Wednesday, August 31, 2005

Formalisasi Syariat : Anti Demokrasi ?

Saya baru saja membaca berita, tepatnya tulisan dari seorang teman bahwa di kota Padang, diberlakukan pewajiban jilbab dan busana islami (bagi orang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non Islam) yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005. Maksud perda ini jelas, setiap orang Islam wajib berbusana islami dan berjilbab, yang non Islam dianjurkan –pada prakteknya saya dengar juga ada kesan pemaksaan-- untuk juga memakainya. Ini satu hal.

Hal lain yang lebih dekat dengan kita di sini, yaitu Kabupaten Banjar. Di sana ada Perda Jum’at Khusyuk yang baru disosialisasikan pada masyarakatnya, dan sebelumnya juga ada Perda Ramadhan yang sudah dijalankan sejak tahun yang lalu. Dan sudah memakan korban.
Perda Jum’at Khusyuk katanya bermaksud untuk mendorong umat Islam melaksanakan ibadah sholat Jum’at di mesjid-mesjid dengan menciptakan ketenangan dan suasana batin yang khusyuk, juga untuk menciptakan rasa saling menghargai antara sesama umat seagama maupun antar umat beragama. Perda yang menurut saya isinya lucu, masak untuk bisa khusyuk beribadah orang lain yang disuruh tenang. Apakah pemerintah dan masyarakat Banjar, dalam beribadah sudah mencapai tahap ‘tertentu’ sehingga pikiran mereka begitu liar, sampai-sampai mereka tidak dapat melakukan ibadah jika ada kendaraan yang melintas di jalan raya? Lantas bagaimana tercipta rasa saling menghargai kalau orang-orang dipaksa harus melakukan sesuatu? Hal yang mungkin terjadi hanyalah timbulnya rasa ketidakadilan, keberpihakan dan bibit kebencian yang mulai bersemi di hati.

Sedangkan untuk Perda Ramadhan isinya tentang larangan makan minum termasuk merokok di tengah keramaian/tempat umum terbuka pada siang hari selama bulan suci Ramadhan. Berlaku untuk siapa saja (muslim/non muslim). Hebat bukan, siapa yang puasa siapa pula yang disuruh menahan diri. Puasanya enak betul ya? Kok tidak malu ya membuat peraturan seperti itu? Itu kalau diibaratkan, sama dengan cerita ini, ada anak yang belajar menyetir mobil dan akan tes menyetir mobil di jalan raya. Orang tua yang khawatir sekali dengan anaknya, tidak percaya dengan kemampuan anaknya, lantas menyuruh semua orang di jalan raya tanpa kecuali untuk minggir, mengosongkan jalan raya supaya jalanan sepi dan anaknya bisa menyetir dengan tenang dan lulus ujian. Lucu bukan? Dengan analogi yang sama begitu juga untuk kasus di atas.
Kalau tentang pewajiban jilbab kalau tidak salah juga diikuti oleh Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, dan yang paling dekat dengan kita adalah Kotamadya Bontang. Semua ini adalah formalisasi syariat Islam. Untuk melengkapi ironi di atas, masih banyak lagi daerah yang melakukan formalisasi Syariat Islam seperti itu dalam kadarnya masing-masing, diantaranya adalah Cianjur, Sukabumi dan Pamekasan.


Terus terang saya tidak suka membaca berita-berita semacam ini sehingga tidak pernah mengingat dengan lebih seksama mengenai dasar hukumnya. Reaksi yang timbul pada diri saya hanyalah rasa ngeri. Akan jadi apa bangsa ini? Kalau saya ingat, hal ini terjadi justru setelah reformasi, yang katanya mendorong tegaknya demokrasi, sehingga salah satu hasilnya setiap daerah berhak mengatur dirinya sendiri. Sayangnya beberapa daerah berkembang seperti di atas (menterjemahkan arti otonomi secara berlebihan?). Kekuasaan yang timbul akibat otonomi daerah kemudian sangat diwarnai oleh sentimen keagamaan sehingga mengaburkan kembali makna demokrasi tadi. Saya berharap sekali semoga jajaran pemerintahan dan anggota dewan yang terhormat, di Samarinda khususnya dan di Kalimantan Timur umumnya, cukup waras untuk tidak ikut-ikutan menetapkan aturan yang sangat bersifat provinsial, sangat berpihak dan sektarian seperti itu. Tolong diingat bahwa masyarakat kita sangat majemuk, jadi tidak pada tempatnya jika ada aturan yang hanya mengakomodir salah satu golongan saja.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja menulis tentang pluralisme. Indahnya persatuan dalam keberagaman. Betapa iklim demokrasi yang baik itu memerlukan semangat pluralisme yang baik pula. Tetapi membaca berita-berita ini sungguh sangat menyedihkan dan menciutkan hati nurani saya, sekali lagi.

Baiklah sekarang mari kita lihat kenapa hal semacam itu timbul dan tumbuh ‘liar’ dalam waktu singkat –dimulai sejak reformasi, jadi baru sekitar 8 tahun-- seperti ini. Sekali lagi seperti yang sudah sering saya tulis disini, saya orang biasa, jadi pembahasan inipun dari sudut pandang yang biasa saja.

Sederhananya, saya melihat perda-perda atau instruksi atau apapun dasar hukum sebuah formalisasi atau legitimasi syariat (Islam) seperti itu adalah kendaraan politik bagi penguasa. Saya yang sederhana ini tidak melihat itu sebagai suatu pandangan penuh semangat kebangsaan, atau semangat persatuan, atau semangat untuk mensejahterakan masyarakat, atau semangat untuk kemaslahatan umum –kalau saya tidak salah kutip kata—tetapi hanya untuk mengamankan posisi, bargaining politik, di atas sana. Mereka melihat siapa masyarakat mayoritas di sana, dan menggunakan itu sebagai tunggangan, yakin seluruh tindakannya akan di-amin-i karena semua orang toh masih gagap dengan warna demokrasi yang baru. Ceritanya mungkin seperti itu. Saya tidak tahu persis bagaimana permainannya, kelihatannya rumit, karena yang duduk di pemerintahan dan dewan kita yang terhormat (meminjam istilah yang digunakan Harry Roesli, alm) pastilah orang-orang pintar, yang terbukti bisa memelintir kata, melanggar hak azasi manusia tapi tetap dapat membuat khalayak mengangguk-angguk setuju tanpa suara karena takut dicap tidak taat pada penguasa, atau takut dibilang rendah kadar keagamaannya atau malah takut terdepak ke luar arena.

Padahal idealnya penguasa (=pemerintahan dan dewan yang terhormat) harus dapat memandang keseluruhan permasalahan yang dihadapinya dan terlepas dari kotak-kotak sempit yang mengurung keputusannya. Apapun judul kotak itu. Bukan malah menyediakan kotak-kotak baru, lebih sempit lagi. Dalam kasus di atas kotaknya adalah kotak agama.
Seharusnya keputusan yang dibuat itu mengakomidir kebutuhan seluruh elemen masyarakat, tidak bersifat khusus, sektarian, dan juga tidak mengikat tetapi membebaskan. Bebas dari apa? Bebas dari rasa tidak nyaman, tidak aman, tidak tentram.

Sekali lagi masyarakat kita majemuk. Jadi keputusan apapun yang diambil mengenai hal apapun haruslah keputusan yang tepat, adil, berimbang, dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Untuk itu kan kita memilih orang-orang pintar untuk duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat? Saya sangat yakin bahwa beliau-beliau yang duduk di pemerintahan dan dewan yang terhormat bukanlah sekumpulan orang idiot, yang sibuk mencari dalil agama untuk pembenaran tindakan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, berkerudung moralis berbasis fasisme. Bukan begitu.

Mengapa saya katakan fasisme? Praktek (pemberlakuan perda-perda diatas) semacam itu menurut saya adalah praktek pemerintahan yang diwarnai fasisme. Semangat otoriter. Demokrasinya mana? Sepertinya mereka blunder (maaf saya tidak menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia) sendiri dengan euforia demokrasi yang sedang bergulir sehingga menghasilkan perda-perda lucu semacam itu. Karena yang di atas blunder, masyarakat bawah yang waraspun jadi terpaksa blunder. Apa mereka sadar, kalau aturan-aturan itu hanya menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan mereka sendiri. Kalau mau dicarikan alasan yang lebih masuk akal, aturan-aturan tersebut bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, alinea ke-2 (tentang berperi kemanusiaan dan peri keadilan) dan ke-4 (tentang persatuan dan kesatuan, dan kehidupan sosial). Sekali lagi saya berharap kita di sini tidak ikut-ikutan blunder.

Sebentar lagi kita menghadapi pilkada. Saya berharap sangat, siapapun pemimpin Samarinda nantinya mampu melihat masalah ini dengan jernih. Mampu memahami, menterjemahkan, cerita di atas dan mengambil tindakan yang benar. Jangan sampai kecenderungan fasisme yang bernafsu untuk menyeragamkan dan mendisiplinkan corak berpikir dan bertindak dalam masyarakat merasuki para calon pemimpin kita nantinya. Seharusnyalah seorang pemimpin sensitif akan pluralitas masyarakatnya dan menghargainya.
Lagipula bukankah kecenderungan fasisme itu akan mengalahkan identitas ke-Indonesia-an kita yang bhinneka. Jadi tindakan itu tidak dapat dibenarkan karena meng-atasi hukum di atasnya. Hukum Pancasila sebagai dasar negara. Yang sila keduanya mengatakan kemanusiaan yang adil dan beradab (bukan menurut ajaran agama tertentu). Fasisme itu bagi saya tidak berperikemanusiaan. Tidak menghargai manusia sebagai manusia tapi sebagai objek yang seragam, tidak boleh berpikir dan bereskpresi. Jadi bagi saya itu adalah pelanggaran, pelanggaran HAM. Dan adalah salah apabila sebagai warga negara saya hanya berdiam diri, jika penguasa mengarah pada tindakan yang tidak benar seperti itu.
Harapan saya yang lain adalah untuk kita semua memahami dengan jelas apa demokrasi itu. Tidak hanya di mulut, tapi di hati. Sehingga kita tidak cuma bisa berkoar-koar tentang demokrasi tapi juga diwujudkan dalam tindakan. Saya tahu biasanya orang lain itu cuma pintar mengkritik, tapi tidak pandai mengerjakannya sendiri. Mungkin saya termasuk orng yang seperti itu. Tapi saya yakin orang-orang pilihan kita di jajaran pemerintahan dan parlemen tidak begitu.

Untuk itulah artikel ini saya tulis. Semoga anda membaca tulisan saya, dan kita semua dapat sepaham bahwa seperti tulisan Franz Magnis Suseno dalam Kompas (31/08) hari ini, mengutip ucapan Nurcholish Madjid, bahwa suatu agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi menjadi ‘aparat’ kekuasaan negara. Peran agama adalah sebagai pembawa nilai-nilai, sebagai suara profetis yang menagih kemanusiaan, kejujuran, keadilan, solidaritas yang tidak membiarkan pragmatisme politik melindas harkat moralitas. Begitulah.

Seandainya para pemimpin kita, ditingkat lokal dan tingkat pusat, adalah negarawan sekelas Cak Nur almarhum, tentu saat ini kita sudah merasa aman tentram dan nyaman. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran dalam melakukan pekerjaan, dalam kehidupan sosial dan dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat yang berbeda suku, agama dan golongan.

Jadi, mengapa kita sekarang tidak mencoba berubah, dan sekaligus menyiapkan kondisi agar kita dapat melahirkan generasi baru yang lebih terbuka, humanis, pluralis serta demokratis.

Monday, August 29, 2005

Quo Vadis Demokrasi Indonesia

Kemarin saya ngobrol dengan teman saya tentang luasnya penggunaan kata iler dan ngiler. Menurut teman saya, iler artinya adalah air liur yang menetes tanpa disadari, umumnya terjadi ketika sedang tidur pada posisi tertentu. Sedangkan ngiler adalah 1. proses berlangsungnya keluarnya iler 2. keinginan yang luar biasa untuk memiliki sesuatu. Jadi kalau seseorang sedang tidur, kemudian ada air liur yang keluar dari sudut mulutnya itu pasti iler, dia sedang ngiler. Tapi kalau orang melihat wanita cantik kemudian mulutnya membuka dan tidak sadar sekelilingnya lagi, itu ngiler, tidak selalu disertai iler. Lalu kalau ada sekelompok orang berkelahi untuk memperebutkan kursi, pastilah mereka semua sedang ngiler ingin duduk di kursi itu. Dalam hal ini mereka malu kalau ilernya sampai kelihatan.
Lalu apakah ada hubungan antara iler, ngiler dan demokrasi? Tidak ada, saya cuma mau cerita kok.

Lalu kenapa saya ajukan pertanyaan di atas ? Mari kita lihat. Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, telah dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang dianut berubah-ubah sesuai wajah parlemennya. Sampai pada yang terakhir ada istilah demokrasi Pancasila. Demokrasi model itulah yang saya ingat sampai sekarang Waktu saya sekolah dulu saya hapal dengan istilah itu meskipun tidak tahu persis bagaimana cara kerjanya. Saya hanya tahu bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas berdasarkan pada Pancasila. Dulu saya berpikir bahwa saya mengerti sekali tentang demokrasi Pancasila ini. Saya hapal diluar kepala. Tapi sekarang, terus terang, apalagi setelah reformasi, dan katanya Indonesia telah lebih demokrasi, saya jadi tidak mengerti apa yang dimaksud demokrasi sesungguhnya. Jadi seperti biasa. Saya kembali ke buku sakti saya. Kamus Bahasa Indonesia.

Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan yang segenap rakyatnya turut serta memerintah melalui wakil-wakilnya di parlemen. Arti yang lain adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama terhadap setiap anggota masyarakat sebagai warga negara.

Pada era sebelum reformasi dulu, katanya demokrasi tidak dijalankan penuh karena meskipun ada wakil rakyat yang duduk di parlemen, tapi suara rakyat ‘diarahkan’ ke hasil tertentu. Ingat, namanya kan khusus, demokrasi Pancasila. Meskipun seyogyanya tidaklah begitu. Setelah reformasi semua terbuka. Semua orang menuntut untuk diberi hak (sayang kewajibannya sering terlupakan) dan perlakuan yang sama. Wakil-wakil rakyat dipilih secara lebih demokratis, karena dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan presidennya pun dipilih langsung. Mungkin dari sisi pemerintahan (=politik) saya sebagai orang awam melihat, yah demokrasi sudah dijalankan secara lebih tepat seperti definisinya.

Bagaimana dengan sisi-sisi kehidupan lainnya? Bagaimana pengaruh demokrasi dalam kehidupan berbangsa, kehidupan pers dan media, kehidupan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat kita? Hmm, perubahan sistem demokrasi dapat dikatakan juga berimbas pada semua sisi kehidupan. Saya juga tidak tahu apa sistem demokrasi kita sekarang punya nama baru, atau sedang mencari bentuk, kelihatannya sih seperti yang saya sebut terakhir ini. Mengapa? Karena kita semua gelagapan dengan alam demokrasi yang baru ini. Kalau tidak ingin dibilang nyaris tenggelam (kebablasan?).

Mari kita lihat satu-persatu. Pertama kehidupan berbangsa. Kita bangsa Indonesia yang merdeka. Saat ini para wakil rakyat dan orang-orang yang duduk di atas sana, sedang mencari formula yang tepat untuk kehidupan berbangsa. Begitulah pemahaman saya yang sederhana ini. Kita serba ragu. Tidak punya pendirian. Tidak punya sikap. Di bawah pemerintahan yang lebih demokrasi ini rasa kebangsaan kita digugat, dan semua bingung bagaimana harus bersikap. Mari lihat kasus Timor, Aceh, pulau Sipadan, dan sekarang yang masih hangat Ambalat. Saya sebagai bagian kecil sekali dari rakyat Indonesia tidak bisa melihat dengan jelas kemana sih Indonesia mau di bawa? Saya merasa tidak aman. Kelihatannya sewaktu-waktu kedaulatan Indonesia bisa digoncang, entah dari dalam, entah dari luar. Bagaimana sikap pemerintah, apa yang akan dilakukan? Kedua kehidupan pers dan media. Semua orang bersorak, akhirnya kungkungan lepas. Sekarang semua bisa bersuara bebas, mengeluarkan pendapat, ide dan kreasi, bahkan sampai lupa diri. Semua informasi yang tadinya hanya beriak di bawah sekarang naik ke permukaan. Bebas lepas tanpa saringan. Sayangnya juga sering tanpa tanggung jawab. Tidak ada yang peduli dengan akibat yang timbul dari apa yang ditulis, diungkap, ditayangkan, disiarkan.

Apakah keadaan seperti itu yang dimaksud dengan kebebasan pers dan media ? Mestinya, setelah puluhan tahun terkungkung, kita juga sadar dan mengerti bagaimana kebebasan yang bertanggung jawab itu. Yah, setidaknya informasi yang disampaikan tidak bias, informasi yang sebenarnya tidak bercampur dengan gosip, informasi kejadian nyata tidak dicampur dengan yang fiktif, materi dewasa tidak dicampur dengan materi untuk anak-anak. Misalnya saja, sekarang hampir semua stasiun TV menyiarkan acara yang pemeran utamanya adalah hantu. Untuk urusan ini terkadang dilakukan siaran langsung. Tapi apakah informasi yang disampaikan benar? Dapat dipertanggung jawabkan? Dapat dibuktikan? Atau, apakah masayarakat kita memang suka pada informasi yang bias, yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya?

Memang, tentang urusan berita ini tidak melulu menjadi tanggung jawab pers dan media. Bagaimanapun masyarakat juga dituntut untuk lebih dewasa dalam berpikir agar dapat memilih dan memilah informasi yang diterima. Untuk menjadi dewasa kita memang perlu waktu, baik itu pihak pers dan media, masyarakat dan juga pemerintah.

Ketiga, kehidupan kebudayaan. Demokrasi berarti juga kebebasan informasi. Saking bebasnya, semua informasi dan budaya dari luar hampir seluruhnya terserap ke sini. Sebenarnya bukan seluruhnya terserap. Yang terserap sebagian saja, tapi kebudayaan kita sendirilah yang tenggelam. Jadinya yang terlihat hanya budaya dari luar atau budaya kontemporer saja. Mana budaya warisan leluhur? Kalau ada yang membicarakannya paling-paling dianggap kuno, tidak modern. Lucu sekali. Sampai saya membayangkan kelak kita harus belajar kebudayaan Indonesia dari orang luar yang mempelajari budaya Indonesia. Sementara anak negeri lebih suka budaya impor untuk mengejar prestise yang entah bagaimana diasosiasikan dengan dunia di ‘luar’ sana . Kata orang itulah budaya massa. Sekali lagi itu pengaruh informasi yang bebas diberi dan diterima. Kita memang tidak bisa menghalangi kemajuan semacam ini, tapi bagaimana agar kita bijak menyikapinya?

Keempat, kehidupan sosial masyarakat. Apa yang bisa saya tulis disini? Masyarakat berubah seperti halnya kehidupan yang setiap harinya terus berubah. Saat kita membicarakan sosial masyarakat, hal itu tidak terlepas dari pengaruh informasi dan kebudayaan. Perubahan informasi mengubah pola sosial masyarakat. Sekarang masyarakat lebih kritis, lebih pintar --walau banyak yang kelihatan apatis, lebih terbuka, dan lebih konsumtif. Karena lebih konsumtif, lantas masyarakat kita jadi tidak kreatif untuk berinovasi dan akibatnya jadi tidak produktif.
Jangan lupa, para pelaku, pemeran utama baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya kita umumnya masih didominasi oleh orang-orang produk dari orde baru. Tidaklah mudah bagi mereka untuk mengubah pola yang telah lama terbentuk menjadi perspektif baru yang sesuai dengan perubahan yang serba cepat. Sedangkan mereka yang lahir mulai tahun 1980-an masih dapat dikatakan sebagai fresh brand new, yang tidak terlalu paham (atau tidak peduli?) akan carut marut kesulitan yang dihadapi oleh bangsa yang sedang menggeliat mendapat kebebasan baru ini. Diluar kedua kelompok itu masih banyak orang-orang seperti saya yang terbengong-bengong melihat perubahan jaman. Kadang terhipnotis dengan kenyamanan masa lalu tapi juga bergairah mengharap hal yang baik akan datang di dalam perubahan.
Lalu akan kemana kita di bawa?

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah buku yang aslinya dalam bahasa Itali berjudul Va dov’e ti porta il cuore – pergilah kemana hati membawamu. Ah seandainya semudah itu jugalah kita bisa menjawab masalah bangsa ini. Teman saya di atas bilang, apa yang saya tulis ini terlalu berat untuk saya tuangkan, karena saya tidak menguasai bidang ini. Saya setuju dengannya. Tapi saya tak setuju untuk tidak menulisnya. Dan inilah yang tersisa, hanya pertanyaan, apakah hubungan iler dengan demokrasi? --Oh bukan, bukan, maafkan pikiran saya yang sederhana ini jadi melantur. Maksud saya, benar topik ini terlalu berat, mari kita kembali ke permasalahan. Jadi akan kemana kita di bawa? Demokrasi macam apa yang kita inginkan, yang cocok dengan jiwa bangsa kita? Mari kita renungkan bersama.

Thursday, August 18, 2005

Tanggung Jawab

Akhir-akhir ini kembali marak berita masalah makanan yang diberi formalin sebagai pengawet. Sebelum ini, mungkin 6 – 7 tahun yang lalu yang diberi pengawet formalin ini adalah bakso. Sekarang tahu dan ikan. Bayangkan !

Berita yang lain adalah adanya praktek penjualan obat bekas. Bekas dalam arti sisa obat yang tidak terpakai padahal si pasien sebelumnya sudah menebus obat itu dalam jumlah cukup banyak. Sisa obat semacam itu biasanya dibuang, setelah dibuang dipungut oleh pemulung, kemudian oleh pemulung dijual (ternyata ada penadahnya). Kemudian terakhir obat itu dijual kembali kepada masyarakat, bahkan dengan harga yang sama dengan obat baru. Yang lebih membuat merinding adalah beberapa dari obat ‘daur ulang’ itu ada yang sudah kadaluarsa – pun tetap dijual setelah “dipermak” tanggal kadaluarsanya.

Sebelum ini ada juga masalah jamu yang diberi zat additif sehingga memberi efek penyembuhan yang luar biasa pada peminumnya – untuk jangka pendek. Bagaimana untuk jangka panjang? Entahlah, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, entah bagaimana penyelesaiannya. Yang kita tahu adalah sekarang sudah aman, badan yang terkait sudah melakukan penarikan produk yang bermasalah, melakukan pemeriksaan, test dan sebagainya pada produk baru. Hasilnya, kini jamu yang beredar sudah aman.

Tetapi dari apa yang terjadi ini seyogyanya kita bertanya-tanya ‘ada apa dengan masyarakat kita?’ Sedemikian parahnyakah penyakit sosial di dalam masyarakat – di antara kita sehingga kita sama sekali tidak punya kepedulian pada yang lain. Untuk keuntungan sesaat kita berlomba-lomba mencari keuntungan dengan cara apapun! Pokoknya menghalalkan segala cara, tidak peduli tentang kesehatan, tidak peduli dampak apa yang bisa terjadi kemudian, tidak peduli tentang aturan, yang penting dapat untung.

Saya akan menyimpulkan segala kejadian di atas dalam satu kalimat saja. Kita tidak bertanggung jawab. Kita tidak bertangung jawab pada orang lain, pada lingkungan kita bahkan kita tidak bertanggung jawab pada diri kita sendiri. Melihat begitu banyak kejadian, begitu banyak upaya mencoba, satu gagal - ketahuan, coba lagi yang lain, gagal yang ini, coba lagi yang lain. Artinya kita tidak jera. Mengapa tidak jera ? kita tidak bertanggung jawab. Mengapa kita tidak bertanggung jawab?

Nah, sampai disini akan panjang jawabannya. Ada yang memandang dari sisi ekonomi, ada dari sisi sosial, budaya. Ada banyak orang pintar di negeri ini yang dapat merumuskannya. Akan memakan berlembar-lembar hasil pembahasan, tulisan, uraian, diskusi dan sebagainya sampai kita tidak tahu lagi, kita lupa apa pokok permasalahannya.

Dan saya disini tidak untuk membahas itu.Saya hanya akan membahasnya dari sudut pandang saya. Seorang rakyat biasa dengan pikiran yang sederhana.

Kita tidak bertanggung jawab karena kita tidak pernah diajar untuk bertanggung jawab. Beberapa contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari : orang tua umumnya masih merasa bertanggung jawab terhadap anaknya bahkan saat si anak sudah menginjak usia dewasa, sudah bekerja bahkan kadang-kadang sudah menikah. Kita dapat dengan mudah menyalahkan sistem, peralatan atau lingkungan yang buruk untuk menghindarkan tanggung jawab apabila kita melakukan kesalahan. Kita bahkan sering berdalih dengan kalimat “tergoda syetan” untuk membenarkan tindakan salah yang telah kita lakukan. Kita tidak pernah diajar untuk berkata,”Ya ini kesalahan saya, saya bertanggung jawab atasnya dan saya akan memperbaiki kesalahan itu” dan kita tidak pernah diajar juga untuk menepati apa yang kita katakan. Betul-betul menepati apa yang kita katakan. Say what you mean and mean what you say, kata orang sono.

Tapi kita juga bisa jadi orang sini dan mengatakan hal yang sama. Katakan apa yang sesungguhnya kau maksudkan dan sungguh-sungguhlah dengan apa yang kau katakan.
Yang kita perlukan cuma satu – oh, dua. Hati dan pikiran yang terbuka serta kemauan kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Saya ingin berubah menjadi lebih baik, lebih bertanggung jawab. Dan saya mengajak Anda semua untuk ikut bersama saya. Bayangkan bila tiap dari kita melakukannya maka kita akan dapat mengubah wajah lingkungan kita menjadi lebih indah dan menyenangkan.