Thursday, June 22, 2006

Pencerahan Kecil Setiap Hari 3

June, 21th 2006

Kemarin Mas Nanang temanku di kantor bercerita dengan bangga tentang keponakannya yang berhasil diterima di SMP 1, SMP yang ternama di Samarinda ini. Keponakannya, bukan anaknya -- karena dia belum punya anak. Hanya masuk kelas reguler, bukan kelas unggulan, kelas akselerasi ataupun kelas koalisi. Reguler. Tapi bayangkan, bahkan untuk keponakannya saja dia bisa sebangga itu.

Padahal aku, anakku juga di SMP itu bahkan masuk kelas Koalisi, dimana pengantar pengajaran menggunakan bahasa Inggris, tidak punya kebanggaan sebesar itu. Bagiku dan suamiku hal itu biasa saja karena kami merasa kami bisa lebih baik dari dia.

That is the real problem!

Saat itu aku baru dapat menyadari hal ini. Kejadian seperti yang sering kulihat di film atau baca di buku. Bagaimana anak seorang tokoh terkenal mati-matian berusaha membuktikan dirinya untuk dinilai lebih baik daripada orang tuanya. Bagaimana si anak berusaha keras untuk menjadi lebih baik dari orang tuanya. Tetapi sering kali bagaimanapun besarnya usaha si anak, jarang mereka mendapat penghargaan yang mereka harapkan. Bahkan untuk sekedar mendapat tepukan kecil di pundak sekalipun.

Terakhir film yang kutonton yang membuktikan hal ini adalah film Fahrenheit 9/11 yang terselip cerita didalamnya tentang George Bush junior yang selalu berusaha keras menyaingi prestasi Bapaknya George Bush senior. Akibatnya see….. dia menimbulkan kerusakan pada lingkungannya dan dunia untuk menunjukkan egonya ini.

Still,……. Dia tetap tidak bisa menyaingi keberhasilan bapaknya.

Kenapa ?

Karena setiap orang berbeda. Lingkungan setiap orang berbeda. Tantangan yang dihadapi setiap orang berbeda. Kemampuan setiap orang berbeda. Kepintaran, keteguhan, keuletan, keberuntungan setiap orang berbeda. Sehingga tidak benar kalau kita dapat membandingkan siapa yang lebih berhasil dari siapa, karena tidak ada seorangpun yang dapat dijadikan standar pembanding untuk orang lainnya.

So for years, I’ve made a mistake to my son. We’ve made mistakes about this thing.

Aku seharusnya selalu dapat memberi penghargaan kepada anakku itu untuk sekecil apapun pencapaiannya. Untuk sesederhana apapun keberhasilannya. Kami harus berhenti membandingkan kemampuan dan keberhasilan kami dengan kemampuan dan keberhasilannya. That’s the point.

Dan aku – kami – akan mencoba.

Monday, June 19, 2006

Pencerahan kecil setiap hari 2

June 19th 2006

Hari ini aku ingat tentang usaha manusia. Tentang Tuhan akan selalu menolong manusia.

Aku ingat waktu aku kecil hal ini sering menjadi pemikiranku. Aku sempat mempunyai keyakinan yang sangat kuat bahwa dalam keadaan sesulit apapun Tuhan akan selalu menolongku. Aku yakin.

Kemudian aku tumbuh besar. Aku menonton film. Aku membaca buku. Aku suka cerita detektif. Dan di situ aku menemui suatu kesamaan. Kesamaan yang hanya menimbulkan kesan samar-samar di kepala seorang anak kecil.

Kemudian aku tumbuh besar. Dan kesukaanku dengan cerita-cerita detektif bertambah kuat. Bacaanku bertambah berat. Dan aku pun mulai bisa menyimpulkan apa yang tadinya ada samar-samar di kepalaku. Bahwa semua tokoh-tokoh yang kubaca di buku-buku itu hanya dapat selamat dari keadaan bahaya atau saat-saat genting karena usahanya sendiri. Atau bantuan dari orang lain. Bukan Tuhan.

Aku juga menemukan dari pengalamanku sendiri. Saat aku mengalami peristiwa yang memalukan, atau menakutkan, tidak akan ada Tuhan yang segera turun dari surga datang menolongku. Aku tetap harus menyelamatkan diriku sendiri agar terhindar dari malu atau dari bahaya.

Kini aku memahami bahwa memang Tuhan bukan personil yang menjadi penyelamat dalam setiap keadaan manusia. Tidak. Jika kau mau selamat, itu karena usahamu sendiri. Tuhan cukup ada di sana. Maka usahamu bisa berhasil jika kau berusaha. Tetapi syaratnya : Kau harus berusaha ! Kau ! Dirimu sendiri !

Pencerahan kecil setiap hari 1

June 18th 2006

Kemaren Bu Endang tetanggaku bertandang ke rumah. Baru pulang dari Yogya. Dia bercerita tentang keadaan anaknya yang kena gempa di Yogya. Bercerita tentang keadaan saudara-saudaranya yang lain yang juga terkena gempa. Dia menangis, berlinang air mata. Menceritakan terenyuh hati menyaksikan begitu banyak korban. Dan dia bercerita bahwa yang dapat dia lakukan hanya menghibur dengan mengatakan bahwa hal ini adalah ujian dari Tuhan.
Sampai di sini aku termangu. Ujian dari Tuhan. Ah, penghiburan yang kini tiada artinya bagiku.
Dia juga bercerita bahwa pohon-pohon di sekitar lokasi gempa seperti pohon melinjo, pohon pepaya tidak apa-apa. Tetapi rumah-rumah, pagar, bangunan tempat tinggal manusia semua hancur. Tidakkah kau merasa aneh?
Dengan pemahamanku yang dulu, aku akan menerima bahwa semua bencana ini adalah ujian dari Tuhan. Bahwa manusia sedang diuji keimanannya. Ini adalah cobaan semata yang harus dilalui oleh manusia.
Tetapi pemahamanku kini tidaklah seperti itu. Rentetan musibah yang terjadi itu adalah peringatan, proses pembersihan alam semesta. Dengan pemahamanku yang sekarang aku meyakini bahwa setiap apa yang kita jalani hari ini adalah karma dari apa yang telah kita lakukan di masa yang lalu. Jadi kalau kau berbuat hal baik, tidak ada satu bencana yang akan menimpamu.
Aku yakin dengan pemahaman baruku ini. Aku puas dengan jawabannya. Inilah keadilan yang sesungguhnya. Seringkali kita tidak bisa melihat segala sesuatu dalam kerangka yang lebih luas. Secara holistik. Kita melihat sepotong-sepotong. Lalu untuk menentramkan hati diberikanlah jawaban-jawaban yang tidak bertanggung jawab semacam -ini adalah ujian dari Tuhan-.
Masalahnya sekarang aku merasa sulit sekali untuk bisa bersimpati pada orang lain. Karena seharusnya kita tahu bahwa semua itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Kita menerima karma dari perbuatan kita. So what’s the problem?
Tetapi tentulah tidak begitu. Seandainya aku melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri mungkin aku akan menangis sedih juga. Tetapi aku akan menerima hal ini sebagaimana adanya. Tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Tidak juga menyerahkan musibah ini sebagai ujian yang diberikan Tuhan. Ini hanya sekedar payback. Karma.