Samarinda, July 24th 2006
Hari ini aku pergi urut ke tempat mBak Jeblik. Aku tidak tahu nama sebenarnya. Hanya dia biasa di panggil begitu. Sampai saat ini dialah seorang yang bisa memperbaiki salah urat, otot keplintir, perut turun dan lain-lain yang menurutku paling manjur di Samarinda. Aku bersyukur telah mengenalnya (atau memang aku harus mengenalnya?), karena aku punya banyak masalah dengan kondisi tubuhku. Pokoknya kalau ke dokter kita sudah divonis harus bedah, kalau ke mBak Jeblik biasanya bisa beres. Apalagi kalau kita yakin dengannya, pasti ketemu dia --berjodoh orang bilang, dan akan berhasil pengobatannya.
Seperti biasa saat mengurutku, dia banyak bercerita tentang keadaan dirinya saat ini. Seperti juga aku yang tak henti dirundung santet, mBak Jeblik pun begitu.Sedihnya yang nyantet dia ndak jauh-jauh, masih keluarga sendiri, bertetangga pula. Aku kenal mBak Jeblik waktu umurku 18 tahun. Sekarang usiaku 35 tahun, dan cerita yang kudengar masih sama. Tentu saja kisah penderitaan yang dialaminya berbeda-beda. Kadang-kadang intensitasnya tinggi. Kadang rendah. Aku senang kalau dia terlihat sehat. Begitu juga orang-orang yang sering datang untuk urut padanya. Seringkali saat mendengar ceritanya disakiti seperti itu, aku kagum karena dia mampu bertahan dan sabar tidak membalas. Tapi secara umum aku lebih banyak jadi pendengar, merenungi apa yang disampaikan, membayangkan penderitaan yang dia rasakan dan keluhkan. Aku sering merasa bodoh karena tidak tahu kata-kata apa yang bisa kuucapkan.
Dulu, aku memilih jadi pendengar yang baik saja. Kini, kadang aku ingin menyampaikan sesuatu padanya. Tapi rasanya kok terlalu panjang lebar, terlalu jauh, aku merasa akan terlalu mengejutkan baginya. Rasanya aku masih harus menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan menyampaikan pemahamanku padanya.
Tadi siang percakapanku dengannya sangat menarik. Dia bilang, dia heran kenapa dia yang selama ini selalu berusaha sabar, berbuat baik dan selalu berusaha tidak melakukan suatu kesalahan apapun pada saudaranya itu tidak henti diuji, dicoba, difitnah, disakiti. Sedangkan saudaranya yang jelas-jelas salah, kok dipercaya orang, tidak pernah sakit, tidak pernah dirundung kesusahan. Hampir saja aku iseng menjawab, “Kan persis cerita sinetron. Nanti kalau tokoh jahatnya jadi baik, ceritanya habis. Tamat,” Tapi untung aku tidak sampai keceplosan begitu.
Aku ingin sekali menjawab, menerangkan padanya bahwa hal itu berkaitan dengan karma seseorang. Bahwa seseorang itu jahat atau baik hanya sekedar menjalankan perannya dalam kehidupan ini. Bahwa yang terlihat jahat belum tentu jahat, yang terlihat baik belum tentu baik. Yang disakiti bukan berarti dibenci. Yang menyakiti tidak berarti dia bahagia. Tetapi aku bingung bagaimana menjelaskan padanya. Bahwa bisa jadi dia di masa kehidupan sebelum ini mungkin sekali sangat jahat, sehingga dia harus membayar kejahatannya itu di masa kehidupan sekarang. Bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita bukannya tanpa makna. Hanya karena kita tidak bisa melihat gambaran besarnya kita tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi. Intinya semua yang kita lakukan pada dasarnya akan kembali pada diri kita sendiri. Meskipun kita mengira kita telah dijahati sepanjang hidup kita, bisa jadi kalau kita mengetahui kenyataan yang sebenarnya, ternyata hal itu bukanlah apa-apa.
Hal itu sulit diterima oleh orang beragama yang penuh dengan doktrin-doktrin keagamaan yang kuat. Yang terbiasa menyalahkan pihak lain atas perbuatan yang dilakukan. Tetapi sungguh aku ingin sekali mencoba menerangkan hal itu padanya. Berharap agar ketegangan pikiran yang dialaminya karena merasa dizalimi berkurang banyak, yang ada hanya usaha untuk sadar, mempertahankan kewarasan, kesehatan dan keselamatan diri di kehidupan sekarang untuk mampu melakukan hal baik bagi dirinya sendiri.
Keinginan itu untuk sementara kutelan dulu sampai aku punya waktu yang pas untuk menyampaikan.
Hal lain yang menarik, dia tadi juga bercerita bahwa setiap dia sakit akibat santet-santet itu, dia akan berupaya kesana kemari mencari pengobatan. Kadang karena jasa dia juga dibutuhkan banyak orang, pasien dia yang semula berniat urut padanya malah ikut sibuk mencarikan penyembuhan baginya. Tetapi akhir-akhir ini setelah bertahun-tahun lelah disantet, dia bilang seringkali justru dia sembuh setelah dia mencoba mengobati dirinya sendiri. Kadang cuma diusap-usap, kadang diurut perlahan, kadang dia buat air putih untuk dirinya sendiri. Dan dia sembuh.
Setelah mendengar hal itu, aku langsung merasa mendapat konfirmasi. Jadi aku segera mendorongnya untuk meyakini hal itu, untuk percaya akan kemampuan dirinya mengobati dirinya sendiri.
Aku percaya bahwa tidak ada kejadian kebetulan. Baru beberapa hari yang lalu aku mendapatkan keyakinan seperti itu dan sekarang aku merasa mendapat konfirmasi sekali lagi. Bahwa setiap dari kita mampu menyembuhkan diri sendiri. Dan kuncinya pada keyakinan. Pengetahuan untuk penyembuhan diperlukan, tetapi keyakinanlah kunci penyembuhan itu.
Terakhir yang menjadi renunganku adalah saat pikiranku mengembara pada karma, pada perbuatan diriku, pada perbuatan orang lain pada diriku, pada perbuatan orang lain. Aku tiba-tiba teringat pada doa yang sering kuucapkan. “Semoga semua makhluk berbahagia”.
Ah, ah, tiba-tiba aku ingat kalau aku tidak pernah mendoakan “musuhku”. Lalu pikiranku berkata, “Ah doamu kan sudah untuk seluruh makhluk yang ada. Lalu hatiku menjawab, “Ya, tapi kaukan tidak pernah sungguh-sungguh berdoa untuk musuhmu, tidak pernah mengasihi mereka”.
Dan aku tersentak.
Kesadaran itu menohokku dalam sekali. Sambil meringis menahan sakit diurut mBak Jeblik, aku mengiyakan kata hatiku. Ya, aku belum pernah mengasihi musuhku. Aku berharap mereka berubah. Aku berharap mereka sadar dan berhenti menimbulkan gangguan pada diriku. Aku memahami bahwa penderitaan yang kuterima adalah karma yang harus kuterima dalam kehidupan ini, aku memahami bahwa musuhku pun hanya melakukan apa yang harus dilakukannya dalam hidupnya ini. Aku memahami fakta itu. Aku berharap musuhku sadar dan berubah, aku berharap mereka berubah. Tetapi ternyata aku tidak berubah. Kejadian-kejadian itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Aku belum memahami Kasih.
Kurasa itulah yang seharusnya kulakukan, mengasihi musuhku, dengan cara memaafkan setulusnya. Tidak dengan gerutuan, tapi dengan keikhlasan. Sehingga doa yang kuucapkan mewujud dalam kenyataan. Sehingga tidak ada lagi musuh, yang ada adalah kawan seperjalanan.
Apa yang telah kulakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. Aku tahu kesalahan bisa diperbaiki. Aku berterima kasih pada Tuhan karena aku sekarang dapat menyadarinya lewat percakapanku dengan mBak Jeblik siang ini.
Ah….lega rasanya
No comments:
Post a Comment