Monday, October 03, 2005

Mogok BBM

Sejak pengumuman kenaikan BBM tgl 1 Oktober kemarin, sampai hari ini (2/10) taksi (baca: angkutan kota) melakukan aksi mogok. Seperti biasa pada saat mereka mogok begini yang dituntut adalah kenaikan tarif angkutan. Peristiwa mogok memogok ini sudah berulang kali terjadi. Sampai kita semua mahfum bahwa bila taksi mogok, artinya tarif angkutan akan naik.

 

Mengapa mereka melakukan aksi mogok? Apakah salah jika mereka mogok? Kalau kita melihat kondisi dan ditinjau dari sudut pandang mereka, mereka tidak sepenuhnya salah. Kalau mereka tidak melakukan aksi mogok, masalah kenaikan tarif itu akan lambat diputuskan. Kalau mereka diam, bisa-bisa malah diabaikan. Jadi mereka melakukan tindakan yang terbukti akan cepat mendapat perhatian, yakni mogok.

 

Mereka menuntut organda cepat mengambil keputusan tentang kenaikan tarif. Tuntutan mereka masuk akal. Kenaikan BBM membuat semua harga cepat menyesuaikan diri, kalau tidak bisa dibilang seketika. Tetapi mereka, para supir taksi harus menunggu. Padahal kebutuhan mereka yang lain tidak bisa menunggu. Jadi seharusnya pihak-pihak  yang berwenang menentukan kenaikan tarif angkutan kota bisa mengantisipasi secepatnya. Sebelum tarif resmi muncul sudah ada desas desus persentase kenaikan BBM. Jadi sebenarnya bisa saja dibuat beberapa asumsi kenaikan tarif angkutan sesuai asumsi kenaikan BBM. Sehingga ketika persentase kenaikan BBM diketahui, para supir ini sudah punya gambaran asumsi kenaikan tarif mana yang akan mereka gunakan. Jika kejadiannya seperti itu, tentu mereka tenang dan tidak perlu mogok.

 

Nah, masalah mogok ini tidak hanya monopoli supir taksi. Mahasiswa yang melakukan demo untuk menolak kenaikan BBM juga menjalankan aksi mogok. Bukan mogok kerja, tapi mogok makan. Mogok makan ini berbahaya, tapi untuk tujuan ‘suci’ mereka bersedia melakukannya. Berita tentang demo mahasiswa yang mogok makan tidak hanya akhir-akhir ini saja terdengar. Bahkan untuk kejadian internal di kampusnya sendiri mahasiswa senang melakukan mogok. Contohnya aksi mogok makan di Kampus Unmul tahun 2003 lalu yang memprotes kebijakan rektor yang mengeluarkan mahasiswa yang melakukan pengrusakan mushola.

 

Baiklah sekarang kita tahu yang melakukan mogok itu supir, lantas mahasiswa. Sudah semuanya? Oh, belum. Masih ada karyawan Garuda mengancam melakukan mogok kerja menuntut kenaikan gaji. Karyawan Kalimanis melakukan mogok makan menuntut upah yang belum dibayar. Pernah juga para ketua RT mengancam mogok kerja di Tarakan menuntut agar Lurahnya tidak dipindah. Ada lagi yang lebih ‘antik’, seorang anggota dewan melakukan mogok makan sebagai bentuk protes kenaikan BBM Maret 2005 yang lalu.

 

Ternyata kegiatan mogok bukan monopoli orang tertentu, pihak tertentu. Sekarang siapa saja bisa melakukan aksi mogok. Mogok yang semula adalah kata untuk menerangkan keadaan suatu alat atau sistem yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, telah menjelma menjadi suatu istilah yang berkonotasi ‘ancaman’. Tadinya kata ‘mogok’ digunakan untuk menerangkan sesuatu tetapi sekarang naik kelas menjadi predikat atau ‘melakukan’ sesuatu.

 

Hal yang menarik disini adalah mogok telah menjadi suatu cara efektif untuk memaksa pihak lain melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang melakukan pemogokan. Dikatakan efektif karena pihak yang dituntut biasanya bertindak cepat menanggapi aksi ini untuk menghindari dampak negatif  yang lebih besar. Seperti yang kita tahu, aksi mogok umumnya menimbulkan gangguan pada pihak lain. Seperti kasus mogok yang dilakukan supir taksi, yang terganggu adalah pengguna jasa angkutan tersebut. Atau aksi mogok oleh karyawan Garuda, yang terganggu adalah calon penumpang penerbangan Garuda, yang nota bene tidak tahu masalahnya dan sudah membeli tiket. Untuk menghindari gangguan yang lebih besar lagi, pihak yang dituntut kemudian bekerja cepat untuk menyelesaikan masalah yang dituntut.

 

Tetapi kemudian, apakah kita hanya bisa bekerja dan bergerak cepat bila sudah ada aksi mogok? Seharusnya tidak. Seyogyanya tidak. Kesan yang didapat dari peristiwa mogok ini adalah kita tidak peduli. Kita tidak peduli pada suatu masalah sampai masalah itu menimbulkan gangguan langsung pada diri kita.

 

Bagaimanapun dalam setiap aksi mogok selalu ada minimal dua pihak. Yang melakukan tuntutan dan yang dituntut. Terkadang masih ada pihak ketiga yakni korban. Kalau sampai terjadi aksi mogok berarti salah satu pihak merasa diabaikan haknya, atau tidak diperhatikan kebutuhannya. Sayangnya jika menggunakan jalur normal tuntutan ini lebih sering tidak didengarkan. Bisa jadi karena memang sudah ada begitu banyak atau bisa juga karena tidak diperdulikan. Atau bisa jadi tuntutannya didengarkan dan ditindaklanjuti, tapi eksekusinya lambat sekali.

 

Itulah yang terjadi di negara kita. Kalau ingin suara kita didengar segera, lakukanlah aksi mogok. Meskipun mogok kerja atau mogok apapun bukan monopoli kita orang Indonesia saja. Hanya saja di negara kita ini berita mogok itu lebih sering terdengar.

 

Entah kita harus bangga atau malah malu dengan ‘prestasi’ ini. Hanya jika dipikirkan lebih jauh mungkin seharusnya kita malu dengan kebiasaan mogok ini. Kesannya, untuk bisa melakukan sesuatu atau bila ingin perubahan, harus ada ‘korban’ terlebih dahulu. Gambaran yang muncul adalah bahwa para pemimpin kita atau mereka yang berwenang membuat kebijakan tidak mampu berpikir panjang dan bijaksana untuk mengayomi semua kepentingan.

 

Merenungkan kembali peristiwa mogok ini, mari kita mengambil pesannya. Bagaimana agar tidak perlu ada pemogokan lagi dalam hal apapun terutama yang berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Jangan kita berusaha keras memperjuangkan hak kita tapi akibatnya kemudian merampas hak orang lain. Jadi stop mogok dan mari tingkatkan kemampuan diri untuk berpikir cepat dan menyeluruh kemudian mengaplikasikannya dengan tepat, cekatan dan bijaksana.