Semester ini aku mendapat kuliah Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Suer…. 10 atau 15 tahun yang lalu mata kuliah ini pasti sangat tidak menarik bagiku. Tapi sekarang lain lagi. Aku sangat berminat. Tertarik. Dan kagum mendengar penjelasan dosenku tentang tanah, air, hutan. Tentang bermacam-macam sumber daya alam dengan segala sifat yang melekat padanya, dengan segala penggolongan menurut apa dan siapa yang menelitinya. Aku kagum mengetahui bahwa manusia sekarang ini telah begitu pintar sehingga dapat mempelajari susunan tanah, sifat tanah, jenis hutan, perilaku air, and so on and so forth tentang segala macam ilmu tentang lingkungan, tentang sumber daya alam yang semua sudah, masih dan akan terus dipelajari oleh manusia.
Aku juga menjadi tahu bahwa semua pengetahuan itu telah dicoba terapkan dengan menyusun peraturan, membuat strategi dan rencana yang baik sekali (sungguh kukatakan : BAIK SEKALI!) untuk mengatur pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa begitu banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Padahal sejak dulu sudah ada lembaga yang khusus menangani hal itu, di bawah kementerian lingkungan hidup.
Kita ingat bahwa untuk setiap pembangunan (baca: eksploitasi hasil alam, perumahan, pembukaan lahan, pembangunan industri) dalam skala yang mengakibatkan perubahan landscape itu harus memenuhi persyaratan AMDAL. Dengan adanya persyaratan AMDAL sebelum pembangunan dimulai itu masyarakat luas sebenarnya mempunyai suara untuk menyetujui atau menggugurkan suatu usulan pembangunan. Belum lagi kalau menyebut begitu banyak lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang berperan sebagai kontrol dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Tanggung Jawab Bersama
Mungkin jawabannya harus kita runut dengan seksama, satu persatu, step by step, case by case. Siapa yang bertanggung jawab : semua elemen, baik pemerintah (sebagai pengatur & pengelola) industri (pihak pemrakarsa, pembangun) dan masyarakat (sebagai konsumen dan yang terkena dampak lingkungan). Apakah semua elemen ini sudah menjalankan fungsinya? Jawabannya : TIDAK.
Pemerintah sering (atau malah selalu?) kongkalikong dengan pemrakarsa (baca : pengusaha) sehingga bisa jadi kita mendengar AMDAL yang disusulkan belakangan setelah pembangunan selesai, atau data AMDAL yang telah dimanipulasi. Karena hampir dapat dipastikan, sulit sekali bagi pengusaha untuk kucing-kucingan melanggar peraturan kalau tidak main mata dengan pemerintah sebagai pengawas pemanfaatan lingkungan.
Bagaimana dengan masyarakat ? Biasanya masyarakat itu tidak peduli selama dia belum merasa terganggu dengan suatu kegiatan pembangunan. Ada juga beberapa yang ribut, tapi hampir selalu tidak mendapat perhatian. Lebih banyak lagi yang protes setelah terjadi kerusakan parah dan membahayakan. Tapi pada akhirnya tetap saja keluhannya tidak mendapat respon yang positif baik dari pihak pengusaha maupun pemerintah. Intinya masyarakat selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dalam hal ini. Jadi dimulai dari sikap tidak peduli masyarakat – menjadi keluhan massal yang selalu tidak mendapat tanggapan – pada akhirnya lahir sikap apatis terhadap situasi di sekelilingnya.
Sebenarnya hal ini sangat menyedihkan. Tetapi tinggalkan dulu soal itu. Sekarang apa tindakan yang harus diambil ?
Jangka pendek tentu saja jawaban yang pasti adalah pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas harus introspeksi diri agar menjalankan fungsinya sesuai yang seharusnya. (Tetapi bagaimana ya…..umumnya orang-orang yang duduk di bagian ini di negara kita adalah orang-orang yang berjiwa pedagang dan opportunist. Semua tindakan berdasarkan perhitungan ekonomis. Untuk kepentingan pribadi, atau paling banter untuk golongannya sendiri. Jadi sulit sekali mengharapkan perubahan, walaupun kita tidak boleh berputus harapan).
Tindakan jangka panjang, nah ini dia PR bagi kita semua seluruh elemen bangsa ini. Yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran bahwa kita semua di timur di barat, di desa di kota, di gunung, di lembah adalah satu. Saling terkait dan bergantung dalam satu siklus kehidupan. Bahkan saling terkait antar kehidupan sebelum ini—apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita—kehidupan kita sekarang, dan kehidupan yang akan datang—generasi anak cucu kita. Kalau semua orang memahami ini, sebenarnya konyol sekali kalau masih ada yang ngotot mencari keuntungan sesaat. Karena pada waktunya nanti kekonyolannya itu pasti akan melahirkan kesulitan bagi dirinya sendiri.
Tapi memang sekarang ini pepatah, “Siapa yang menabur dia yang menuai” itu sudah tidak dianggap lagi. Dianggap hanya ungkapan indah peninggalan orang dulu. Tidak banyak lagi yang berusaha memahami makna dan kebenarannya. Karena itu banyak sekali ditemui orang-orang konyol sekarang ini yang menganggap kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita itu adalah cobaan, ujian dari Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa kebanyakan orang sungguh tidak paham akan siklus kehidupan yang sedemikian alami.
Jadi bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kembali ke rencana jangka pendek, ya gedorin orang-orang pemerintah terutama para pengambil keputusan agar melek mata pada apa yang sedang terjadi dan segera sadar dan tegas untuk mengambil tindakan koreksi. Lalu gedorin juga pihak pemrakarsa agar tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, uang, uang, dan uang saja. (Mungkin bisa dengan cara di suruh retreat ke alam terbuka dengan program khusus mempelajari dan belajar mencintai alam gitchu kali ye…..pokoknya diwajibkan ….he..he..he…..;)
Bagaimana dengan masyarakat? Oh kalau masyarakat itu proyek (yang ini proyek minus uang) jangka panjang. Karena sebenarnya menyadarkan masyarakat lebih gampang karena masyarakat yang paling terkena dampak, yang paling menderita kalau ada kerusakan lingkungan. Masyarakat ada di piramida paling bawah, jadi paling mudah diarahkan. Tetapi bukan berarti mudah dalam pelaksanaan. Karena harus dimulai sejak dini. Dini sekali sejak masih anak-anak.
Anak-anak yang masih polos, tanpa prasangka, tanpa tendensi apapun pada siapapun yang dihadapinya, kepada mereka itulah kita harus menanamkan pemahaman yang benar tentang peran PENTING lingkungan sebagai tempat kita tinggal, tumbuh dan berkembang. Kapan kita bisa mengambil manfaat, kapan kita harus berhenti, bagaimana cara beradab memperlakukan alam. Jangan jadi manusia tak tahu diri.
Pada masa ini harus sudah diajarkan pemahaman yang benar tentang keterkaitan antara segala sesuatu di alam ini. Ada keterkaitan dan ketergantungan yang begitu jelas di mata, ada yang tidak jelas hingga sulit membayangkannya.
(Tetapi bagaimana ya….. sekarang anak-anak makin jauh dari alam. Turun dari rumah gedongan, masuk gedong sekolah. Lepas dari sekolah masuk gedong mall, atau ambil les ini itu belajar lagi di dalam gedong, mungkin di daerah gedongan juga. Nanti akhirnya pulang masuk rumahnya yang gedongan lagi untuk tidur. Sementara yang tidak punya rumah gedongan sudah disodori bayangan enaknya tinggal di rumah gedongan dari tontonan yang non stop 24 jam. Jadi cita-citanya pun ya jadi orang gedongan. Lupa menikmati sejengkal halaman yang banyak tanaman. Jadi bagaimana mau cinta alam, mau kenal alam, kalau sejak lahir, tumbuh besar kemana-mana hanya masuk dalam sangkar gedong lagi?)
Action, action, action
Begitulah keadaan kita sekarang ini. Kalau kita lihat contoh garis besar kejadiannya:
- Pertama bencana terjadi di Indonesia (misal kebakaran hutan).
- Kenapa terjadi bencana? Karena tindakan manusia mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, atau bahasa kerennya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan (ceritanya mau bikin perkebunan, pH tanah tidak cocok dengan tanaman yang akan ditanami, jadi bakar dulu lokasi untuk meningkatkan pH tanah tadi).
- Siapa yang terkena bencana? Seluruh masyarakat, bisa di sekitar lokasi bisa juga jauh dari lokasi. (Ingat, kebakaran hutan di Indonesia, yang keasapan dan menuai penyakit selain Indonesia sendiri juga negara tetangga. Tetapi biasanya si pemrakarsa --dalam contoh ini yang membakar hutan-- tidak terkena dampak secara langsung, karena mereka berduitlah..)
- Kapan bencana terjadi ? Ada yang bisa diprediksi karena selalu berulang setiap tahun tapi tidak kunjung disadari dan diatasi. Ada bencana baru akibat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ada yang memang baru sama sekali. (Mungkin yang baru ini bisa dicontohkan bencana Lumpur Lapindo lah….)
Jadi apakah kita sudah mendapat jawaban dari pertanyaan kita di atas? Rasanya sudahlah yau….. Tinggal actionnya sekarang.
Saya mengajak Anda yang membaca tulisan ini, memberi sedikit sumbangan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan sekarang ini. Tapi tenang saja, saya tidak minta uang.
Saya hanya minta kesediaan Anda, Anda, dan Anda untuk sedikit melakukan perubahan setiap hari. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, kalau ada tanah sejengkal di halaman tanamilah dengan pepohonan, kalau ada kesempatan melakukan usaha/bisnis jangan sampai merusak lingkungan, sedapatnya membuat rumah yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan iklim tropis kita ini jadi tidak perlu pake AC, tidak perlu listrik untuk penerangan nonstop 24 jam lagi.
Bagi yang kerja kantoran sebisanya memanfaatkan kertas bekas sebelum benar-benar dibuang, mengurangi pemakaian kertas tissue, menaruh beberapa tanaman yang dapat menghisap racun di udara seperti tanaman Chinesse Evergreen (sejenis Sri Rejeki) atau Dracaena (yang ini saya lupa nama lokalnya) untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.
Bagi ibu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian diapers, lebih menyukai hasil kebun lokal daripada impor (kebun lokal biasanya kalah mutu sama produk luar. Kelihatannya dari daunnya yang bolong-bolong, berulat, jelek, cepat busuk karena cara pengemasan yang kurang ok. Tetapi itu juga indikasi pemakaian pestisida yang minim, jadi sayuran lebih sehat, tanah kebunnya juga lebih sehat. Efek selanjutnya kalau permintaan untuk barang lokal tinggi maka pasar bisa bergeser mengangkat produk lokal menjadi primadona, lalu petani untung, lahan kita juga selamat. Jauh sih hubungannya, tapi tetap ada jika ditelusuri lebih jauh)
Begitulah kira-kira. Anda pasti bisa menambah panjang daftar itu.
The point is: it must be started from ourselves. Semua harus kita mulai dari diri kita sendiri. Percayalah, tindakan-tindakan kecil ini akan membawa perubahan besar pada waktunya. Yang diperlukan hanya kemauan.
Sekarang!
2 comments:
kuliah dimana? boleh tahu?
saya kuliah di STIMI Samarinda, malam hari, siang kan kerja :0)
Post a Comment