Samarinda, August 29th 2006
Aku merasa akhir-akhir ini egoku cepat sekali ‘naik’. Aku cepat marah. Cepat tersinggung. Aku tidak sepenuhnya paham dengan penyebabnya. Aku menduga-duga saja. Apakah karena latihan-latihan yang kulakukan, atau karena sisa-sisa kemarahanku beberapa waktu yang lalu itu saja.
Aku sendiri tidak merasa nyaman dengan keadaan ini. Aku berusaha. Kukatakan sekali lagi, aku berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi hatiku tidak mau dibohongi. Aku sulit berpura-pura baik kalau aku tidak ingin baik. Aku tahu aku lebih jujur pada diriku sendiri sekarang, tetapi ada efek buruknya juga. Aku juga lebih jujur pada orang lain. Termasuk kalau aku sedang marah pada mereka.
***
Tulisanku yang lalu tentang Sabdo Palon, juga banyak mendapat komentar. Ada yang ngajak diskusi, ada yang berkomentar saja. Ada yang sekedar berkomentar, ada yang menguji, ada yang menilai-nilai, ada yang menyalah-nyalahkan. Aku sempat berpikir kemungkinan tulisan itu kutarik saja dari blogku ini. Karena aku tidak ingin memancing keributan yang tidak ‘nggenah’. Orang nggak ngerti ribut, kan nggak nggenah ributnya. Tapi kemudian suamiku bilang, sebanyak apa orang yang ribut membaca itu, mungkin lebih banyak lagi yang malah mendapat pemahaman baru. Karena tiap orang menyikapi sesuatu secara berbeda. Banyak yang suka ribut, lebih banyak lagi yang diam. Tetapi karena diam, bukan berarti mereka tidak mengerti.
Jadi meskipun aku masih merasa sangsi, aku membatalkan niatku semula. Tulisan itu kubiarkan di blog ini. Aku merasa lebih baik aku cepat memulihkan keadaan diriku agar dapat berkarya yang lain lagi.
***
Sudah hampir enam minggu ini aku dan suamiku mengerjakan latihan ‘olah tenaga dalam’. Dalam upaya membangun pertahanan diri dan memahami diri sendiri. Banyak hal kualami selama enam minggu ini. Banyak pemahaman baru. Terlalu banyak pemahaman baru hingga aku tidak tahu lagi bagaimana menuliskannya. Mungkin harus kuendapkan dulu beberapa waktu, baru mutiara-mutiaranya terkuak dengan jelas.
Meskipun ada hal yang lucu dalam hal ini. Sehubungan dengan ‘pelajaran’ yang kudapatkan. Biasanya orang kalau berguru itu mengejar gurunya kemana-mana. Sejauh apapun. Kalau aku tidak. Gurunya yang datang. Aku syukuri itu sebagai berkah. Karena kalau aku wajib mengejar guru, mungkin aku tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Aku bisa kemana? Tapi karena aku hanya perlu meyiapkan diri, guruku akan datang sendiri, segalanya menjadi lebih mudah bagiku.
Kurasa sebenarnya cara kerjanya memang begitu. Kita hanya perlu menyiapkan diri. Maka GURUmu akan segera muncul, tepat di depan hidungmu. Tapi kalau kita belum siap, mau kita kejar sampai ke Himalaya juga gurunya tidak akan muncul.
Ada yang berkomentar itu padaku. Bahwa kita harus ‘berguru’ agar tidak tersesat setan. Begitulah intinya. Aku menolak pendapatnya. Dan aku menolak itu dengan penuh keyakinan. Karena aku tahu apa yang kukatakan. Karena aku tahu atas dasar pengalaman, pengalamanku sendiri. Aku bisa berguru pada siapa saja, pada apa saja. Pada saatnya aku perlu ‘seseorang’ untuk membimbingku, maka aku akan bertemu dengan ‘guruku’, dengan seseorang itu. Yang perlu kulakukan hanya menyiapkan diri, be reseptive. Contemplative. Dan Semesta akan menyiapkan segala sesuatunya untukmu, tepat takaran sesuai yang kau butuhkan. Bersiaplah!
***
Tadi pagi sambil bergurau suamiku bilang, bahwa kami ini orang yang sangat rasional tetapi apa yang kami kerjakan tidak rasional menurut kebanyakan orang. Aku sempat berkeras pada kata ‘rasional’. Bahwa aku – kami memang masih rasional. Tetapi kemudian aku sadar bahwa memang benar, apa saja yang telah kami lakukan kebanyakan hal-hal yang tidak rasional – menurut kebanyakan orang. Kami percaya takhyul, percaya fengshui, percaya hal ghaib dan mistis, tentu semua dengan pemahaman kami. Tetapi kami sangat rasional karena kami tahu alasan-alasan untuk mempercayai semua itu. kami kini tahu cara kerjanya. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa jika diukur dengan ukuran orang kebanyakan maka pernyataan yang tepat adalah, “kami orang yang ‘rasional’, tapi di saat yang sama kami juga berikap ‘irrasional’.
Isn’t that weird?
Aku merasa akhir-akhir ini egoku cepat sekali ‘naik’. Aku cepat marah. Cepat tersinggung. Aku tidak sepenuhnya paham dengan penyebabnya. Aku menduga-duga saja. Apakah karena latihan-latihan yang kulakukan, atau karena sisa-sisa kemarahanku beberapa waktu yang lalu itu saja.
Aku sendiri tidak merasa nyaman dengan keadaan ini. Aku berusaha. Kukatakan sekali lagi, aku berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi hatiku tidak mau dibohongi. Aku sulit berpura-pura baik kalau aku tidak ingin baik. Aku tahu aku lebih jujur pada diriku sendiri sekarang, tetapi ada efek buruknya juga. Aku juga lebih jujur pada orang lain. Termasuk kalau aku sedang marah pada mereka.
***
Tulisanku yang lalu tentang Sabdo Palon, juga banyak mendapat komentar. Ada yang ngajak diskusi, ada yang berkomentar saja. Ada yang sekedar berkomentar, ada yang menguji, ada yang menilai-nilai, ada yang menyalah-nyalahkan. Aku sempat berpikir kemungkinan tulisan itu kutarik saja dari blogku ini. Karena aku tidak ingin memancing keributan yang tidak ‘nggenah’. Orang nggak ngerti ribut, kan nggak nggenah ributnya. Tapi kemudian suamiku bilang, sebanyak apa orang yang ribut membaca itu, mungkin lebih banyak lagi yang malah mendapat pemahaman baru. Karena tiap orang menyikapi sesuatu secara berbeda. Banyak yang suka ribut, lebih banyak lagi yang diam. Tetapi karena diam, bukan berarti mereka tidak mengerti.
Jadi meskipun aku masih merasa sangsi, aku membatalkan niatku semula. Tulisan itu kubiarkan di blog ini. Aku merasa lebih baik aku cepat memulihkan keadaan diriku agar dapat berkarya yang lain lagi.
***
Sudah hampir enam minggu ini aku dan suamiku mengerjakan latihan ‘olah tenaga dalam’. Dalam upaya membangun pertahanan diri dan memahami diri sendiri. Banyak hal kualami selama enam minggu ini. Banyak pemahaman baru. Terlalu banyak pemahaman baru hingga aku tidak tahu lagi bagaimana menuliskannya. Mungkin harus kuendapkan dulu beberapa waktu, baru mutiara-mutiaranya terkuak dengan jelas.
Meskipun ada hal yang lucu dalam hal ini. Sehubungan dengan ‘pelajaran’ yang kudapatkan. Biasanya orang kalau berguru itu mengejar gurunya kemana-mana. Sejauh apapun. Kalau aku tidak. Gurunya yang datang. Aku syukuri itu sebagai berkah. Karena kalau aku wajib mengejar guru, mungkin aku tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Aku bisa kemana? Tapi karena aku hanya perlu meyiapkan diri, guruku akan datang sendiri, segalanya menjadi lebih mudah bagiku.
Kurasa sebenarnya cara kerjanya memang begitu. Kita hanya perlu menyiapkan diri. Maka GURUmu akan segera muncul, tepat di depan hidungmu. Tapi kalau kita belum siap, mau kita kejar sampai ke Himalaya juga gurunya tidak akan muncul.
Ada yang berkomentar itu padaku. Bahwa kita harus ‘berguru’ agar tidak tersesat setan. Begitulah intinya. Aku menolak pendapatnya. Dan aku menolak itu dengan penuh keyakinan. Karena aku tahu apa yang kukatakan. Karena aku tahu atas dasar pengalaman, pengalamanku sendiri. Aku bisa berguru pada siapa saja, pada apa saja. Pada saatnya aku perlu ‘seseorang’ untuk membimbingku, maka aku akan bertemu dengan ‘guruku’, dengan seseorang itu. Yang perlu kulakukan hanya menyiapkan diri, be reseptive. Contemplative. Dan Semesta akan menyiapkan segala sesuatunya untukmu, tepat takaran sesuai yang kau butuhkan. Bersiaplah!
***
Tadi pagi sambil bergurau suamiku bilang, bahwa kami ini orang yang sangat rasional tetapi apa yang kami kerjakan tidak rasional menurut kebanyakan orang. Aku sempat berkeras pada kata ‘rasional’. Bahwa aku – kami memang masih rasional. Tetapi kemudian aku sadar bahwa memang benar, apa saja yang telah kami lakukan kebanyakan hal-hal yang tidak rasional – menurut kebanyakan orang. Kami percaya takhyul, percaya fengshui, percaya hal ghaib dan mistis, tentu semua dengan pemahaman kami. Tetapi kami sangat rasional karena kami tahu alasan-alasan untuk mempercayai semua itu. kami kini tahu cara kerjanya. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa jika diukur dengan ukuran orang kebanyakan maka pernyataan yang tepat adalah, “kami orang yang ‘rasional’, tapi di saat yang sama kami juga berikap ‘irrasional’.
Isn’t that weird?
No comments:
Post a Comment