Wednesday, October 04, 2006

Saat Saleh menjadi Tujuan

Menyambung cerita tentang dai cilik. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan ucapan salah satu juri yang memberi komentar pada dai-dai cilik itu. Juri itu dipanggil Bunda. Beginilah kira-kira ucapan sang Bunda, “Semoga …………..menjadi anak yang pintar, yang berpengetahuan, yang saleh ………..bla bla bla………..”. Sewaktu aku mendengar kata-kata “yang saleh” aku tercenung sesaat. Sesaat saja. Tidak lama. Dan aku perlu waktu dua hari untuk paham mengapa kata-kata itu dapat membuatku tercenung sesaat seperti itu..

Saleh mengandung makna taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, suci dan beriman. Kesalehan adalah ketaatan dalam menjalankan amal ibadah. Jadi kalau seorang anak diharapkan menjadi anak yang saleh, artinya dia diharapkan akan taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, diharapkan akan menjadi anak yang suci dan beriman. Masalahnya adalah kini (mungkin sudah sejak dulu kala), hal itu kemudian malah menjadi tujuan (utama). Nah setelah saleh menjadi tujuan, apakah gerangan hal yang dapat mengantar kita dalam kesalehan?.

Menurut pemahamanku saleh adalah akibat, hasil dari proses. Ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan (amal?) ibadah adalah hasil dari upaya pemahaman diri dan pemahaman hidup dan kehidupan. Apabila saleh menjadi tujuan, maka kita hanya akan terpaku pada perilaku dan upaya-upaya untuk memperbanyak amal dan ibadah, tanpa berusaha mencari tahu apa makna dari setiap kejadian, apa maksud dari setiap gerakan, apa arti ibadah yang kita lakukan.

Lagi pula kalau hanya menyuruh orang menjadi taat itu gampang. Takut-takuti saja dengan ancaman ini dan itu. Orang bisa taat. Tetapi ketaatan itu tidak bertahan lama. Ketaatan itu hampa. Ketaatan itu bisa jadi kosmetik belaka. Superficial. Hanya agar dapat disebut sebagai ‘orang yang saleh’. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketaatan beribadah itu bukan karena cinta.

Kalau menelaah definisi saleh seperti di atas, sudah jelas aku bukan orang yang saleh. Tetapi menurutku tidak ada seorang dari kita yang dapat mengukur kesalehan orang lain. Kecuali kalau kita memang masih sibuk di dunia materi. Kalau lihat orang tungging-tungging setiap hari, lihat orang sedekah sana-sini, lantas kita menilai orang itu saleh, yah berarti memang baru sampai disinilah pemahaman kita. Baru sampai di dunia.

Tetapi, mungkin aku yang salah memahami makna saleh. Mungkin. Saat ini. Pemahamanku kini membuat segala sesuatu menjadi absurd. Semua relatif. Semua adalah proses. Semua benar.

Lalu ada temanku yang nyeletuk,” Kau tahu, pendapatmu itu tidak bisa dibawa ke tengah orang banyak”.

Kurasa dia benar. Karena itu kutuliskan di sini saja. Tidak akan banyak orang yang membacanya. Kalau sampai ada orang selain diriku yang membaca tulisan ini, artinya ……ya memang inilah waktunya dia membaca tulisan ini (^0^)

Samarinda, 2 Oktober 2006

3 comments:

biyan said...

Anda benar mba dan saya setuju. Saleh ada di pikiran dan hati. Bukan yang kelihatan saja. Salam kenal

biyan said...

Anda benar dansaya setuju. Saleh ada di hati bukan dari yang terlihat. Karena yang terlihat bisa berarti pura-pura. Absurd juga kan? Salam kenal

Anonymous said...

Saya setuju dengan Anda