Hari Kamis yang lalu aku mengambil cuti sehari khusus untuk melakukan hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain akan dilakukan olehku. Aku mewujudkan keinginanku untuk DIFOTO seperti seorang model.
Aku merasa diberkahi memperoleh suami yang bisa memahami keinginanku yang tidak biasa, mau membantu, memfasilitasi dengan ide-idenya yang luar biasa. Jadilah hari itu seharian aku dijepret sana sini sampai 400 kali. Just like the model!
Aku berdandan. Mengenakan bermacam-macam pakaian yang sulit aku kenakan di hari-hari biasa karena bisa-bisa mata orang melotot padaku karena dianggap tidak sopan. Memakai wig yang sudah kusimpan hampir setahun. Mencoba bermacam-macam gaya. Dari gaya bengong bego sampai gaya penari India. Dari gaya robot sampai postur yoga. Aku mencoba semuanya. And that was really fun!
Suamiku mengatur dekorasi, background, pencahayaan (yang masih sangat amatiran), memotret (terima kasih Tuhan kini sudah ada kamera digital, sangat membantu), mengarahkan gaya agar terlihat ciamik di kamera, termasuk menyiapkan konsumsi karena aku tidak masak seharian.
Anakku yang besar memilih main ke tempat temannya. Anakku yang kecil kutitipkan ke tempat penitipan biasa. Jadilah aku menikmati seharian itu menjadi seorang model tanpa gangguan, bergaya seperti model dan merasakan lelah dan sulitnya melakukan pemotretan semacam itu. Perlu energi, stamina yang oke, konsentrasi dan kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dari pengalaman ini juga aku menjadi lebih menghargai profesi seorang model dan fotografer. (Sssttt……..suamiku juga kelelahan, sampai 3 hari kemudian baru dia merasa fit lagi)
Tetapi hal yang paling asyik dari semua itu adalah aku sempat berpose persis seperti pose Sophia Latjuba di majalah Popular yang bikin heboh pada waktu itu (sudah berapa tahun yang lalu ya kejadiannya?). Foto bugil tapi tidak terlihat bugil (semoga tidak ada yang protes, karena aku difoto oleh suami sendiri, hasil fotonya untuk dinikmati sendiri, ini bukan untuk konsumsi umum!) – yang indah!
Setelah sesi pemotretan yang melelahkan itu tibalah saatnya aku dan suamiku memilih, menyortir hasil pemotretan hingga terkumpul sekitar 100-an foto yang cukup oke untuk fotografer dan model amatiran seperti kami. Termasuk foto ala Sophia Latjuba yang kusimpan rapi tersendiri dengan hati-hati (Tapi bangga bo! Aku bisa terlihat indah di usia yang sudah segini!)
Dari situlah diskusi ini bermula. Aku bertanya mengapa banyak orang (baca: laki-laki) yang tidak tahan memandang foto-foto semacam ini, sehingga bertebaranlah majalah atau koran atau media yang jualannya yah sekitar begituan lah. (Hukum ekonomi : ada permintaan –demand-- maka ada penawaran --supply. Kalau sekarang terlihat supply-nya lebih banyak, heboh, gegap gempita, itu karena mereka yang memberi supply tahu bahwa banyak sekali potential demand yang belum tergarap di luar sana! –termasuk orang-orang golongan PIKTOR LACI –PIKiran koTOR berLAgak suCI--)
Kesimpulannya hanyalah bahwa semua karena hal-hal yang indah ini telah disalahpahami. Bahwa ketelanjangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang alami. Bahwa keadaan alami manusia di masa sekarang ini selalu dikatakan sebagai hal yang mengundang malu atau birahi. Dan yang paling ngawur, adalah saat birahi kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menimbulkan dosa. Padahal misalnya, apabila dalam sebuah rumah tangga birahi tidak ada, hancurlah rumah tangga itu, dan bingunglah pasangan suami istri itu mencari solusi kemana-mana.
Jadi pada akhirnya semua hanya karena kesalahan proses berpikir, yang kebanyakan bermula dari doktrin agama yang dipahami keliru. Seperti misalnya; berpakaianlah yang sopan dan pantas, tapi kemudian dipahami sebagai --kalau bahunya terbuka itu artinya menggoda iman. Atau kalau memakai pakaian ketat artinya mengundang ke ranjang. Nah lo!
Seandainya orang melihat perempuan pakai kebaya cukup dinikmati saja, --oh indahnya. Atau lihat orang pakai bikini, maklum saja. Tidak marah-marah pada yang pakai bikini (karena biasanya yang marah-marah itu tidak mampu pakai bikini karena malu--gemuk, cacat dllsb). Yang laki-laki juga tidak perlu melotot lihat perempuan berbikini, saingi saja dengan memakai celana speedo. Selesai perkara!
Jadi apakah ketelanjangan mengundang birahi? Jawabannya relatif bagi setiap orang. Tapi tidak seharusnya seseorang menghakimi yang lain atau sekelompok orang memaksakan nilainya tentang hal itu pada yang lain.
Aku sendiri menikmati ketelanjanganku. Dan menerima keadaan diriku ini sepenuhnya. Begitu juga orang-orang yang mencintaiku.
Samarinda, 17 November 2006
No comments:
Post a Comment