Monday, October 09, 2006

Terempas ke Sudut Leiden

Aku membaca artikel ini di majalah Tempo edisi 2-8 Oktober 2006. Isinya tentang Museum Etnografi di Leiden yang memiliki barang-barang pampasan dari perang puputan di Badung dan juga Klungkung.

Pampasan perang puputan Badung antara lain berupa barang-barang berharga yang bentuk rupanya sulit terbayangkan olehku. Disebutkan di situ ada keris, tombak, senapan berlaras panjang yang dilapisi emas, tenunan, perhiasan (satu diantara perhiasan yang mewah dan anggun yang biasa dipakai dalam upacara adat juga ada : berupa mahkota setinggi 35 cm berbahan emas, permata, batu delima dan rotan, dan dibagian belakangnya ada 175 buah permata kecil dan kepala gajah –karang asti—untuk menolak bala), perlengkapan sirih, benda-benda upacara, berbagai hiasan pura, bahkan daun pintu dengan ukiran indah di satu sisinya yang menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana : Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.

Sedangkan barang-barang dari puputan Klungkung di antaranya bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran) dan kotak tembakau, yang semuanya berbahan emas dan perak. Juga ada alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima dan kristal. Selain itu juga dibawa dua peti manuskrip Bali. (Bayangkan, manuskrip!)

Itu yang benar-benar hasil pampasan perang. Museum ini juga menerima sumbangan kolektor perorangan sehingga koleksinya bertambah lagi. Salah satu yang disumbangkan oleh kolektor perorangan adalah daun pintu yang indah tadi, yang semula akan dijadikan jembatan oleh tentara Belanda. Untungnya berhasil diselamatkan. Malangnya, selamatnya ke negeri seberang.

Dan aku sedih.

Aku sudah tahu sebelumnya. Maksudku aku pernah diberitahu sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui sejarah bangsa kita yang sebenarnya, kita harus mencarinya di negeri orang. Dan yang paling banyak merekam sejarah kita adalah Belanda. Kenapa Belanda? Karena kita telah dijajah dan dikuasai Belanda selama 350 tahun. Dan Belanda paham benar bagaimana cara melemahkan negeri kepulauan ini. Lewat budaya! Meskipun mungkin pada saat itu mereka tidak sepenuhnya berencana melakukan itu. Namanya juga perang. Taktik apapun dijalankan agar tujuan tercapai. Kalau dapat pampasan, ya angkut saja sebanyak-banyaknya.

Apapun alasan yang melatari kejadian pada waktu itu, tetap saja aku sedih. Sedih karena menyadari sekali lagi bahwa banyak sekali hal yang tidak kutahu tentang leluhurku. Riwayat leluhurku itu yang tahu malah orang lain. Ditambah lagi sedikit sekali orang Indonesia masa kini yang mungkin tahu masalah itu, yang mau melakukan sesuatu untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain. Membagi kesadaran bahwa nenek moyang kita dulu beradab dan berbudaya tinggi. Membagi pengetahuan itu dengan cara yang lebih menarik untuk generasi muda.

Generasi sekarang, termasuk aku yang lahir tahun 70-an tidak tahu banyak tentang sejarah Indonesia sendiri. Tahunya sedikit sekali. Mulai penjajahan Belanda. Masa sebelum itu cuma disenggol sedikit-sedikit dalam pelajaran sejarah. Tidak berkesan. Atau yang menulis buku sejarah itu memang tidak tahu. Atau tidak boleh menulis keadaan yang sebenarnya? Entahlah………

Tapi aku sempat beranggapan bahwa nenek moyangku itu memang orang bodoh, tidak beradab. Sampai-sampai menderita dijajah orang sebegitu lama. Aku pernah berpikir begitu. Ternyata itu karena aku tidak tahu.

Setelah aku mulai mendapat informasi sedikit dari sana, sedikit dari sini. Baca sana, baca sini. Hal ini mulai terkuak perlahan. Oh, ternyata aku salah selama ini. Nenek moyangku tidak seperti yang kubayangkan. Akulah yang tidak mengenal mereka. Ketidaktahuanku membuat aku kemudian membayangkan mereka sama seperti aku yang berpikiran cupet ini. (Kita sering kali mengukur orang dengan baju kita sendiri kan? Tidak peduli ukuran orang cocok atau tidak dengan kita….(^0^))

Aku menyadari itu sekarang. Dan aku ingin membagi kesadaran ini pada orang lain. Pada siapa saja yang membaca tulisan ini. Coba renungkan isi artikel Tempo di atas. Jumlah itu hanya untuk barang pampasan puputan di Bali. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Yang juga punya kerajaan-kerajaan besar. Kemana ceritanya? Kemana manuskrip-manuskripnya? Siapa yang menyimpan? Siapa yang memusnahkan? Kenapa musnah? Jika ada, masih adakah yang bisa membaca manuskripnya?

Terlalu sedikit dari kita yang peduli pada hal ini. We ignore our heritage for century. Kita harus berhenti sekarang. Berpikir jernih. Dan mari mulailah menghargai peninggalan leluhur kita. Tidak usah muluk-muluk ke Belanda. Meskipun jika kita bisa ke sana mencari tahu, mungkin akan lebih baik atau lebih mudah. Untuk permulaan cukuplah kita mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Dari budaya yang masih tersisa sedikit di sekitar kita.

Yang mudah, misalnya membangkitkan kecintaan pada seni tari tradisional yang mulai banyak ditinggalkan karena dianggap ndak gaul gitchu? Atau mengajarkan kembali folksong yang mulai lenyap. Mengajarkan pemahaman pada generasi muda tentang makna setiap perayaan yang kita laksanakan, misalnya saat bayi baru lahir, selamatan rumah baru, perayaan panen, pesta syukuran desa. Hal-hal kecil saja. Dari situ diharapkan bisa tumbuh minat yang akan membawa kita kembali pada pencarian jati diri bangsa ini.

Sayang sekali pemerintah kita sekarang sibuk sekali dengan kursi masing-masing, atau kompromi bagi-bagi rejeki sehingga tidak sempat memikirkan hal ini. Boro-boro menjaga tradisi, mengurus bencana alam yang sifatnya harus segera saja ndak becus. Orang sudah sekarat, dia masih rapat.

Tapi bisa jadi karena pejabat-pejabat kita ini memang sudah mati rasa, tidak berbudaya, sehingga melahirkan sikap arogan, seenaknya. Pokoknya aku ndak susah, yang lain emang gue pikirin?

Kembali lagi, mana yang lebih dulu harus kita urus kalau sudah begini? Ya…urusan bencana harus segera. Tapi paling tidak kita sudah mendapat pelajaran bahwa budaya itu penting. Jangan pernah meninggalkan budaya sendiri. Karena akan menuntun perilaku dan tindak tanduk kita. Apalagi bila kita telah menjadi seorang pemimpin. Panutan.

Artinya lagi, jangan pernah meninggalkan budaya kita sendiri. Kita yang melahirkan budaya itu. Pastilah itu yang paling cocok untuk kita. Dan juga tidak perlu menunggu pemerintah membantu. Seandainya pemerintah turun tangan membantu, memberi kepedulian, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi tidak dibantupun, kita juga harus bisa.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Mencintai Ibu Pertiwi. Masa’ yang kenal Ibu Pertiwi ini malah orang lain, anaknya sendiri ndak peduli?

Kita tidak begitu. Jadi, mari………………..

Samarinda, 7 Oktober 2006

No comments: