiku memilih, menyortir hasil pemotretan hingga terkumpul sekitar 100-an foto yang cukup oke untuk fotografer dan model amatiran seperti kami. Termasuk foto ala Sophia Latjuba yang kusimpan rapi tersendiri dengan hati-hati (Tapi bangga bo! Aku bisa terlihat indah di usia yang sudah segini!)
Dari situlah diskusi ini bermula. Aku bertanya mengapa banyak orang (baca: laki-laki) yang tidak tahan memandang foto-foto semacam ini, sehingga bertebaranlah majalah atau koran atau media yang jualannya yah sekitar begituan lah. (Hukum ekonomi : ada permintaan –demand-- maka ada penawaran --supply. Kalau sekarang terlihat supply-nya lebih banyak, heboh, gegap gempita, itu karena mereka yang memberi supply tahu bahwa banyak sekali potential demand yang belum tergarap di luar sana! –termasuk orang-orang golongan PIKTOR LACI –PIKiran koTOR berLAgak suCI--)
Kesimpulannya hanyalah bahwa semua karena hal-hal yang indah ini telah disalahpahami. Bahwa ketelanjangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang alami. Bahwa keadaan alami manusia di masa sekarang ini selalu dikatakan sebagai hal yang mengundang malu atau birahi. Dan yang paling ngawur, adalah saat birahi kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menimbulkan dosa. Padahal misalnya, apabila dalam sebuah rumah tangga birahi tidak ada, hancurlah rumah tangga itu, dan bingunglah pasangan suami istri itu mencari solusi kemana-mana.
Jadi pada akhirnya semua hanya karena kesalahan proses berpikir, yang kebanyakan bermula dari doktrin agama yang dipahami keliru. Seperti misalnya; berpakaianlah yang sopan dan pantas, tapi kemudian dipahami sebagai --kalau bahunya terbuka itu artinya menggoda iman. Atau kalau memakai pakaian ketat artinya mengundang ke ranjang. Nah lo!
Seandainya orang melihat perempuan pakai kebaya cukup dinikmati saja, --oh indahnya. Atau lihat orang pakai bikini, maklum saja. Tidak marah-marah pada yang pakai bikini (karena biasanya yang marah-marah itu tidak mampu pakai bikini karena malu--gemuk, cacat dllsb). Yang laki-laki juga tidak perlu melotot lihat perempuan berbikini, saingi saja dengan memakai celana speedo. Selesai perkara!
Jadi apakah ketelanjangan mengundang birahi? Jawabannya relatif bagi setiap orang. Tapi tidak seharusnya seseorang menghakimi yang lain atau sekelompok orang memaksakan nilainya tentang hal itu pada yang lain.
Aku sendiri menikmati ketelanjanganku. Dan menerima keadaan diriku ini sepenuhnya. Begitu juga orang-orang yang mencintaiku.
Samarinda, 17 November 2006
Saturday, October 28, 2006
Bencana dan Parpol
Samarinda kebakaran lagi!
Baru beberapa hari yang lalu suamiku bertemu dengan Manajer Operasional PMK Mulawarman yang bercerita bahwa setiap kali bulan Ramadhan atau Lebaran tiba, dia deg-deg-an menunggu ada kebakaran atau tidak. Dari pengalamannya, sekali terjadi kebakaran, kecil atau besar, biasanya akan terjadi kebakaran berikutnya. Kebakaran tidak pernah terjadi sekali. Begitu kesimpulannya.
Suamiku baru usai menceritakan kembali kepadaku tentang hal itu, dan malamnya listrik di rumah kami padam. Kebakaran!. Malam itu kebakarannya tidak besar. Beritanya tidak sampai masuk koran. Korbannya hanya tiga rumah. (Sebenarnya itu karena setelah rumah ketiga tidak ada rumah lagi. Jadi kebakaran tidak meluas karena api tidak bisa menjalar kemana-mana lagi).
Besok malamnya kembali listrik padam di rumah kami. Aku langsung melihat langit. Ah ya, kebakaran lagi. Yang sekali ini besar. Langit membara. Lokasi kejadian cukup jauh dari rumahku. Tapi kalau melihat warna langit yang memerah seperti itu, dapat terbayang luasnya kebakaran yang terjadi. Kebakaran terjadi di daerah muara (sungai). Dan ternyata,-- belakangan aku tahu-- ini adalah kebakaran yang ke-empat yang terjadi selama bulan Ramadhan ini.
Tetapi karena yang ke-empat ini adalah kebakaran yang paling besar, memakan korban paling banyak, dan lokasi kebakaran juga sampai di pinggir jalan raya, --seperti yang telah kuduga sebelumnya--, ramai-ramailah para parpol membuka dompet bencana dengan mengusung panji-panji partai masing-masing. Yang pertama bergerak cepat --seperti biasa-- adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Di hari kedua partai yang lain bermunculan satu persatu. Di hari ketiga PKS bahkan sudah bisa menyebut jumlah sumbangan yang terkumpul, angkanya dipampang besar-besar dipinggir jalan. Yang belakangan menimbulkan pertanyaan di benakku. Benarkah angka sumbangan yang diklaim sebesar itu (dalam ratus juta rupiah)? dan seandainya benar sumbangan yang terkumpul sebanyak itu (oh alangkah dermawannya secara umum masyarakat kita, tidak pelit membantu), sampaikah sumbangan itu ke tangan korban bencana ? atau hanya untuk gaya-gayaan saja?
Terus terang aku merasa malu dan prihatin melihat parpol-parpol itu. Setiap kali ada bencana (di Samarinda ini, entahlah di kota-kota lain) mereka memang langsung membuka pos untuk menampung sumbangan dan bantuan dari masyarakat untuk korban bencana. Sebenarnya semangatnya bagus dan mulia. Judulnya kan membantu sesama. Tetapi karena mengusung nama partai masing-masing besar-besar, niat mulia tadi malah jadi tanda tanya. Apa maksudnya?
Waktu kecil, aku diajar. Kalau membantu dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Artinya kalau mau membantu tidak usah pengumuman. Itu namanya riya’. Nah..nah.. artinya parpol-parpol ini sebenarnya kan pada riya’ berjamaah. Atau kalau tidak ya, bantuan mereka memang ada pamrihnya. Just say ……kampanye terselubung gitchu loh …..Ihik..ihik…..
Tapi rasanya masyarakat kita sekarang sudah tambah pintar, bisa membaca keadaan, tahu maksud pepatah ada udang di balik batu. Bahasa kasarnya, nih lho aku bantu, ingetin nih partaiku. Partaiku yang paling perhatian nih sama rakyat kecil…..(Aku sangsi kalau mereka benar bisa berkuasa mereka akan masih ingat sama rakyat kecil. Bukannya rakyat malah direpresi dengan agenda mereka sendiri?)
Entahlah….. aku bukan orang dermawan. Aku sangsi menyumbang. Lagi pula kalau aku mau menyumbang aku kan tidak perlu umumkan? Jaman sekarang aku benar-benar bingung kemana bisa menyalurkan bantuan tetapi aku tetap bisa yakin bantuanku akan sampai ke tangan yang membutuhkan bantuan sebenar-benarnya.
Tapi setiap orang punya pilihan.
Kurasa aku hanya ingin menyampaikan pada parpol-parpol itu. Cobalah malu sedikit sama rakyat. Anda mau cari suara, cari simpati. Membantu di sana sini. Tapi pamrihnya besar sekali. Jelas-jelas terbaca. Apa mau anda. Seandainya anda orang biasa-biasa. Adakah anda akan membantu juga?
(Tapi mungkin lebih baik mereka yah? Paling tidak mereka berkarya. Daripada saya, hanya bicara saja….;)
Samarinda, 20 Oktober 2006
Baru beberapa hari yang lalu suamiku bertemu dengan Manajer Operasional PMK Mulawarman yang bercerita bahwa setiap kali bulan Ramadhan atau Lebaran tiba, dia deg-deg-an menunggu ada kebakaran atau tidak. Dari pengalamannya, sekali terjadi kebakaran, kecil atau besar, biasanya akan terjadi kebakaran berikutnya. Kebakaran tidak pernah terjadi sekali. Begitu kesimpulannya.
Suamiku baru usai menceritakan kembali kepadaku tentang hal itu, dan malamnya listrik di rumah kami padam. Kebakaran!. Malam itu kebakarannya tidak besar. Beritanya tidak sampai masuk koran. Korbannya hanya tiga rumah. (Sebenarnya itu karena setelah rumah ketiga tidak ada rumah lagi. Jadi kebakaran tidak meluas karena api tidak bisa menjalar kemana-mana lagi).
Besok malamnya kembali listrik padam di rumah kami. Aku langsung melihat langit. Ah ya, kebakaran lagi. Yang sekali ini besar. Langit membara. Lokasi kejadian cukup jauh dari rumahku. Tapi kalau melihat warna langit yang memerah seperti itu, dapat terbayang luasnya kebakaran yang terjadi. Kebakaran terjadi di daerah muara (sungai). Dan ternyata,-- belakangan aku tahu-- ini adalah kebakaran yang ke-empat yang terjadi selama bulan Ramadhan ini.
Tetapi karena yang ke-empat ini adalah kebakaran yang paling besar, memakan korban paling banyak, dan lokasi kebakaran juga sampai di pinggir jalan raya, --seperti yang telah kuduga sebelumnya--, ramai-ramailah para parpol membuka dompet bencana dengan mengusung panji-panji partai masing-masing. Yang pertama bergerak cepat --seperti biasa-- adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Di hari kedua partai yang lain bermunculan satu persatu. Di hari ketiga PKS bahkan sudah bisa menyebut jumlah sumbangan yang terkumpul, angkanya dipampang besar-besar dipinggir jalan. Yang belakangan menimbulkan pertanyaan di benakku. Benarkah angka sumbangan yang diklaim sebesar itu (dalam ratus juta rupiah)? dan seandainya benar sumbangan yang terkumpul sebanyak itu (oh alangkah dermawannya secara umum masyarakat kita, tidak pelit membantu), sampaikah sumbangan itu ke tangan korban bencana ? atau hanya untuk gaya-gayaan saja?
Terus terang aku merasa malu dan prihatin melihat parpol-parpol itu. Setiap kali ada bencana (di Samarinda ini, entahlah di kota-kota lain) mereka memang langsung membuka pos untuk menampung sumbangan dan bantuan dari masyarakat untuk korban bencana. Sebenarnya semangatnya bagus dan mulia. Judulnya kan membantu sesama. Tetapi karena mengusung nama partai masing-masing besar-besar, niat mulia tadi malah jadi tanda tanya. Apa maksudnya?
Waktu kecil, aku diajar. Kalau membantu dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Artinya kalau mau membantu tidak usah pengumuman. Itu namanya riya’. Nah..nah.. artinya parpol-parpol ini sebenarnya kan pada riya’ berjamaah. Atau kalau tidak ya, bantuan mereka memang ada pamrihnya. Just say ……kampanye terselubung gitchu loh …..Ihik..ihik…..
Tapi rasanya masyarakat kita sekarang sudah tambah pintar, bisa membaca keadaan, tahu maksud pepatah ada udang di balik batu. Bahasa kasarnya, nih lho aku bantu, ingetin nih partaiku. Partaiku yang paling perhatian nih sama rakyat kecil…..(Aku sangsi kalau mereka benar bisa berkuasa mereka akan masih ingat sama rakyat kecil. Bukannya rakyat malah direpresi dengan agenda mereka sendiri?)
Entahlah….. aku bukan orang dermawan. Aku sangsi menyumbang. Lagi pula kalau aku mau menyumbang aku kan tidak perlu umumkan? Jaman sekarang aku benar-benar bingung kemana bisa menyalurkan bantuan tetapi aku tetap bisa yakin bantuanku akan sampai ke tangan yang membutuhkan bantuan sebenar-benarnya.
Tapi setiap orang punya pilihan.
Kurasa aku hanya ingin menyampaikan pada parpol-parpol itu. Cobalah malu sedikit sama rakyat. Anda mau cari suara, cari simpati. Membantu di sana sini. Tapi pamrihnya besar sekali. Jelas-jelas terbaca. Apa mau anda. Seandainya anda orang biasa-biasa. Adakah anda akan membantu juga?
(Tapi mungkin lebih baik mereka yah? Paling tidak mereka berkarya. Daripada saya, hanya bicara saja….;)
Samarinda, 20 Oktober 2006
Tuesday, October 17, 2006
Kearoganan Negara Tetangga - Kebodohan Kita
Bicara tentang negara tetangga Malaysia --negeri jiran--, akhir-akhir ini setidaknya ada dua berita yang menggangguku. Pertama tentang nelayan-nelayan Indonesia di perairan Belawan yang ditembak tentara Diraja Malaysia. Kedua tentang komentar Malaysia yang menilai lambannya pemerintah Indonesia menangani asap kebakaran (pembakaran?) hutan.
Hal yang pertama, tentang nelayan. Lagi-lagi titik pangkal persoalan adalah beda pengakuan teritorial laut kita. Indonesia menghitung wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sesuai Konvensi Hukum Laut 1982 sejauh 200 mil dari garis pantai. Ini adalah hak istimewa Indonesia sebagai negara kepulauan. Sedangkan Malaysia menghitung batas persinggungannya dengan Indonesia di selat Malaka berdasarkan kesepakatan Landas Kontinen 1970. Menurut Indonesia Landas Kontinen gugur karena ZEE tadi, tapi Malaysia bersikukuh bahwa garis ZEE dan Landas Kontinen adalah satu. Akibat debat perbedaan pengakuan jarak itu, mengakibatkan nyawa nelayan Indonesia hampir melayang.
Tetapi ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya nelayan Indonesia juga sering ditembaki oleh tentara Malaysia. Perahu mereka rusak, bolong-bolong. Adegan kejar-kejaran seperti di film-film juga berlangsung. Sebenarnya bagian inilah yang aneh. Seharusnya jika tentara Malaysia melihat ada pelanggaran batas wilayah seperti itu, peringatan saja sudah cukup. Setelah itu diselesaikan baik-baik. Tidak perlu ditembak mati-kan ? Prosedurnya mana, seperti apa? Kelihatannya tentara Malaysia tidak mengambil jalan itu.
Wahai pemerintah Indonesia, bagaimana ini? Mana jaminan keselamatan dari pemerintah bagi seluruh warga negara dalam bekerja? Kemana pemimpin-pemimpin kita ini? Apa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap sikap Malaysia yang seperti ini?
Kedua, tentang asap kebakaran hutan. Setiap tahun hal ini terjadi. Negara tetangga menyalahkan Indonesia karena dari tahun ke tahun tidak ada solusi untuk memecahkan masalah ini. Tetapi mereka juga tidak membantu. Dan saat terungkap beberapa kasus terjadinya bencana asap itu karena pembakaran hutan yang disebabkan oleh pengusaha-pengusaha Malaysia juga --entah pembukaan lahan dan usaha peningkatan pH tanah untuk penanaman perkebunan sawit ataupun hanya untuk mengambil kayunya begitu saja-- pemerintah Malaysia tutup mata. Pokoknya yang salah Indonesia.
Terus terang aku tidak sabar melihat reaksi pemerintahku sendiri. Indonesia ini sudah terkenal di negara tetangga yang serumpun Melayu sebagai negara yang penuh masalah, yang malas, dst, dst…… Cukuplah sudah itu. Tapi janganlah menjatuhkan harga diri sendiri dengan menerima begitu saja limpahan kesalahan dan umpatan kebodohan dari negara lain seperti itu. Aku melihat pemerintahku tidak memiliki rasa cinta tanah air yang kuat. Tanah dan air lho! Bukan hanya tanah. Bukan hanya pulau Jawa. Tapi seluruhnya, seluruhnya. Yang kecil-kecil, yang jauh di mata pun juga.
Tapi mau ngotot menang sendiri berbicara tentang hal ini rasanya lucu juga. Karena semua hal di atas bisa terjadi karena kesalahan Indonesia sendiri juga. Kalau pemerintah Indonesia tidak menunda-nunda penyelesaian masalah pengakuan batas teritorial laut, atau tidak mengabaikan perbedaan pengakuan ini begitu saja, seharusnya ada usaha-usaha yang terus dilakukan untuk membereskan masalah ini hingga bisa dicapai kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang batas laut masing-masing.
Kalau pemerintah mengatur tertib pengusaha-pengusaha mana yang boleh merambah hutan, ijinnya sejauh apa, apa saja yang boleh dilakukan, mungkin kejadian kebakaran hutan seperti yang masih berlangsung hingga hari ini tidak perlu terjadi setiap tahun. Di mataku kebakaran hutan seluas, selama dan serutin ini adalah karena pembakaran, bukan sebab alami.
Sekarang kalau rakyat kecil sepertiku marah pada sikap Malaysia, bagaimana dengan pemerintahku yang adem-adem saja. Langsung minta maaf pada negara tetangga atas gangguan ini sih boleh-boleh saja. Tapi jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Aku gemas sekali dengan pemerintahku sekarang ini.
Dulu kasus Ambalat, lalu rebutan Sipadan Ligitan. Indonesia kalah terus. Malaysia coba-coba lagi kan? Kalau diibaratkan, aku jadi Malaysia, melihat tetanggaku anak baik, barangnya diambil diem, rumahnya ditinggalin diem, makan minum tidur di rumahnya diem, ya kuambil aja rumahnya sekalian. Toh rumahnya ndak pernah diurusin, ndak pernah dijaga, penghuni rumah ndak bisa makan, diambil alih saja sekalian. Logikanya sih begitu. Tapi apa Indonesia mau dibegitukan?
Apakah lama-lama sedikit demi sedikit wilayah abu-abu Indonesia akan jatuh satu persatu ke tangan negara tetangga?
Oi pemerintah, apa kerjamu?
Sementara orang Malaysia --maksudku benar-benar masyarakatnya-- bisa berkomentar dengan tenang (jadi ‘ketok’ orang pinter, terpelajar gitu loh!), “Oh menang-menang Indonesia kalau sampai perang, tetapi untuk apa perang. Kami tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik kami. (Padahal justru masalahnya di situ, Malaysia ingin memiliki semua wilayah abu-abu Indonesia, karena Indonesia diam saja). Lagi pula ingatlah, berapa banyak orang Indonesia yang mencari makan di Malaysia”.(Duh pemerintahku, kalau orang sampai bilang begini bagaimana lagi menjawabnya? Siapa lagi yang harus disalahkan selain diri sendiri. Memberi makan rakyat sendiri saja tidak mampu, hingga harus mengais-ngais menjadi kuli dan babu di negeri orang?)
Tidak tahu lagi aku harus berkomentar apa dan berpikir mengapa, atau memberi solusi bagaimana. Aku cinta tanah airku. Satu hal itu yang pasti. Aku mewujudkan cintaku dengan apa yang aku mampu. Hanya saja, saat ini aku tidak mampu memberikan yang lain selain tumpahan kekesalan dan kesedihan hatiku. Saat ini hanya itu yang mampu kuberi. Saat ini, detik ini, kekesalan dan kesedihan itu tumpah dalam tulisan ini. Mungkin di lain waktu aku bisa melakukan hal lain. Atau jika sampai waktuku, I could make something big, very big, so I can make a diference. A big difference.
(But why wait big? Why not now, this moment?)
Tanah airku, aku mencintaimu!
Samarinda, 16 Oktober 2006
Hal yang pertama, tentang nelayan. Lagi-lagi titik pangkal persoalan adalah beda pengakuan teritorial laut kita. Indonesia menghitung wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sesuai Konvensi Hukum Laut 1982 sejauh 200 mil dari garis pantai. Ini adalah hak istimewa Indonesia sebagai negara kepulauan. Sedangkan Malaysia menghitung batas persinggungannya dengan Indonesia di selat Malaka berdasarkan kesepakatan Landas Kontinen 1970. Menurut Indonesia Landas Kontinen gugur karena ZEE tadi, tapi Malaysia bersikukuh bahwa garis ZEE dan Landas Kontinen adalah satu. Akibat debat perbedaan pengakuan jarak itu, mengakibatkan nyawa nelayan Indonesia hampir melayang.
Tetapi ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya nelayan Indonesia juga sering ditembaki oleh tentara Malaysia. Perahu mereka rusak, bolong-bolong. Adegan kejar-kejaran seperti di film-film juga berlangsung. Sebenarnya bagian inilah yang aneh. Seharusnya jika tentara Malaysia melihat ada pelanggaran batas wilayah seperti itu, peringatan saja sudah cukup. Setelah itu diselesaikan baik-baik. Tidak perlu ditembak mati-kan ? Prosedurnya mana, seperti apa? Kelihatannya tentara Malaysia tidak mengambil jalan itu.
Wahai pemerintah Indonesia, bagaimana ini? Mana jaminan keselamatan dari pemerintah bagi seluruh warga negara dalam bekerja? Kemana pemimpin-pemimpin kita ini? Apa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap sikap Malaysia yang seperti ini?
Kedua, tentang asap kebakaran hutan. Setiap tahun hal ini terjadi. Negara tetangga menyalahkan Indonesia karena dari tahun ke tahun tidak ada solusi untuk memecahkan masalah ini. Tetapi mereka juga tidak membantu. Dan saat terungkap beberapa kasus terjadinya bencana asap itu karena pembakaran hutan yang disebabkan oleh pengusaha-pengusaha Malaysia juga --entah pembukaan lahan dan usaha peningkatan pH tanah untuk penanaman perkebunan sawit ataupun hanya untuk mengambil kayunya begitu saja-- pemerintah Malaysia tutup mata. Pokoknya yang salah Indonesia.
Terus terang aku tidak sabar melihat reaksi pemerintahku sendiri. Indonesia ini sudah terkenal di negara tetangga yang serumpun Melayu sebagai negara yang penuh masalah, yang malas, dst, dst…… Cukuplah sudah itu. Tapi janganlah menjatuhkan harga diri sendiri dengan menerima begitu saja limpahan kesalahan dan umpatan kebodohan dari negara lain seperti itu. Aku melihat pemerintahku tidak memiliki rasa cinta tanah air yang kuat. Tanah dan air lho! Bukan hanya tanah. Bukan hanya pulau Jawa. Tapi seluruhnya, seluruhnya. Yang kecil-kecil, yang jauh di mata pun juga.
Tapi mau ngotot menang sendiri berbicara tentang hal ini rasanya lucu juga. Karena semua hal di atas bisa terjadi karena kesalahan Indonesia sendiri juga. Kalau pemerintah Indonesia tidak menunda-nunda penyelesaian masalah pengakuan batas teritorial laut, atau tidak mengabaikan perbedaan pengakuan ini begitu saja, seharusnya ada usaha-usaha yang terus dilakukan untuk membereskan masalah ini hingga bisa dicapai kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang batas laut masing-masing.
Kalau pemerintah mengatur tertib pengusaha-pengusaha mana yang boleh merambah hutan, ijinnya sejauh apa, apa saja yang boleh dilakukan, mungkin kejadian kebakaran hutan seperti yang masih berlangsung hingga hari ini tidak perlu terjadi setiap tahun. Di mataku kebakaran hutan seluas, selama dan serutin ini adalah karena pembakaran, bukan sebab alami.
Sekarang kalau rakyat kecil sepertiku marah pada sikap Malaysia, bagaimana dengan pemerintahku yang adem-adem saja. Langsung minta maaf pada negara tetangga atas gangguan ini sih boleh-boleh saja. Tapi jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Aku gemas sekali dengan pemerintahku sekarang ini.
Dulu kasus Ambalat, lalu rebutan Sipadan Ligitan. Indonesia kalah terus. Malaysia coba-coba lagi kan? Kalau diibaratkan, aku jadi Malaysia, melihat tetanggaku anak baik, barangnya diambil diem, rumahnya ditinggalin diem, makan minum tidur di rumahnya diem, ya kuambil aja rumahnya sekalian. Toh rumahnya ndak pernah diurusin, ndak pernah dijaga, penghuni rumah ndak bisa makan, diambil alih saja sekalian. Logikanya sih begitu. Tapi apa Indonesia mau dibegitukan?
Apakah lama-lama sedikit demi sedikit wilayah abu-abu Indonesia akan jatuh satu persatu ke tangan negara tetangga?
Oi pemerintah, apa kerjamu?
Sementara orang Malaysia --maksudku benar-benar masyarakatnya-- bisa berkomentar dengan tenang (jadi ‘ketok’ orang pinter, terpelajar gitu loh!), “Oh menang-menang Indonesia kalau sampai perang, tetapi untuk apa perang. Kami tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik kami. (Padahal justru masalahnya di situ, Malaysia ingin memiliki semua wilayah abu-abu Indonesia, karena Indonesia diam saja). Lagi pula ingatlah, berapa banyak orang Indonesia yang mencari makan di Malaysia”.(Duh pemerintahku, kalau orang sampai bilang begini bagaimana lagi menjawabnya? Siapa lagi yang harus disalahkan selain diri sendiri. Memberi makan rakyat sendiri saja tidak mampu, hingga harus mengais-ngais menjadi kuli dan babu di negeri orang?)
Tidak tahu lagi aku harus berkomentar apa dan berpikir mengapa, atau memberi solusi bagaimana. Aku cinta tanah airku. Satu hal itu yang pasti. Aku mewujudkan cintaku dengan apa yang aku mampu. Hanya saja, saat ini aku tidak mampu memberikan yang lain selain tumpahan kekesalan dan kesedihan hatiku. Saat ini hanya itu yang mampu kuberi. Saat ini, detik ini, kekesalan dan kesedihan itu tumpah dalam tulisan ini. Mungkin di lain waktu aku bisa melakukan hal lain. Atau jika sampai waktuku, I could make something big, very big, so I can make a diference. A big difference.
(But why wait big? Why not now, this moment?)
Tanah airku, aku mencintaimu!
Samarinda, 16 Oktober 2006
Monday, October 09, 2006
Terempas ke Sudut Leiden
Aku membaca artikel ini di majalah Tempo edisi 2-8 Oktober 2006. Isinya tentang Museum Etnografi di Leiden yang memiliki barang-barang pampasan dari perang puputan di Badung dan juga Klungkung.
Pampasan perang puputan Badung antara lain berupa barang-barang berharga yang bentuk rupanya sulit terbayangkan olehku. Disebutkan di situ ada keris, tombak, senapan berlaras panjang yang dilapisi emas, tenunan, perhiasan (satu diantara perhiasan yang mewah dan anggun yang biasa dipakai dalam upacara adat juga ada : berupa mahkota setinggi 35 cm berbahan emas, permata, batu delima dan rotan, dan dibagian belakangnya ada 175 buah permata kecil dan kepala gajah –karang asti—untuk menolak bala), perlengkapan sirih, benda-benda upacara, berbagai hiasan pura, bahkan daun pintu dengan ukiran indah di satu sisinya yang menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana : Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.
Sedangkan barang-barang dari puputan Klungkung di antaranya bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran) dan kotak tembakau, yang semuanya berbahan emas dan perak. Juga ada alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima dan kristal. Selain itu juga dibawa dua peti manuskrip Bali. (Bayangkan, manuskrip!)
Itu yang benar-benar hasil pampasan perang. Museum ini juga menerima sumbangan kolektor perorangan sehingga koleksinya bertambah lagi. Salah satu yang disumbangkan oleh kolektor perorangan adalah daun pintu yang indah tadi, yang semula akan dijadikan jembatan oleh tentara Belanda. Untungnya berhasil diselamatkan. Malangnya, selamatnya ke negeri seberang.
Dan aku sedih.
Aku sudah tahu sebelumnya. Maksudku aku pernah diberitahu sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui sejarah bangsa kita yang sebenarnya, kita harus mencarinya di negeri orang. Dan yang paling banyak merekam sejarah kita adalah Belanda. Kenapa Belanda? Karena kita telah dijajah dan dikuasai Belanda selama 350 tahun. Dan Belanda paham benar bagaimana cara melemahkan negeri kepulauan ini. Lewat budaya! Meskipun mungkin pada saat itu mereka tidak sepenuhnya berencana melakukan itu. Namanya juga perang. Taktik apapun dijalankan agar tujuan tercapai. Kalau dapat pampasan, ya angkut saja sebanyak-banyaknya.
Apapun alasan yang melatari kejadian pada waktu itu, tetap saja aku sedih. Sedih karena menyadari sekali lagi bahwa banyak sekali hal yang tidak kutahu tentang leluhurku. Riwayat leluhurku itu yang tahu malah orang lain. Ditambah lagi sedikit sekali orang Indonesia masa kini yang mungkin tahu masalah itu, yang mau melakukan sesuatu untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain. Membagi kesadaran bahwa nenek moyang kita dulu beradab dan berbudaya tinggi. Membagi pengetahuan itu dengan cara yang lebih menarik untuk generasi muda.
Generasi sekarang, termasuk aku yang lahir tahun 70-an tidak tahu banyak tentang sejarah Indonesia sendiri. Tahunya sedikit sekali. Mulai penjajahan Belanda. Masa sebelum itu cuma disenggol sedikit-sedikit dalam pelajaran sejarah. Tidak berkesan. Atau yang menulis buku sejarah itu memang tidak tahu. Atau tidak boleh menulis keadaan yang sebenarnya? Entahlah………
Tapi aku sempat beranggapan bahwa nenek moyangku itu memang orang bodoh, tidak beradab. Sampai-sampai menderita dijajah orang sebegitu lama. Aku pernah berpikir begitu. Ternyata itu karena aku tidak tahu.
Setelah aku mulai mendapat informasi sedikit dari sana, sedikit dari sini. Baca sana, baca sini. Hal ini mulai terkuak perlahan. Oh, ternyata aku salah selama ini. Nenek moyangku tidak seperti yang kubayangkan. Akulah yang tidak mengenal mereka. Ketidaktahuanku membuat aku kemudian membayangkan mereka sama seperti aku yang berpikiran cupet ini. (Kita sering kali mengukur orang dengan baju kita sendiri kan? Tidak peduli ukuran orang cocok atau tidak dengan kita….(^0^))
Aku menyadari itu sekarang. Dan aku ingin membagi kesadaran ini pada orang lain. Pada siapa saja yang membaca tulisan ini. Coba renungkan isi artikel Tempo di atas. Jumlah itu hanya untuk barang pampasan puputan di Bali. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Yang juga punya kerajaan-kerajaan besar. Kemana ceritanya? Kemana manuskrip-manuskripnya? Siapa yang menyimpan? Siapa yang memusnahkan? Kenapa musnah? Jika ada, masih adakah yang bisa membaca manuskripnya?
Terlalu sedikit dari kita yang peduli pada hal ini. We ignore our heritage for century. Kita harus berhenti sekarang. Berpikir jernih. Dan mari mulailah menghargai peninggalan leluhur kita. Tidak usah muluk-muluk ke Belanda. Meskipun jika kita bisa ke sana mencari tahu, mungkin akan lebih baik atau lebih mudah. Untuk permulaan cukuplah kita mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Dari budaya yang masih tersisa sedikit di sekitar kita.
Yang mudah, misalnya membangkitkan kecintaan pada seni tari tradisional yang mulai banyak ditinggalkan karena dianggap ndak gaul gitchu? Atau mengajarkan kembali folksong yang mulai lenyap. Mengajarkan pemahaman pada generasi muda tentang makna setiap perayaan yang kita laksanakan, misalnya saat bayi baru lahir, selamatan rumah baru, perayaan panen, pesta syukuran desa. Hal-hal kecil saja. Dari situ diharapkan bisa tumbuh minat yang akan membawa kita kembali pada pencarian jati diri bangsa ini.
Sayang sekali pemerintah kita sekarang sibuk sekali dengan kursi masing-masing, atau kompromi bagi-bagi rejeki sehingga tidak sempat memikirkan hal ini. Boro-boro menjaga tradisi, mengurus bencana alam yang sifatnya harus segera saja ndak becus. Orang sudah sekarat, dia masih rapat.
Tapi bisa jadi karena pejabat-pejabat kita ini memang sudah mati rasa, tidak berbudaya, sehingga melahirkan sikap arogan, seenaknya. Pokoknya aku ndak susah, yang lain emang gue pikirin?
Kembali lagi, mana yang lebih dulu harus kita urus kalau sudah begini? Ya…urusan bencana harus segera. Tapi paling tidak kita sudah mendapat pelajaran bahwa budaya itu penting. Jangan pernah meninggalkan budaya sendiri. Karena akan menuntun perilaku dan tindak tanduk kita. Apalagi bila kita telah menjadi seorang pemimpin. Panutan.
Artinya lagi, jangan pernah meninggalkan budaya kita sendiri. Kita yang melahirkan budaya itu. Pastilah itu yang paling cocok untuk kita. Dan juga tidak perlu menunggu pemerintah membantu. Seandainya pemerintah turun tangan membantu, memberi kepedulian, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi tidak dibantupun, kita juga harus bisa.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Mencintai Ibu Pertiwi. Masa’ yang kenal Ibu Pertiwi ini malah orang lain, anaknya sendiri ndak peduli?
Kita tidak begitu. Jadi, mari………………..
Samarinda, 7 Oktober 2006
Pampasan perang puputan Badung antara lain berupa barang-barang berharga yang bentuk rupanya sulit terbayangkan olehku. Disebutkan di situ ada keris, tombak, senapan berlaras panjang yang dilapisi emas, tenunan, perhiasan (satu diantara perhiasan yang mewah dan anggun yang biasa dipakai dalam upacara adat juga ada : berupa mahkota setinggi 35 cm berbahan emas, permata, batu delima dan rotan, dan dibagian belakangnya ada 175 buah permata kecil dan kepala gajah –karang asti—untuk menolak bala), perlengkapan sirih, benda-benda upacara, berbagai hiasan pura, bahkan daun pintu dengan ukiran indah di satu sisinya yang menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana : Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.
Sedangkan barang-barang dari puputan Klungkung di antaranya bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran) dan kotak tembakau, yang semuanya berbahan emas dan perak. Juga ada alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima dan kristal. Selain itu juga dibawa dua peti manuskrip Bali. (Bayangkan, manuskrip!)
Itu yang benar-benar hasil pampasan perang. Museum ini juga menerima sumbangan kolektor perorangan sehingga koleksinya bertambah lagi. Salah satu yang disumbangkan oleh kolektor perorangan adalah daun pintu yang indah tadi, yang semula akan dijadikan jembatan oleh tentara Belanda. Untungnya berhasil diselamatkan. Malangnya, selamatnya ke negeri seberang.
Dan aku sedih.
Aku sudah tahu sebelumnya. Maksudku aku pernah diberitahu sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui sejarah bangsa kita yang sebenarnya, kita harus mencarinya di negeri orang. Dan yang paling banyak merekam sejarah kita adalah Belanda. Kenapa Belanda? Karena kita telah dijajah dan dikuasai Belanda selama 350 tahun. Dan Belanda paham benar bagaimana cara melemahkan negeri kepulauan ini. Lewat budaya! Meskipun mungkin pada saat itu mereka tidak sepenuhnya berencana melakukan itu. Namanya juga perang. Taktik apapun dijalankan agar tujuan tercapai. Kalau dapat pampasan, ya angkut saja sebanyak-banyaknya.
Apapun alasan yang melatari kejadian pada waktu itu, tetap saja aku sedih. Sedih karena menyadari sekali lagi bahwa banyak sekali hal yang tidak kutahu tentang leluhurku. Riwayat leluhurku itu yang tahu malah orang lain. Ditambah lagi sedikit sekali orang Indonesia masa kini yang mungkin tahu masalah itu, yang mau melakukan sesuatu untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain. Membagi kesadaran bahwa nenek moyang kita dulu beradab dan berbudaya tinggi. Membagi pengetahuan itu dengan cara yang lebih menarik untuk generasi muda.
Generasi sekarang, termasuk aku yang lahir tahun 70-an tidak tahu banyak tentang sejarah Indonesia sendiri. Tahunya sedikit sekali. Mulai penjajahan Belanda. Masa sebelum itu cuma disenggol sedikit-sedikit dalam pelajaran sejarah. Tidak berkesan. Atau yang menulis buku sejarah itu memang tidak tahu. Atau tidak boleh menulis keadaan yang sebenarnya? Entahlah………
Tapi aku sempat beranggapan bahwa nenek moyangku itu memang orang bodoh, tidak beradab. Sampai-sampai menderita dijajah orang sebegitu lama. Aku pernah berpikir begitu. Ternyata itu karena aku tidak tahu.
Setelah aku mulai mendapat informasi sedikit dari sana, sedikit dari sini. Baca sana, baca sini. Hal ini mulai terkuak perlahan. Oh, ternyata aku salah selama ini. Nenek moyangku tidak seperti yang kubayangkan. Akulah yang tidak mengenal mereka. Ketidaktahuanku membuat aku kemudian membayangkan mereka sama seperti aku yang berpikiran cupet ini. (Kita sering kali mengukur orang dengan baju kita sendiri kan? Tidak peduli ukuran orang cocok atau tidak dengan kita….(^0^))
Aku menyadari itu sekarang. Dan aku ingin membagi kesadaran ini pada orang lain. Pada siapa saja yang membaca tulisan ini. Coba renungkan isi artikel Tempo di atas. Jumlah itu hanya untuk barang pampasan puputan di Bali. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Yang juga punya kerajaan-kerajaan besar. Kemana ceritanya? Kemana manuskrip-manuskripnya? Siapa yang menyimpan? Siapa yang memusnahkan? Kenapa musnah? Jika ada, masih adakah yang bisa membaca manuskripnya?
Terlalu sedikit dari kita yang peduli pada hal ini. We ignore our heritage for century. Kita harus berhenti sekarang. Berpikir jernih. Dan mari mulailah menghargai peninggalan leluhur kita. Tidak usah muluk-muluk ke Belanda. Meskipun jika kita bisa ke sana mencari tahu, mungkin akan lebih baik atau lebih mudah. Untuk permulaan cukuplah kita mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Dari budaya yang masih tersisa sedikit di sekitar kita.
Yang mudah, misalnya membangkitkan kecintaan pada seni tari tradisional yang mulai banyak ditinggalkan karena dianggap ndak gaul gitchu? Atau mengajarkan kembali folksong yang mulai lenyap. Mengajarkan pemahaman pada generasi muda tentang makna setiap perayaan yang kita laksanakan, misalnya saat bayi baru lahir, selamatan rumah baru, perayaan panen, pesta syukuran desa. Hal-hal kecil saja. Dari situ diharapkan bisa tumbuh minat yang akan membawa kita kembali pada pencarian jati diri bangsa ini.
Sayang sekali pemerintah kita sekarang sibuk sekali dengan kursi masing-masing, atau kompromi bagi-bagi rejeki sehingga tidak sempat memikirkan hal ini. Boro-boro menjaga tradisi, mengurus bencana alam yang sifatnya harus segera saja ndak becus. Orang sudah sekarat, dia masih rapat.
Tapi bisa jadi karena pejabat-pejabat kita ini memang sudah mati rasa, tidak berbudaya, sehingga melahirkan sikap arogan, seenaknya. Pokoknya aku ndak susah, yang lain emang gue pikirin?
Kembali lagi, mana yang lebih dulu harus kita urus kalau sudah begini? Ya…urusan bencana harus segera. Tapi paling tidak kita sudah mendapat pelajaran bahwa budaya itu penting. Jangan pernah meninggalkan budaya sendiri. Karena akan menuntun perilaku dan tindak tanduk kita. Apalagi bila kita telah menjadi seorang pemimpin. Panutan.
Artinya lagi, jangan pernah meninggalkan budaya kita sendiri. Kita yang melahirkan budaya itu. Pastilah itu yang paling cocok untuk kita. Dan juga tidak perlu menunggu pemerintah membantu. Seandainya pemerintah turun tangan membantu, memberi kepedulian, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi tidak dibantupun, kita juga harus bisa.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Mencintai Ibu Pertiwi. Masa’ yang kenal Ibu Pertiwi ini malah orang lain, anaknya sendiri ndak peduli?
Kita tidak begitu. Jadi, mari………………..
Samarinda, 7 Oktober 2006
Friday, October 06, 2006
Rumah Ibadah tanpa Jiwa yang Beribadah
Masih tentang ibadah. Sekarang hampir ditiap sekolah dasar di kotaku ini dibangun tempat ibadah --masjid atau langgar--. Aku tidak tahu mereka menyebutnya masjid atau langgar. Yang pasti meskipun halaman sekolahnya sudah sempit, tetap saja maksa untuk dibangun masjid. Ada yang tadinya aula untuk pertunjukan kesenian atau ketrampilan anak muridnya --seperti bekas sekolah anak pertamaku--, kini aula itu disulap juga menjadi masjid. Dalam hal ini aku memberi contoh sekolah dasar, karena sekolah-sekolah itu umumnya terletak di tepi jalan besar. Jadi tampak jelas di mataku.
Mungkin hal ini berkaitan dengan usulan yang dimulai beberapa tahun yang lalu untuk memasukkan kembali pelajaran Budi Pekerti dalam kurikulum sekolah. Kukatakan mungkin, karena aku tidak tahu pasti. Hanya saja kecenderungan seperti ini kulihat merebak mulai tahun lalu. Aku sendiri agak blunder dengan masalah ini. Aku tidak mengetahui dengan pasti apakah budi pekerti menjadi suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau jadi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang lain. Entahlah. Kelihatannya sih menjadi mata pelajaran sendiri, soalnya sudah ada bukunya kulihat di toko buku.
Tetapi kemudian secara perlahan aku menemui perubahan pada keadaan sekolah-sekolah di Samarinda ini. Aku dulu pernah mendengar sekilas bahwa, salah satu cara untuk menanamkan budi pekerti adalah dengan penerapan aturan mengenakan pakaian muslim tiap hari Jumat, juga diadakan pengajian di sekolah tiap hari Jumat pagi. Malah belakangan, di tahun ajaran yang baru ini, seragam sekolah yang semula rok pendek-celana pendek-baju lengan pendek menjadi rok panjang-celana panjang-baju lengan panjang. Mungkin besok-besok siswa putri diwajibkan berjilbab. Dan sekarang rame-rame bangun masjid di halaman sekolah.
Sebenarnya gejala rame-rame bangun tempat ibadah ini tidak hanya di sekolah dasar. Mungkin SMP dan SMA juga, hanya aku yang tidak melihatnya. Tetapi Kampus Unmul (Universitas Mulawarman), iya. Sekarang hampir di setiap fakultas di Unmul ada masjid atau musholla. Bahkan instansi pemerintah. Di beberapa instansi mereka juga membangun musholla sendiri. Lucunya, kadang-kadang bangunan musholla mereka itu cuma berjarak + 50 m dari masjid yang memang sudah lama berdiri.
Apakah gejala ini juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia? Entahlah……. Semoga tidak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ini semua hasil dari pengejawantahan pelajaran Budi Pekerti, hasil dari penafsiran terhadap pelajaran Budi Pekerti ? Kalau jawabannya ya. Aneh rasanya. Karena apakah dengan mengenakan identitas muslim (baca:keagamaan) akan mampu merubah seseorang menjadi ber-BUDI PEKERTI yang baik? Apakah dengan dibangun masjid di tiap sekolah akan membuat anak murid menjadi lebih ber-BUDI PEKERTI?
Menurut pendapatku tidak. Karena budi pekerti adalah hasil olah rasa. Hasil budaya. Hasil peradaban. Bukan doktrin. Bukan perilaku yang dipaksakan. Jadi meskipun semua orang dipaksa mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas keagamaan, meskipun kemana mata memandang yang terlihat hanya rumah ibadah, kalau tidak ada penghalusan rasa, tidak ada budaya yang dipelihara, pengembangan budi pekerti adalah non sense belaka.
Budi artinya pikiran yang jernih, sedangkan Pekerti berarti akhlak, watak perbuatan yang baik. Jadi budi pekerti adalah watak perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang jernih. Budi pekerti adalah ibu dari segala prinsip moral, etika, dan perilaku yang baik dan tepat. Budi pekerti idealnya dikembangkan dari rumah oleh orang tua dan keluarga kemudian juga oleh lingkungan sosial di sekitar kita secara langsung atau tidak langsung.
Begitulah pemahamanku tentang budi pekerti. Itu bukan doktrin. Itu adalah pemahaman. Pemahaman pada diri sendiri yang pada gilirannya berarti kita juga akan paham pada lingkungan di sekitar kita. Setelah paham, secara spontan kita akan bertindak dengan penuh kesadaran. Hasilnya pasti akan baik. Tetapi intinya tetap pada diri sendiri. Pemahaman diri. Untuk itu yang diperlukan adalah introspeksi. Orang yang sudah paham, akan memberi contoh berupa pikiran, ucapan dan tindakan atau perilaku yang baik. Dan anak-anak akan meniru yang baik tadi. Lingkungannya pun akan terkena kebaikannya tadi. Begitu saja. Alami. Natural. Tanpa paksaan. Karena memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi diseragamkan.
Kembali tentang judul tulisan ini. Sebenarnya hanya itulah yang ingin kusampaikan. Mengapa sekarang banyak bertebaran rumah ibadah, tetapi aku tidak melihat jiwa yang beribadah.
Jiwa yang beribadah tidak bisa membenci, tidak bisa menghasut, tidak bisa terkotak-kotak, tidak bisa memandang diri lebih tinggi dari orang lain, tidak merasa benar sendiri. Jiwa yang beribadah adalah jiwa yang rendah hati, yang terbuka, penuh cinta, penuh kasih, memahami kenyataan yang satu dalam realitas(?) kehidupan, yang mampu melihat secara jernih apa kedudukannya di alam semesta yang maha……ini.
Tidak banyak orang yang seperti itu bukan? Tetapi ada. Masih ada.
Aku bermimpi jiwa yang beribadah akan semakin banyak. Seperti riak gelombang di sungai Mahakam. Ada tetapi tak tampak di permukaan. Tak tampak bukan berarti tak kuat riaknya. Kini aku memimpikan riak-riak itu berkenan muncul dan membagi rasa dengan sekelilingnya. Sehingga akan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang tersentuh. Jiwa-jiwa lembut. Yang penuh cinta.
Aku di sini hanya ingin berbagi rasa
Karena aku nelangsa
Lebih banyak orang yang buta
Hanya menilai yang kasat mata
Lupa pada akar budaya
Adat tradisi leluhurnya
Yang mewariskan tata krama
Budi pekerti ada didalamnya
Lebih suka meniru-niru
Budaya seberang dianggap luhung
Tidak berkaca dulu
Agar paham bahwa nenek moyangnya sudah agung
Samarinda, 6 Oktober 2006
Mungkin hal ini berkaitan dengan usulan yang dimulai beberapa tahun yang lalu untuk memasukkan kembali pelajaran Budi Pekerti dalam kurikulum sekolah. Kukatakan mungkin, karena aku tidak tahu pasti. Hanya saja kecenderungan seperti ini kulihat merebak mulai tahun lalu. Aku sendiri agak blunder dengan masalah ini. Aku tidak mengetahui dengan pasti apakah budi pekerti menjadi suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau jadi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang lain. Entahlah. Kelihatannya sih menjadi mata pelajaran sendiri, soalnya sudah ada bukunya kulihat di toko buku.
Tetapi kemudian secara perlahan aku menemui perubahan pada keadaan sekolah-sekolah di Samarinda ini. Aku dulu pernah mendengar sekilas bahwa, salah satu cara untuk menanamkan budi pekerti adalah dengan penerapan aturan mengenakan pakaian muslim tiap hari Jumat, juga diadakan pengajian di sekolah tiap hari Jumat pagi. Malah belakangan, di tahun ajaran yang baru ini, seragam sekolah yang semula rok pendek-celana pendek-baju lengan pendek menjadi rok panjang-celana panjang-baju lengan panjang. Mungkin besok-besok siswa putri diwajibkan berjilbab. Dan sekarang rame-rame bangun masjid di halaman sekolah.
Sebenarnya gejala rame-rame bangun tempat ibadah ini tidak hanya di sekolah dasar. Mungkin SMP dan SMA juga, hanya aku yang tidak melihatnya. Tetapi Kampus Unmul (Universitas Mulawarman), iya. Sekarang hampir di setiap fakultas di Unmul ada masjid atau musholla. Bahkan instansi pemerintah. Di beberapa instansi mereka juga membangun musholla sendiri. Lucunya, kadang-kadang bangunan musholla mereka itu cuma berjarak + 50 m dari masjid yang memang sudah lama berdiri.
Apakah gejala ini juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia? Entahlah……. Semoga tidak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ini semua hasil dari pengejawantahan pelajaran Budi Pekerti, hasil dari penafsiran terhadap pelajaran Budi Pekerti ? Kalau jawabannya ya. Aneh rasanya. Karena apakah dengan mengenakan identitas muslim (baca:keagamaan) akan mampu merubah seseorang menjadi ber-BUDI PEKERTI yang baik? Apakah dengan dibangun masjid di tiap sekolah akan membuat anak murid menjadi lebih ber-BUDI PEKERTI?
Menurut pendapatku tidak. Karena budi pekerti adalah hasil olah rasa. Hasil budaya. Hasil peradaban. Bukan doktrin. Bukan perilaku yang dipaksakan. Jadi meskipun semua orang dipaksa mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas keagamaan, meskipun kemana mata memandang yang terlihat hanya rumah ibadah, kalau tidak ada penghalusan rasa, tidak ada budaya yang dipelihara, pengembangan budi pekerti adalah non sense belaka.
Budi artinya pikiran yang jernih, sedangkan Pekerti berarti akhlak, watak perbuatan yang baik. Jadi budi pekerti adalah watak perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang jernih. Budi pekerti adalah ibu dari segala prinsip moral, etika, dan perilaku yang baik dan tepat. Budi pekerti idealnya dikembangkan dari rumah oleh orang tua dan keluarga kemudian juga oleh lingkungan sosial di sekitar kita secara langsung atau tidak langsung.
Begitulah pemahamanku tentang budi pekerti. Itu bukan doktrin. Itu adalah pemahaman. Pemahaman pada diri sendiri yang pada gilirannya berarti kita juga akan paham pada lingkungan di sekitar kita. Setelah paham, secara spontan kita akan bertindak dengan penuh kesadaran. Hasilnya pasti akan baik. Tetapi intinya tetap pada diri sendiri. Pemahaman diri. Untuk itu yang diperlukan adalah introspeksi. Orang yang sudah paham, akan memberi contoh berupa pikiran, ucapan dan tindakan atau perilaku yang baik. Dan anak-anak akan meniru yang baik tadi. Lingkungannya pun akan terkena kebaikannya tadi. Begitu saja. Alami. Natural. Tanpa paksaan. Karena memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi diseragamkan.
Kembali tentang judul tulisan ini. Sebenarnya hanya itulah yang ingin kusampaikan. Mengapa sekarang banyak bertebaran rumah ibadah, tetapi aku tidak melihat jiwa yang beribadah.
Jiwa yang beribadah tidak bisa membenci, tidak bisa menghasut, tidak bisa terkotak-kotak, tidak bisa memandang diri lebih tinggi dari orang lain, tidak merasa benar sendiri. Jiwa yang beribadah adalah jiwa yang rendah hati, yang terbuka, penuh cinta, penuh kasih, memahami kenyataan yang satu dalam realitas(?) kehidupan, yang mampu melihat secara jernih apa kedudukannya di alam semesta yang maha……ini.
Tidak banyak orang yang seperti itu bukan? Tetapi ada. Masih ada.
Aku bermimpi jiwa yang beribadah akan semakin banyak. Seperti riak gelombang di sungai Mahakam. Ada tetapi tak tampak di permukaan. Tak tampak bukan berarti tak kuat riaknya. Kini aku memimpikan riak-riak itu berkenan muncul dan membagi rasa dengan sekelilingnya. Sehingga akan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang tersentuh. Jiwa-jiwa lembut. Yang penuh cinta.
Aku di sini hanya ingin berbagi rasa
Karena aku nelangsa
Lebih banyak orang yang buta
Hanya menilai yang kasat mata
Lupa pada akar budaya
Adat tradisi leluhurnya
Yang mewariskan tata krama
Budi pekerti ada didalamnya
Lebih suka meniru-niru
Budaya seberang dianggap luhung
Tidak berkaca dulu
Agar paham bahwa nenek moyangnya sudah agung
Samarinda, 6 Oktober 2006
Wednesday, October 04, 2006
Saat Saleh menjadi Tujuan
Menyambung cerita tentang dai cilik. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan ucapan salah satu juri yang memberi komentar pada dai-dai cilik itu. Juri itu dipanggil Bunda. Beginilah kira-kira ucapan sang Bunda, “Semoga …………..menjadi anak yang pintar, yang berpengetahuan, yang saleh ………..bla bla bla………..”. Sewaktu aku mendengar kata-kata “yang saleh” aku tercenung sesaat. Sesaat saja. Tidak lama. Dan aku perlu waktu dua hari untuk paham mengapa kata-kata itu dapat membuatku tercenung sesaat seperti itu..
Saleh mengandung makna taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, suci dan beriman. Kesalehan adalah ketaatan dalam menjalankan amal ibadah. Jadi kalau seorang anak diharapkan menjadi anak yang saleh, artinya dia diharapkan akan taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, diharapkan akan menjadi anak yang suci dan beriman. Masalahnya adalah kini (mungkin sudah sejak dulu kala), hal itu kemudian malah menjadi tujuan (utama). Nah setelah saleh menjadi tujuan, apakah gerangan hal yang dapat mengantar kita dalam kesalehan?.
Menurut pemahamanku saleh adalah akibat, hasil dari proses. Ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan (amal?) ibadah adalah hasil dari upaya pemahaman diri dan pemahaman hidup dan kehidupan. Apabila saleh menjadi tujuan, maka kita hanya akan terpaku pada perilaku dan upaya-upaya untuk memperbanyak amal dan ibadah, tanpa berusaha mencari tahu apa makna dari setiap kejadian, apa maksud dari setiap gerakan, apa arti ibadah yang kita lakukan.
Lagi pula kalau hanya menyuruh orang menjadi taat itu gampang. Takut-takuti saja dengan ancaman ini dan itu. Orang bisa taat. Tetapi ketaatan itu tidak bertahan lama. Ketaatan itu hampa. Ketaatan itu bisa jadi kosmetik belaka. Superficial. Hanya agar dapat disebut sebagai ‘orang yang saleh’. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketaatan beribadah itu bukan karena cinta.
Kalau menelaah definisi saleh seperti di atas, sudah jelas aku bukan orang yang saleh. Tetapi menurutku tidak ada seorang dari kita yang dapat mengukur kesalehan orang lain. Kecuali kalau kita memang masih sibuk di dunia materi. Kalau lihat orang tungging-tungging setiap hari, lihat orang sedekah sana-sini, lantas kita menilai orang itu saleh, yah berarti memang baru sampai disinilah pemahaman kita. Baru sampai di dunia.
Tetapi, mungkin aku yang salah memahami makna saleh. Mungkin. Saat ini. Pemahamanku kini membuat segala sesuatu menjadi absurd. Semua relatif. Semua adalah proses. Semua benar.
Lalu ada temanku yang nyeletuk,” Kau tahu, pendapatmu itu tidak bisa dibawa ke tengah orang banyak”.
Kurasa dia benar. Karena itu kutuliskan di sini saja. Tidak akan banyak orang yang membacanya. Kalau sampai ada orang selain diriku yang membaca tulisan ini, artinya ……ya memang inilah waktunya dia membaca tulisan ini (^0^)
Samarinda, 2 Oktober 2006
Saleh mengandung makna taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, suci dan beriman. Kesalehan adalah ketaatan dalam menjalankan amal ibadah. Jadi kalau seorang anak diharapkan menjadi anak yang saleh, artinya dia diharapkan akan taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, diharapkan akan menjadi anak yang suci dan beriman. Masalahnya adalah kini (mungkin sudah sejak dulu kala), hal itu kemudian malah menjadi tujuan (utama). Nah setelah saleh menjadi tujuan, apakah gerangan hal yang dapat mengantar kita dalam kesalehan?.
Menurut pemahamanku saleh adalah akibat, hasil dari proses. Ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan (amal?) ibadah adalah hasil dari upaya pemahaman diri dan pemahaman hidup dan kehidupan. Apabila saleh menjadi tujuan, maka kita hanya akan terpaku pada perilaku dan upaya-upaya untuk memperbanyak amal dan ibadah, tanpa berusaha mencari tahu apa makna dari setiap kejadian, apa maksud dari setiap gerakan, apa arti ibadah yang kita lakukan.
Lagi pula kalau hanya menyuruh orang menjadi taat itu gampang. Takut-takuti saja dengan ancaman ini dan itu. Orang bisa taat. Tetapi ketaatan itu tidak bertahan lama. Ketaatan itu hampa. Ketaatan itu bisa jadi kosmetik belaka. Superficial. Hanya agar dapat disebut sebagai ‘orang yang saleh’. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketaatan beribadah itu bukan karena cinta.
Kalau menelaah definisi saleh seperti di atas, sudah jelas aku bukan orang yang saleh. Tetapi menurutku tidak ada seorang dari kita yang dapat mengukur kesalehan orang lain. Kecuali kalau kita memang masih sibuk di dunia materi. Kalau lihat orang tungging-tungging setiap hari, lihat orang sedekah sana-sini, lantas kita menilai orang itu saleh, yah berarti memang baru sampai disinilah pemahaman kita. Baru sampai di dunia.
Tetapi, mungkin aku yang salah memahami makna saleh. Mungkin. Saat ini. Pemahamanku kini membuat segala sesuatu menjadi absurd. Semua relatif. Semua adalah proses. Semua benar.
Lalu ada temanku yang nyeletuk,” Kau tahu, pendapatmu itu tidak bisa dibawa ke tengah orang banyak”.
Kurasa dia benar. Karena itu kutuliskan di sini saja. Tidak akan banyak orang yang membacanya. Kalau sampai ada orang selain diriku yang membaca tulisan ini, artinya ……ya memang inilah waktunya dia membaca tulisan ini (^0^)
Samarinda, 2 Oktober 2006
Monday, September 18, 2006
Masih Samakah INDONESIA-ku dengan INDONESIA-mu ?
Samarinda, Sept 15th 2006
Ada sebuah toko alat memancing di Samarinda yang secara kreatif membuat iklan di depan tokonya. Mungkin maksudnya ingin meniru iklan A Mild. Jadi iklannya pun berganti tema sebulan sekali. Pernah dia membuat gambar monyet dengan tulisan, ”Sulitnya jadi manusia”. Lain waktu tulisannya berbunyi, “Jika ingin kedamaian, belok sini”. Atau “ Seandainya semua orang senang memancing, dunia akan lebih tenang”. Pokoknya kalimat-kalimatnya seru, unik dan lucu juga jika kita perhatikan.
Tetapi di antara semua iklan yang dipasang mereka selama ini, iklan yang terakhir dan masih terpasang sampai hari inilah yang sangat menggelitikku. Bunyinya,” Masih samakah INDONESIAMU dengan INDONESIAKU?”
Kebetulan setiap kali aku pergi kuliah, aku harus melewati toko itu. Jadi tulisan itu terbaca lagi. Sejak awal, tulisan itu sudah membuatku merenung. Ya. Masih samakah Indonesiaku dengan Indonesiamu?
Kelihatannya saat ini, Indonesia, negara ini, bangsa ini punya arti banyak bagi setiap orang. Kalau kau katakan bahwa segala sesuatu pasti punya arti berbeda bagi setiap orang, pernyataan itu memang benar. Jadi misalnya, pohon kayu sangat berarti bagiku, tetapi mungkin kurang berarti bagimu yang lebih suka mengutak-atik mesin-mesin. Mungkin malah pohon kayu itu hanya akan menjadi bahan percobaan untuk mesin-mesinmu. Sama halnya denganku. Mesin-mesinmu itupun tak berarti bagiku. Jadi jika mesin-mesinmu ada disekelilingku bisa jadi kusingkirkan jauh-jauh saja supaya tidak menggangguku. Ya, itu benar.
Masalahnya Indonesia adalah tanah air bagi kita berdua yang punya kesukaan dan minat berbeda ini. Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku? Jika aku menganggap Indonesia tanah kelahiranku, udara dan air kehidupanku, api semangatku dan tempat tinggalku, apakah kau juga menganggapnya seperti itu ?
Seharusnya ya, sama. Seharusnya kau juga menganggapnya seperti itu. Seharusnya setiap orang Indonesia mengakui Indonesia seperti itu. sebagai Ibu yang melahirkan setiap jiwa yang tumbuh di sini. Seharusnya!
Sayangnya sekarang tidak begitu yang terjadi.
Dulu waktu aku kecil, aku tahu aku cinta dengan negara ini. Aku cinta Indonesia sepenuh-penuhnya. Sewaktu ada gerakan Aku Cinta Indonesia dengan wujud gerakan untuk selalu membeli dan memakai barang Indonesia sendiri, aku masih berumur belasan tahun dan merasa terheran-heran. Kenapa harus ada gerakan seperti itu? Bukankah suatu hal yang wajar kalau kita mencintai produk kita sendiri. Itu biasa saja. Rupanya akulah yang belum paham dunia. Seiring dengan pertambahan usia, seiring dengan perubahan lingkungan pergaulan, bacaan, pertambahan pengetahuan lingkungan, barulah aku mulai memahami kenapa waktu itu ada gerakan Aku Cinta Indonesia.
Aku merasa dalam dua dekade terakhir ini, rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air, rasa bangga memiliki Ibu Pertiwi seperti Indonesia itu luntur dari dada setiap orang Indonesia. Sebagian orang menyalahkan sistem Orba yang menjejalkan P4 sejak kecil hingga kita dewasa sebagai penyebabnya sehingga kita jenuh dengan hal-hal bela bangsa. Tetapi menurutku bukan itu penyebabnya.
Bukan penataran P4 yang salah. Malah sekarang setelah penataran P4 dihapuskan orang makin tidak kenal dengan Pancasila, kristalisasi jiwa bangsa ini. Bahkan anak sekolahpun belum tentu tahu dan hapal sila-sila Pancasila, apalagi memahaminya. Bukan. Bukan itu.
Menurutku yang salah itu adalah para pemimpin bangsa ini, juga anggota dewan yang terhormat, entah dewan tinggi dan dewan rendah, para pejabat juga para hakim yang mulia yang tidak memberi contoh pada masyarakatnya, bagaimana mencintai tanah air. Ya, mereka tidak bisa memberi contoh karena mereka tidak cinta tanah air, mereka sibuk berdagang, memperdagangkan tanah air. Tetapi anehnya, orang-orang selalu menyalahkan sistemnya. Kalau ada yang tidak beres jalannya, sistem disalahkan. Padahal sebagus apapun sistem yang dimiliki kalau manusianya tidak beres ya tidak akan pernah bisa berjalan baik.
Jadi sebenarnya, seandainya pertanyaan “Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku?” , kalau diajukan dikalangan akar rumput, jawabannya akan sama. Ya tentu saja. Ini tempat tinggalku, tanah airku, tumpah darahku. Indonesia adalah tempat tinggal kita, tanah air kita, dan tumpah darah kita. Tetapi kalau diajukan kepada pejabat-pejabat itu jawaban yang akan kita temui seandainya mereka berani jujur mungkin, “Hmm…….Indonesia adalah tempat usahaku dan istana kekuasaanku. Tumpah darahku? Ndak la yau…….”
Tetapi karena mereka-merekalah yang dilihat setiap hari oleh rakyat kecil dilayar kaca, mereka juga yang menjadi berita yang dibaca di koran dan majalah. Bahkan banyak lagi rakyat kecil yang merasakan secara langsung akibat perbuatan mereka--jiwa-jiwa pedagang pemimpin bangsa ini--, rakyat juga menjadi kebal. Dan bebal. Orang-orang mulai meninggalkan nuraninya untuk bertahan hidup. Ada yang untuk memperbaiki taraf hidup. Orang-orang berpikir pendek, opportunist dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang menjadi egois, tidak sensitif bahkan apatis. Ya sesuai kata pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Jadi, jika ingin jawaban ya untuk pertanyaan awal tadi, sepertinya kita harus membersihkan petinggi-petinggi negara dari orang-orang bermental tempe semacam ini. Ya. Bermental tempe. Para pejabat itulah yang bermental tempe. Orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan orang yang lemah, tidak punya pendirian, gampang ciut nyalinya. Rasanya itulah gambaran yang tepat buat petinggi-petinggi bangsa kita sekarang ini. Bisa koar-koar doang tentang mensejahterakan rakyat, tapi saat disuruh kerja hasilnya yang untuk rakyat adalah nol besar. Yang nyata hanya kerusakan yang makin dalam, makin besar dan makin luas yang dirasakan Ibu Pertiwi, tanah air kita tercinta ini.
Jika dipersonifikasikan, Ibu Pertiwi kita ini sudah dilucuti perhiasannya, ditelanjangi tubuhnya, digores, dilukai, diperkosa, oleh orang asing, anak-anaknya malah hanya menonton saja, tidak membantu sang Ibu, alih-alih malah membantu si orang asing menyiksa Ibunya sendiri. Begitulah yang terjadi.
Lalu jika ada yang bertanya, ini salah siapa? Jawabnya ya salah kita semua, kenapa diam saja. Kenapa memilih wakil-wakil yang memimpin negara ini orang-orang yang tidak becus. Kenapa kita tidak memberdayakan diri kita sendiri. Memberdayakan lingkungan kita. Agar kita berani. Bukan berani berperang, atau berani membunuh orang yang tidak sepaham, bukan begitu. Tetapi berani karena kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Berani karena kita percaya diri bahwa kita mampu. Berani berkata tidak pada pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari keberadaan kita. Berani karena yakin bahwa Indonesiaku adalah Indonesiamu, adalah Indonesia kita semua.
Aku cinta tanah airku
Aku merasa yakin kini bahwa aku mencintai tanah airku
Meskipun kadang aku malu dengan keadaan Ibu-ku
Meskipun kadang aku malu melihat kelakuan anak-anak Ibu-ku
Tapi juga aku adalah bagian dari anak-anak itu
Aku harus mengubah kelakuanku
Hingga aku pantas menghirup udara Ibu-ku
Hingga layak aku bersimpuh di kakimu Ibu
Hingga aku mampu mempercantik Ibu-ku
Terima kasih padamu Ibu Pertiwi - Indonesiaku
Ada sebuah toko alat memancing di Samarinda yang secara kreatif membuat iklan di depan tokonya. Mungkin maksudnya ingin meniru iklan A Mild. Jadi iklannya pun berganti tema sebulan sekali. Pernah dia membuat gambar monyet dengan tulisan, ”Sulitnya jadi manusia”. Lain waktu tulisannya berbunyi, “Jika ingin kedamaian, belok sini”. Atau “ Seandainya semua orang senang memancing, dunia akan lebih tenang”. Pokoknya kalimat-kalimatnya seru, unik dan lucu juga jika kita perhatikan.
Tetapi di antara semua iklan yang dipasang mereka selama ini, iklan yang terakhir dan masih terpasang sampai hari inilah yang sangat menggelitikku. Bunyinya,” Masih samakah INDONESIAMU dengan INDONESIAKU?”
Kebetulan setiap kali aku pergi kuliah, aku harus melewati toko itu. Jadi tulisan itu terbaca lagi. Sejak awal, tulisan itu sudah membuatku merenung. Ya. Masih samakah Indonesiaku dengan Indonesiamu?
Kelihatannya saat ini, Indonesia, negara ini, bangsa ini punya arti banyak bagi setiap orang. Kalau kau katakan bahwa segala sesuatu pasti punya arti berbeda bagi setiap orang, pernyataan itu memang benar. Jadi misalnya, pohon kayu sangat berarti bagiku, tetapi mungkin kurang berarti bagimu yang lebih suka mengutak-atik mesin-mesin. Mungkin malah pohon kayu itu hanya akan menjadi bahan percobaan untuk mesin-mesinmu. Sama halnya denganku. Mesin-mesinmu itupun tak berarti bagiku. Jadi jika mesin-mesinmu ada disekelilingku bisa jadi kusingkirkan jauh-jauh saja supaya tidak menggangguku. Ya, itu benar.
Masalahnya Indonesia adalah tanah air bagi kita berdua yang punya kesukaan dan minat berbeda ini. Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku? Jika aku menganggap Indonesia tanah kelahiranku, udara dan air kehidupanku, api semangatku dan tempat tinggalku, apakah kau juga menganggapnya seperti itu ?
Seharusnya ya, sama. Seharusnya kau juga menganggapnya seperti itu. Seharusnya setiap orang Indonesia mengakui Indonesia seperti itu. sebagai Ibu yang melahirkan setiap jiwa yang tumbuh di sini. Seharusnya!
Sayangnya sekarang tidak begitu yang terjadi.
Dulu waktu aku kecil, aku tahu aku cinta dengan negara ini. Aku cinta Indonesia sepenuh-penuhnya. Sewaktu ada gerakan Aku Cinta Indonesia dengan wujud gerakan untuk selalu membeli dan memakai barang Indonesia sendiri, aku masih berumur belasan tahun dan merasa terheran-heran. Kenapa harus ada gerakan seperti itu? Bukankah suatu hal yang wajar kalau kita mencintai produk kita sendiri. Itu biasa saja. Rupanya akulah yang belum paham dunia. Seiring dengan pertambahan usia, seiring dengan perubahan lingkungan pergaulan, bacaan, pertambahan pengetahuan lingkungan, barulah aku mulai memahami kenapa waktu itu ada gerakan Aku Cinta Indonesia.
Aku merasa dalam dua dekade terakhir ini, rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air, rasa bangga memiliki Ibu Pertiwi seperti Indonesia itu luntur dari dada setiap orang Indonesia. Sebagian orang menyalahkan sistem Orba yang menjejalkan P4 sejak kecil hingga kita dewasa sebagai penyebabnya sehingga kita jenuh dengan hal-hal bela bangsa. Tetapi menurutku bukan itu penyebabnya.
Bukan penataran P4 yang salah. Malah sekarang setelah penataran P4 dihapuskan orang makin tidak kenal dengan Pancasila, kristalisasi jiwa bangsa ini. Bahkan anak sekolahpun belum tentu tahu dan hapal sila-sila Pancasila, apalagi memahaminya. Bukan. Bukan itu.
Menurutku yang salah itu adalah para pemimpin bangsa ini, juga anggota dewan yang terhormat, entah dewan tinggi dan dewan rendah, para pejabat juga para hakim yang mulia yang tidak memberi contoh pada masyarakatnya, bagaimana mencintai tanah air. Ya, mereka tidak bisa memberi contoh karena mereka tidak cinta tanah air, mereka sibuk berdagang, memperdagangkan tanah air. Tetapi anehnya, orang-orang selalu menyalahkan sistemnya. Kalau ada yang tidak beres jalannya, sistem disalahkan. Padahal sebagus apapun sistem yang dimiliki kalau manusianya tidak beres ya tidak akan pernah bisa berjalan baik.
Jadi sebenarnya, seandainya pertanyaan “Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku?” , kalau diajukan dikalangan akar rumput, jawabannya akan sama. Ya tentu saja. Ini tempat tinggalku, tanah airku, tumpah darahku. Indonesia adalah tempat tinggal kita, tanah air kita, dan tumpah darah kita. Tetapi kalau diajukan kepada pejabat-pejabat itu jawaban yang akan kita temui seandainya mereka berani jujur mungkin, “Hmm…….Indonesia adalah tempat usahaku dan istana kekuasaanku. Tumpah darahku? Ndak la yau…….”
Tetapi karena mereka-merekalah yang dilihat setiap hari oleh rakyat kecil dilayar kaca, mereka juga yang menjadi berita yang dibaca di koran dan majalah. Bahkan banyak lagi rakyat kecil yang merasakan secara langsung akibat perbuatan mereka--jiwa-jiwa pedagang pemimpin bangsa ini--, rakyat juga menjadi kebal. Dan bebal. Orang-orang mulai meninggalkan nuraninya untuk bertahan hidup. Ada yang untuk memperbaiki taraf hidup. Orang-orang berpikir pendek, opportunist dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang menjadi egois, tidak sensitif bahkan apatis. Ya sesuai kata pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Jadi, jika ingin jawaban ya untuk pertanyaan awal tadi, sepertinya kita harus membersihkan petinggi-petinggi negara dari orang-orang bermental tempe semacam ini. Ya. Bermental tempe. Para pejabat itulah yang bermental tempe. Orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan orang yang lemah, tidak punya pendirian, gampang ciut nyalinya. Rasanya itulah gambaran yang tepat buat petinggi-petinggi bangsa kita sekarang ini. Bisa koar-koar doang tentang mensejahterakan rakyat, tapi saat disuruh kerja hasilnya yang untuk rakyat adalah nol besar. Yang nyata hanya kerusakan yang makin dalam, makin besar dan makin luas yang dirasakan Ibu Pertiwi, tanah air kita tercinta ini.
Jika dipersonifikasikan, Ibu Pertiwi kita ini sudah dilucuti perhiasannya, ditelanjangi tubuhnya, digores, dilukai, diperkosa, oleh orang asing, anak-anaknya malah hanya menonton saja, tidak membantu sang Ibu, alih-alih malah membantu si orang asing menyiksa Ibunya sendiri. Begitulah yang terjadi.
Lalu jika ada yang bertanya, ini salah siapa? Jawabnya ya salah kita semua, kenapa diam saja. Kenapa memilih wakil-wakil yang memimpin negara ini orang-orang yang tidak becus. Kenapa kita tidak memberdayakan diri kita sendiri. Memberdayakan lingkungan kita. Agar kita berani. Bukan berani berperang, atau berani membunuh orang yang tidak sepaham, bukan begitu. Tetapi berani karena kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Berani karena kita percaya diri bahwa kita mampu. Berani berkata tidak pada pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari keberadaan kita. Berani karena yakin bahwa Indonesiaku adalah Indonesiamu, adalah Indonesia kita semua.
Aku cinta tanah airku
Aku merasa yakin kini bahwa aku mencintai tanah airku
Meskipun kadang aku malu dengan keadaan Ibu-ku
Meskipun kadang aku malu melihat kelakuan anak-anak Ibu-ku
Tapi juga aku adalah bagian dari anak-anak itu
Aku harus mengubah kelakuanku
Hingga aku pantas menghirup udara Ibu-ku
Hingga layak aku bersimpuh di kakimu Ibu
Hingga aku mampu mempercantik Ibu-ku
Terima kasih padamu Ibu Pertiwi - Indonesiaku
Buat Anak Kok Coba-coba ?
Samarinda, September 2nd 2006
Anakku keduaku Chitta, sekarang berumur 4 tahun 8 bulan. Di usianya yang sekarang ini dia belum bisa berkomunikasi dengan baik. Dia kenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia, beberapa kata dalam bahasa Inggris, beberapa kata dalam bahasa Spanyol. Bukan. Bukan aku yang mengajarnya. Dia belajar dari video Dora, Baby Einstein dan semua video kartun yang ditontonnya. Yang membuatku kesal, dia suka belajar sendiri, tidak mau diajari. Jadi sulit sekali mengarahkannya. Dia berkembang sesuai keinginan hatinya.
Kemampuan verbalnya yang lemah itu tertutup dengan kemampuan motoriknya yang luar biasa. Chitta punya kelenturan tubuh yang menakjubkan seperti umumnya anak kecil. Dia sering menirukan postur-postur yoga yang sulit seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Tetapi dia menolak kalau kuajak yoga bersama. Dia gesit, cekatan dan kuat. Tukang urut langgananku sampai menyebutnya ‘duralex’ karena dia tidak pernah lagi keseleo kalau jatuh atau loncat-loncat. Hanya kejadian luar biasa yang bisa membuat dia keseleo lagi.
Dia juga punya daya pikir yang kuat, kemampuan analisa yang bagus, dan ingatan yang hebat. Dia cukup melihat sekali, setelah itu dia bisa menirunya. Atau dia melihat berkali-kali, sampai dia yakin dia bisa mengerjakannya. Tapi, tetap saja dia tidak mau diajari. Komputer sudah jadi mainannya sehari-hari tanpa pernah diajari. Dia hanya perlu melihat. Games-games komputer, malah tidak perlu diinstall, semua bisa dia lakukan sendiri dan tunggu saja beberapa waktu, dia pasti sudah ahli memainkannya. Cara dia menangani komputer mengalahkan kemampuanku. Rasanya begitu dia bisa ngomong, baca, tulis, habis sudah. Aku kalah darinya!
Dia juga suka menyanyi, lagu pilihannya bo….. Josh Groban atau Kitaro. Untuk sementara hanya dua itu. Tapi dia tidak menolak kalau harus mendengarkan Enya atau Sacred Aria-nya Andrea Bocelli atau Charlotte Church. Dia tidak suka lagu pop. Tapi lagu klasik anak-anak dia suka. Musik klasik juga ok.
Chitta jarang makan. Kalau dia makan satu hari sekali itu sudah luar biasa. Dia makan sesuai keinginan hatinya. Tahun pertama dia hanya minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan sedikit (sekali) bubur instan. Tahun kedua dia masih minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan keju. Tahun ketiga, dia minum sedikit susu formula, keju dan creepes. Dia suka sekali creepes. Kebetulan waktu itu Yogen Creepes baru buka outlet di Samarinda. Jadilah aku langganan setianya. Tahun keempat dia minum sedikit susu formula, coklat dan mulai makan nasi sekali sehari sepiring dengan telur dadar. Sampai sekarang. Sesekali dia mau makan kentang rebus disiram saus kacang. Atau nasi goreng, atau mie goreng. Hanya sesekali dan sangat menyenangkanku. Kesimpulanku dia makan apa yang dia butuhkan, dan dia tahu yang sedang dia butuhkan. Aku tidak pernah khawatir pada apa yang dia makan, sehingga dia tetap tumbuh sehat dengan segala (baca : sedikit) yang dia makan itu.
Itulah yang ingin kukatakan.
Aku membiarkannya tumbuh sesuai keinginannya. Semua tersedia, tapi dia memilih sendiri apa yang diinginkannya. Aku hanya memantau. Sejauh perkembangan dan pertumbuhannya dalam batas normal, aku biarkan. Tidak ada intervensi. Dan dia tetap tumbuh secara luar biasa.
Aku sering mendengar obrolan teman-temanku tentang anak-anak mereka yang tidak mau makan. Mereka coba ini itu, beri ini itu, vitamin ini itu, susu ini itu. Hasilnya : sebagian tidak berhasil, sebagian lagi malah berak-berak, muntah dan sakit. Di lingkunganku aku belum mendengar mereka yang mencemaskan anaknya itu ada yang berhasil membuat anaknya bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Aku malah kasihan sama anaknya, kok jadi percobaan. Buat anak kok coba-coba?
Tapi setiap orang kan punya pendapat masing-masing. Jadi pastilah menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri.
Aku sendiri tetap yakin dengan pendapatku bahwa sesungguhnya setiap dari kita, sejak kecil, sejak bayi, tahu apa yang kita butuhkan dan seberapa banyak kita membutuhkannya. Sewaktu kita kecil, hal itu memang hanya berhubungan dengan kebutuhan dasar makan dan minum. Tetapi seiring pertambahan usia, pengetahuan itu sebenarnya tetap ada. Tetapi seringkali pengetahuan naluriah seperti itu tertutup oleh informasi yang kita terima kemudian. Begitu banyaknya informasi yang masuk bertumpuk-tumpuk sehingga naluri kita menjadi tumpul. Kemudian kita mulai bersandar pada hal-hal di luar diri, pada dokter, pada para ahli, pada majalah-majalah pengetahuan terkini. Padahal orang yang paling ahlipun tidak pernah berhenti belajar lagi, belajar lagi dan menemukan hal yang baru lagi dari waktu ke waktu. Yang tadinya berupa kebenaran, bisa menjadi tidak benar lagi sekarang.
Tetapi begitulah manusia. Umumnya tidak percaya diri. Jadi kalau tidak sama pendapatnya dengan orang lain, atau tidak sama yang dia lakukan dengan orang lain, apalagi dengan para ahli, dia merasa yang dia lakukan tidak benar. Kita sulit menjadi diri sendiri, kalau terus mengutip apa kata orang. Kalau kita terus-terusan meniru apa yang dilakukan orang. Padahal setiap dari kita adalah pribadi yang unik, tidak ada yang menyamai kita. Padahal lagi, segala sesuatu pengetahuan itu harus kita temukan sendiri untuk mendapatkan pelajaran sepenuhnya dari sana.
Aku belajar banyak dari Chitta. Dan aku masih belajar terus darinya. Meskipun sesungguhnya dengan membiarkan dia tumbuh sesuai kehendaknya sendiri itu, artinya akupun sedang melakukan percobaan pada anakku.
Nah, buat anak kok coba-coba :0)
Anakku keduaku Chitta, sekarang berumur 4 tahun 8 bulan. Di usianya yang sekarang ini dia belum bisa berkomunikasi dengan baik. Dia kenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia, beberapa kata dalam bahasa Inggris, beberapa kata dalam bahasa Spanyol. Bukan. Bukan aku yang mengajarnya. Dia belajar dari video Dora, Baby Einstein dan semua video kartun yang ditontonnya. Yang membuatku kesal, dia suka belajar sendiri, tidak mau diajari. Jadi sulit sekali mengarahkannya. Dia berkembang sesuai keinginan hatinya.
Kemampuan verbalnya yang lemah itu tertutup dengan kemampuan motoriknya yang luar biasa. Chitta punya kelenturan tubuh yang menakjubkan seperti umumnya anak kecil. Dia sering menirukan postur-postur yoga yang sulit seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Tetapi dia menolak kalau kuajak yoga bersama. Dia gesit, cekatan dan kuat. Tukang urut langgananku sampai menyebutnya ‘duralex’ karena dia tidak pernah lagi keseleo kalau jatuh atau loncat-loncat. Hanya kejadian luar biasa yang bisa membuat dia keseleo lagi.
Dia juga punya daya pikir yang kuat, kemampuan analisa yang bagus, dan ingatan yang hebat. Dia cukup melihat sekali, setelah itu dia bisa menirunya. Atau dia melihat berkali-kali, sampai dia yakin dia bisa mengerjakannya. Tapi, tetap saja dia tidak mau diajari. Komputer sudah jadi mainannya sehari-hari tanpa pernah diajari. Dia hanya perlu melihat. Games-games komputer, malah tidak perlu diinstall, semua bisa dia lakukan sendiri dan tunggu saja beberapa waktu, dia pasti sudah ahli memainkannya. Cara dia menangani komputer mengalahkan kemampuanku. Rasanya begitu dia bisa ngomong, baca, tulis, habis sudah. Aku kalah darinya!
Dia juga suka menyanyi, lagu pilihannya bo….. Josh Groban atau Kitaro. Untuk sementara hanya dua itu. Tapi dia tidak menolak kalau harus mendengarkan Enya atau Sacred Aria-nya Andrea Bocelli atau Charlotte Church. Dia tidak suka lagu pop. Tapi lagu klasik anak-anak dia suka. Musik klasik juga ok.
Chitta jarang makan. Kalau dia makan satu hari sekali itu sudah luar biasa. Dia makan sesuai keinginan hatinya. Tahun pertama dia hanya minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan sedikit (sekali) bubur instan. Tahun kedua dia masih minum air susuku, sedikit (sekali) susu formula dan keju. Tahun ketiga, dia minum sedikit susu formula, keju dan creepes. Dia suka sekali creepes. Kebetulan waktu itu Yogen Creepes baru buka outlet di Samarinda. Jadilah aku langganan setianya. Tahun keempat dia minum sedikit susu formula, coklat dan mulai makan nasi sekali sehari sepiring dengan telur dadar. Sampai sekarang. Sesekali dia mau makan kentang rebus disiram saus kacang. Atau nasi goreng, atau mie goreng. Hanya sesekali dan sangat menyenangkanku. Kesimpulanku dia makan apa yang dia butuhkan, dan dia tahu yang sedang dia butuhkan. Aku tidak pernah khawatir pada apa yang dia makan, sehingga dia tetap tumbuh sehat dengan segala (baca : sedikit) yang dia makan itu.
Itulah yang ingin kukatakan.
Aku membiarkannya tumbuh sesuai keinginannya. Semua tersedia, tapi dia memilih sendiri apa yang diinginkannya. Aku hanya memantau. Sejauh perkembangan dan pertumbuhannya dalam batas normal, aku biarkan. Tidak ada intervensi. Dan dia tetap tumbuh secara luar biasa.
Aku sering mendengar obrolan teman-temanku tentang anak-anak mereka yang tidak mau makan. Mereka coba ini itu, beri ini itu, vitamin ini itu, susu ini itu. Hasilnya : sebagian tidak berhasil, sebagian lagi malah berak-berak, muntah dan sakit. Di lingkunganku aku belum mendengar mereka yang mencemaskan anaknya itu ada yang berhasil membuat anaknya bisa menjadi seperti yang mereka inginkan. Aku malah kasihan sama anaknya, kok jadi percobaan. Buat anak kok coba-coba?
Tapi setiap orang kan punya pendapat masing-masing. Jadi pastilah menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri.
Aku sendiri tetap yakin dengan pendapatku bahwa sesungguhnya setiap dari kita, sejak kecil, sejak bayi, tahu apa yang kita butuhkan dan seberapa banyak kita membutuhkannya. Sewaktu kita kecil, hal itu memang hanya berhubungan dengan kebutuhan dasar makan dan minum. Tetapi seiring pertambahan usia, pengetahuan itu sebenarnya tetap ada. Tetapi seringkali pengetahuan naluriah seperti itu tertutup oleh informasi yang kita terima kemudian. Begitu banyaknya informasi yang masuk bertumpuk-tumpuk sehingga naluri kita menjadi tumpul. Kemudian kita mulai bersandar pada hal-hal di luar diri, pada dokter, pada para ahli, pada majalah-majalah pengetahuan terkini. Padahal orang yang paling ahlipun tidak pernah berhenti belajar lagi, belajar lagi dan menemukan hal yang baru lagi dari waktu ke waktu. Yang tadinya berupa kebenaran, bisa menjadi tidak benar lagi sekarang.
Tetapi begitulah manusia. Umumnya tidak percaya diri. Jadi kalau tidak sama pendapatnya dengan orang lain, atau tidak sama yang dia lakukan dengan orang lain, apalagi dengan para ahli, dia merasa yang dia lakukan tidak benar. Kita sulit menjadi diri sendiri, kalau terus mengutip apa kata orang. Kalau kita terus-terusan meniru apa yang dilakukan orang. Padahal setiap dari kita adalah pribadi yang unik, tidak ada yang menyamai kita. Padahal lagi, segala sesuatu pengetahuan itu harus kita temukan sendiri untuk mendapatkan pelajaran sepenuhnya dari sana.
Aku belajar banyak dari Chitta. Dan aku masih belajar terus darinya. Meskipun sesungguhnya dengan membiarkan dia tumbuh sesuai kehendaknya sendiri itu, artinya akupun sedang melakukan percobaan pada anakku.
Nah, buat anak kok coba-coba :0)
Friday, September 01, 2006
Padamu Ibu Pertiwi
Samarinda, September 1st 2006
Hari ini, tanggal 1 September adalah hari Bakti Ibu Pertiwi. Penetapan tanggal 1 September sebagai hari Bakti Ibu Pertiwi telah dilakukan oleh Menhan Juwono Sudarsono tahun lalu dalam acara Simposium Kebangsaan “Bagimu Ibu Pertiwi”. Simposium yang diadakan oleh National Integration Movement ini bertujuan untuk memperat persatuan dan menghilangkan segala bentuk ancaman disintegrasi , terutama dalam konteks sosial yang disebabkan oleh fanatisme kelompok yang berlebihan.
Sebagai ungkapan rasa cinta dan bakti bagi Ibu Pertiwi, hari ini aku dan suamiku memasang bendera MERAH PUTIH di halaman rumah kami. Sebuah tindakan yang mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang lain karena 17 Agustus –yang kita wajib pasang bendera—sudah berakhir. Tapi kami bangga melakukannya.
Kupikir, bagus juga kalau ada yang bertanya. Karena aku bisa menjawab, menjelaskan tentang pentingnya simbolisme semacam ini. Simbol yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah air. Hal yang sudah langka di jaman serba cepat dan materialistis seperti sekarang ini. Di mana sudah sedikit orang yang memahami makna dibalik simbol-simbol, makna dibalik setiap tindakan.
Aku mencintaimu Alam Semesta !
Aku mencintaimu Indonesia !
Indonesia Pasti Jaya !
Hari ini, tanggal 1 September adalah hari Bakti Ibu Pertiwi. Penetapan tanggal 1 September sebagai hari Bakti Ibu Pertiwi telah dilakukan oleh Menhan Juwono Sudarsono tahun lalu dalam acara Simposium Kebangsaan “Bagimu Ibu Pertiwi”. Simposium yang diadakan oleh National Integration Movement ini bertujuan untuk memperat persatuan dan menghilangkan segala bentuk ancaman disintegrasi , terutama dalam konteks sosial yang disebabkan oleh fanatisme kelompok yang berlebihan.
Sebagai ungkapan rasa cinta dan bakti bagi Ibu Pertiwi, hari ini aku dan suamiku memasang bendera MERAH PUTIH di halaman rumah kami. Sebuah tindakan yang mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang lain karena 17 Agustus –yang kita wajib pasang bendera—sudah berakhir. Tapi kami bangga melakukannya.
Kupikir, bagus juga kalau ada yang bertanya. Karena aku bisa menjawab, menjelaskan tentang pentingnya simbolisme semacam ini. Simbol yang dapat membangkitkan semangat cinta tanah air. Hal yang sudah langka di jaman serba cepat dan materialistis seperti sekarang ini. Di mana sudah sedikit orang yang memahami makna dibalik simbol-simbol, makna dibalik setiap tindakan.
Aku mencintaimu Alam Semesta !
Aku mencintaimu Indonesia !
Indonesia Pasti Jaya !
Subscribe to:
Comments (Atom)