Thursday, August 31, 2006

Lepas(kan) Beban

Samarinda, August 31th 2006

Minggu terakhir bulan September adalah awal bulan Ramadhan. Bulan puasa. Salah seorang temanku kemarin mengatakan bahwa di Balikpapan sudah keluar peraturan bahwa THM akan tutup selama sebulan penuh itu. Samarinda kelihatannya sama saja. Akan begitu juga.

Yang aku heran, kok bisa ya agama dipelintir begitu rupa. Untuk mengeluarkan aturan-aturan seenaknya. Mungkin benar saja sih ajarannya. Karena di THM bisa terjadi segala macam hal yang buruk. Tetapi carikan dong solusinya. Bagaimana dengan nasib ribuan orang yang menggantungkan diri di dunia itu. mungkin pemilik THM masih bisa bernapas, kalau ditutup usahanya dia banting usaha lain dulu untuk sebulan, bagaimana dengan orang-orang kecil yang terpaksa bekerja di lahan itu. Tidak punya pilihan yang lebih baik. Mau makan apa mereka, mau kemana. Itulah yang selalu kulihat. Kalau urusan sepida—selangkangan, pinggang, dada-- Islam itu care banget, sampe ndak peduli orang mau hidup atau mati. Tapi kalau urusan sosial, urusan kemiskinan, urusan kasih pada sesama nanti-nanti dululah…… Kebiasaan buruknya yang makin menjadi-jadi di era demokrasi ini ya itu, larang ini larang itu, bakar ini bakar itu, tapi habis itu ndak kasih solusi. Dibiarkan begitu saja. Disuruh pasrah. Orang pasrah ya mati juga kalau lapar. Solusinya lho, ndak ada. Cari kambing hitam aja yang pinter. Menggunakan demokrasi, kebebasan berekspresi untuk merepressi orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Kalau sudah sepaham semua, baru demokrasinya diberangus lagi. Prakteknya sudah jelas. Hanya orang-orang yang terlibat dalam proses itu yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Gila !

***

Setiap kali masuk bulan Ramadhan, hatiku terasa berat. Kalau orang lain mengatakan bahwa bulan ini adalah ‘bulan yang penuh berkah’, bagiku Ramadhan adalah ‘bulan yang penuh beban’.

Bagaimana tidak? Pertama, hatiku terbebani karena setiap hari akan melihat jalanan macet dimana-mana ditutup oleh orang yang berjualan ‘hidangan berbuka’. Sekitar 5-10 tahun yang lalu, lokasinya hanya di satu dua tempat. Sejak tahun kemaren lokasinya dimana saja ada tempat. Bahkan di halaman masjid. Yang dijual juga tidak lagi hidangan berbuka. Tapi juga pakaian dan perlengkapan untuk menyambut ‘pesta’ Lebaran. Melihat itu aku teringat kisah nabi Isa yang marah-marah pada pedagang yang berjualan di bait Allah. Tahun kemarin di sini sudah terulang kejadian itu. Bukan. Bukan kejadian nabi Isa marah-marah, tapi kejadian para pedagang berjualan di bait Allah. Aku hanya bisa menarik napas panjang, berusaha meringankan beban hatiku sendiri. History repeat itself.

Yang kedua hatiku terbebani lagi oleh kewajiban bangun jam 2 malam, menghangatkan makanan, membangunkan seluruh anggota keluarga untuk makan sahur bersama. Eiits…. Pasti ada yang marah atau mencibir. Apa-apaan ini, dasar murtad kafir. Tidak mau menjalankan perintah agamanya!

He he he… terus terang saja, aku pernah bilang sama suamiku. Aku tidak merasa berbahagia dengan puasa Ramadhan ini. Karena aku terpaksa. Aku terpaksa menjalankan ‘perintah agama’ supaya dinilai orang baik, supaya tidak dimarahi, dicibir, dihina diam-diam ataupun terang-terangan. Kalau terpaksa begini dimana lagi nilai ibadahnya. Tapi lalu ada yang bilang, “Kalau begitu yang ikhlas donk, dipahami apa arti puasa bla bla bla….”
Tapi sampai umurku yang segini, aku kok tidak paham-paham ya maksud puasa yang diajarkan Islam. Meskipun nglothok sih di kepalaku tentang puasa, ramadhan, malam seribu bulan, berkah, pahala, dll, dll, tapi semua itu kehilangan makna begitu menghadapi sekian banyak orang yang mengaku Islam sejati tetapi tingkah lakunya munafik, sok suci, merasa benar sendiri, sok membela agama tapi menzalimi hak orang lain, menyalah-nyalahkan orang, pokoknya kelakuannya jauh deh dari isi ajarannya. Belum lagi sekian banyak orang yang berpengetahuan agama tapi ya sekedar tahu saja, isi kitab hapal nglothok dia, tapi saat aplikasi nol besar. Pengetahuannya tentang berbagai kitab itu hanya digunakan untuk pembenaran atas setiap tindakan yang dilakukan, hati nurani ditinggalkan untuk berpedoman pada petunjuk yang sudah usang, ayat-ayat, hadits-hadits dipelintir seenaknya. Siapa juga yang tahu ?

Lalu puasa tahun ini bagaimana ya ? Hm….. gampang deh….
 
Tapi aku masih punya beban ketiga. Ini lho acara TV yang isinya religius semua. Tapi makna religius itu begini, pakaian tertutup rapat, pokoknya model koko sama jilbab. Lalu berbau-bau mistis, berdarah, agak menjijikkan (ada binatang-binatang melatanya, hiiii….), tampar-tamparan, tokoh jahatnya jahat banget, yang baik goblok banget, ada yang ngomongnya yang manis-manis yang baik-baik, sampai menangis, tapi rasanya kok yang ngomong itu nggak ngerti sama yang diomonginnya. Pokoknya keren modal pertama. Jadi itu tuh maksudnya religius! Dalam hal ini, orang-orang media itulah yang punya andil besar dalam pembodohan masyarakat. Yang terlibat di dalamnya sih juga, dengan alasan masing-masing. Lalu Ramadhan ini ? Oh mati aku, makin bertebaranlah acara-acara berlabel religius. Rasanya aku harus cukup berpuas diri dengan kaset dvd anakku saja, dora atau baby einstein, atau kartun-kartun lainnya saja.
Sekali lagi, Gila !
***


Dengan begini, aku lepaskan semua bebanku tentang Ramadhan.
Sampai jumpa bulan depan
Dengan semangat tinggi
Memperingati hari bakti Ibu Pertiwi

Semoga semua makhluk berbahagia

No comments: