Samarinda, Sept 15th 2006
Ada sebuah toko alat memancing di Samarinda yang secara kreatif membuat iklan di depan tokonya. Mungkin maksudnya ingin meniru iklan A Mild. Jadi iklannya pun berganti tema sebulan sekali. Pernah dia membuat gambar monyet dengan tulisan, ”Sulitnya jadi manusia”. Lain waktu tulisannya berbunyi, “Jika ingin kedamaian, belok sini”. Atau “ Seandainya semua orang senang memancing, dunia akan lebih tenang”. Pokoknya kalimat-kalimatnya seru, unik dan lucu juga jika kita perhatikan.
Tetapi di antara semua iklan yang dipasang mereka selama ini, iklan yang terakhir dan masih terpasang sampai hari inilah yang sangat menggelitikku. Bunyinya,” Masih samakah INDONESIAMU dengan INDONESIAKU?”
Kebetulan setiap kali aku pergi kuliah, aku harus melewati toko itu. Jadi tulisan itu terbaca lagi. Sejak awal, tulisan itu sudah membuatku merenung. Ya. Masih samakah Indonesiaku dengan Indonesiamu?
Kelihatannya saat ini, Indonesia, negara ini, bangsa ini punya arti banyak bagi setiap orang. Kalau kau katakan bahwa segala sesuatu pasti punya arti berbeda bagi setiap orang, pernyataan itu memang benar. Jadi misalnya, pohon kayu sangat berarti bagiku, tetapi mungkin kurang berarti bagimu yang lebih suka mengutak-atik mesin-mesin. Mungkin malah pohon kayu itu hanya akan menjadi bahan percobaan untuk mesin-mesinmu. Sama halnya denganku. Mesin-mesinmu itupun tak berarti bagiku. Jadi jika mesin-mesinmu ada disekelilingku bisa jadi kusingkirkan jauh-jauh saja supaya tidak menggangguku. Ya, itu benar.
Masalahnya Indonesia adalah tanah air bagi kita berdua yang punya kesukaan dan minat berbeda ini. Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku? Jika aku menganggap Indonesia tanah kelahiranku, udara dan air kehidupanku, api semangatku dan tempat tinggalku, apakah kau juga menganggapnya seperti itu ?
Seharusnya ya, sama. Seharusnya kau juga menganggapnya seperti itu. Seharusnya setiap orang Indonesia mengakui Indonesia seperti itu. sebagai Ibu yang melahirkan setiap jiwa yang tumbuh di sini. Seharusnya!
Sayangnya sekarang tidak begitu yang terjadi.
Dulu waktu aku kecil, aku tahu aku cinta dengan negara ini. Aku cinta Indonesia sepenuh-penuhnya. Sewaktu ada gerakan Aku Cinta Indonesia dengan wujud gerakan untuk selalu membeli dan memakai barang Indonesia sendiri, aku masih berumur belasan tahun dan merasa terheran-heran. Kenapa harus ada gerakan seperti itu? Bukankah suatu hal yang wajar kalau kita mencintai produk kita sendiri. Itu biasa saja. Rupanya akulah yang belum paham dunia. Seiring dengan pertambahan usia, seiring dengan perubahan lingkungan pergaulan, bacaan, pertambahan pengetahuan lingkungan, barulah aku mulai memahami kenapa waktu itu ada gerakan Aku Cinta Indonesia.
Aku merasa dalam dua dekade terakhir ini, rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air, rasa bangga memiliki Ibu Pertiwi seperti Indonesia itu luntur dari dada setiap orang Indonesia. Sebagian orang menyalahkan sistem Orba yang menjejalkan P4 sejak kecil hingga kita dewasa sebagai penyebabnya sehingga kita jenuh dengan hal-hal bela bangsa. Tetapi menurutku bukan itu penyebabnya.
Bukan penataran P4 yang salah. Malah sekarang setelah penataran P4 dihapuskan orang makin tidak kenal dengan Pancasila, kristalisasi jiwa bangsa ini. Bahkan anak sekolahpun belum tentu tahu dan hapal sila-sila Pancasila, apalagi memahaminya. Bukan. Bukan itu.
Menurutku yang salah itu adalah para pemimpin bangsa ini, juga anggota dewan yang terhormat, entah dewan tinggi dan dewan rendah, para pejabat juga para hakim yang mulia yang tidak memberi contoh pada masyarakatnya, bagaimana mencintai tanah air. Ya, mereka tidak bisa memberi contoh karena mereka tidak cinta tanah air, mereka sibuk berdagang, memperdagangkan tanah air. Tetapi anehnya, orang-orang selalu menyalahkan sistemnya. Kalau ada yang tidak beres jalannya, sistem disalahkan. Padahal sebagus apapun sistem yang dimiliki kalau manusianya tidak beres ya tidak akan pernah bisa berjalan baik.
Jadi sebenarnya, seandainya pertanyaan “Apakah Indonesiamu masih sama dengan Indonesiaku?” , kalau diajukan dikalangan akar rumput, jawabannya akan sama. Ya tentu saja. Ini tempat tinggalku, tanah airku, tumpah darahku. Indonesia adalah tempat tinggal kita, tanah air kita, dan tumpah darah kita. Tetapi kalau diajukan kepada pejabat-pejabat itu jawaban yang akan kita temui seandainya mereka berani jujur mungkin, “Hmm…….Indonesia adalah tempat usahaku dan istana kekuasaanku. Tumpah darahku? Ndak la yau…….”
Tetapi karena mereka-merekalah yang dilihat setiap hari oleh rakyat kecil dilayar kaca, mereka juga yang menjadi berita yang dibaca di koran dan majalah. Bahkan banyak lagi rakyat kecil yang merasakan secara langsung akibat perbuatan mereka--jiwa-jiwa pedagang pemimpin bangsa ini--, rakyat juga menjadi kebal. Dan bebal. Orang-orang mulai meninggalkan nuraninya untuk bertahan hidup. Ada yang untuk memperbaiki taraf hidup. Orang-orang berpikir pendek, opportunist dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang menjadi egois, tidak sensitif bahkan apatis. Ya sesuai kata pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Jadi, jika ingin jawaban ya untuk pertanyaan awal tadi, sepertinya kita harus membersihkan petinggi-petinggi negara dari orang-orang bermental tempe semacam ini. Ya. Bermental tempe. Para pejabat itulah yang bermental tempe. Orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan orang yang lemah, tidak punya pendirian, gampang ciut nyalinya. Rasanya itulah gambaran yang tepat buat petinggi-petinggi bangsa kita sekarang ini. Bisa koar-koar doang tentang mensejahterakan rakyat, tapi saat disuruh kerja hasilnya yang untuk rakyat adalah nol besar. Yang nyata hanya kerusakan yang makin dalam, makin besar dan makin luas yang dirasakan Ibu Pertiwi, tanah air kita tercinta ini.
Jika dipersonifikasikan, Ibu Pertiwi kita ini sudah dilucuti perhiasannya, ditelanjangi tubuhnya, digores, dilukai, diperkosa, oleh orang asing, anak-anaknya malah hanya menonton saja, tidak membantu sang Ibu, alih-alih malah membantu si orang asing menyiksa Ibunya sendiri. Begitulah yang terjadi.
Lalu jika ada yang bertanya, ini salah siapa? Jawabnya ya salah kita semua, kenapa diam saja. Kenapa memilih wakil-wakil yang memimpin negara ini orang-orang yang tidak becus. Kenapa kita tidak memberdayakan diri kita sendiri. Memberdayakan lingkungan kita. Agar kita berani. Bukan berani berperang, atau berani membunuh orang yang tidak sepaham, bukan begitu. Tetapi berani karena kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Berani karena kita percaya diri bahwa kita mampu. Berani berkata tidak pada pihak-pihak yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari keberadaan kita. Berani karena yakin bahwa Indonesiaku adalah Indonesiamu, adalah Indonesia kita semua.
Aku cinta tanah airku
Aku merasa yakin kini bahwa aku mencintai tanah airku
Meskipun kadang aku malu dengan keadaan Ibu-ku
Meskipun kadang aku malu melihat kelakuan anak-anak Ibu-ku
Tapi juga aku adalah bagian dari anak-anak itu
Aku harus mengubah kelakuanku
Hingga aku pantas menghirup udara Ibu-ku
Hingga layak aku bersimpuh di kakimu Ibu
Hingga aku mampu mempercantik Ibu-ku
Terima kasih padamu Ibu Pertiwi - Indonesiaku
No comments:
Post a Comment