Saturday, November 25, 2006

SDA & Lingkungan, Sebuah Ajakan

Semester ini aku mendapat kuliah Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Suer…. 10 atau 15 tahun yang lalu mata kuliah ini pasti sangat tidak menarik bagiku. Tapi sekarang lain lagi. Aku sangat berminat. Tertarik. Dan kagum mendengar penjelasan dosenku tentang tanah, air, hutan. Tentang bermacam-macam sumber daya alam dengan segala sifat yang melekat padanya, dengan segala penggolongan menurut apa dan siapa yang menelitinya. Aku kagum mengetahui bahwa manusia sekarang ini telah begitu pintar sehingga dapat mempelajari susunan tanah, sifat tanah, jenis hutan, perilaku air, and so on and so forth tentang segala macam ilmu tentang lingkungan, tentang sumber daya alam yang semua sudah, masih dan akan terus dipelajari oleh manusia.

Aku juga menjadi tahu bahwa semua pengetahuan itu telah dicoba terapkan dengan menyusun peraturan, membuat strategi dan rencana yang baik sekali (sungguh kukatakan : BAIK SEKALI!) untuk mengatur pemanfaatan dan pemberdayaan lingkungan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa begitu banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Padahal sejak dulu sudah ada lembaga yang khusus menangani hal itu, di bawah kementerian lingkungan hidup.

Kita ingat bahwa untuk setiap pembangunan (baca: eksploitasi hasil alam, perumahan, pembukaan lahan, pembangunan industri) dalam skala yang mengakibatkan perubahan landscape itu harus memenuhi persyaratan AMDAL. Dengan adanya persyaratan AMDAL sebelum pembangunan dimulai itu masyarakat luas sebenarnya mempunyai suara untuk menyetujui atau menggugurkan suatu usulan pembangunan. Belum lagi kalau menyebut begitu banyak lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan yang berperan sebagai kontrol dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Tanggung Jawab Bersama

Mungkin jawabannya harus kita runut dengan seksama, satu persatu, step by step, case by case. Siapa yang bertanggung jawab : semua elemen, baik pemerintah (sebagai pengatur & pengelola) industri (pihak pemrakarsa, pembangun) dan masyarakat (sebagai konsumen dan yang terkena dampak lingkungan). Apakah semua elemen ini sudah menjalankan fungsinya? Jawabannya : TIDAK.

Pemerintah sering (atau malah selalu?) kongkalikong dengan pemrakarsa (baca : pengusaha) sehingga bisa jadi kita mendengar AMDAL yang disusulkan belakangan setelah pembangunan selesai, atau data AMDAL yang telah dimanipulasi. Karena hampir dapat dipastikan, sulit sekali bagi pengusaha untuk kucing-kucingan melanggar peraturan kalau tidak main mata dengan pemerintah sebagai pengawas pemanfaatan lingkungan.

Bagaimana dengan masyarakat ? Biasanya masyarakat itu tidak peduli selama dia belum merasa terganggu dengan suatu kegiatan pembangunan. Ada juga beberapa yang ribut, tapi hampir selalu tidak mendapat perhatian. Lebih banyak lagi yang protes setelah terjadi kerusakan parah dan membahayakan. Tapi pada akhirnya tetap saja keluhannya tidak mendapat respon yang positif baik dari pihak pengusaha maupun pemerintah. Intinya masyarakat selalu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dalam hal ini. Jadi dimulai dari sikap tidak peduli masyarakat – menjadi keluhan massal yang selalu tidak mendapat tanggapan – pada akhirnya lahir sikap apatis terhadap situasi di sekelilingnya.

Sebenarnya hal ini sangat menyedihkan. Tetapi tinggalkan dulu soal itu. Sekarang apa tindakan yang harus diambil ?

Jangka pendek tentu saja jawaban yang pasti adalah pemerintah sebagai pengontrol dan pengawas harus introspeksi diri agar menjalankan fungsinya sesuai yang seharusnya. (Tetapi bagaimana ya…..umumnya orang-orang yang duduk di bagian ini di negara kita adalah orang-orang yang berjiwa pedagang dan opportunist. Semua tindakan berdasarkan perhitungan ekonomis. Untuk kepentingan pribadi, atau paling banter untuk golongannya sendiri. Jadi sulit sekali mengharapkan perubahan, walaupun kita tidak boleh berputus harapan).

Tindakan jangka panjang, nah ini dia PR bagi kita semua seluruh elemen bangsa ini. Yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran bahwa kita semua di timur di barat, di desa di kota, di gunung, di lembah adalah satu. Saling terkait dan bergantung dalam satu siklus kehidupan. Bahkan saling terkait antar kehidupan sebelum ini—apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita—kehidupan kita sekarang, dan kehidupan yang akan datang—generasi anak cucu kita. Kalau semua orang memahami ini, sebenarnya konyol sekali kalau masih ada yang ngotot mencari keuntungan sesaat. Karena pada waktunya nanti kekonyolannya itu pasti akan melahirkan kesulitan bagi dirinya sendiri.

Tapi memang sekarang ini pepatah, “Siapa yang menabur dia yang menuai” itu sudah tidak dianggap lagi. Dianggap hanya ungkapan indah peninggalan orang dulu. Tidak banyak lagi yang berusaha memahami makna dan kebenarannya. Karena itu banyak sekali ditemui orang-orang konyol sekarang ini yang menganggap kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita itu adalah cobaan, ujian dari Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa kebanyakan orang sungguh tidak paham akan siklus kehidupan yang sedemikian alami.

Jadi bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kembali ke rencana jangka pendek, ya gedorin orang-orang pemerintah terutama para pengambil keputusan agar melek mata pada apa yang sedang terjadi dan segera sadar dan tegas untuk mengambil tindakan koreksi. Lalu gedorin juga pihak pemrakarsa agar tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, uang, uang, dan uang saja. (Mungkin bisa dengan cara di suruh retreat ke alam terbuka dengan program khusus mempelajari dan belajar mencintai alam gitchu kali ye…..pokoknya diwajibkan ….he..he..he…..;)

Bagaimana dengan masyarakat? Oh kalau masyarakat itu proyek (yang ini proyek minus uang) jangka panjang. Karena sebenarnya menyadarkan masyarakat lebih gampang karena masyarakat yang paling terkena dampak, yang paling menderita kalau ada kerusakan lingkungan. Masyarakat ada di piramida paling bawah, jadi paling mudah diarahkan. Tetapi bukan berarti mudah dalam pelaksanaan. Karena harus dimulai sejak dini. Dini sekali sejak masih anak-anak.

Anak-anak yang masih polos, tanpa prasangka, tanpa tendensi apapun pada siapapun yang dihadapinya, kepada mereka itulah kita harus menanamkan pemahaman yang benar tentang peran PENTING lingkungan sebagai tempat kita tinggal, tumbuh dan berkembang. Kapan kita bisa mengambil manfaat, kapan kita harus berhenti, bagaimana cara beradab memperlakukan alam. Jangan jadi manusia tak tahu diri.

Pada masa ini harus sudah diajarkan pemahaman yang benar tentang keterkaitan antara segala sesuatu di alam ini. Ada keterkaitan dan ketergantungan yang begitu jelas di mata, ada yang tidak jelas hingga sulit membayangkannya.

(Tetapi bagaimana ya….. sekarang anak-anak makin jauh dari alam. Turun dari rumah gedongan, masuk gedong sekolah. Lepas dari sekolah masuk gedong mall, atau ambil les ini itu belajar lagi di dalam gedong, mungkin di daerah gedongan juga. Nanti akhirnya pulang masuk rumahnya yang gedongan lagi untuk tidur. Sementara yang tidak punya rumah gedongan sudah disodori bayangan enaknya tinggal di rumah gedongan dari tontonan yang non stop 24 jam. Jadi cita-citanya pun ya jadi orang gedongan. Lupa menikmati sejengkal halaman yang banyak tanaman. Jadi bagaimana mau cinta alam, mau kenal alam, kalau sejak lahir, tumbuh besar kemana-mana hanya masuk dalam sangkar gedong lagi?)

Action, action, action
Begitulah keadaan kita sekarang ini. Kalau kita lihat contoh garis besar kejadiannya:
- Pertama bencana terjadi di Indonesia (misal kebakaran hutan).
- Kenapa terjadi bencana? Karena tindakan manusia mengeksploitasi alam tanpa perhitungan matang, atau bahasa kerennya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan (ceritanya mau bikin perkebunan, pH tanah tidak cocok dengan tanaman yang akan ditanami, jadi bakar dulu lokasi untuk meningkatkan pH tanah tadi).
- Siapa yang terkena bencana? Seluruh masyarakat, bisa di sekitar lokasi bisa juga jauh dari lokasi. (Ingat, kebakaran hutan di Indonesia, yang keasapan dan menuai penyakit selain Indonesia sendiri juga negara tetangga. Tetapi biasanya si pemrakarsa --dalam contoh ini yang membakar hutan-- tidak terkena dampak secara langsung, karena mereka berduitlah..)
- Kapan bencana terjadi ? Ada yang bisa diprediksi karena selalu berulang setiap tahun tapi tidak kunjung disadari dan diatasi. Ada bencana baru akibat tidak pernah belajar dari pengalaman bencana sebelumnya. Ada yang memang baru sama sekali. (Mungkin yang baru ini bisa dicontohkan bencana Lumpur Lapindo lah….)

Jadi apakah kita sudah mendapat jawaban dari pertanyaan kita di atas? Rasanya sudahlah yau….. Tinggal actionnya sekarang.

Saya mengajak Anda yang membaca tulisan ini, memberi sedikit sumbangan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan sekarang ini. Tapi tenang saja, saya tidak minta uang.

Saya hanya minta kesediaan Anda, Anda, dan Anda untuk sedikit melakukan perubahan setiap hari. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, kalau ada tanah sejengkal di halaman tanamilah dengan pepohonan, kalau ada kesempatan melakukan usaha/bisnis jangan sampai merusak lingkungan, sedapatnya membuat rumah yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan iklim tropis kita ini jadi tidak perlu pake AC, tidak perlu listrik untuk penerangan nonstop 24 jam lagi.

Bagi yang kerja kantoran sebisanya memanfaatkan kertas bekas sebelum benar-benar dibuang, mengurangi pemakaian kertas tissue, menaruh beberapa tanaman yang dapat menghisap racun di udara seperti tanaman Chinesse Evergreen (sejenis Sri Rejeki) atau Dracaena (yang ini saya lupa nama lokalnya) untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan.

Bagi ibu rumah tangga bisa mengurangi pemakaian diapers, lebih menyukai hasil kebun lokal daripada impor (kebun lokal biasanya kalah mutu sama produk luar. Kelihatannya dari daunnya yang bolong-bolong, berulat, jelek, cepat busuk karena cara pengemasan yang kurang ok. Tetapi itu juga indikasi pemakaian pestisida yang minim, jadi sayuran lebih sehat, tanah kebunnya juga lebih sehat. Efek selanjutnya kalau permintaan untuk barang lokal tinggi maka pasar bisa bergeser mengangkat produk lokal menjadi primadona, lalu petani untung, lahan kita juga selamat. Jauh sih hubungannya, tapi tetap ada jika ditelusuri lebih jauh)

Begitulah kira-kira. Anda pasti bisa menambah panjang daftar itu.
The point is: it must be started from ourselves
. Semua harus kita mulai dari diri kita sendiri. Percayalah, tindakan-tindakan kecil ini akan membawa perubahan besar pada waktunya. Yang diperlukan hanya kemauan.

Sekarang!

Friday, November 17, 2006

Dicari .......Penghargaan (yang Hilang)

Beberapa hari terakhir ini aku belusukan di dunia maya mencari bermacam-macam informasi tentang kepenulisan. Sebenarnya aku mencari contoh cover letter. Tapi entah aku yang mencarinya ditempat yang tidak tepat, aku tidak menemukannya.

Aku malah masuk ke dalam bermacam-macam milis penulis. Macam-macam namanya. Aku tidak ingat. Kalau mau cari langsung aja surfing pake kata kunci menulis, atau penulis, atau apa saja yang berkaitan dengan tulis menulis.

Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak menemukan contoh cover letter yang kuinginkan. Tetapi aku banyak mendapat informasi tentang penulisan, penerbitan, cara mengirim naskah, cara penulisan, semua hal yang bersangkutan dengan menulis, mengirim ke media atau menerbitkan buku. Beberapa malah mendapat masukan langsung dari editor suatu penerbitan, atau mendapat nasehat dari penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan.

Tapi dari sekian banyak informasi yang kudapat itu, aku mendapat kesan sedikit sekali yang mengajarkan tentang MENGHARGAI DIRI SENDIRI yang pada gilirannya berarti kita akan menghargai orang lain. Kesan yang kutangkap dari tanya jawab di milis-milis itu penerbit/editor maunya dihargai. Walaupun sebenarnya mereka tidak salah. (Tentu saja setiap orang inginnya dihargai dan sudah seharusnya kita menghargai orang lain. Tetapi kalau kita tidak pernah diajar untuk menghargai diri sendiri bagaimana kita bisa menghargai orang lain).

Jelasnya begini, dan ini tidak hanya terjadi dalam dunia penulisan saja, tetapi dalam bidang yang lain juga. Orang kita umumnya kalau sudah hebat sulit menghargai orang lain. Umumnya, orang kalau sudah hebat terus sikapnya mentang-mentang. Mau ini itu. Cerewet dan pemilih. Tetapi sering kali dengan sikapnya itu lantas dia tidak dapat lagi menghargai orang lain. Maunya dia saja yang dihargai. Kalau sama orang mikirnya “who do you think you are?”.

Tentu saja setiap orang bebas bersikap seperti yang dia inginkan. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Too high expectation. Hanya saja menurutku, seharusnya justru dalam forum seperti milis-milis seperti itu kita bisa menularkan sikap saling menghargai tadi.

Sederhananya seperti ini. Ada orang yang memang punya bakat. Dia hebat. Kita menghargainya karena kehebatannya. Tetapi ada orang yang tidak punya bakat. Dia berusaha hebat. Kita menghargainya. Ada lagi orang yang payah. Pokoknya nggak ada bagus-bagusnya deh. Hasil karyanya juga payah. Seharusnya kita tetap menghargainya. Menghargai usahanya, mencari yang terbaik dari yang buruk. Bukan bersikap, wah ini buruk, lewatkan saja.

Sebenarnya saat aku belusukan itu, aku menangkap pesannya. Ya pesannya sama. Bahwa seharusnya kita menghargai orang lain dengan berperilaku yang pantas sehingga orang juga akan menghargai kita. Tetapi banyak sekali kiranya orang kita yang tidak tahu cara berperilaku yang pantas penuh sopan santun, atau ada yang merasa terlalu hebat sehingga dia merasa tidak perlu lagi menghargai orang lain dengan sikap yang santun.

Tetapi justru --dalam hal ini karena berbicara tentang kepenulisan--, orang-orang yang berada dalam posisi menentukan bisa mendidik bagaimana bersikap yang santun dalam berperilaku dalam dunia kepenulisan ini.

Sayangnya dari hasil belusukanku kemarin, kelihatannya tidak begitu. Para penentu juga mengambil sikap yang sama dengan orang yang tidak santun dengan sama-sama bersikap tidak santun. Kalau begini kapan ada yang bersikap santun?

Lalu mereka memberitahu, kalau mau diperhatikan begini lho seharusnya bersikap sama orang. Seandainya orang yang tidak santun membaca, kemudian tahu, kemudian karena merasa perlu, dia mengikuti pemberitahuan itu untuk bersikap santun, mereka akan melakukannya selama mereka perlu saja. Begitu mereka punya ‘gigi’ ya balik lagi ke sikap asal, tidak santun. Hanya sekarang posisi mereka berubah. Mereka orang hebat sekarang, jadi berhak dong mendapat penghargaan lebih….. Lalu maunya orang lain saja yang bersantun-santun dengannya. Lalu kapan masyarakat kita sadar untuk bersikap santun. Padahal mereka yang bergerak dalam bidang media punya akses yang kuat untuk mempengaruhi orang lain dan menyebar pesan yang baik. (Menyebar pesan yang buruk juga bisa, so watch out!)

Yah ini cuma rasan-rasan. Aku heran. Kok ketika aku belusukan ke milis atau web nya orang luar bahasa yang mereka gunakan sangat menyenangkan. Mereka menghargai semua pelaku proses kreatif, baik yang hebat maupun yang sangat tidak hebat. Everyone is appreciated.

Yah, tapi bisa jadi rasan-rasan ini lahir dari kondisiku yang biasa-biasa saja dalam dunia kepenulisan ini. Bukan orang hebat. Jadinya gerundelan di belakang. Ha…ha…ha……

Samarinda, 17 November 2006

How to ...........

Aku ini senang ngoceh, berpikir, bertanya tiada henti. Kadang-kadang begitu derasnya pikiran yang mengalir sampai tidak tertampung lagi dan aku tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Terhalang oleh kewajibanku untuk bekerja juga tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. I have to make my living. Jadi sampai sejauh ini bagiku menulis masih untuk bersenang-senang.

Karena itu juga tulisanku tidak fokus. Tergantung apa yang sedang menarik perhatian dan minatku. Atau aku sedang terganggu dengan hal apa. Jadinya kadang aku menulis tentang lingkungan, kadang tentang agama, kadang tentang politik, kadang tentang budaya. Apa saja yang terlintas di pikiranku. Aku menulis cerpen, cerita anak dan puisi. Aku melukis. Dan kegiatan itu semua menggunakan energi yang sama. Energi kreatif.

Aku menemui saat aku sedang ingin melukis dan dapat menghasilkan lukisan yang tidak memalukan untuk dipajang, aku stop menulis. Atau aku masih menulis, tapi menulis rubbish. Lain waktu aku lagi heboh bikin cerita anak, energiku terpusat di situ maka aku tidak bisa menghasilkan lukisan yang bagus--menurutku. Begitu juga dalam hal topik yang ditulis. Lagi menulis cerpen, yang lain ya stop. Aku tidak bisa berpikir kreatif secara simultan untuk beberapa hal yang berbeda. Lagipula, siapa juga yang bisa?
(Tapi ini di luar hal-hal rutin yang harus kukerjakan lho ya… seperti tugas rumah tangga, tugas kantor minus decision making. Hal rutin tidak memerlukan kreatifitas lagi, jadi bisa berjalan simultan dengan proses kreatif).

Pemahaman yang kudapat dari hal ini adalah kita tidak boleh serakah ingin mengerjakan semua dalam satu waktu. Everything has its own time and space. Jadi kerjakan satu per satu, langkah demi langkah, agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kita serakah ingin meraih semuanya, kita malah kehilangan semuanya.

Sejauh ini ternyata kelihatannya isi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan judulnya. Ini hal buruk lain yang sering kulakukan (Kalau ini bisa dibilang buruk. Karena sebenarnya nggak buruk-buruk amat, ndak cocok sama isi kan tinggal ganti judul).

Aku jarang membuat frame tulisan. Jadi begini deh melenceng dari jalur semula, meskipun hal yang kutulis diatas memang benar aku alami juga. Dan karena kurasa tidak ada yang keberatan dengan judul yang tidak cocok di atas. So……

Bye bye………(for now)


Samarinda, 17 November 2006

Telanjang = Birahi ??

Hari Kamis yang lalu aku mengambil cuti sehari khusus untuk melakukan hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain akan dilakukan olehku. Aku mewujudkan keinginanku untuk DIFOTO seperti seorang model.

Aku merasa diberkahi memperoleh suami yang bisa memahami keinginanku yang tidak biasa, mau membantu, memfasilitasi dengan ide-idenya yang luar biasa. Jadilah hari itu seharian aku dijepret sana sini sampai 400 kali. Just like the model!

Aku berdandan. Mengenakan bermacam-macam pakaian yang sulit aku kenakan di hari-hari biasa karena bisa-bisa mata orang melotot padaku karena dianggap tidak sopan. Memakai wig yang sudah kusimpan hampir setahun. Mencoba bermacam-macam gaya. Dari gaya bengong bego sampai gaya penari India. Dari gaya robot sampai postur yoga. Aku mencoba semuanya. And that was really fun!

Suamiku mengatur dekorasi, background, pencahayaan (yang masih sangat amatiran), memotret (terima kasih Tuhan kini sudah ada kamera digital, sangat membantu), mengarahkan gaya agar terlihat ciamik di kamera, termasuk menyiapkan konsumsi karena aku tidak masak seharian.

Anakku yang besar memilih main ke tempat temannya. Anakku yang kecil kutitipkan ke tempat penitipan biasa. Jadilah aku menikmati seharian itu menjadi seorang model tanpa gangguan, bergaya seperti model dan merasakan lelah dan sulitnya melakukan pemotretan semacam itu. Perlu energi, stamina yang oke, konsentrasi dan kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dari pengalaman ini juga aku menjadi lebih menghargai profesi seorang model dan fotografer. (Sssttt……..suamiku juga kelelahan, sampai 3 hari kemudian baru dia merasa fit lagi)

Tetapi hal yang paling asyik dari semua itu adalah aku sempat berpose persis seperti pose Sophia Latjuba di majalah Popular yang bikin heboh pada waktu itu (sudah berapa tahun yang lalu ya kejadiannya?). Foto bugil tapi tidak terlihat bugil (semoga tidak ada yang protes, karena aku difoto oleh suami sendiri, hasil fotonya untuk dinikmati sendiri, ini bukan untuk konsumsi umum!) – yang indah!

Setelah sesi pemotretan yang melelahkan itu tibalah saatnya aku dan suamiku memilih, menyortir hasil pemotretan hingga terkumpul sekitar 100-an foto yang cukup oke untuk fotografer dan model amatiran seperti kami. Termasuk foto ala Sophia Latjuba yang kusimpan rapi tersendiri dengan hati-hati (Tapi bangga bo! Aku bisa terlihat indah di usia yang sudah segini!)

Dari situlah diskusi ini bermula. Aku bertanya mengapa banyak orang (baca: laki-laki) yang tidak tahan memandang foto-foto semacam ini, sehingga bertebaranlah majalah atau koran atau media yang jualannya yah sekitar begituan lah. (Hukum ekonomi : ada permintaan –demand-- maka ada penawaran --supply. Kalau sekarang terlihat supply-nya lebih banyak, heboh, gegap gempita, itu karena mereka yang memberi supply tahu bahwa banyak sekali potential demand yang belum tergarap di luar sana! –termasuk orang-orang golongan PIKTOR LACI –PIKiran koTOR berLAgak suCI--)

Kesimpulannya hanyalah bahwa semua karena hal-hal yang indah ini telah disalahpahami. Bahwa ketelanjangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang alami. Bahwa keadaan alami manusia di masa sekarang ini selalu dikatakan sebagai hal yang mengundang malu atau birahi. Dan yang paling ngawur, adalah saat birahi kemudian dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menimbulkan dosa. Padahal misalnya, apabila dalam sebuah rumah tangga birahi tidak ada, hancurlah rumah tangga itu, dan bingunglah pasangan suami istri itu mencari solusi kemana-mana.

Jadi pada akhirnya semua hanya karena kesalahan proses berpikir, yang kebanyakan bermula dari doktrin agama yang dipahami keliru. Seperti misalnya; berpakaianlah yang sopan dan pantas, tapi kemudian dipahami sebagai --kalau bahunya terbuka itu artinya menggoda iman. Atau kalau memakai pakaian ketat artinya mengundang ke ranjang. Nah lo!

Seandainya orang melihat perempuan pakai kebaya cukup dinikmati saja, --oh indahnya. Atau lihat orang pakai bikini, maklum saja. Tidak marah-marah pada yang pakai bikini (karena biasanya yang marah-marah itu tidak mampu pakai bikini karena malu--gemuk, cacat dllsb). Yang laki-laki juga tidak perlu melotot lihat perempuan berbikini, saingi saja dengan memakai celana speedo. Selesai perkara!

Jadi apakah ketelanjangan mengundang birahi? Jawabannya relatif bagi setiap orang. Tapi tidak seharusnya seseorang menghakimi yang lain atau sekelompok orang memaksakan nilainya tentang hal itu pada yang lain.


Aku sendiri menikmati ketelanjanganku. Dan menerima keadaan diriku ini sepenuhnya. Begitu juga orang-orang yang mencintaiku.



Samarinda, 17 November 2006