Masih tentang ibadah. Sekarang hampir ditiap sekolah dasar di kotaku ini dibangun tempat ibadah --masjid atau langgar--. Aku tidak tahu mereka menyebutnya masjid atau langgar. Yang pasti meskipun halaman sekolahnya sudah sempit, tetap saja maksa untuk dibangun masjid. Ada yang tadinya aula untuk pertunjukan kesenian atau ketrampilan anak muridnya --seperti bekas sekolah anak pertamaku--, kini aula itu disulap juga menjadi masjid. Dalam hal ini aku memberi contoh sekolah dasar, karena sekolah-sekolah itu umumnya terletak di tepi jalan besar. Jadi tampak jelas di mataku.
Mungkin hal ini berkaitan dengan usulan yang dimulai beberapa tahun yang lalu untuk memasukkan kembali pelajaran Budi Pekerti dalam kurikulum sekolah. Kukatakan mungkin, karena aku tidak tahu pasti. Hanya saja kecenderungan seperti ini kulihat merebak mulai tahun lalu. Aku sendiri agak blunder dengan masalah ini. Aku tidak mengetahui dengan pasti apakah budi pekerti menjadi suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau jadi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang lain. Entahlah. Kelihatannya sih menjadi mata pelajaran sendiri, soalnya sudah ada bukunya kulihat di toko buku.
Tetapi kemudian secara perlahan aku menemui perubahan pada keadaan sekolah-sekolah di Samarinda ini. Aku dulu pernah mendengar sekilas bahwa, salah satu cara untuk menanamkan budi pekerti adalah dengan penerapan aturan mengenakan pakaian muslim tiap hari Jumat, juga diadakan pengajian di sekolah tiap hari Jumat pagi. Malah belakangan, di tahun ajaran yang baru ini, seragam sekolah yang semula rok pendek-celana pendek-baju lengan pendek menjadi rok panjang-celana panjang-baju lengan panjang. Mungkin besok-besok siswa putri diwajibkan berjilbab. Dan sekarang rame-rame bangun masjid di halaman sekolah.
Sebenarnya gejala rame-rame bangun tempat ibadah ini tidak hanya di sekolah dasar. Mungkin SMP dan SMA juga, hanya aku yang tidak melihatnya. Tetapi Kampus Unmul (Universitas Mulawarman), iya. Sekarang hampir di setiap fakultas di Unmul ada masjid atau musholla. Bahkan instansi pemerintah. Di beberapa instansi mereka juga membangun musholla sendiri. Lucunya, kadang-kadang bangunan musholla mereka itu cuma berjarak + 50 m dari masjid yang memang sudah lama berdiri.
Apakah gejala ini juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia? Entahlah……. Semoga tidak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ini semua hasil dari pengejawantahan pelajaran Budi Pekerti, hasil dari penafsiran terhadap pelajaran Budi Pekerti ? Kalau jawabannya ya. Aneh rasanya. Karena apakah dengan mengenakan identitas muslim (baca:keagamaan) akan mampu merubah seseorang menjadi ber-BUDI PEKERTI yang baik? Apakah dengan dibangun masjid di tiap sekolah akan membuat anak murid menjadi lebih ber-BUDI PEKERTI?
Menurut pendapatku tidak. Karena budi pekerti adalah hasil olah rasa. Hasil budaya. Hasil peradaban. Bukan doktrin. Bukan perilaku yang dipaksakan. Jadi meskipun semua orang dipaksa mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas keagamaan, meskipun kemana mata memandang yang terlihat hanya rumah ibadah, kalau tidak ada penghalusan rasa, tidak ada budaya yang dipelihara, pengembangan budi pekerti adalah non sense belaka.
Budi artinya pikiran yang jernih, sedangkan Pekerti berarti akhlak, watak perbuatan yang baik. Jadi budi pekerti adalah watak perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang jernih. Budi pekerti adalah ibu dari segala prinsip moral, etika, dan perilaku yang baik dan tepat. Budi pekerti idealnya dikembangkan dari rumah oleh orang tua dan keluarga kemudian juga oleh lingkungan sosial di sekitar kita secara langsung atau tidak langsung.
Begitulah pemahamanku tentang budi pekerti. Itu bukan doktrin. Itu adalah pemahaman. Pemahaman pada diri sendiri yang pada gilirannya berarti kita juga akan paham pada lingkungan di sekitar kita. Setelah paham, secara spontan kita akan bertindak dengan penuh kesadaran. Hasilnya pasti akan baik. Tetapi intinya tetap pada diri sendiri. Pemahaman diri. Untuk itu yang diperlukan adalah introspeksi. Orang yang sudah paham, akan memberi contoh berupa pikiran, ucapan dan tindakan atau perilaku yang baik. Dan anak-anak akan meniru yang baik tadi. Lingkungannya pun akan terkena kebaikannya tadi. Begitu saja. Alami. Natural. Tanpa paksaan. Karena memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi diseragamkan.
Kembali tentang judul tulisan ini. Sebenarnya hanya itulah yang ingin kusampaikan. Mengapa sekarang banyak bertebaran rumah ibadah, tetapi aku tidak melihat jiwa yang beribadah.
Jiwa yang beribadah tidak bisa membenci, tidak bisa menghasut, tidak bisa terkotak-kotak, tidak bisa memandang diri lebih tinggi dari orang lain, tidak merasa benar sendiri. Jiwa yang beribadah adalah jiwa yang rendah hati, yang terbuka, penuh cinta, penuh kasih, memahami kenyataan yang satu dalam realitas(?) kehidupan, yang mampu melihat secara jernih apa kedudukannya di alam semesta yang maha……ini.
Tidak banyak orang yang seperti itu bukan? Tetapi ada. Masih ada.
Aku bermimpi jiwa yang beribadah akan semakin banyak. Seperti riak gelombang di sungai Mahakam. Ada tetapi tak tampak di permukaan. Tak tampak bukan berarti tak kuat riaknya. Kini aku memimpikan riak-riak itu berkenan muncul dan membagi rasa dengan sekelilingnya. Sehingga akan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang tersentuh. Jiwa-jiwa lembut. Yang penuh cinta.
Aku di sini hanya ingin berbagi rasa
Karena aku nelangsa
Lebih banyak orang yang buta
Hanya menilai yang kasat mata
Lupa pada akar budaya
Adat tradisi leluhurnya
Yang mewariskan tata krama
Budi pekerti ada didalamnya
Lebih suka meniru-niru
Budaya seberang dianggap luhung
Tidak berkaca dulu
Agar paham bahwa nenek moyangnya sudah agung
Samarinda, 6 Oktober 2006
2 comments:
Ya itulah Indonesia kini. Banyak orang dengan serta merta menyamakan antara hubungan horizontal dengan hubungan vertikal terhadap sesama. Sungguh merendahkan Tuhan. Rajin sembahyang atau apa pun sama sekali ga ada hubungannya dengan budi pekerti. Kita lihat nanti kapan keburukan, kebobrokan ini akan berakhir.
padahal tujuan agama setahu saya untuk menyempurnakan akhlak, budi pekerti.
Post a Comment