Thursday, March 27, 2008

Kartini

The Book

Aku baru saja selesai membaca buku Aku Mau, Feminisme dan Nasionalisme: surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903 yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2004. Judul aslinya On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 dari Monash Asia Institute, Monash University. Dan setelah selesai membaca buku ini, aku baru menyadari bahwa selama ini aku belum pernah benar-benar mengenal Kartini.

Aku hanya tahu Kartini dari lagu ‘Ibu Kita Kartini’ yang sering kunyanyikan waktu aku kecil. Tetapi pemahaman tentang siapa dan bagaimana seorang Kartini, baru kuperoleh setelah aku selesai membaca buku ini. Aku bahkan memerlukan membaca buku ini sekali lagi untuk lebih memahami maknanya.

Seperti judul bukunya, buku ini memuat surat-surat Kartini dalam periode 1899-1903. Surat-surat itu ditujukan kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar, seorang pegawai muda kantor pos di Amsterdam yang juga seorang kontributor untuk jurnal-jurnal di De Hollandsche Lelie. Stella telah menerbitkan artikel berseri pada majalah De Lelie yang kemudian menjadi ‘best –seller Hilda Van Suyverberg’, sebuah novel feminis yang sangat berpengaruh.


Kartini’s Spirit

Saat aku membaca pidato-pidato Bung Karno, keharuan dan semangat kebangsaan bergelora menyelimuti diriku. Saat aku membaca surat-surat Kartini ini perasaanku seperti dialun ombak. Sesekali terhempas sedih hingga ke dasar palung laut. Ikut merasakan pahit getir situasi yang dihadapinya. Di lain waktu semangatku ikut terlambung menjemput langit, membuncah, berkibar dalam optimismenya.

Benang merah utama dari semua tulisan Kartini yang dapat kugarisbawahi dari buku ini adalah tentang kemajuan perempuan. Kemajuan dalam hal berpikir, berucap dan bertindak. Dan dia pun dengan jelas menyampaikan bahwa pendidikan adalah jalan utamanya. Jadi pertama: perempuan harus mendapat pendidikan. Kedua: meskipun dia hanya sekali menyebutnya dengan jelas, dia menentang poligami. Ada kata-katanya yang menjadi favoritku seperti di bawah ini tertuang dalam suratnya tertangal 6 Nopember 1899:

….Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang Ayah? yang hanya karena dia sudah bosan dengan istrinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mangawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan atau skandal; Hukum Islam mengijinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa.

(Kata-kataku sendiri tentang poligami,”Aku menolak poligami atas nama apapun bahkan atas nama Tuhan”. Bagiku poligami adalah tindakan yang sangat kejam karena melukai perasaan manusia (baca:perempuan) lainnya untuk alasan-alasan rendah”.)

Tetapi Kartini tidak hanya peduli pada urusan perempuan. Kalau kemudian ternyata dia lebih banyak bicara tentang perempuan itu lebih karena dia sendiri adalah subjek dari masalah itu. Dia pelaku. Dia tahu bagaimana rasanya (baca: kesulitan yang dialami) menjadi seorang perempuan.


Kartini juga menentang tradisi-tradisi kuno yang tidak cocok lagi dengan kemajuan jaman. Hal-hal yang sangat sulit dipahami oleh orang-orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan gaya feodal raja-raja jaman dahulu. Juga perlakuan-perlakuan sosial yang tidak adil yang harus diterima oleh seorang ‘bumiputera’ karena adopsi gaya feodalisme itu oleh pemerintah kolonial.

Tentu saja Kartini tidak bisa menabraknya langsung, merubah seketika. Untuk hal sebesar itu perlu proses, dan Kartini memulai dari hal paling kecil, paling sederhana, paling mudah, --dari dirinya sendiri. Contohnya seperti dia tulis dalam suratnya tertanggal 18 agustus 1899:

……….Kepada kakak-kakakku aku masih sangat patuh dan menjalankan peraturan itu (seperti jalan jongkok, berbicara pada yang tua dengan kromo inggil, seorang gadis harus berjalan lamban dsb-penulis), tetapi mulai aku ke bawah kami sudah mengabaikannya. Kami tidak lakukan itu lagi. Hidup kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan! Kami semua; aku, adik-adikku baik laki-laki maupun perempuan merasa setara dan kami berteman. Adik-adik perempuan memanggilku ‘kamu’, bentuk informal dan menggunakan bahasa yang sama denganku………….

Ada pula perenungannya tentang agama seperti ditulisnya dalam suratnya tertangal 6 Nopember 1899:

……..“Tapi kita bisa menjadi orang baik tanpa harus menjadi religius kan Stella? Dan yang paling penting adalah menjadi orang baik.
Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk bisa menjadi tali penghubung antara semua ciptaanNya. Kita semua bersaudara bukan karena satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas
sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mangakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan.
Aku sering bertanya pada diriku sendiri; apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?”…….

Wow… katakanlah apa yang disampaikan oleh Kartini ‘terasa’ baru pada waktu itu, tetapi resapilah tiap katanya dan kita akan sadar bahwa apa yang disampaikannya hingga kinipun masih relevan, masih terjadi, dan masih menjadi penyebab bencana dan kerusakan yang tak pernah terbayangkan oleh Kartini.

Ibu Rohani

Untuk orang dengan usia semuda dia (saat dia meninggal dunia usianya baru 24 tahun) kata-kata yang keluar dari dirinya sangatlah luar biasa. Begitu bijaksana. Dia itu roh tua. Miris rasanya membandingkan kata-kata yang diucapkan seorang Kartini (yang hanya perempuan!) dengan kata-kata yang keluar dari mulut politikus-politikus kita sekarang.

Betapa pentingnya mengkaji kembali buah pikiran Kartini. Tidak hanya mengingatnya dalam balutan kebaya sederhana dan pengusung emansipasi wanita dan merayakan kelahirannya dengan lomba busana.

Emansipasi –arti asalnya adalah membebaskan seseorang dari kekuasaan orang lain-- menuntut kesetaraan. Jadi wanita dibawah pria?. Tidak, kata-kata ini tidak tepat, karena bagiku pria dan wanita setara, posisi awalnya setara, tidak ada yang lebih berkuasa.Tidak ada yang perlu disetarakan lagi karenanya. Tetapi dengan lewatnya masa, sejarah berbicara, wanita memang telah direndahkan (baca:dikuasai) sedemikian rupa dengan segala macam cara baik lewat kultur sosial, budaya dan agama, sehingga seolah-olah wanita lebih rendah daripada pria, sehingga perlu ada perjuangan untuk meraih kesetaraan. Proses sejarah yang panjang, lama dan menyakitkan ini perlu disadari sepenuhnya: 1. oleh wanita -- agar wanita dapat lebih menghargai dirinya dan 2. oleh pria -- agar pria terbuka mata hatinya, sehingga sama-sama diperoleh kesadaran bahwa wanita dan pria adalah setara.

Kurasa dengan membaca satu buku saja yang memuat surat-surat Kartini ini belum dapat memberi jawaban yang terang tentang siapa dan bagaimana Kartini. Gambaran kita belum utuh. Tapi aku cukup senang karena kini aku tahu alasan mengapa dia tetap dikenang hingga kini: karena buah pikirannya yang sangat dalam, mengagumkan dan dahsyat.

Kata orang apabila kita berupaya keras untuk orang lain, apa yang kita lakukan itu akan abadi. Tapi jika kita berupaya dengan segala cara untuk diri sendiri, hasilnya hanya bertahan sekejap napas yang bisa kautarik. Dan Kartini telah memilih untuk menentang arus, menjadi ibu rohani yang melahirkan ‘yang baru’ meskipun dia harus menanggung derita.

Terima kasih Kartini, karena engkau telah berkenan hadir di bumi Indonesia ini. Bahkan saat nama Indonesia waktu itu belum dikenal, kau sudah banyak memberi arti dan inspirasi tentang nasionalisme pada bangsa ini.

Salut padamu!


Samarinda, 25 Maret 2008