Saturday, October 28, 2006

Bencana dan Parpol

Samarinda kebakaran lagi!

Baru beberapa hari yang lalu suamiku bertemu dengan Manajer Operasional PMK Mulawarman yang bercerita bahwa setiap kali bulan Ramadhan atau Lebaran tiba, dia deg-deg-an menunggu ada kebakaran atau tidak. Dari pengalamannya, sekali terjadi kebakaran, kecil atau besar, biasanya akan terjadi kebakaran berikutnya. Kebakaran tidak pernah terjadi sekali. Begitu kesimpulannya.

Suamiku baru usai menceritakan kembali kepadaku tentang hal itu, dan malamnya listrik di rumah kami padam. Kebakaran!. Malam itu kebakarannya tidak besar. Beritanya tidak sampai masuk koran. Korbannya hanya tiga rumah. (Sebenarnya itu karena setelah rumah ketiga tidak ada rumah lagi. Jadi kebakaran tidak meluas karena api tidak bisa menjalar kemana-mana lagi).

Besok malamnya kembali listrik padam di rumah kami. Aku langsung melihat langit. Ah ya, kebakaran lagi. Yang sekali ini besar. Langit membara. Lokasi kejadian cukup jauh dari rumahku. Tapi kalau melihat warna langit yang memerah seperti itu, dapat terbayang luasnya kebakaran yang terjadi. Kebakaran terjadi di daerah muara (sungai). Dan ternyata,-- belakangan aku tahu-- ini adalah kebakaran yang ke-empat yang terjadi selama bulan Ramadhan ini.

Tetapi karena yang ke-empat ini adalah kebakaran yang paling besar, memakan korban paling banyak, dan lokasi kebakaran juga sampai di pinggir jalan raya, --seperti yang telah kuduga sebelumnya--, ramai-ramailah para parpol membuka dompet bencana dengan mengusung panji-panji partai masing-masing. Yang pertama bergerak cepat --seperti biasa-- adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Di hari kedua partai yang lain bermunculan satu persatu. Di hari ketiga PKS bahkan sudah bisa menyebut jumlah sumbangan yang terkumpul, angkanya dipampang besar-besar dipinggir jalan. Yang belakangan menimbulkan pertanyaan di benakku. Benarkah angka sumbangan yang diklaim sebesar itu (dalam ratus juta rupiah)? dan seandainya benar sumbangan yang terkumpul sebanyak itu (oh alangkah dermawannya secara umum masyarakat kita, tidak pelit membantu), sampaikah sumbangan itu ke tangan korban bencana ? atau hanya untuk gaya-gayaan saja?

Terus terang aku merasa malu dan prihatin melihat parpol-parpol itu. Setiap kali ada bencana (di Samarinda ini, entahlah di kota-kota lain) mereka memang langsung membuka pos untuk menampung sumbangan dan bantuan dari masyarakat untuk korban bencana. Sebenarnya semangatnya bagus dan mulia. Judulnya kan membantu sesama. Tetapi karena mengusung nama partai masing-masing besar-besar, niat mulia tadi malah jadi tanda tanya. Apa maksudnya?

Waktu kecil, aku diajar. Kalau membantu dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Artinya kalau mau membantu tidak usah pengumuman. Itu namanya riya’. Nah..nah.. artinya parpol-parpol ini sebenarnya kan pada riya’ berjamaah. Atau kalau tidak ya, bantuan mereka memang ada pamrihnya. Just say ……kampanye terselubung gitchu loh …..Ihik..ihik…..

Tapi rasanya masyarakat kita sekarang sudah tambah pintar, bisa membaca keadaan, tahu maksud pepatah ada udang di balik batu. Bahasa kasarnya, nih lho aku bantu, ingetin nih partaiku. Partaiku yang paling perhatian nih sama rakyat kecil…..(Aku sangsi kalau mereka benar bisa berkuasa mereka akan masih ingat sama rakyat kecil. Bukannya rakyat malah direpresi dengan agenda mereka sendiri?)

Entahlah….. aku bukan orang dermawan. Aku sangsi menyumbang. Lagi pula kalau aku mau menyumbang aku kan tidak perlu umumkan? Jaman sekarang aku benar-benar bingung kemana bisa menyalurkan bantuan tetapi aku tetap bisa yakin bantuanku akan sampai ke tangan yang membutuhkan bantuan sebenar-benarnya.

Tapi setiap orang punya pilihan.

Kurasa aku hanya ingin menyampaikan pada parpol-parpol itu. Cobalah malu sedikit sama rakyat. Anda mau cari suara, cari simpati. Membantu di sana sini. Tapi pamrihnya besar sekali. Jelas-jelas terbaca. Apa mau anda. Seandainya anda orang biasa-biasa. Adakah anda akan membantu juga?

(Tapi mungkin lebih baik mereka yah? Paling tidak mereka berkarya. Daripada saya, hanya bicara saja….;)

Samarinda, 20 Oktober 2006

Tuesday, October 17, 2006

Kearoganan Negara Tetangga - Kebodohan Kita

Bicara tentang negara tetangga Malaysia --negeri jiran--, akhir-akhir ini setidaknya ada dua berita yang menggangguku. Pertama tentang nelayan-nelayan Indonesia di perairan Belawan yang ditembak tentara Diraja Malaysia. Kedua tentang komentar Malaysia yang menilai lambannya pemerintah Indonesia menangani asap kebakaran (pembakaran?) hutan.

Hal yang pertama, tentang nelayan. Lagi-lagi titik pangkal persoalan adalah beda pengakuan teritorial laut kita. Indonesia menghitung wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sesuai Konvensi Hukum Laut 1982 sejauh 200 mil dari garis pantai. Ini adalah hak istimewa Indonesia sebagai negara kepulauan. Sedangkan Malaysia menghitung batas persinggungannya dengan Indonesia di selat Malaka berdasarkan kesepakatan Landas Kontinen 1970. Menurut Indonesia Landas Kontinen gugur karena ZEE tadi, tapi Malaysia bersikukuh bahwa garis ZEE dan Landas Kontinen adalah satu. Akibat debat perbedaan pengakuan jarak itu, mengakibatkan nyawa nelayan Indonesia hampir melayang.

Tetapi ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya nelayan Indonesia juga sering ditembaki oleh tentara Malaysia. Perahu mereka rusak, bolong-bolong. Adegan kejar-kejaran seperti di film-film juga berlangsung. Sebenarnya bagian inilah yang aneh. Seharusnya jika tentara Malaysia melihat ada pelanggaran batas wilayah seperti itu, peringatan saja sudah cukup. Setelah itu diselesaikan baik-baik. Tidak perlu ditembak mati-kan ? Prosedurnya mana, seperti apa? Kelihatannya tentara Malaysia tidak mengambil jalan itu.

Wahai pemerintah Indonesia, bagaimana ini? Mana jaminan keselamatan dari pemerintah bagi seluruh warga negara dalam bekerja? Kemana pemimpin-pemimpin kita ini? Apa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap sikap Malaysia yang seperti ini?

Kedua, tentang asap kebakaran hutan. Setiap tahun hal ini terjadi. Negara tetangga menyalahkan Indonesia karena dari tahun ke tahun tidak ada solusi untuk memecahkan masalah ini. Tetapi mereka juga tidak membantu. Dan saat terungkap beberapa kasus terjadinya bencana asap itu karena pembakaran hutan yang disebabkan oleh pengusaha-pengusaha Malaysia juga --entah pembukaan lahan dan usaha peningkatan pH tanah untuk penanaman perkebunan sawit ataupun hanya untuk mengambil kayunya begitu saja-- pemerintah Malaysia tutup mata. Pokoknya yang salah Indonesia.

Terus terang aku tidak sabar melihat reaksi pemerintahku sendiri. Indonesia ini sudah terkenal di negara tetangga yang serumpun Melayu sebagai negara yang penuh masalah, yang malas, dst, dst…… Cukuplah sudah itu. Tapi janganlah menjatuhkan harga diri sendiri dengan menerima begitu saja limpahan kesalahan dan umpatan kebodohan dari negara lain seperti itu. Aku melihat pemerintahku tidak memiliki rasa cinta tanah air yang kuat. Tanah dan air lho! Bukan hanya tanah. Bukan hanya pulau Jawa. Tapi seluruhnya, seluruhnya. Yang kecil-kecil, yang jauh di mata pun juga.

Tapi mau ngotot menang sendiri berbicara tentang hal ini rasanya lucu juga. Karena semua hal di atas bisa terjadi karena kesalahan Indonesia sendiri juga. Kalau pemerintah Indonesia tidak menunda-nunda penyelesaian masalah pengakuan batas teritorial laut, atau tidak mengabaikan perbedaan pengakuan ini begitu saja, seharusnya ada usaha-usaha yang terus dilakukan untuk membereskan masalah ini hingga bisa dicapai kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang batas laut masing-masing.

Kalau pemerintah mengatur tertib pengusaha-pengusaha mana yang boleh merambah hutan, ijinnya sejauh apa, apa saja yang boleh dilakukan, mungkin kejadian kebakaran hutan seperti yang masih berlangsung hingga hari ini tidak perlu terjadi setiap tahun. Di mataku kebakaran hutan seluas, selama dan serutin ini adalah karena pembakaran, bukan sebab alami.

Sekarang kalau rakyat kecil sepertiku marah pada sikap Malaysia, bagaimana dengan pemerintahku yang adem-adem saja. Langsung minta maaf pada negara tetangga atas gangguan ini sih boleh-boleh saja. Tapi jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Aku gemas sekali dengan pemerintahku sekarang ini.

Dulu kasus Ambalat, lalu rebutan Sipadan Ligitan. Indonesia kalah terus. Malaysia coba-coba lagi kan? Kalau diibaratkan, aku jadi Malaysia, melihat tetanggaku anak baik, barangnya diambil diem, rumahnya ditinggalin diem, makan minum tidur di rumahnya diem, ya kuambil aja rumahnya sekalian. Toh rumahnya ndak pernah diurusin, ndak pernah dijaga, penghuni rumah ndak bisa makan, diambil alih saja sekalian. Logikanya sih begitu. Tapi apa Indonesia mau dibegitukan?

Apakah lama-lama sedikit demi sedikit wilayah abu-abu Indonesia akan jatuh satu persatu ke tangan negara tetangga?
Oi pemerintah, apa kerjamu?

Sementara orang Malaysia --maksudku benar-benar masyarakatnya-- bisa berkomentar dengan tenang (jadi ‘ketok’ orang pinter, terpelajar gitu loh!), “Oh menang-menang Indonesia kalau sampai perang, tetapi untuk apa perang. Kami tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milik kami. (Padahal justru masalahnya di situ, Malaysia ingin memiliki semua wilayah abu-abu Indonesia, karena Indonesia diam saja). Lagi pula ingatlah, berapa banyak orang Indonesia yang mencari makan di Malaysia”.(Duh pemerintahku, kalau orang sampai bilang begini bagaimana lagi menjawabnya? Siapa lagi yang harus disalahkan selain diri sendiri. Memberi makan rakyat sendiri saja tidak mampu, hingga harus mengais-ngais menjadi kuli dan babu di negeri orang?)

Tidak tahu lagi aku harus berkomentar apa dan berpikir mengapa, atau memberi solusi bagaimana. Aku cinta tanah airku. Satu hal itu yang pasti. Aku mewujudkan cintaku dengan apa yang aku mampu. Hanya saja, saat ini aku tidak mampu memberikan yang lain selain tumpahan kekesalan dan kesedihan hatiku. Saat ini hanya itu yang mampu kuberi. Saat ini, detik ini, kekesalan dan kesedihan itu tumpah dalam tulisan ini. Mungkin di lain waktu aku bisa melakukan hal lain. Atau jika sampai waktuku, I could make something big, very big, so I can make a diference. A big difference.

(But why wait big? Why not now, this moment?)

Tanah airku, aku mencintaimu!

Samarinda, 16 Oktober 2006

Monday, October 09, 2006

Terempas ke Sudut Leiden

Aku membaca artikel ini di majalah Tempo edisi 2-8 Oktober 2006. Isinya tentang Museum Etnografi di Leiden yang memiliki barang-barang pampasan dari perang puputan di Badung dan juga Klungkung.

Pampasan perang puputan Badung antara lain berupa barang-barang berharga yang bentuk rupanya sulit terbayangkan olehku. Disebutkan di situ ada keris, tombak, senapan berlaras panjang yang dilapisi emas, tenunan, perhiasan (satu diantara perhiasan yang mewah dan anggun yang biasa dipakai dalam upacara adat juga ada : berupa mahkota setinggi 35 cm berbahan emas, permata, batu delima dan rotan, dan dibagian belakangnya ada 175 buah permata kecil dan kepala gajah –karang asti—untuk menolak bala), perlengkapan sirih, benda-benda upacara, berbagai hiasan pura, bahkan daun pintu dengan ukiran indah di satu sisinya yang menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana : Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.

Sedangkan barang-barang dari puputan Klungkung di antaranya bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran) dan kotak tembakau, yang semuanya berbahan emas dan perak. Juga ada alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima dan kristal. Selain itu juga dibawa dua peti manuskrip Bali. (Bayangkan, manuskrip!)

Itu yang benar-benar hasil pampasan perang. Museum ini juga menerima sumbangan kolektor perorangan sehingga koleksinya bertambah lagi. Salah satu yang disumbangkan oleh kolektor perorangan adalah daun pintu yang indah tadi, yang semula akan dijadikan jembatan oleh tentara Belanda. Untungnya berhasil diselamatkan. Malangnya, selamatnya ke negeri seberang.

Dan aku sedih.

Aku sudah tahu sebelumnya. Maksudku aku pernah diberitahu sebelumnya bahwa jika kita ingin mengetahui sejarah bangsa kita yang sebenarnya, kita harus mencarinya di negeri orang. Dan yang paling banyak merekam sejarah kita adalah Belanda. Kenapa Belanda? Karena kita telah dijajah dan dikuasai Belanda selama 350 tahun. Dan Belanda paham benar bagaimana cara melemahkan negeri kepulauan ini. Lewat budaya! Meskipun mungkin pada saat itu mereka tidak sepenuhnya berencana melakukan itu. Namanya juga perang. Taktik apapun dijalankan agar tujuan tercapai. Kalau dapat pampasan, ya angkut saja sebanyak-banyaknya.

Apapun alasan yang melatari kejadian pada waktu itu, tetap saja aku sedih. Sedih karena menyadari sekali lagi bahwa banyak sekali hal yang tidak kutahu tentang leluhurku. Riwayat leluhurku itu yang tahu malah orang lain. Ditambah lagi sedikit sekali orang Indonesia masa kini yang mungkin tahu masalah itu, yang mau melakukan sesuatu untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain. Membagi kesadaran bahwa nenek moyang kita dulu beradab dan berbudaya tinggi. Membagi pengetahuan itu dengan cara yang lebih menarik untuk generasi muda.

Generasi sekarang, termasuk aku yang lahir tahun 70-an tidak tahu banyak tentang sejarah Indonesia sendiri. Tahunya sedikit sekali. Mulai penjajahan Belanda. Masa sebelum itu cuma disenggol sedikit-sedikit dalam pelajaran sejarah. Tidak berkesan. Atau yang menulis buku sejarah itu memang tidak tahu. Atau tidak boleh menulis keadaan yang sebenarnya? Entahlah………

Tapi aku sempat beranggapan bahwa nenek moyangku itu memang orang bodoh, tidak beradab. Sampai-sampai menderita dijajah orang sebegitu lama. Aku pernah berpikir begitu. Ternyata itu karena aku tidak tahu.

Setelah aku mulai mendapat informasi sedikit dari sana, sedikit dari sini. Baca sana, baca sini. Hal ini mulai terkuak perlahan. Oh, ternyata aku salah selama ini. Nenek moyangku tidak seperti yang kubayangkan. Akulah yang tidak mengenal mereka. Ketidaktahuanku membuat aku kemudian membayangkan mereka sama seperti aku yang berpikiran cupet ini. (Kita sering kali mengukur orang dengan baju kita sendiri kan? Tidak peduli ukuran orang cocok atau tidak dengan kita….(^0^))

Aku menyadari itu sekarang. Dan aku ingin membagi kesadaran ini pada orang lain. Pada siapa saja yang membaca tulisan ini. Coba renungkan isi artikel Tempo di atas. Jumlah itu hanya untuk barang pampasan puputan di Bali. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Yang juga punya kerajaan-kerajaan besar. Kemana ceritanya? Kemana manuskrip-manuskripnya? Siapa yang menyimpan? Siapa yang memusnahkan? Kenapa musnah? Jika ada, masih adakah yang bisa membaca manuskripnya?

Terlalu sedikit dari kita yang peduli pada hal ini. We ignore our heritage for century. Kita harus berhenti sekarang. Berpikir jernih. Dan mari mulailah menghargai peninggalan leluhur kita. Tidak usah muluk-muluk ke Belanda. Meskipun jika kita bisa ke sana mencari tahu, mungkin akan lebih baik atau lebih mudah. Untuk permulaan cukuplah kita mulai dari apa yang ada di sekitar kita. Dari budaya yang masih tersisa sedikit di sekitar kita.

Yang mudah, misalnya membangkitkan kecintaan pada seni tari tradisional yang mulai banyak ditinggalkan karena dianggap ndak gaul gitchu? Atau mengajarkan kembali folksong yang mulai lenyap. Mengajarkan pemahaman pada generasi muda tentang makna setiap perayaan yang kita laksanakan, misalnya saat bayi baru lahir, selamatan rumah baru, perayaan panen, pesta syukuran desa. Hal-hal kecil saja. Dari situ diharapkan bisa tumbuh minat yang akan membawa kita kembali pada pencarian jati diri bangsa ini.

Sayang sekali pemerintah kita sekarang sibuk sekali dengan kursi masing-masing, atau kompromi bagi-bagi rejeki sehingga tidak sempat memikirkan hal ini. Boro-boro menjaga tradisi, mengurus bencana alam yang sifatnya harus segera saja ndak becus. Orang sudah sekarat, dia masih rapat.

Tapi bisa jadi karena pejabat-pejabat kita ini memang sudah mati rasa, tidak berbudaya, sehingga melahirkan sikap arogan, seenaknya. Pokoknya aku ndak susah, yang lain emang gue pikirin?

Kembali lagi, mana yang lebih dulu harus kita urus kalau sudah begini? Ya…urusan bencana harus segera. Tapi paling tidak kita sudah mendapat pelajaran bahwa budaya itu penting. Jangan pernah meninggalkan budaya sendiri. Karena akan menuntun perilaku dan tindak tanduk kita. Apalagi bila kita telah menjadi seorang pemimpin. Panutan.

Artinya lagi, jangan pernah meninggalkan budaya kita sendiri. Kita yang melahirkan budaya itu. Pastilah itu yang paling cocok untuk kita. Dan juga tidak perlu menunggu pemerintah membantu. Seandainya pemerintah turun tangan membantu, memberi kepedulian, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi tidak dibantupun, kita juga harus bisa.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Mencintai Ibu Pertiwi. Masa’ yang kenal Ibu Pertiwi ini malah orang lain, anaknya sendiri ndak peduli?

Kita tidak begitu. Jadi, mari………………..

Samarinda, 7 Oktober 2006

Friday, October 06, 2006

Rumah Ibadah tanpa Jiwa yang Beribadah

Masih tentang ibadah. Sekarang hampir ditiap sekolah dasar di kotaku ini dibangun tempat ibadah --masjid atau langgar--. Aku tidak tahu mereka menyebutnya masjid atau langgar. Yang pasti meskipun halaman sekolahnya sudah sempit, tetap saja maksa untuk dibangun masjid. Ada yang tadinya aula untuk pertunjukan kesenian atau ketrampilan anak muridnya --seperti bekas sekolah anak pertamaku--, kini aula itu disulap juga menjadi masjid. Dalam hal ini aku memberi contoh sekolah dasar, karena sekolah-sekolah itu umumnya terletak di tepi jalan besar. Jadi tampak jelas di mataku.

Mungkin hal ini berkaitan dengan usulan yang dimulai beberapa tahun yang lalu untuk memasukkan kembali pelajaran Budi Pekerti dalam kurikulum sekolah. Kukatakan mungkin, karena aku tidak tahu pasti. Hanya saja kecenderungan seperti ini kulihat merebak mulai tahun lalu. Aku sendiri agak blunder dengan masalah ini. Aku tidak mengetahui dengan pasti apakah budi pekerti menjadi suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau jadi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang lain. Entahlah. Kelihatannya sih menjadi mata pelajaran sendiri, soalnya sudah ada bukunya kulihat di toko buku.

Tetapi kemudian secara perlahan aku menemui perubahan pada keadaan sekolah-sekolah di Samarinda ini. Aku dulu pernah mendengar sekilas bahwa, salah satu cara untuk menanamkan budi pekerti adalah dengan penerapan aturan mengenakan pakaian muslim tiap hari Jumat, juga diadakan pengajian di sekolah tiap hari Jumat pagi. Malah belakangan, di tahun ajaran yang baru ini, seragam sekolah yang semula rok pendek-celana pendek-baju lengan pendek menjadi rok panjang-celana panjang-baju lengan panjang. Mungkin besok-besok siswa putri diwajibkan berjilbab. Dan sekarang rame-rame bangun masjid di halaman sekolah.

Sebenarnya gejala rame-rame bangun tempat ibadah ini tidak hanya di sekolah dasar. Mungkin SMP dan SMA juga, hanya aku yang tidak melihatnya. Tetapi Kampus Unmul (Universitas Mulawarman), iya. Sekarang hampir di setiap fakultas di Unmul ada masjid atau musholla. Bahkan instansi pemerintah. Di beberapa instansi mereka juga membangun musholla sendiri. Lucunya, kadang-kadang bangunan musholla mereka itu cuma berjarak + 50 m dari masjid yang memang sudah lama berdiri.

Apakah gejala ini juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia? Entahlah……. Semoga tidak.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ini semua hasil dari pengejawantahan pelajaran Budi Pekerti, hasil dari penafsiran terhadap pelajaran Budi Pekerti ? Kalau jawabannya ya. Aneh rasanya. Karena apakah dengan mengenakan identitas muslim (baca:keagamaan) akan mampu merubah seseorang menjadi ber-BUDI PEKERTI yang baik? Apakah dengan dibangun masjid di tiap sekolah akan membuat anak murid menjadi lebih ber-BUDI PEKERTI?

Menurut pendapatku tidak. Karena budi pekerti adalah hasil olah rasa. Hasil budaya. Hasil peradaban. Bukan doktrin. Bukan perilaku yang dipaksakan. Jadi meskipun semua orang dipaksa mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas keagamaan, meskipun kemana mata memandang yang terlihat hanya rumah ibadah, kalau tidak ada penghalusan rasa, tidak ada budaya yang dipelihara, pengembangan budi pekerti adalah non sense belaka.

Budi artinya pikiran yang jernih, sedangkan Pekerti berarti akhlak, watak perbuatan yang baik. Jadi budi pekerti adalah watak perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang jernih. Budi pekerti adalah ibu dari segala prinsip moral, etika, dan perilaku yang baik dan tepat. Budi pekerti idealnya dikembangkan dari rumah oleh orang tua dan keluarga kemudian juga oleh lingkungan sosial di sekitar kita secara langsung atau tidak langsung.

Begitulah pemahamanku tentang budi pekerti. Itu bukan doktrin. Itu adalah pemahaman. Pemahaman pada diri sendiri yang pada gilirannya berarti kita juga akan paham pada lingkungan di sekitar kita. Setelah paham, secara spontan kita akan bertindak dengan penuh kesadaran. Hasilnya pasti akan baik. Tetapi intinya tetap pada diri sendiri. Pemahaman diri. Untuk itu yang diperlukan adalah introspeksi. Orang yang sudah paham, akan memberi contoh berupa pikiran, ucapan dan tindakan atau perilaku yang baik. Dan anak-anak akan meniru yang baik tadi. Lingkungannya pun akan terkena kebaikannya tadi. Begitu saja. Alami. Natural. Tanpa paksaan. Karena memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi diseragamkan.

Kembali tentang judul tulisan ini. Sebenarnya hanya itulah yang ingin kusampaikan. Mengapa sekarang banyak bertebaran rumah ibadah, tetapi aku tidak melihat jiwa yang beribadah.

Jiwa yang beribadah tidak bisa membenci, tidak bisa menghasut, tidak bisa terkotak-kotak, tidak bisa memandang diri lebih tinggi dari orang lain, tidak merasa benar sendiri. Jiwa yang beribadah adalah jiwa yang rendah hati, yang terbuka, penuh cinta, penuh kasih, memahami kenyataan yang satu dalam realitas(?) kehidupan, yang mampu melihat secara jernih apa kedudukannya di alam semesta yang maha……ini.

Tidak banyak orang yang seperti itu bukan? Tetapi ada. Masih ada.

Aku bermimpi jiwa yang beribadah akan semakin banyak. Seperti riak gelombang di sungai Mahakam. Ada tetapi tak tampak di permukaan. Tak tampak bukan berarti tak kuat riaknya. Kini aku memimpikan riak-riak itu berkenan muncul dan membagi rasa dengan sekelilingnya. Sehingga akan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang tersentuh. Jiwa-jiwa lembut. Yang penuh cinta.

Aku di sini hanya ingin berbagi rasa
Karena aku nelangsa
Lebih banyak orang yang buta
Hanya menilai yang kasat mata

Lupa pada akar budaya
Adat tradisi leluhurnya
Yang mewariskan tata krama
Budi pekerti ada didalamnya

Lebih suka meniru-niru
Budaya seberang dianggap luhung
Tidak berkaca dulu
Agar paham bahwa nenek moyangnya sudah agung


Samarinda, 6 Oktober 2006

Wednesday, October 04, 2006

Saat Saleh menjadi Tujuan

Menyambung cerita tentang dai cilik. Tiba-tiba aku teringat kembali dengan ucapan salah satu juri yang memberi komentar pada dai-dai cilik itu. Juri itu dipanggil Bunda. Beginilah kira-kira ucapan sang Bunda, “Semoga …………..menjadi anak yang pintar, yang berpengetahuan, yang saleh ………..bla bla bla………..”. Sewaktu aku mendengar kata-kata “yang saleh” aku tercenung sesaat. Sesaat saja. Tidak lama. Dan aku perlu waktu dua hari untuk paham mengapa kata-kata itu dapat membuatku tercenung sesaat seperti itu..

Saleh mengandung makna taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, suci dan beriman. Kesalehan adalah ketaatan dalam menjalankan amal ibadah. Jadi kalau seorang anak diharapkan menjadi anak yang saleh, artinya dia diharapkan akan taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amal ibadah, diharapkan akan menjadi anak yang suci dan beriman. Masalahnya adalah kini (mungkin sudah sejak dulu kala), hal itu kemudian malah menjadi tujuan (utama). Nah setelah saleh menjadi tujuan, apakah gerangan hal yang dapat mengantar kita dalam kesalehan?.

Menurut pemahamanku saleh adalah akibat, hasil dari proses. Ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan (amal?) ibadah adalah hasil dari upaya pemahaman diri dan pemahaman hidup dan kehidupan. Apabila saleh menjadi tujuan, maka kita hanya akan terpaku pada perilaku dan upaya-upaya untuk memperbanyak amal dan ibadah, tanpa berusaha mencari tahu apa makna dari setiap kejadian, apa maksud dari setiap gerakan, apa arti ibadah yang kita lakukan.

Lagi pula kalau hanya menyuruh orang menjadi taat itu gampang. Takut-takuti saja dengan ancaman ini dan itu. Orang bisa taat. Tetapi ketaatan itu tidak bertahan lama. Ketaatan itu hampa. Ketaatan itu bisa jadi kosmetik belaka. Superficial. Hanya agar dapat disebut sebagai ‘orang yang saleh’. Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketaatan beribadah itu bukan karena cinta.

Kalau menelaah definisi saleh seperti di atas, sudah jelas aku bukan orang yang saleh. Tetapi menurutku tidak ada seorang dari kita yang dapat mengukur kesalehan orang lain. Kecuali kalau kita memang masih sibuk di dunia materi. Kalau lihat orang tungging-tungging setiap hari, lihat orang sedekah sana-sini, lantas kita menilai orang itu saleh, yah berarti memang baru sampai disinilah pemahaman kita. Baru sampai di dunia.

Tetapi, mungkin aku yang salah memahami makna saleh. Mungkin. Saat ini. Pemahamanku kini membuat segala sesuatu menjadi absurd. Semua relatif. Semua adalah proses. Semua benar.

Lalu ada temanku yang nyeletuk,” Kau tahu, pendapatmu itu tidak bisa dibawa ke tengah orang banyak”.

Kurasa dia benar. Karena itu kutuliskan di sini saja. Tidak akan banyak orang yang membacanya. Kalau sampai ada orang selain diriku yang membaca tulisan ini, artinya ……ya memang inilah waktunya dia membaca tulisan ini (^0^)

Samarinda, 2 Oktober 2006